Dalam Padma Purana – Uttara Kanda 25.7 Dewa Siva berkata;

“mayavadam asac chastram  pracchannam baudham ucyate

mayaiva kalpitam devi   kalau Brahmana rupena”

Artinya;

“Wahai Devi istriku, pada jaman Kali aku akan lahir sebagai seorang Brahmana dan menjelaskan Veda dengan filsafat  palsu mayavada yang mirip dengan filsafat  Buddha”

Sloka Padma Purana ini merupakan dasar akan turunnya Acharya Agung yang tidak lain adalah Dewa Siva sendiri dengan mengambil wujud Acharya Sankarya atau dikenal dengan nama Sankaryacarya. Tujuan kemunculan Dewa Siva sebagai Sankaryacarya tidak lain adalah meneruskan misi Buddha Gautama dalam meluruskan penyimpangan penerapan ajaran-ajaran Veda. Yaitu dengan cara menyusun filsafat baru yang mirip dengan filsafat Buddha tetapi juga tidak sama dengan penafsiran Veda sesungguhnya. Dengan demikian penganut Buddha kembali menjadi penganut Veda dan tentunya tidak melupakan misi yang sebelumnya, yaitu agar penganut Veda tidak menyalahkan artikan korban suci untuk kepentingan nafsu, membunuh binatang dan juga mengembalikan prinsip catur varna. Hal ini dapat kita lihat dalam pernyataan Dewa Siva dalam sloka Padma Purana yang lain;

“Istriku Parvati, dengarlah penjelasan bagaimana aku menyebarkan kebodohan melalui filsafat Mayavada. Hanya dengan mendengarnya saja, bahkan seorang yang sangat maju sekalipun akan jatuh. Dalam filsafat ini, yang sebenarnya sangat menyesatkan bagi orang awam. Aku akan menafsirkan secara keliru makna sejati ajaran-ajaran Weda, dan menganjurkan seseorang untuk meninggalkan segala jenis kegiatan untuk mencapai pembebasan dari karma. Dalam filsafat mayavada itu, aku menyatakan bahwa jivatma (sang roh) dan Paramatma (Tuhan) adalah tunggal dan memiliki sifat-sifat yang sama”

Mayavada berasal dari kata Maya (tenaga material yang mengkhayalkan) dan Vada (paham pemikiran atau filsafat). Jadi mayavada berarti filsafat  tentang maya, tenaga yang mengkhayalkan atau filsafat  tentang khayalan.

Sesuai dengan ajaran Sankaryacharya, pondasi ajaran Mayavada adalah sebagai berikut;

  1. Brahma Satyam (hanya Brahman yang sejati)
  2. Jagan Mithya (Alam material beserta isinya tidak nyata / palsu)
  3. Jivo Brahmaiva na aparah (Atman/Jiva identik dan sama dengan Brahman/Tuhan

Ketiga pernyataan filosofis tersebut tercantum dalam kitab Sariraka Bhasya yang ditulis oleh Sankaracarya sendiri dan merupakan penjelasan/komentar  atas kitab Vedanta Sutra (yang juga disebut Sariraka Sutra) karya sang penyusun Veda yaitu Rishi Dvaipayana Vyasa. Dan Vyasa sendiri, atas nasehat Dewarishi Narada, sebelumnya telah menulis kitab Bhagavata Purana / Srimad Bhagavatam sebagai penjelasan/komentar Vedanta Sutra yang telah ditulisnya.

Menurut filsafat  mayavada, Brahman adalah Tuhan tanpa wujud (nirakara), tanpa sifat apapun (nirguna) dan tanpa ciri apapun (nirvisesa). Sebab, kata Sankara, jika Tuhan berwujud,maka Ia tidak mungkin menjadi sumber segala sesuatu. Bila sesuatu itu telah menjadi banyak beraneka-ragam, wujudnya itu akan berubah dan tidak ada lagi. Hal ini tidak sesuai dengan pernyataan Veda bahwa Tuhan  (Brahman) kekal-abadi, satu tiada dua, tidak terbagi-bagi dan tidak pernah berobah. Contoh, sebatang kayu tidak akan ada lagi karena telah berobah menjadi rak, meja dan korsi. Berdasarkan logika dan argumen materialistik ini Sankara berani menyatakan bahwa Rishi Vyasa telah secara keliru menjelaskan tentang Tuhan seraya berkesimpulan bahwa Brahman impersonal (tanpa wujud, sifat dan ciri) inilah yang satyam, sungguh benar, nyata, sejati sebagai sumber segala sesuatu.

Menurut Sankara, jagat (alam dunia) yang terwujud ini adalah sesungguhnya mithya, tidak nyata, tidak sejati alias palsu,sebab ia adalah produk maya, ilusi/khayalan. Menganggap dunia sebagai nyata atau sejati adalah sama saja dengan menganggap seutas tali  sebagai  seekor ular. Atau menganggap kulit kerang yang berkilauan (diterpa cahaya matahari) sebagai sekeping perak.

Menurut filsafat  mayavada, sang jiva (makhluk hidup) adalah sama dan identik dengan Brahman (Tuhan). Fakta  ini  sesuai dengan pernyataan sloka-sloka Veda sebagai berikut. “Aham brahmasmi”, Aku adalah Brahman (Brhad Aranyaka Upanisad 1.4.10). “Ayam atma Brahman”, sang Atma adalah Brahman itu juga (Mandukya Upanisad sloka 2). “So’ ham asmi”, diriku adalah Ia (Brahman) itu (Isa Upanisad sloka 16). Berdasarkan sloka-sloka tersebut,”Atman braman aikya”m, atman adalah sama dengan Brahman. Atau sang makhluk hidup (jiva) adalah sama dengan Tuhan (Brahman).

Oleh karena menganggap sang makhluk hidup (jiva) yang kecil, remeh dan tidak berdaya sama dengan Tuhan (Brahman) yang maha kuasa, maka filsafat  mayavada ini disebut Advaita-Vada, filsafat  non dualistik, yakni filsafat yang tidak mengakui adanya perbedaan antara jiva (makhluk hidup) dengan Tuhan (Brahman).

Dengan menganggap Brahman (Tuhan) bisa ditutupi (=dikhayalkan) oleh maya, dan segala wujud material di dunia fana sebagai illusi/khayalan yaitu  penampakan Brahman yang ditutupi maya, maka filsafat  mayavada ini disebut pula Vivarta-Vada, filsafat tentang illusi/khayalan.

Untuk menjelaskan hakekat Tuhan yang turun ke dunia fana dan disebut Avatara, Sankara mengemukakan teori adanya dua Brahman, yaitu;

  1. Nirguna Brahman, yaitu Brahman transendental, tanpa wujud, sifat dan ciri, mutlak, spiritual, tidak ditutupi/dikhayalkan maya dan bukan produk maya
  2. Saguna Brahman, yaitu Brahman immanent dengan wujud sifat dan ciri  material, relatif, ditutupi/dikhayalkan oleh maya dan merupakan produk maya.

Para Avatara Tuhan adalah Saguna Brahman yang terwujud dari sifat alam sattvam (kebaikan). Para makhluk hidup (jiva) adalah  Saguna Brahman yang terwujud dari sifat alam alam rajas (kenafsuan) dan tamas (kegelapan/kebodohan). Oleh karena sifat sattvam, rajas dan tamas adalah unsur-unsur maya, maka baik para Avatara Tuhan maupun para jiva di  dunia fana adalah produk maya.

Menurut orang-orang Mayavadi (penganut filsafat mayavada), konsep Tuhan berpribadi (Personal God) yang berada dimana-mana pada tingkat visuddha-sattvam (kebaiikan murni/spiritual) adalah kebodohan.  Sebab, kata mereka, visuddha-sattvam adalah transformasi sifat alam sattvam yang tetap merupakan unsur maya.

Para filsuf mayavadi tidak bisa menjelaskan apa sebenarnya maya itu yang mampu menutupi/mengkhayalkan Tuhan (Brahman) sehingga menjadi berwujud Avatara, para makhluk hidup dan bermacam-macam wujud material lain. Mereka mengatakan bahwa maya adalah semacam tenaga misterius yang dimengerti dengan analogi berikut.

Mereka menafsirkan langsung sloka-sloka Veda Sruti dan Vedanta Sutra tanpa memperdulikan perintah Veda bahwa untuk mengerti Veda Sruti dan Vedanta, seseorang harus menerima penjelasan Veda Smrti (yaitu Itihasa dan kitab-kitab Purana). Contoh, sloka Rig Veda 1.1164.46, “Indram mitram varunam agnim ahuh atha divyah … ekam sad vipra bahudha vadanti”, orang-orang bijaksana menyebut Ia (Brahman) dengan banyak nama seperti Indra, Mitra, Varuna dan Agni… Dengan langsung membaca sloka ini tanpa perduli pada penjelasan Veda Smrti, para filosof mayavadi membuktikan kebenaran filsafatnya bahwa dewa-dewa itu adalah Brahman (Tuhan) pula.

Mereka memahami sloka-sloka Veda Smrti secara gauna-vrtti, pengertian tidak langsung atau secara metaporik (kiasan). Contoh, medan perang Kuruksetra adalah lambang badan jasmani. Pihak Kaurava adalah lambang kejahatan dan pihak Pandava adalah lambang kebajikan.

Mereka hanya mau mengutip sloka-sloka Veda yang dianggap membenarkan filsafatnya. Contoh, mereka senang mengutip sloka Bhagavad Gita 6.29, ”Sarva bhuta-stham atmanam sarva bhutani catmani … sarvatra sama darsanah”, Yogi sejati melihat sang Atma ada dalam badan jasmani segala makhluk dan juga melihat segala makhluk dalam Atma. Sungguh, ia yang telah insyaf diri melihat Atma dimana-mana. Tetapi mereka tidak mau perduli pada sloka Bhagavad Gita 18.66 ,”Sarva dharman parityajya mam ekam saranam vraja”, tinggalkan segala kegiatan lain dan berserah diri saja kepadaku, kata Sri Krishna kepada bhakta-Nya Arjuna. Sebagaimana telah dikutip dimuka, Padma Purana Uttara Kanda 25.7 menyatakan,”Mayavadam asac chastram”, mayavada adalah filsafat  rohani palsu, dan ini terkait dengan sloka 62.31 dalam Purana yang sama. Dikatakan demikian karena filsafat  mayavada ini berlawanan dari filsafat  Vedanta.

Berikut diuraikan secara ringkas 10  kepalsuan filsafat  mayavada.

  1. Tuhan sejati adalah Brahman impersonal (Brahma satyam)
  2. Dunia fana/alam material adalah palsu (jagan mithya)
  3. Makhluk hidup identik dengan Tuhan (jivo brahmaiva na aparah)
  4. Nirguna Brahman menjadi Saguna Brahman
  5. Mukti berarti lebur bersatu dengan Brahman impersonal
  6. Dunia rohani/alam spiritual adalah ketiadaan/kehampaan/kekosongan (sunya)
  7. Jiva dan Brahman sebagai satu substansi spiritual sama non individual adalah konsep spiritual sejati
  8. Tat tvam asi adalah maha-vakya paling utama
  9. Tuhan (Brahman) hanya bisa diinsyafi dan dicapai dengan jnana (pengetahuan spiritual)
  10. Mayavada adalah filsafat  paling tinggi.

Menurut filsafat  Vedanta karya Rishi Vyasa, Brahman adalah Tuhan  berwujud spiritual dengan sifat, ciri dan tenaga (energi) tak terbatas dan disebut Sri Bhagavan, Kepribadian Tuhan Yang Maha Esa.

Tuhan (Brahman) didefinisikan sebagai,“Janmady asya yatah”, Ia dari mana segala sesuatu berasal. (Vedanta Sutra.1.1.1). Segala sesuatu mencakup wujud, sifat, ciri, kepribadian dan beraneka-macam fenomena lain.  Itu  berarti Tuhan pasti memiliki wujud, sifat dan ciri spiritual. Atau Tuhan pasti memiliki personalitas/kepribadian.  Dan  Veda  menyebut Tuhan pribadi Sri Bhagavan.

Tuhan berpribadi/Kepribadian Tuhan Yang Maha Esa adalah Ia yang maha kuat/perkasa, maha terkenal/termasyur, maha kaya, maha mengetahui/berpengetahuan, maha indah/tampan dan maha  bebas/merdeka (Visnu Purana 6.5.47). Dan sebagai yang maha kuat/perkasa, Tuhan memiliki energi (sakti) yang tak terbatas.

Dikatakan  dalam Visnu Purana 6.7.61 bahwa tenaga (sakti) Tuhan yang tak terbatas itu dikelompokkan menjadi 3 macam yaitu:

  1. Tenaga spiritual (para sakti)
  2. Tenaga marginal (ksetrajna-sakti)
  3. Tenaga material (avidya-sakti)

Apabila seorang manusia mampu menciptakan berbagai ragam fasilitas kehidupan dengan tenaga yang dimilikinya dan tetap sebagai manusia setelah menciptakan semua itu, lalu mengapa Tuhan Pribadi (Bhagavan) harus dinyatakan tidak mampu menciptakan dunia fana ini dengan  berkata, ”Brahman impersonal-lah yang menciptakan dunia fana ini melalui maya yang misterius?”

Isa Upanisad mantra pembukaan dan Brhad Aranyaka Upanisad 5.5.1, menyatakan;

Purnasya purnam adaya purnam eva vasisyate”, oleh karena Tuhan adalah mutlak maha sempurna, meskipun segala sesuatu berasal dari diri-Nya, namun Beliau sendiri tetap lengkap sempurna”

Jadi Tuhan mencipta dan memperbanyak diri dengan tenaga (sakti)-Nya. Tidak mungkin segala sesuatu dengan keanekaragaman wujud, sifat-sifat dan ciri berasal dari Tuhan (Brahman) tanpa wujud, sifat dan ciri apapun. Veda menyatakan bahwa Brahman adalah salah satu aspek Tuhan disamping Paramatma dan Bhagavan.

Dengan menyatakan bahwa Tuhan adalah Brahman impersonal, para filsuf mayavadi meniadakan ke-agungan, kebesaran, keperkasaan, kehebatan dan kemahakuasaan Tuhan.

Veda dalam Chandogya Upanisad 6.8.4 menyatakaan bahwa filsafat  mayavadalah yang palsu (mayavadam asac chastram), bukan alam material/dunia fana ini. Alam material terwujud dari tenaga material (avidya-sakti) Tuhan (Bhagavan) yang nyata (satyam), sehingga ia tidak bisa dikatakan palsu (mithya). “San mulah sammyenah prajah sadayatanah sat pratisthah”, dunia fana beserta para makhluk hidupnya adalah perwujudan yang terpisah dari Tuhan dan semuanya berhakekat  nyata selamanya dan bukan palsu.

Jika alam material ini dianggap palsu, mengapa Veda menyatakan bahwa orang yang berbuat bajik selama hidupnya kelak lahir di alam sorgawi, dan orang yang berbuat jahat selama hidupnya kelak jatuh ke neraka? Jika dunia fana ini palsu, maka semua prinsip-prinsip dharma sebagai aturan moral menjadi tidak berguna.

Kendi berasal dari tanah dan kelak akan kembali jadi tanah. Tetapi  selama tanah itu berwujud kendi, ia adalah nyata karena dapat digunakan mengangkut air. Begitu pula, badan jasmani dan alam material ini yang berasal dari prakrti akan kembali jadi prakrti. Tetapi selama berwujud badan jasmani dan alam dunia, keduanya bisa dimanfaatkan sebagai sarana dan tempat melakukan pelayanan bhakti kepada Tuhan (Bhagavan).

Analogi tali dan ular (yang tercantum dalam Manduka Upanisad) sebenarnya untuk menunjukkan khayalan (maya) yang menyelimuti setiap orang, sehinga  tiap orang  berpikir bahwa badan jasmaninya yang dipanggil si A atau si B adalah dirinya sendiri yang sejati.

Orang dapat mengetahui suatu benda secara benar dengan memahami wujud, sifat dan cirinya. Khayalan timbul karena dia tidak mengerti dengan benar wujud, sifat dan ciri bendanya, sehingga ketika melihat seutas tali atau sekeping kulit kerang, dia menganggap benda itu sebagai ular atau perak.

Begitu pula, orang-orang mayavadi menganggap dunia fana ini palsu (mithya), sebab mereka sendiri tidak mau  tahu tentang wujud, sifat dan ciri spiritual Tuhan beserta tenaga material (avidya-sakti) dan tenaga marginal (ksetrajna-sakti)-Nya yang mewujudkan dunia fana beserta segala makhluk penghuninya.

Sloka-sloka Veda  yaitu,“Aham brahmasmi, ayam atma brahma, so’ham, sarva khalu idam Brahman, tat tvam asi” yang dikutip oleh para filsuf  mayavadi, bukan berarti bahwa sang makhluk hidup (jiva) sama/identik dengan Tuhan (Brahman) dalam segala hal dan aspek. Sloka-sloka tersebut hanya menunjukkan kesamaan jiva dan Brahman secara kuantitatif.

Banyak sekali sloka-sloka Veda yang menyatakan bahwa sang makhluk hidup (jiva) bukan Tuhan (Brahman), melainkan bawahan atau pelayan kekal Tuhan. Perhatikan Svetasvatara  Upanisad 6.7,” tam isvaram  paramam  mahesvaram… “, Mundaka Upanisad 3.1.1-2, “dvasuparna sayujya sakhaya samanam vrksah ….. Katha”, Upanisad 2.2.13, “nityo nityanam cetanas cetananam  eko  bahunam  yo vidadhati kaman”, dan sebagainya.

Perbedaan secara kuantitatif karena berbeda potensi adalah sebagai berikut.

(Kata Atma, Purusa, Brahman dan Isvara bisa menunjuk makhluk hidup (jiva) atau Tuhan karena kesamaan mereka yang berhakekat spiritual).

Dalam Bhagavad-Gita 15.16-17 dijelaskan tentang makhluk ksara dan aksara dan Paramatma. Sedangkan dalam Bhagavad Gita 13.23, dinyatakan Tuhan sebagai Paramatma bertindak sebagai saksi (upadrsta) dan pengatur (anumanta) kegiatan para makhluk hidup (jiva). Bhagavad Gita 15.15, Tuhan sebagai sumber pengetahuan dan kelupaan bagi para makhluk hidup. Bhagavad Gita 7.5 dan 9.10, sang jiva tergolong para-prakrti (tenaga marginal Tuhan) yang dikendalikan oleh Tuhan sendiri. Bhagavad Gita 4.14, 9.9 dan 13.22, Tuhan tidak tunduk pada hukum karma, tetapi makhluk hidup harus tunduk. Bhagavad Gita 7.12, 7.14, 13.15 dan 14.9, Tuhan tidak diikat/dicengram oleh maya dengan jerat halusnya tri guna). Dan pada Bhagavad Gita 3.27, 3.29, 14.15, 18.40, dinyatakan bahwa makhluk hidup (jiva) tidak berdaya diikat/dicengkram maya, dan sebagainya.

Apa penyebab Nirguna Brahman (Tuhan spiritual) bisa ditutupi (di khayalkan) oleh maya dan menjadi Saguna Brahman (Tuhan material) dan jatuh ke dunia fana?  Mengapa Tuhan yang maha kuasa bisa dikhayalkan oleh maya lalu hidup sengsara di dunia fana? Para filsuf  mayavadi tidak bisa memberikan jawaban logis dan rasional terhadap pertanyaan ini!

Sri Krishna yang merupakan salah satu Avatara dikatakan sama dengan makhluk hidup (jiva) biasa yaitu tergolong Saguna Brahman, Tuhan berhakekat material. Hal ini berlawanan dari pernyataan Beliau dalam Bhagavad Gita 4.6; ”Sambhavamy atma mayaya”, Aku menjelma ke dunia fana ini dalam wujud rohani-Ku yang asli. Dalam Bhagavad Gita 4.9 juga disebutkan; “Janma karma ca me divyam”, kelahiran dan kegiatan-Ku semuanya bersifat rohani. “Evam yo vetti tattvatah tyaktva deham”, siapapun yang memahami/ingat akan fakta ini pada saat ajal, “punar janma naiti”, dia tidak akan lahir lagi di dunia fana tetapi “mam eti”, mencapai alam rohani tempat tinggal-Ku”.

Dalam Bhagavad Gita 7.24, Sri Krishna dengan tegas mengatakan;

avyaktaà vyaktim äpannaà   manyante mäm abuddhayaù

paraà bhävam ajänanto   mamävyayam anuttamam

Artinya:

“Orang yang kurang cerdas, tidak mengenal diri-Ku secara sempurna, menganggap bahwa dulu Aku, Kepribadian Tuhan Yang Maha Esa, Krishna, tidak bersifat pribadi dan sekarang Aku berwujud dalam kepribadian ini. Oleh karena pengetahuan mereka sangat kurang, mereka tidak mengenal sifat-Ku yang lebih tinggi, yang tidak dapat dimusnahkan dan bersifat Maha Kuasa”

Orang-orang mayavadi yang menyatakan bahwa Sri Krishna adalah manusia biasa, disebut mudha, manusia bodoh. Hal ini tercantum dalam Bhagavad Gita 9.11; “Avajananti  mam mudha manusim tanum asritam param bhavam ajananto mama bhuta mahesvaram”, orang-orang bodoh menghina diri-Ku ketika Aku turun ke dunia fana dalam wujud manusia. Mereka tidak mengetahui hakekat-Ku yang rohani dan kemahakuasaan-Ku atas segala sesuatu”.

Sebutan Saguna Brahman adalah ciptaan Sankara sendiri untuk membenarkan filsafat  monistik Advaita-Vada-nya bahwa “jivo brahmaive na aparah”, sang makhluk hidup (jiva) sama/identik dengan Tuhan (Brahman).

Kesamaan si makhluk hidup (jiva) dengan Tuhan  (Brahman) berdasarkan logika udara di dalam kendi dan udara di luar kendi, dan makna mukti adalah lebur dan bersatunya jiva dengan Brahman berdasarkan logika air sungai bersatu dengan samudra; bukanlah argumen dan analogi tepat untuk menggambarkan kedudukan dan hakekat sang makhluk hidup dan Tuhan yang berkesadaran dan bersifat spiritual.

Menurut Veda, sang makhluk hidup (jiva) dan Tuhan (Brahman) adalah pribadi-pribadi spiritual yang sadar (abhijnah) dan memiliki kebebasan (svarat) dan kekal abadi (sanatanah). Mereka tidak bisa disamakan dengan unsur-unsur materi alam fana yaitu udara dan air yang tidak sadar dan tidak hidup. Perhatikan Bhagavad Gita 2.12, “na tu evaham jatu nasam na tvam neme janadhipah … “, dan Bhagavad Gita 2.16, “na sato vidyate bhavo na bhavo vidyate satah”,

Menurut Veda, Brahman impersonal itu adalah sesungguhnya cahaya (energy) Kepribadiann Tuhan Yang Maha Esa (Bhagavan)dan disebut Brahmajyoti. Sang jiva yang dikatakan bersatu dengan Brahman adalah sesungguhnya masuk ke dalam Brahmajyoti itu. Disana ia tidak bisa melakukan kegiatan apapun,sebab disana tidak ada apa-apa kecuali cahaya berkilauan di segala penjuru.

Sang jiva adalah individu rohani yang hidup dan hidup berarti harus punya kegiatan yang dilakukan. Oleh karena dalam Brahmajyoti tidak bisa melakukan kegiatan apapun, maka sang jiva dapat saja bosan tinggal disana dan jatuh lagi ke dunia fana. Karena itu dalam Bhagavata Purana 10.2.32 dikatakan,”Aruhya krcchrena param padam tatah patanty adho’ nadrta yusmad anghrayah”, meskipun para rohaniawan itu (yang tidak mengakui adanya wujud pribadi rohani Tuhan) telah melakukan pertapaan ketat dan keras sehingga mencapai mukti (dengan bersatu ke dalam Brahman impersonal), namun pada akhirnya mereka jatuh lagi ke dunia fana karena tidak mau memuja kaki padma Kepribadian Tuhan Yang Maha Esa”.

Dengan menyatakan bahwa Brahman impersonal adalah kesunyataan (satyam) satu-satunya dan alam material adalah palsu (mithya), para filsuf  mayavadi menyimpulkan bahwa alam spiritual (dunia rohani) adalah  sunya, ketiadaan/kehampaan/kekosongan. Sebab, kara mereka, ia (alam rohani) adalah Brahman itu sendiri.

Penjelasan Veda Smrti (Itihasa  dan Purana) tentang alam spiritual yang penuh dengan keanekaragaman, dianggap oleh orang-orang mayavadi masih berhakekat material. Sebab, kata mereka, alam rohani itu adalah perwujudan sifat alam sattvam (kebaikan), salah satu unsur maya yang mewujudkan dunia material. Dan uraian kitab-kitab Veda Smrti tentang dunia rohani, katanya, harus dianggap bersifat metaporik (kiasan).

Dengan menganggap penjelasan Veda Smrti sebagai kiasan, orang-orang mayavadi menafsirkan setiap nama pribadi, tempat kegiatan, hubungan, sifat dan fenomena yang oleh Veda dikatakan ada di alam spiritual berdasarkan silat lidah, permainan kata-kata dan olah otak yang semuanya  bermuara pada kesimpulan bahwa Brahman-lah realita spiritual ter tinggi sejati, bukan Bhagavan (Kepribadian Tuhan Yang Maha Esa) dan alam rohani Vaikuntha loka tempat tinggal-Nya.

Dalam Bhagavad Gita 15.1-2, dikatakan bahwa alam material adalah bagaikan pohon terbalik yang akar dan batangnya mengarah ke atas, sedangkan cabang, ranting dan daunnya mengarah kebawah. Dikatakan  demikian karena alam fana adalah refleksi (pantulan/bayangan) alam rohani tempat tinggal Kepribadian Tuhan Yang maha Esa (Bhagavan).

Pernyataan bahwa sang makhluk hidup (jiva) identik dengan Tuhan (“jivo brahmaiva na aparah atau Brahman atman aikyam”) dianggap kebenaran tertinggi ketiga oleh para filsuf  mayavadi setelah Brahma satyam (hanya Brahman yang nyata/sejati) dan jagan mithya (alam dunia ini palsu). Bahwa Brahman/Jiva adalah nirguna (tanpa sifat), nirvisesa (tanpa ciri), nirakara (tanpa wujud) dan anirvacaniyam (tak teruraikan dengan kata-kata),begitu kata mereka, di benarkan oleh  Brhad-Aranyaka Upanisad 3.9.26 bahwa Brahman adalah neti-neti, bukan ini dan bukan pula itu.

Selanjutnya, dengan mengutip sloka Vedanta Sutra 1.1.12 bahwa Brahman adalah anandamayo’ bhyasat, senantiasa berbahagia atau penuh kebahagiaan, orang-orang mayavadi berkata bahwa hanya dengan kembali menjadi Brahman impersonal sajalah, yaitu dengan bersatu lebur kepada-Nya sang roh mendapatkan kebahagiaan sejati. Selama anda berwujud, bersifat dan juga berciri tertentu, selama itu anda tetap menderita, kata mereka. Jadi menurut orang-orang mayavadi, berwujud berarti menderita dan tanpa wujud berarti bahagia.

Pendapat-pendapat orang mayavadi tersebut diatas adalah kepalsuan belaka. Sebab, ketiga pondasi filosofisnya yaitu Brahman satyam, Jagan mithya dan jivo brahmaiva na aparah telah dinyatakan sebagai kepalsuan oleh Veda (Padma Purana Uttara Kanda 25.7).

Orang-orang mayavadi tidak perduli pada penjelasan Veda Smrti bahwa:

  1. Jiva dan Brahman berwujud spiritual (Bhagavan) adalah individu-individu spiritual kekal abadi
  2. Adanya hubungan cinta-kasih (bhakti) timbal balik antara jiva dengan Bhagavan dalam keanekaragaman suasana spiritual dan
  3. Hubungan timbal-balik dan keanekaragaman adalah pondasi kebahagiaan.

Pendapat bahwa berbahagia dengan menjadi tidak ada, tiada, hampa atau kosong sebagai Brahman impersonal adalah paham filsafat keliru dan palsu.

Maha-vakya adalah kata/mantra utama yang menunjukkan/melambangkan Tuhan. Menurut Veda, OM atau Pranava Omkara adalah maha-vakya paling utama, bukan Tat Tvam Asi. Pranavah sarva vedesu, Saya adalah suku kata OM dalam semua mantra Veda (Bhagavad Gita 7.8). “Vedyam  pavitram  omkara”, Saya adalah suku kata OM dalam pustaka suci Veda yang mensucikan hati  (Bhagavad Gita 9.17) Demikian Sri Krishna menjelaskan.

Tetapi tanpa alasan jelas Sankara menyatakan bahwa ada banyak mahavakya dan yang paling utama adalah Tat Tvam Asi. Menurut Sankara,Tat = Brahman, Tvam = anda dan Asi = adalah. Jadi Tat Tvam Asi berarti  “Anda adalah Brahman (yang meskipun istilah kerennya diartikan “Aku adalah kamu”). Dengan pengertian demikian, para filsuf  mayavadi memakai ungkapan Tat Tvam Asi sebagai bukti kebenaran filsafat  mayavada-nya, yaitu “jivo brahmaiva na aparah” atau ”atman Brahman aikyam”) disamping sloka-sloka Veda Sruti, “Aham brahmasmi, So’ham, Ayam atma brahma”.

Sebenarnya Tat Tvam Asi bukan maha-vakya, melainkan satu pernyataan Veda yang mengungkapkan sedikit pengetahuan rohani tentang kebenaran paling pokok. Ia adalah peringatan kepada setiap orang,”Anda masing-masing adalah sang jiva rohani-abadi”. Disini kata Tat = jiva atau atman. Pernyataan, “So’ham dan Aham brahmasmi” yang juga dianggap maha-vakya oleh orang-orang mayavadi, sesungguhnya mengandung makna sama, “Diriku adalah sang atma (roh) kekal-abadi (yang tidak punya hubungan apapun dengan badan jasmani ini)”.

Menurut para filsuf  mayavadi, maya (khayalan) berupa badan jasmani) yang memisahkan sang jiva dari Brahman (Tuhan) dapat ditiadakan dengan menekuni jnana-yoga. Karena itu, mereka menyibukkan diri mempelajari Vedanta Sutra berdasarkan Sariraka Bhasya untuk mengerti dan mencapai Brahman. Brahman vid apnoti param, orang yang mengetahui Brahman mencapai tujuan tertinggi (yaitu bersatu dengan-Nya) (Taittiriya Upanisad 2.11). Begitu mereka membenarkan pendapatnya.

Orang-orang mayavadi berkata bahwa mengerti Brahman adalah sesulit mencari jejak burung terbang di langit biru. Secara praktis, ini adalah suatu hal yang tidak mungkin bisa dilakukan. Dan oleh karena secara teoritis dan rasionalitas tidak mungkin mengerti Brahman yang tanpa wujud, sifat dan ciri, lalu mereka berkata bahwa untuk mengerti Brahman, orang harus berpikir diluar logika dan rasionalitas. Mereka tidak perduli bahwa  pengetahuan tanpa logika dan rasionalitas adalah tidak lain dari pada khayalan belaka.

Mengenai kesimpulan Veda (Brhad Aranyaka Upanisad 3.9.26)  bahwa  Brahman adalah neti-neti, bukan ini dan bukan itu (karena tidak terpikirkan), orang-orang mayavadi berkata bahwa Brahman dapat dipahami  dengan  jnana absolut yaitu pengetahuan Veda yang dimengerti melalui perenungan (meditasi) yang melahirkan ilham mistik gaib (mysterious mystical inspiration). Tetapi pada kenyataannya, ilham mistik gaib ini dalam proses jnana hanyalah berupa silat lidah, permainan kata-kata dan olah otak (angan-angan pikiran) belaka dalam menjelaskan tentang hakekat Brahman.

Menurut orang-orang mayavadi, Brahman bukanlah ketiadaan/kehampaan/kekosongan. Tetapi Ia adalah substansi berhakekat sempurna yang mengandung segala sesuatu yang benar-benar membahagiakan, namun Ia tidak teruraikan dengan kata-kata dan dibayangkan dengan pikiran. Jika demikian, lalu apa gunanya berdiskusi tentang Brahman?

Selanjutnya orang-orang mayavadi berkata bahwa jnana absosolut mereka yang disebut para-vidya bebas dari logika  dan rasionalitas. Tetapi mereka selalu berusaha membenarkan teori filosofisnya dengan berbagai logika, rasionalitas dan argumen. Ini adalah kemunafikan.

Dengan berteori bahwa Brahman (Tuhan) hanya bisa dicapai dengan proses jnana,  para filsuf  mayavadi mencampakkan kata-kata Sri Krishna dalam Bhagavad Gita 15.15,”Vedais ca sarvair aham eva  vedyah”, tujuan seluruh pengetahuan Veda adalah untuk mengerti tentang diri-Ku. Bhagavad Gita 7.7; “Mattah parataram nanyat kincid asti”, tidak ada  suatu  apapun yang kedudukannya lebih tinggi dari-Ku. Bhagavad Gita 14.29; “Brahmano hi pratisth ham”, Saya adalah pondasi Brahman impersonal. Bhagavad Gita 10.8;Aham sarvasya prabhavo matah sarvam pravartate”, Saya adalah sumber segala sesusuatu dan segala sesuatu berasal dari-Ku. Bhagavad Gita 18.55; Bhaktya mam abhijana ti yavan yas casmi tattvatah”, orang dapat mengerti Aku dengan sebenarnya hanya dengan proses bhakti . Bhagavad Gita 7.9;Jnanavan mam prapadyante”, orang yang sungguh-sungguh berpengetahuan berserah diri kepada-Ku. Dan lain sebagainya.

Mayavada yang juga disebut Advaita Vada bukan filsafat  paling tinggi, tetapi filsafat  palsu tentang Tuhan. Hanya mereka yang berwatak  atheistik dan materialistik menyatakan bahwa mayavada adalah filsafat  paling tinggi karena ia cocok dengan pandangan empiris mereka bahwa Tuhan berwujud pribadi (Bhagavan) tidak ada karena tidak bisa dilihat dan dibuktikan ada.

Dengan menyatakan bahwa hanya Brahman saja yang sejati (satyam) dan alam material  adalah palsu (mithya), manusia diajarkan mencari kebenaran, bukan kepalsuan. Dan dengan menyatakan bahwa makhluk hidup (jiva) = Tuhan  (Brahman), manusia diajarkan untuk meng-insyafi  hakekat sejati dirinya  yang  spiritual amat luhur dan mulia. Begitu kata para filsuf  mayavadi. Tetapi  semua pernyataan mereka ini adalah kepalsuan belaka.

Dengan menyatakan bahwa Brahman adalah neti-neti, kata orang – orang mayavadi, filsafat  mayavada bebas dari paham lokal, sekste, agama, kelompok, negeri, golongan dan aliran kekepercayaan beraneka-ragam, dan menjadi ajaran yang cocok untuk mempersatukan umat manusia. Selama ini, kata mereka, manusia tidak hidup tentram dan damai karena filsafat hidup mereka berada pada tingkat dvaita, filsafat  materialistik dualistik dengan beraneka-macam pandangan, nama, watak, sifat, ciri, hubungan dan penomena. Keanekaragam inilah sumber pertentangan dan perpecahan.

Dengan berkata begitu, para filsuf  mayavadi tidak perduli pada rumus perdamaian yang diberikan oleh Sri Krishna dalam Bhagavad-Gita,”Bhoktaram yajna tapasam sarve loka mahesvaram suhrdam sarva bhutanam jnatva mam santim rcchati”, mereka yang mengerti bahwa Saya adalah tujuan utama segala yajna (kurban suci) dan pertapaan, penguasa tertinggi atas segala planet beserta para dewa pengendali nya dan sahabat terbaik segala makhluk, mencapai kedamaian dalam hidupnya (Bhagavad Gita 5.29).

Menurut orang-orang mayavadi, perbedaan antara Brahman (Impersonal God) dengan Bhagavan (Personal God) adalah sebagaimana tercantum dalam tabel dibawah ini. Kesimpulan mereka adalah Brahman hanya bisa dipahami oleh mereka yang cerdas,sedangkan Bhagavan adalah konsep ketuhanan bagi mereka yang bodoh.

Pernyataan Veda bahwa Brahman (Tuhan) adalah tidak berwujud (nirakara), tanpa sifat (nirguna) dan tanpa ciri (nirvisesa) apapun, sesungguhnya  berarti bahwa Tuhan tidak berwujud, bersifat dan berciri material,  melainkan spiritual.

Kata amurtah dalam Mundaka Upanisad 2.1.2 yang berarti tidak berwujud dan kata arupam (dalam Svetasvatara Upanisad 3.10) yang berarti tanpa bentuk, sesungguhnya berarti bahwa Brahman (Tuhan) tidak berwujud dan berbentuk  material  tetapi spiritual. Begitu pula, pernyataan Kena Upanisad 1.5.8, “Tuhan tidak terungkapkan dengan kata-kata, tidak terpahami oleh pikiran, tidak terdengar oleh telinga dan tidak terlihat oleh mata”, sesungguhnya berarti:

  1. Tuhan tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata yang keluar dari silat-lidah dan angan-angan pikiran orang-orang mayavadi
  2. Tuhan tidak terpahami oleh pikiran orang-orang mayavadi yang penuh khayalan, dan
  3. Tuhan tidak bisa dilihat dan didengar dengan mata dan telinga badan jasmani yang terbatas, tidak sempurna, kotor nafsu dan didikte oleh pola pikir filsafat  mayavada.

Katha Upanisad 1.2.23 menyatakan, “Nayam atma pravacanena labhyo na medhaya na bahu na srutena”, Tuhan dapat dipahami bukan dengan banyak berdiskusi tentang Beliau, bukan dengan kecerdasan hebat dan bukan pula dengan banyak belajar kitab suci. “Yam evaisa vrnute tena labhyas tasyaiva atma vivrnute tanum svam”, tetapi Beliau terpahami oleh orang yang dipilih olehnya. Disini kata atma menunjuk Tuhan.

Selanjutnya dalam Svetasvatara Upanisad 3.19 dikatakan, “Apani pado javano grahita”, Ia (Tuhan) tidak punya tangan atau kaki, namun Beliau bisa bergerak dan menerima persembahan yang dihaturkan kepada-Nya. Lebih lanjut dalam Brhad Aranyaka Upanisad 7.2.3 disebutkan; Ia (Tuhan) adalah adrstah, tidak punya mata, tetapi Beliau drstah, bisa melihat. Ia adalah asrutah, tidak bertelinga, tapi Beliau srutah, bisa mendengar. Ia (Tuhan) adalah amanta, tidak punya pikiran, tetapi Beliau mantah, berpikir. Dan Ia  (Tuhan) adalah avijnatah, tidak berpengetahuan, tetapi Beliau vijnatah, maha mengetahui.  Semua pernyataan paradok ini menunjukkan bahwa Tuhan tidak berwujud material, melainkan berwujud spiritual.

Dengan menyatakan bahwa Brahman impersonal adalah Kebenaran Mutlak (Tuhan), filsafat  mayavada mencampakkan kehebatan, keagungan dan kemahakuasaan Tuhan dan dengan demikian secara rasional dapat dikatakan menghina Tuhan.

Dengan menyamakan Tuhan (Brahman berwujud spiritual yaitu Bhagavan) yang maha perkasa dan maha kuasa dengan potensi (sakti) tak terbatas, dengan makhluk hidup (jiva) kecil, remeh dan tidak berdaya, orang-orang mayavadi secara bodoh menghina Tuhan.

Dengan menyatakan bahwa Tuhan (Bhagavan)ditutupi atau dikhayalkan oleh maya sehingga Ia jatuh kedunia fana dan menjadi berhakekat material, sama dengan makhluk hidup (jiva) biasa maka orang-orang mayavadi secara tolol menghina Tuhan.

Selanjutnya, dengan menyatakan bahwa Tuhan (Bhagavan) adalah transformasi sifat alam sattvam (kebaikan) yang merupakan unsur maya sehingga Beliau adalah produk maya, orang-orang mayavadi secara sesat menghina Tuhan.

Menganggap Brahman (Tuhan) adalah tidak berwujud, tidak bersifat dan berciri apapun adalah sama saja dengan secara tidak langsung menolak adanya Tuhan.

Tuhan tidak berwujud, bersifat dan berciri apapun = Tuhan tidak punya mata, telinga, mulut, tangan dan kaki, sehingga Tuhan tidak bisa melihat, tidak bisa mendengar, tidak  bisa bicara, dan Tuhan tidak bisa bergerak dan bekerja.  Dengan kata lain, Tuhan itu buta, tuli, bisu, lumpuh dan tidak berdaya. Sungguh ini merupakan penghinaan yang amat jahat kepada Tuhan.

Demikianlah filsafat  mayavada yang oleh Veda disebut asac-chastra, filsafat  rohani palsu. Dan sebagai penutup, menjelang mengakhiri lilanya dalam menyebarkan filsafat mayavada ini, Dewa Siva sebagai Sankaryacharya menuliskan syair yang sangat terkenal berjudul Bhaja Govindam yang ditujukan untuk para pengikutnya sendiri.

bhaja govindam bhaja govindam

govindam bhaja mudha mate

sampraapte sannihite kaale

na hi na hi rakshati dukrinya-karane

Nyanyikanlah nama Govinda (Krishna), sebut nama Govinda, bodoh! Pengetahuan lain yang kau kejar tak akan membantumu saat ajalmu tiba

Translate »