Pernyataan seorang alumni di Universitas Indonesia, Rocky Gerung sedang menjadi perbincangan hangat di Indonesia. Pernyataannya tersebut adalah dengan mengatakan bahwa kitab suci adalah fiksi. Melalui logika berpikirnya, dia menyatakan bahwa dengan manusia mempercayai kitab suci, lalu berdoa menurut kitab suci tersebut maka pada akhirnya pikiran, hormon dan seluruh sistem dalam tubuh manusia juga terarah sehingga menimbulkan efek bahagia. Sayangnya, pada saat melontarkan pernyataan tersebut, Rocky Gerung menjadikan kitab Mahabharata sebagai contoh kitab fiksi tetapi tidak menyinggung kitab-kitab agama lainnya. Meski pun demikian, secara tersirat, Rocky Gerung menyatakan bahwa semua kitab suci adalah fiksi. Meskipun dalam klarifikasinya dia mengatakan bahwa fiksi tidak selalu berarti fiktif. Lalu, dapat digolongkan ke dalam apakah sebenarnya kitab suci?
Sebelum menyatakan apakah kitab suci fiksi atau bukan, mari kita cari makna dari kata fiksi itu sendiri. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, fiksi diartikan sebagai cerita rekaan, khayalan, tidak berdasarkan kenyataan. Kata fiksi merupakan kata serapan dari Bahasa Inggris, fiction. Menurut Oxford Dictionary, fiction berarti “literature in the form of prose, especially novels, that describes imaginary events and people”, atau “Something that is invented or untrue” atau, “a belief or statement which is false, but is often held to be true because it is expedient to do so”. Jadi baik dari pengertian kamus Bahasa Indonesia maupun Bahasa Inggris, arti kata fiksi adalah sama, suatu kisah rekaan yang bersifat imajinasi, alias tidak didasarkan atas fakta sebenarnya. Jadi dari sini kita sudah dapat menyatakan bahwa 1 penggal perkataan Rocky Gerung sudah terbantahkan, yaitu pernyataan klarifikasi yang menyatakan fiksi bukan berarti fiktif. Lalu bagaimana sebenarnya dengan kitab suci? Apakah kitab suci fiksi atau non-fiksi?
Non-fiksi atau non-fiction mengandung makna kebalikan dari fiksi itu sendiri. Dengan kata lain, non-fiksi merujuk pada karya tulis atau kisah yang merujuk pada kenyataan, kejadian faktual atau fakta sesungguhnya. Lalu apa yang dapat dikategorikan sebagai karya non-fiksi? Semua cabang ilmu pengetahuan baik itu ilmu alam maupun ilmu sosial yang tata cara kajiannya memenuhi kaidah ilmiah dapat dikatakan non-fiksi.
Jika merujuk pada sejarah perkembangannya, pada awalnya yang dikatakan sebagai ilmu pengetahuan pada dasarnya hanya cabang-cabang ilmu eksakta, meliputi matematika, biologi, kimia, fisika dan juga cabang-cabangnya. Ciri khas dari cabang ilmu eksakta adalah dari sisi paradigma yang digunakannya. Ilmu alam didekati dengan paradigma kuantitatif yang memiliki ciri-ciri; pendekatan positivisme, eksperimental, empiris, menekankan pada pengujian teori-teori melalui pengukuran variabel penelitian dengan angka dan melakukan analisis data dengan prosedur statistik, realitas bersifat objektif dan berdimensi tunggal, kedudukan peneliti adalah independen terhadap fakta yang diteliti, bebas nilai dan tidak bias, pendekatan deduktif, dan pengujian teori serta analisis yang selalu bersifat kuantitatif. Dengan menggunakan pendekatan yang sama, tidak banyak cabang ilmu yang saat ini digolongkan sebagai cabang ilmu sosial yang dapat didekati. Beberapa cabang ilmu sosial yang dapat didekati dengan pendekatan ilmu eksakta hanyalah arkeologi, sejarah, ekonomi dan beserta cabang-cabangnya. Sayangnya, pendekatan yang sama tidak selalu berlaku dan sangat sulit didekati untuk ilmu-ilmu seperti filsafat, budaya, politik dan sejenisnya. Seperti penelitian budaya misalnya. Peneliti tidak akan mampu berada di luar objek yang ditelitinya. Menjadikan objek penelitian sebagai sesuatu yang independen juga menjadi tidak mungkin karena akan selalu tergantung dari sudut pandang sang peneliti itu sendiri. Oleh karena itu, menjadi sangat wajar jika pada masa lalu ranah sosial tidak diakui sebagai cabang ilmu sebagaimana layaknya ilmu eksakta.
Untuk mengakomodasi penelitian dalam bidang sosial, selanjutnya berkembang paradigma penelitian baru yang disebut dengan paradigma kualitatif. Ciri-ciri paradigma penelitian kualitatif antara lain; pendekatan bersifat konstruktif, naturalistis (interpretatif), atau perspektif pos modern, menekankan pada pemahaman mengenai masalah-masalah dalam kehidupan sosial berdasarkan kondisi realitas, realitas bersifat subjektif dan berdimensi banyak, peneliti berinteraksi dengan fakta yang diteliti, tidak bebas nilai dan bias, pendekatan induktif dan penyusunan teori dengan analisis kualitatif.
Sebagai dua buah paradigma yang berbeda, sering kali terjadi perdebatan di antara dua ilmuwan berbeda bidang ilmu tentang kesahihan paradigma yang digunakannya. Ilmuwan dari eksakta sering kali tetap tidak dapat menerima gagasan bahwasanya suatu hasil penelitian dapat diakui jika tidak bebas dari nilai dan bias terhadap tata nilai yang ada dalam diri si peneliti. Namun demikian, realitas bahwa kehidupan sosial tidak dapat lepas dari multi dimensi sudut pandang tidak dapat diingkari. Untuk menjembatani kedua paradigma ini, sering kali digunakan penelitian mixed method yang menggabungkan metodologi kualitatif dan kuantitatif. Seiring dengan perkembangan jaman, saat ini paradigma kualitatif dan juga mixed method sudah diakui sebagai metode yang sahih untuk menghasilkan karya tulis yang dapat diakui sebagai sebuah kebenaran, alias karya non-fiksi.
Dengan mendasarkan pada kaidah kebenaran menurut paradigma di atas, pertanyaan besar selanjutnya adalah apakah kitab suci agama dapat digolongkan menjadi karya fiksi atau non-fiksi?
Para theistic akan mengatakan bahwa kitab suci merupakan wahyu Tuhan dan merupakan kebenaran mutlak. Meski diklaim sebagai kebenaran mutlak, lucunya masing-masing kitab suci memiliki perbedaan dan kadang kala saling bertentang satu sama lainnya sehingga pada dasarnya sudah membantahkan klaim kebenaran mutlak itu sendiri. Sehingga tidaklah mengherankan jika di sisi yang lain, para Atheis akan mengatakan bahwa kitab suci hanyalah karya tulis imajinatif yang dipercayai sebagai kebenaran. Jika mau berkata jujur, kitab suci pada dasarnya tidak dapat dikategorikan sebagai karya fiksi atau non fiksi. Tetapi kedudukannya ada di antara keduanya sampai akhirnya dapat divalidasi dengan paradigma pendekatan yang ada.
Ajaran agama adalah ajaran multi disiplin ilmu. Ajaran agama ada yang bersinggungan dengan ilmu eksakta seperti misalnya penjabaran tentang alam material termasuk di dalamnya tata surya, ada aspek kehidupan sosial seperti nilai-nilai budaya dan ada juga hal-hal yang bersifat filosofis. Lalu bagaimana caranya agar kitab suci yang menjabarkan ajaran agama dapat masuk ke dalam karya non-fiksi? Sangat sederhana, bukalah kitab itu lebar-lebar untuk dipelajari dan dikaji dengan berbagai sudut bidang ilmu. Kitab suci bisa didekati secara historis dengan menggunakan disiplin ilmu sejarah. Kitab suci dapat didekati dengan ilmu eksakta untuk cabang-cabangnya yang bersinggungan dengan fenomena alam. Kitab suci juga dapat didekati dengan disiplin ilmu budaya dan linguistik. Sedangkan pernyataan-pernyataan filosofis dapat didekati dengan cabang ilmu filsafat.
Hanya saja pertanyaan selanjutnya adalah, siapkah kitab suci untuk dikaji dan diperdebatkan? Tidakkah akan ada yang menyatakan tindakan tersebut sebagai penodaan agama? Di sinilah letak kelemahan sejumlah penganut agama. Sebagian di antara mereka lebih menuhankan agama dan kitab suci itu sendiri dibandingkan Tuhan itu sendiri yang menyebabkan mereka seolah-olah mabuk. Kondisi mabuk tersebut pada akhirnya menyebabkan orang-orang tersebut sangat mudah diperalat untuk tujuan politik, ekonomi dan bahkan pemenuhan nafsu birahi atas dasar agama.
Meski hal yang sama juga terjadi di Hindu. Untungnya tidak terlalu parah mengingat Hindu sendiri pada dasarnya membenarkan pengujian kitab suci tanpa takut disebut sebagai penista agama. Salah satu cabang kitab Veda adalah Sankya. Sankya mengajarkan paradigma berpikir logis dan sistematis yang dapat dijadikan dasar dalam melakukan berbagai kajian, termasuk kajian filsafat ketuhanan. Sehingga tidaklah mengherankan jika diskusi, debat dan saling menyanggah kebenaran dalam Hindu sudah terjadi sejak jaman dulu kala di setiap guru kula-guru kula yang ada. Dengan keterbukaan untuk diuji, dan bahkan siap untuk diuji dengan menggunakan paradigma keilmuan modern menjadikan kitab suci Hindu Veda dapat dan siap diuji untuk membuktikan sebagai sebuah kitab yang layak dikatakan non-fiksi.
Lalu bagaimana dengan kitab suci Anda? Jika bersifat terbuka dan boleh dipertanyakan dan diuji melalui paradigma penelitian, maka ada kemungkinanbahwa kitab itu non-fiksi. Tapi jika tidak, maka berhati-hatilah.
Recent Comments