Mengubur mayat dengan alasan agar almarhum dapat bersemadhi (miyasa) di dalam Ibu Pertiwi adalah pola pikir berdasarkan kesadaran badan dan tidak mengerti dengan konsepsi atma sehingga mengutamakan kepentingan mayat. Mengapa demikian? Karena tidak pernah membaca Upanisad, Yama Purana Tatwa, Atma Tatwa maupun Atma Prasangsa.
Upanisad dan Yama Purana Tatwa memberi petunjuk tentang pembakaran mayat sebagai berikut:”Tapa tertinggi adalah meletakkan mayat di atas api pembakaran mayat” (Upanisad-Upanisad Utama Hal. 344). “Manusia diciptakan dari angkasa, jadi dia harus pulang ke angkasa (U.U.U Hal. 410) jangan ditahan dikuburan yang jorok agar rohnya tidak bersedih”.
Agar roh manusia dapat terbang naik ke angkasa maka roh itu memerlukan kendaraan. Citta Agni adalah kendaraan roh untuk terbang ke angkasa. Bila mayatnya dibakar disertai dengan upacara pembasmian dan doa mantra maka rohnya diterbangkan oleh Citta Agni naik menuju Matahari. Jika mayat dikubur sehingga tidak bisa terbang ke atas. Nasibnya seperti laying-layang yang ditambatkan di kuburan, melayang-layang hanya di sekitar kuburan. Menurut Yama Purana Tatwa bahwa jika lewat 3 tahun belum juga di aben, risikonya roh itu akan menjadi Bhuta Cuil atau Regek Tunggek yang disebut Hantu.
Yama Purana Tatwa memberi petunjuk sebagai berikut:
Jika ada orang meninggal dengan wajar, segera dibakar mayatnya dan jangan dikubur. Walaupun dengan banten ala kadarnya tanpa mempersembahkan “Tharpana” bakar saja secepatnya. Dengan demikian selamatlah roh itu dan keluarga yang mengupacarainya juga mendapat pahala keselamatan. Dalam Yama Purana Tatwa memang disediakan 8 jenis upacara pengabenan mulai dari yang paling sederhana yang disebut Swasta Gni sampai dengan yang paling meriah yang disebut Sawa Prateka atau Ngawangan. Mengenai “dewasa” upacara kematian ditentukan oleh Yama Purana Tatwa sebagai berikut: “dalam tempo paling lambat 7 hari dari sejak meninggal kapan saja boleh dilakukan pembakaran mayat”. Lebih cepat dilakukan lebih baik agar roh itu bisa segera pulang ke angkasa. Seperti anda sudah lama merantau, maka pada waktu tiba saatnya pulang ke rumah tentu anda ingin secepatnya tiba di rumah. Begitu pula roh ingin secepatnya pulang ke angkasa. Walaupun Swasta Gni itu amat sederhana. Tetapi pahalanya utama karena kedua-duanya mendapat pahala keselamatan yaitu roh yang diupacarai dan yang melakukan upacara. Seandainya mau lagi melakukan upacara susulan. Dapat dilakukan dihari ke 3, ke 12 dan ke 42 setelah upacara Swasta Gni dilakukan. Cukup dengan Agni Hotra dengan banten apa adanya tetapi diusahakan agar persembahan untuk roh dilengkapi dengan “secangkir susu campur madu, Thaarpana dan Dyus Kamaligi yang merupakan Prasadam, atau sisa persembaan kepada Tuhan”. Ketiga persembahan ini sangat diharapkan oleh roh almarhum. Traarpana berasal dari kata “Tha” yang artinya makanan dan “arpana” artinya persembahan. Thaarpana dapat dibuat dengan nasi dicampur susu, madu dan mentega. Persembahan ini memberi kepuasan kepada roh yang dalam waktu bertahun-tahun lamanya. Dyus Kamaligi adalah untuk mensucikan roh yang terbuat dari: pasucian 1 ceper, canang sari 2 ceper (usahakan bunganya yang harum), beras 4 warna 4 takir yaitu warna putih, merah 1 takir, kuning 1 takir dan hitam 1 takir, subeng yang dibuat dari janur 5, sisir dari janur 5, petat dari janur 5, bungkak nyuh gading kasturi 1, coblong berisi air bersih 1, kendi kecil berisi air bersih 1, periuk tanah kecil berisi palukatan-pabersihan 1 yang di atasnya di taruh “padma”, buu 1 dan Iis 1. itu semua diwadahi nyiru atau nare.
Untuk penyelenggaraannya minta bantuan kepada salah seorang Hotri (Pemimpin Agni Hotra) . Upacara persembahan kepada roh (leluhur) sebaiknya dilakukan pada jam 17.00-18.00 sore (waktu satwam). Jangan melakukannya pada malam hari karena waktu malam dibawah kekuasaan Raksasa agar persembahan itu tidak disabot oleh Raksasa (M. D. III. 280). Mengapa menyuguhkan makanan dan minuman kepada roh yang sudah tidak punya badan? Roh-roh di alam Pitara masih merasakan lapar dan dahaga makanya masih memerlukan persembahan berupa makanan dan minuman. Tetapi makanan dan minuman yang satwika dan jangan sembarang makanan atau minuman menurut selera anda.
Seandainya karena suatu hal tidak bisa dilakukan upacara pembakaran mayat sehingga lewat 7 (tujuh) hari dari sejak meninggal maka perlu memperhitungkan hari baik (dewasa).
Orang yang cerdas dan sudah dapat mempelajari ilmu atma (Atma Tatwa) lebih suka memilih pangabenan dengan Swasta Gni ini. Tetapi orang yang tidak pernah membaca Atma Tatwa, lebih suka memilih yang berhura-hura agar kelihatannya megah meriah. Walaupun dengan menjual tanah untuk membiayai upacara demi bergengsi di masyarakat. Yang penting agar orang lain kagum. Orang yang seperti itu dikatakan oleh para orang suci lebih mencintai yang mati daripada yang hidup. Pada waktu almarhum masih hidup tidak dihiraukan, tetapi setelah beliau mati barulah dibuatkan upacara besar-besaran dengan menjual tanah. Hasil penjualan tanahnya hanya sekian persen untuk biaya upacara, selebihnya adalah untuk membiayai gengsi agar orang lain kagum. Orang yang menjual tanah warisan dengan dalih apa pun, dikutuk oleh Ibu Pertiwi agar hidupnya berat seperti hewan beban dan akhirnya menjadi debu karena dia lahir ke dunia tidak membawa tanah.
Mengingat di zaman sekarang manusia di seluruh dunia dihadang oleh 4 tantangan global yaitu tantangan ekonomi yang semakin mencekik leher. Tantangan kesehatan yaitu berbagai penyakit yang secara diam-diam membunuh manusia. Tantangan intelektual yaitu orang-orang pandai amat egois merugikan rakyat kecil. Tantangan kerohanian yaitu keruntuhan moral yang membuat rakyat resah. Maka pandai-pandailah menyelamatkan diri dan keluarga masing-masing. Jika sastra agama yang sah udah menyediakan tatanan upacara yang sederhana, buat apa memakai yang rumit-rumit, karena biaya hidup semakin mahal dan tenaga serta waktu untuk mengerjakannya terbatas adanya.
Adat istiadat dan kepercayaan yang tidak bersumber pada kitab suci sebaiknya ditinggalkan agar anda tidak seperti I Godogan yang tiak tahu madu. Atau seperti sendok bakso yang tidak merasakan enaknya bakso, supaya anda tidak ikut menjadi “katak rebus”.
Intisari awig-awig Banjar yang adiluhung perlu dijungjung tinggi dan dilestarikan yang berbunyi: “paras-paros sagilik saguluk sarpanaya, salunglung sabaya antaka”. Jika kesepakatan ini di hormati dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat alangkah bahagianya kita hidup di Bali. Tidak ada gunanya saling kroyok sebab yang kalah masuk UGD, sedangkan yang menang masuk penjara. Yang kalah menjadi abu, yang menang menjadi arang.
Bali yang dikagumi oleh masyarakat dunia karena alamnya yang indah dan masyarakatnya yang ramah, seni budayanya nomor satu, patut dipelihara kelestariannya. Orang bali adalah penitisan para dewa makanya lahir di pulau dewata. Jagalah keharuman sifat-sifat dewa anda dan jangan dicemari oleh perilaku keraksasaan. Botol minuman yang ditempeli label dewa Gede, dewa Agung, dewa manis seyogyanya berisi minuman yang manis menyegarkan badan orang yang meminumnya. Jika minuman di dalam botol itu tidak manis, apalagi pahit dan pedas rasanya, itu namanya label palsu atau penipuan namanya. Pada waktu anda pamitan kepada Sang Hyang Prajapati untuk turun lahir di pulau dewata anda telah berjanji kepada Sang Hyang Prajapati bahwa anda sanggup melaksanakan 3 DA yaitu Dama, Dana dan Dayadwam. Dama artinya mampu menasehati diri sendiri, dana artinya dermawan dan dayadwam artinya welas asih kepada semua mahkluk hidup (U.U.U. Hal. 336). Ketiga DA inilah merupakan minuman yang manis bagi orang yang dahaga. Mungkin anda telah lupa dengan janji ini, sekaranglah lagi diingatkan oleh tulisan ini. Setelah diingatkan, mohon tidak “memengkung” (membandel) untuk melanggarnya karena orang yang ingkar janji adalah orang yang paling berdosa dan akibatnya sangat buruk menyengsarakan dalam sekian kali penitisan-penitisan anda yang akan datang. Syukur jika anda menitis menjadi manusia, tetapi ada kecenderungan akan jatuh menjadi binatang yang lemah jika terus mengingkari janji (3 DA). Begitu dinyatakan oleh sastra agama untuk intropeksi diri.
Semoga Ida Sang Hyang Widhi Wasa Asung kerta lugraha agar umat sedharma semua hidup makmur, aman, tentram, dan damai.
Oleh:
Jero Mangku Wayan Sumena
Jl. WR. Supratman Gang Gunung Batur No. 2
Kel. Kesiman, Denpara Timur
Tlp. 0361-223873, HP. 081 337 93 83 44.
Recent Comments