Mungkin belum banyak diantara kita yang mengerti apa itu Catur Veda Sirah. Sebagaimana namanya, kata Sirah yang merupakan bahasa Bali berarti “kepala”. Dengan demikian Catur Veda Sirah adalah merupakan kumpulan mantra-mantra yang dianggap penting/utama dan dikumpulkan kedalam satu kitab/lontar yang selanjutnya disebut sebagai Catur Veda Sirah. Meskipun beberapa sumber menyebutkan bahwa Maha Rsi Agastya yang mendirikan sekta Siva Sidantha yang terletak di Madyapradesh (India Tengah) yang menyusun mantra-mantra Veda yang dianggap penting ini, namun uniknya, Lontar-lontar Catur Veda Sirah hanya dapat dilihat dalam lontar-lontar yang terdapat di Bali.
Lalu bagaimana kedudukan Catur Veda Sirah dalam struktur Veda?
Penelitian untuk mengetahui keberadaan Veda di Bali dilakukan pertama kali oleh sarjana Belanda, R.Freidrich. Dia menjelaskan bahwa terdapat pandita/pedanda memiliki lontar yang terdiri dari 4 buah Samhita, yang aslinya ditulis oleh Rsi Vyasa (Veda Vyasa). Waktu itu Freidrich diijinkan untuk melihat sebuah lontar yang sebenarnya adalah Bramana Purana berbahasa Jawa Kuno.
Kemudian peneliti berikutnya, Burmund dan Kern menemukan kenyataan yang sebenarnya. Mantra yang ditemukan lontar-lontar tersebut adalah mantra yang bercampur dengan bahasa Jawa Kuno adalah mantra ritual dan penjelasannya bersifat mistik dengan latar belakang Sivaisme dengan warna Tantrik. Dan yang mengejutkannya, ternyata mantra-mantra Sanskerta di Bali yang disebut Catur Veda Sirah tidak lain adalah Nârâyanatharvasiropanisad (Narayana Upanisad) yang aslinya terdiri dari 5 bait mantra dan di Bali hanya dikenal 4 bait mantra saja dan kebetulan saja masing-masing bait berakhir dengan : “etadRgveda siro’dhite”.
Sylvain Levi menyatakan: “Apa yang disebut para Pandita di Bali sebagai Catur Veda sujatinya hanya terdiri Narayana Upanishad yang tiap-tiap bagian akhir berisi kata sirah (siro’). Oleh karena itu sering disebut Catur Veda Sirah. Mantra Gayatri yang sumber aslinya adalah Rig Veda 3.62 dan selalu dipetik sesudah kita-kitab Veda, ternyata di Bali sangat berlainan, tidak seorangpun Pedanda yang pernah mendengar dan membaca Mantra Gayatri dari Catur Veda mereka walaupun mereka setiap hari mengucapkan mantra itu dalam upacara Suryasevana”.
Adapun bunyi dari mantram Narayana Upanisad yang asli adalah sebagai berikut;
Narayana Upanisad [1]
om atha puruso ha vai narayano ‘kamayata prajah srjeyeti
narayanat prano jayate
manah sarvendriyani ca kham vayur jyotir apah prthivi visvasya dharini narayanad brahma jayate
narayanad rudro jayate
narayanad indro jayate
narayanad prajapatih prajayante
narayanad dvadasaditya rudra vasavah sarvani chandagmsi
narayanad eva samutpadyante
narayanad pravartante
narayane praliyante
ya evam veda
ity upanisat(e)
Narayana Upanisad [2]
om atha nityo narayanah
brahma narayanah
sivas ca narayanah
sakras ca narayanah
kalas ca narayanah
disas ca narayanah
vidisas ca narayanah
urdhvas ca narayanah
adhas ca narayanah
antar bahis ca narayanah
narayana evedag sarvam
yad bhutam yac ca bhavyam
niskalanko niranjano nirvikalpo nirakhyatah
suddho deva eko narayanah
na dvitiyo ‘sti kascit(e)
sa visnur eva bhavati sa visnur eva bhavati
ya evam veda
ity upanisat(e)
Narayana Upanisad [3]
om ity agre vyaharet(e)
nama iti pascat(e)
narayanayety uparistat(e)
om ity ekaksaram
nama iti dve aksare
narayanayeti pancaksarani
etad vai narayanasayastaksaram padam
yo ha vai narayanasyastaksaram padam adhyeti
anapabruvah sarvam ayureti
vindate prajapatyagm rayas posam gaupatyam
tato ‘mrtatvam asnute tato ’mrtatva asnuta iti
ya evam veda
ity upanisat(e)
Narayana Upanisad [4]
om pratyag anandam brahma purusam pranava svarupam
akara ukara makara iti
tanekadha sametad om iti
yam uktva mucyate yogi
janma samsara bandhanat(e)
om namo narayanayeti mantropasakah
vaikuntha bhuvanam gamisyati
tad idam pundarikam vijnana ghanam
tasmad tadidabha matram
brahmanyo devakiputro
brahmanyo madhusudanah
brahmanyo pundarikakso
brahmanyo visnur acyuteti
sarvabhutastham ekam narayanam
karana rupam akaranam param brahma om
Narayana Upanisad [5]
om pratar adhiyano ratrikrtam papam nasayati
sayam adiyano divasa-krtam papam nasayati
madhyahna dinam adityabhimukho ‘dhiyanah
panca maha patakopapatakat pramucyate
sarva veda parayana punyam labhate
narayana-sayujyam avapnoti
narayana-sayujyam avapnoti
ya evam veda
ity upanisat(e)
Melihat kenyataan ini, Seorang tokoh Hindu etnis Bali, Made Titib menyatakan perlu pelurusan istilah bahwa para pandita kita telah mengucapkan mantra-mantra Veda, yang sesungguhnya diucapkan adalah mantra Stuti Stava para pandita. Sebab, sampai saat ini belum ada bukti ditemukan satu teks pun yang mengenai Veda, dalam arti sesungguhnya yang berbahasa Sanskrit murni. Bahasa Sanskrit memiliki chanda, guru lagu tersendiri, pemenggalan kata yang belum sepenuhnya dimiliki oleh para pandita di Bali.
Di Bali terdapat sangat banyak lontar. Seorang peneliti Belanda, Van Der Tuuk menggolongkan lontar ke dalam enam klasifikasi, yakni:
- Kelompok Veda (Mantra/Puja)
- Kelompok Agama bersikan Etika, Tatasusila, sasana
- Kelompok Wariga/astrologi, tutur, kandha, usada
- Kelompok Itihasa, epik, parwa
- Kelompok Babad/sejarah
- Kelompok Tantri.
Namun demikian, lontar-lontar ini juga sering dikelompokkan dalam 3 kelompok besar berdasarkan isinya, yaitu lontar yang berisi ajaran tatwa, susila (etika) dan agama (upacara).
Lontar yang bersikian tatwa: bhuwana kosa, bhuwana sang ksepa, wraspati tattwa, siwagama, siwaatattwa, gong besi, purwa bhumi kamulan, tantu pagelaran, tatwa jnana, janan sidhanta, sanghyang Mahajnana dan sebagainya.
Sedangkan Lontar yang berisikan tentang etika atau tata susila adalah siwa sasana, resi sasasana, vrati sasana, putra sesana, slokantara, silakrama, nitisastra.
Lontar yang berisikan upacara agama: Lontar Catur Vedhya, wrahaspati kalpa, devata tattwa, widihi tattwa, sundarigama, yama tatwa, yama purana tattwa, mpu lutuk aben, kramaning madhiksa, yajna samskara, kramaning atiwa-tiwa, indik maligia, pateru saji, dharma kahuripan, eka ratama, janmaprawerti, puja kalapati, puja kalih, ekadasarudra, pancawalikrama, indik caru, puja pali-pali, siwa tattwa purana dan lainnya.
Selain itu juga terdapat beberapa lontar lain lagi yang tidak dapat dimasukkan dalam 3 golongan besar tadi, yaitu antara lain;
- Lontar Pengayam-Ayam, yang membicarakan masalah sambung ayam, bagaimana memilih ayam aduan, warna ayam dan hari baiknya saat di adu agar menang.
- Lontar Dharmaweci (Lontar Pengiwa) yang menguraikan masalah ilmu hitam.
- Lontar Pangeleakan, yang merupakan dasar dari keberadaan leak di Bali.
Bagaimana kedudukan lontar yang menganjurkan himsa karma ini? Apakah masih sejalan dengan ajaran Dharma / Veda? Swami Sivananda pernah mengatakan: “Tidak ada pertapaan yang paling hebat selain melakukan Ahimsa.” Jadi, keberadaan tiga lontar ini dalam ajaran di Bali perlu kita pertanyakan.
Jika kita analogikan bahwa Veda yang universal dan turunannya termasuk ajaran Hindu yang tertuang dalam lontar-lontar di Bali sebagai sebuah undang-undang. Maka Veda dapat dikatakan sebagai Undang Undang Dasar dan lontar-lontar tersebut adalah turunan dan penjelasan detail yang dimaksudkan untuk mengerti Veda secara benar. Undang-undang dan peraturan-peraturan yang diturunkan dari Undang Undang Dasar tidaklah mungkin bertentangan. Tapi bagaimana jika lontar-lontar yang seharusnya merupakan turunan dari Veda ini malahan bertentangan dengan induknya, Veda?
Sejarah munculnya lontar-lontar dan pemahaman Hindu Bali yang sekarang cukup panjang. Mungkin hal ini juga ada kaitannya dengan usaha Mpu Kuturan dalam menyatukan aliran dan bahkan agama yang berbeda di Bali. Waktu itu di Bali terdapat aliran Sivaisme, Vaisnava, Sakti, Bairava dan juga ajaran Buddha dan bahkan Cina. Hal ini ditunjukkan dalam Lontar Bali Pulina 4a yang bunyinya sebagai berikut: “Sutrepti punang Bali Pulina tan hana wiyadi tiling manahnya agagitayan, punang para pandita Siwa, Buda lan para Rsi mwang Mpu setata akarya Homa nguncaraken wedannya mwang sehe. Humung kang swaranya genta ngastiti Hyang Widhi mwang para dewa-dewata. Tetabuhan maler meswara sadesa-desa, siyang latri angaci ring Pura-Pura tan papegatan. Kadulurin kidung kakawin.“
Artinya:
“Damailah keadaan Bali, orang-orang yang hatinya terpusat pada isi kidung. Adapun para pandita Siwa, Budha, para Rsi dan Mpu (berarti Sarwa Sadhaka?) senantiasa melaksanakan Agni Hotra (homa) mengucapklan mantra Weda (maksudnya puja-puja stava/stotra?) dan sehe (mantra memakai bahasa hati nurani). Bergemalah suara genta memuja Tuhan Yang Maha Esa dan para dewata, gamelan berbunyi di setiap desa, siang dan malam, berbakti di Pura-Pura tiada putusnya. Upacara ini disertai kidung dan kakawin”
Mungkinkah usaha ini menyebabkan garis perguruan yang menurunkan Veda dari guru ke murid terputus? Ataukan tindakan Mpu Kuturan waktu itu adalah tindakan yang paling tepat untuk mempertahankan Bali agar solid dalam menghadapi gempuran penyerangan Mataram Islam waktu itu?
Terlepas dari itu semua, perlu kita garis bawahi bersama tentang pentingnya mempelajari Veda dari garis-garis perguruan (sampradaya/parampara) dan dari guru yang benar-benar berkualifikasi sebagaimana petunjuk dalam sastra Veda. Veda tidak cukup dipelajari hanya dari buku-buku atau lontar-lontar tertentu, apa lagi kalau lontar tersebut hanya dijadikan barang tetamian yang sakral dan hanya di taruh di tempat suci tanpa pernah di jamah.
Veda juga tidak bisa dimengerti dengan terpisah-pisah. Kita tidak cukup dapat mengerti hanya dengan menghafal rangkuman mantra-mantra Veda yang dianggap penting, tetapi harus dipahami dengan bantuan Vedangga, yaitu;
- Siksa (tentang fonetik)
- Vyakarana (gramatikal)
- Chanda (tentang irama, lagu dan persajakan sloka-sloka veda)
- Nirukta (merupakan asal usul dan arti kata)
- Jyotisa (tentang astronomi dan astrologi)
- Kalpa (tentang cara melaksanakan upacara).
Berkenaan dengan ini, dalam Kitab Vayu Purana I.20, menyebutkan :
Itihâsa Purânabhyam vedam samupabrmhayet
Bibhetyalpasrutad vedo mamayam praharisyati
Artinya;
“Hendaknya Veda dijelaskan melalui Itihasa dan Purana (Sejarah), Veda merasa takut kalau seseorang yang bodoh membacanya”
Veda juga tidak boleh dipahami terpisah. Kita tidak boleh menganggap bahwa Veda Sruti kedudukannya lebih tinggi dari Veda Smrti, tetapi Veda adalah merupakan satu kesatuan yang utuh. Manava Dharma Sastra 2.10 menyatakan:
Sruthistu wedo wijneyo dharmasastram tu wai smrtih,
te sarwartheswamimasye thabyam dahrmahi nirbabhau
Artinya;
“Sesungguhnya Sruthi adalah Veda dan Smrti adalah Dharmasastra; keduanya tidak boleh diragukan Karena keduanya adalah sumber hukum suci”.
Mungkin pada waktu itu Catur Veda Sirah dapat menjadikan Bali tetap Hindu, namun sekarang jaman sudah berubah. Apakah dengan mempertahankan ajaran Veda yang kurang lengkap ini akan dapat mempertahankan kehinduan pulau Dewata?
Melihat kenyataan ini, jika anda merasa sebagai putra Bali dan bangga pada Hindu di Bali, maka mari kita benahi tatanan pemahaman Hindu yang benar sebelum Hindu Bali menjadi sejarah karena ditinggalkan oleh putra-putra terbaiknya yang kritis atau yang “paid kaung” dan “paid bangkung” akibat kesalahpahaman terhadap pemahaman ajaran Hindu Bali.
Sumber;
- Tulisan Made Aripta Wibawa SH, M.Ag pada Raditya edisi 123
- http://www.gosai.com/chaitanya/saranagati/html/vedic-upanisads/narayana-upanisad.html
Menarik sekali sdr. Ngarayana,
anda menulis;
Veda juga tidak boleh dipahami terpisah. Kita tidak boleh menganggap bahwa Veda Sruti kedudukannya lebih tinggi dari Veda Smrti, tetapi Veda adalah merupakan satu kesatuan yang utuh.
ada pertanyaan yang timbul jika begitu yaitu tentang apa yang disebutkan dalam Manusmerti, Gopathasmerti yang menyebutkan hukuman bagi seseorang yang dari varna (atau kasta?) sudra yang jika berani membaca Veda akan dihukum lidahnya dipotong, mata harus buta, dll,
atau juga dalam Gopathasmerti (klo tidak salah) yang menyebutkan jika seseorang dalam suatu upacara yang duduk tidak pada tempatnya maka akan dicap bokongnya dengan timah panas, dll.
Nah bagaimana sih sebetulnya dengan penggolongan Veda ini baik sruti maupun smerti karena jika memang seperti apa yang sdr. Ngarayana tulis kedudukan antara smerti seimbang dengan sruti maka Manusmerti dan Gopathasmerti ini khan seharusnya berlaku secara tegas juga padahal dalam Veda sendiri tidaklah ada pengolongan manusia dalam membaca Veda (menurut saya sih seseorang itu perlu pembimbing) dan tidak ada yang menyatakan si A boleh dan si B tidak ataupun dalam upacara tertentu apakah ada penggolongan tempat duduk?, padahal semua mahluk itu sama dimata Tuhan. Yang saya pahami sih khusus pemimpin kegiatan upacara saja yang berhak untuk didepan sedangkan yang lainnya baik dari ‘varna’ ksatria, waisya, ataupun sudra sih boleh-boleh aja mengambil tempat duduk dimanapun.
Mohon dijelaskan ya sdr. Ngarayana.
Sloka dari Gotama Smrti;12 yang berbunyi;
”Apabila orang sudra kebetulan mendengarkan kitab weda dibaca, maka adalah kewajiban raja untuk mengecor cor-coran timah dan malam dalam kupingnya; apabila seorang sudra membaca mantra-mantra weda, maka raja harus memotong lidahnya.”
Memang, sloka inilah yang selalu di gunakan untuk menyerang Hindu. Coba saja anda cek di internet, dengan sangat mudah kita menemukan website yang menyerang Hindu dengan senjata ayat ini. Bahkan dalam pendahuluan terjemahan kitab suci Qur’an versi Indonesia pada jaman Mukti Ali sebagai menteri agama ayat ini juga ditampilkan. Meski waktu itu umat Hindu sudah protes keras, tapi departemen agama tetap tidak menggubrisnya.
Namun, menurut Tempo 18 September 1993. Ketut Wiana telah memvalidasi terjemahan sloka tersebut dan ternyata terjemahan yang benar adalah;
“Bagi orang-orang pekerja (Sudra) yang ingin mendengar atau mempelajari Weda, supaya berhasil dengan baik, dekatkan telinga pendengaran mulai awal pengertian-pengertian dan bahasa ucapannya dengan menutup pengaruh-pengaruh dari luar. Badan duduk tenang di bawah tempat ajaran dan ucapan- ucapannya diulang-ulang terus sampai akhir”
Jadi sekali lagi saya ingatkan, hati-hati mengutip sloka-sloka yang tidak kita ketahui sumbernya. Sebisa mungkin kita kutip juga bahasa aslinya, bahasa sasekerta sehingga sedikit banyak dapat dipertanggungjawabkan dengan cara mencocokkan terjemahan kalimat per kalimat.
Disamping itu, perlu digarisbawahi bahwasanya menurut Sankha-Likhita (300 – 100 SM) dan Wikhana mengemukakan bahwa Dharmashastra adalah ajaran Dharma yang khas untuk masing-masing yuga, sbb;
* Dharmashastranya Manu untuk Krta Yuga,
* Dharmashastranya Gautama untuk Treta Yuga,
* Dharmashastranya Sankha-Likhita untuk Dvapara Yuga, dan
* Dharmashastranya Parasara untuk Kali Yuga,
Dimana kedudukan kitab Gotama Smrti ini dalam Veda?
Kitab Sruti dibagi menjadi Veda Samhita(Kelompok:Rig-Veda, Sama-Veda, Yajur-Veda, Atharva-Veda dan sebagai Weda kelima adalah Itihasa (sejarah) dan Purana(cerita: yang terbagi dalam lebih dari 18 Purana besar dan lebih dari 21 purana kecil). Kemudian didalamnya jugga Brahmanas, Aranyakas, and Upanishad. Disamping itu ada pula Upaweda(weda kategori kecil/yang lain yaitu Dhanurveda(beladiri dan senjata) Shastrashastra(Politik dan pemerintahan negara), Āyurveda(Kesehatan jasmani & rohani) Gāndharvaveda(seni perang dan menaklukan musuh), Sushruta(ilmu bedah), Bhavaprakasha Sthapatyaveda (arsitektur) dan Shilpa Shastra (seni dan kerajinan tangan). Itu belum semua! Untuk memahami itu semua diperlukan Wedangga atau alat bantu yang dibagi dalam 6 bagian yaitu
* Siksha (śikṣā): fonetika dan fonologi (sandhi).
* Chanda (chandas): irama.
* Vyakarana (vyākaraṇa): tata bahasa.
* Nirukta (nirukta): etimologi.
* Jyotisha (jyotiṣa): astrologi and astronomi.
* Kalpa (kalpa): Ilmu mengenai upacara keagamaan.
Pada bagian Kalpa saja terdiri dari Shrautasutras (14 kitab), Grhya Sutras( 21 kitab) dan terakhir Dharmasutras(19 kitab). Baru di Didalam Dharmassutras itulah kita temukan kitab yang likarang oleh Maharesi Gautama mengarang Gautama Smrti yang terdiri dari 28 bab dan 1000 ayat dan yang dikarang oleh Manu yang terdiri dai 12 Bab dan 2685 sloka/ayat). Manu Smrti awalnya diturunkan sebanyak 100.000 sloka kepada Maharshi Brghu, kemudian setelah diturunkan pada Rshi Narada berdasarkan pertimbangannya dikurangi menjadi 12.000 sloka. Rshi Markandeya menguranginya lagi menjadi 8000 sloka. Rshi Sumanthu, menguranginya lagi menjadi 4000 sloka dan akhirnya, rshi terakhir mengurangi menjadi 2.685 sloka sampai dengan saat ini.
Veda Smrti adalah bagian Veda yang tidak bisa dipisahkan untuk memahami Veda Sruti, tetapi perlu diingat bahwa Veda Smrti tidak berlaku mutlak, tetapi disesuaikan dengan konteks jamannya. Karena itulah melihat contoh pengurangan sloka-sloka Veda diatas dapat memberikan kita gambaran akan hal itu.
Veda sangat luas dan sangat sulit membaca semuanya dalam hidup ini. Oleh karena itu kita memerlukan guru kerohanian yang dapat dipercaya yang bisa membantu dan mengarahkan kita memahami kitab veda yang maha luas tanpa harus membaca semua bagian-bagian Veda. Karena tujuan akhir Veda hanya satu “Selalu ingat dan tidak pernah lupa akan Tuhan”.
Sehingga sangatlah sok tahu jika ada orang yang mengutip 2-3 sloka kitab suci Hindu dan langsung memukul rata bahwa ajaran Hindu salah!
Kesalahpahaman terhadap Hindu sudah seperti benang kusut yang sulit diluruskan. Disaat kita berusaha meluruskannya dan mau tidak mau harus menyinggung agama lain, ternyata saudara kita yang juga Hindu tidak sepaham dengan kita. Mereka cenderung memeliki pandangan bahwa semuanya akan di balas oleh Tuhan dan kita sebaiknya diam saja….
ironis memang… 🙂
Mungkin ada tambahan bli?
Sdr. Ngarayana,
anda mengatakan:
Namun, menurut Tempo 18 September 1993. Ketut Wiana telah memfalidasi terjemahan sloka tersebut dan ternyata terjemahan yang benar adalah
“Bagi orang-orang pekerja (Sudra) yang ingin mendengar atau mempelajari Weda, supaya berhasil dengan baik, dekatkan telinga pendengaran mulai awal pengertian-pengertian dan bahasa ucapannya dengan menutup pengaruh-pengaruh dari luar. Badan duduk tenang di bawah tempat ajaran dan ucapan- ucapannya diulang-ulang terus sampai akhir”
wah ini pengetahuan yang baru untuk saya karena ini memang menjadi ‘pertanyaan’ serius dari seorang teman yang menganggap bahwa apa yang didapat dari Hindu adalah pengelompokan orang-orang saja,
thanks atas infonya,
saya sangat-sangat berterima kasih,
wah saya sekarang bisa membantah ini dengan jelas,
sekali lagi benar-benar terima kasih,
eh Veda base anda itu apakah memang memiliki terjemahan yang valid dan bisa dipercaya,….?
karena itu yang sekarang menjadi sumber referensi saya dalam berdiskusi dengan umat lain,
lagi-lagi saya ucapkan thanks berat karena saya benar-benar bingung mencari literatur yang valid tentang kitab smerti macam Manusmerti,…
Regards,
Veda base yang ada di website ini bersumber dari ajaran Gaudya Vaisnava yang merupakan garis perguruan yang jelas dan diterbitkan oleh BBT (bhaktivedanta book trust) dan keasliannya sudah dikaji oleh banyak universitas terkemuka di dunia.
Mengenai testimonial dari orang-orang terkenal seperti Einstein dalam Veda terbitan BBT ini dapat anda lihat di program “Bhagavad Gita Interactie” dalam program itu juga terdapat kitab-kitab yang lain seperti Gita Mahatmia, Isopanisad dan sebagainya.
wah trims banyak lho,
saya banyak terbantu nih dan sekarang saya udah ada senjata andalan untuk mengkomparasi sloka maupun mantram yang orsi dari Veda base yang saya download disini,
trims banyak,
ayo maju terus Hindu,…..
Greatings, Amazing! Not clear for me, how offen you updating your narayanasmrti.com.
Thank you
om swastyastu bli
back to weda adalah orasi baru yang saat ini sedang hangat di bincangkan dan pastilah telah di emplemntasikan dalam sadhana banyak orang. nah satu pertanyaan penting..bagaimana dengan kosep dasar weda yang selalu mengangkat budaya lokal dimana weda itu berkembang, tanpa menghancurkan tapi justru memaknai melaluiajaran weda..Bali telah memiliki peradaban jauh sebelum weda (sanatana dharma)berkembang diBali, sehingga agama hindu yang kta warisi adalah agama hindu(weda) yang telah beralkuturasi dengan budaya lokal…kenapa kita selau menganggap hindu di Bali salahhhh..
Back to weda how come?
suksma
Om Swastiastu Bli Bhaskara
Kalau menurut saya pribadi. Pada dasarnya Budaya Hindu di Bali pada awalnya tidaklah salah… Jika bli berkunjung ke pura batu karu (salah satu sad khayangan) bli akan menemukan 3 pura berbentu candi di dalam utama mandala. Di gua gajah dan di tampak siring bli juga akan menemukan arsitektur Hindu yang asli yang berbeda dengan arsitektur dan kultur saat ini. Jika bli jalan-jalan ke desa-desa Bali Aga, bli juga akan menemukan kultur yang berbeda.
Intinya, kultur yang kita punya di Bali saat ini tidaklah salah. Itu benar, tetapi terjadi suatu distorsi yang harus kita antisipasi. Mungkin pada tahun 1800-an, masyarakat bali tidak perlu belajar filsafat, sehingga yang menguasai filsafat hanya para pemuka agama. Tetapi pada abad 21 ini, masyarakat Bali tidak dapat dipaksa seperti itu, sebagian haus akan filsafat dan sebagian muak dengan upacara karena dia tidak tahu dasar filsafatnya. Mereka tidak cukup dengan jawaban “nak mulo keto” sehingga banyak masyarakat bali belajar ke luar dari lontar dan pemahaman yang sudah ada. Sebagian beruntung mengenal Hindu dari budaya lain, seperti Jawa atau mungkin dari sumbernya di India atau belahan bumi lainnya. Tetapi sebagian lagi bernasib naas, mereka akhirnya pindah dari Hindu dan keluar dari desa adat seperti banyak kasus di Kuta, Negara dan Tabanan bagian barat. Kemarin waktu penutupan Kuta Karnaval, saya menyaksikan 1 kontingen yang berpakaian dan mengusung budaya Bali secara total, tetapi didasarkan pada ajaran Kristen. Menyedihkan… tetapi saya akui mereka cerdas dalam mengambil hati orang Bali.
Budaya bersifat dinamis dan akan selalu berubah. Jadi menurut saya, mari kembangkan budaya Bali yang sudah ada, jika perlu kembali ke sistem budaya Bali kuno, mari kembalikan. namun yang lebih real adalah melakukan kulturasi dan modernisasi dengan tidak mengesampingkan sendi-sendi ajaran Veda/Kehinduannya.
Orang Bali modern sebagian sudah sangat sibuk memenuhi kehidupan materinya, sehingga kesibukan membuat upacara yang besar terkesampingkan. Hanya saja ada kalanya adat mengecilkan mereka yang tidak mampu melakukan ritual sebagaimana yang disampaikan dalam awig-awig adat, sehingga mereka merasa seperti “kutang banjar”. Hal ini juga merupakan salah satu faktor banyaknya orang Bali keluar dari Hindu. Bagaimana mengatasinya? Inilah PR kita bersama.
astungkara
orang seperti andalah yang diperlukan bagi Bali, Hindu dan dunia, terutama yang masih berada dalam “tingkatan” membicarakan, membandingkan,mempertentang keyakinan (termasuk saya)…
ingin mengenal beli lebih dekat gmana dong carana? diskusi berlajunt langsung bebas rahasia (luber) kya pemilu ja hehe..
thanks…
Sdr Ngarayana yth atau sipapun yg tahu,
“kenapa kitab Weda dan terjemahannya tidak dijual bebas?” Biasa sy suka adu mulut soal agama dg pemeluk umat lain, trus ngomongin soal kitab, saya ga bisa jawab pertanyaan itu. Semestinya kitab Weda dan terjemahan yg sudah divalidasi bisa dijual bebas, sehingga kita bs mempelajarinya seperti kitab2 dr umat lain. Saya baru 36 tahun, tapi semua pengetahuan soal Hindu dan kitab2nya yg sy terima di sekolah SD, SMP,SMA, sudah sy lupakan begitu saja. Habis saya bs belajar dr mana lagi, kalau bukan saatnya skr sy mestinya sambil duduk2 saat waktu senggang bs membacanya.
Dan saya pikir 90% penganut Hindu yg seumur dg saya sdh lupa dg apa yg pernah mereka pelajari.
Trimakasih
@ Ayu Puspa
Om Swastiastu mbak Ayu..
Sebenarnya ada banyak sumber kitab suci Veda dan dijual bebas, namun sebagian besar masih dalam bahasa Inggris. Veda tidak sama dengan kitab-kitab agama lain yang hanya 1 buku saja, tapi Veda sangat luas dan kompleks dan jumlahnya ratusan dan bahkan mungkin ribuan buku. Mungkin karena itulah bukan perkara mudah menterjemahkan Veda ke dalam bahasa Indonesia mengingat terbatasnya sumber daya manusia Hindu yang mau melakukan itu saat pada saat ini. Dan semoga saja kedepannya kita, PHDI dan semua organisasi Hindu akan sadar akan kenyataan ini.
Namun, secara pribadi saya menganjurkan setidaknya umat Hindu harus memiliki kitab Bhagavad Gita. Bhagavad Gita bagaikan ringkasan dari Veda dan garis-garis besar ajaan Veda tertuang di dalam Bhagavad Gita.
Terimakasih
semoga semua mahluk hidp alam semesta berbahagia
jai hari narayana …untuk menjebati ini saya akan menjelaskan sedikit tatan dan aturan dalam pelaksaan weda ( jenana wiakti apah suciateh) weda bukan nya harus di jauhi,weda bukan barang keramat, weda bukan barang yang tidak boleh di pelajari ( amerta jenana ,amerta sarahswatih)sesungguhnya mempelajari weda adalah keharusan dan menjadi kebutuhan …seperti apa yang di tulis saudara ari….mengenai pendapat manusmerti dan gopamanusmerti ( saya kira itu pendapat yang salah ) karena kedudukan weda sendiri yang teramat tinggi oleh para pengelingsir kita di buatlah atauran semacam itu seperti yang di kutip oleh bagawangita ( ketahuilah wahai kau arjuna aku adalah ilmu pengetahuan aku adalah isi dunua di wajibkan olehmu untk kau mengetahui siapa AKU)jadi setiap umat beragama hindu wajib tau dan mempelajari weda agar dia tau sipa tuhannya yang sebenarnya …yang sudah jelas di lantunkan pada bait ke 2 trisandya yang menjelaskan bahwa narayanalah tuhan yang mutlak (dipertegas (narayanalah personalitas yang mutlak) seperti yang saudara jelaskan pada narayana upanisad…………narayanalah tuhan yang tungal ..semua berasal dari narayana ,dewa,dewi,alamsemesta ,parawaraha semua itu bersal dari narayana ….OM JAI HARE NARAYANA……
saudaraku ,bisa bantu carikan info tetang tulisan kitab weda yang pertama… dalam huruf apakah …kitab weda yang pertama itu ditulis…orang tua saya di UNHI..menanyakan tetang kitab weda yang asli…trim banyak ya……..
matur sekseme
@ sudiana
Menurut info yang saya dapat, Catur Veda ditulis dengan hurup devanagari dan bahasa sansekerta kuno yang disebut dengan bahasa Daivivak (bahasa para dewa), karena memang tidak ada masyarakat manusia yang menggunakan bahasa itu. Sementara Veda yang lain seperti Ramayana dan Mahabharata ditulis dengan bahasa sansekerta biasa yang berbeda dengan bahasa daivivak.. Kalau mengenai dimana kita dapat melihat kitab Veda pertama yang asli, terus terang saya tidak tahu bli…
Maaf belum bisa membantu, tapi kalau saya mendapat info suatu saat nanti pasti saya tuliskan lagi
Salam,-
om swastyastu
titiang ngemiletin, wawu kepanggih situs puniki, garge manah titiang miragi napi sane kebawos ring wicarene puniki, titiang wantah uning meragi kemawon durung wenten dane pitaken sane ke unggah, matur suksme