Tahun 2014, merupakan tahun politik bagi bangsa Indonesia. Pada tahun ini Indonesia dihadapkan pada memontum besar dalam suatu pesta demokrasi guna menentukan pemimpin bangsa selama lima tahun ke depan. Dalam sistem demokrasi, pemimpin dipilih oleh rakyat baik secara langsung maupun tidak langsung. Indonesia sendiri menganut sistem pemilihan langsung, yakni rakyat yang memiliki hak suara yang sama memilih secara langsung wakilnya di legislatif dan juga melakukan pemilihan langsung pada presidennya.
Beberapa bulan yang lalu Indonesia sudah menjatuhkan pilihannya pada wakilnya di legislatif. Para anggota legislatif terpilih akan bertindak atas nama rakyat dalam mengontrol segala tindak-tanduk pemerintah. Sedangkan pada tanggal 9 Juli 2014 rakyat Indonesia akan kembali dihadapkan pada memontum besar pesta demokrasi pemilihan presiden selaku kepala pemerintahan. Kontes pemilihan presiden yang diikuti oleh dua pasang kandidat ini terasa lebih seru dan lebih emosionil dibandingkan dengan pemilihan umum legislatif. Fenomena “unfriend” sangat banyak terjadi di jejaring sosial hanya karena fanatisme perbedaan dukungan. Semoga saja fenomena di media sosial ini tidak merambah ke kehidupan nyata.
Meski sebagai kelompok minoritas, tentu saja umat Hindu juga harus ikut menentukan pilihannya dengan bijak guna kebaikan bersama. Lalu, landasan apa yang harus umat Hindu gunakan dalam menentukan hak politiknya?
Dasar Politik Hindu
Demokrasi modern meletakkan pandangan bahwa kekuasaan terbesar terletak pada rakyat dan pemerintahan dilakukan oleh wakil rakyat yang dipilih berdasarkan suara terbanyak. Demokrasi modern meletakkan bobot suara secara merata. Bobot suara antara seorang profesor, seorang pemuka agama maupun seorang ahli ketatanegaraan adalah sama dengan seorang yang tidak berpendidikan, pelaku kriminal dan juga orang gila. Sehingga dengan demikian jika saja saat ini di negara ini populasi penduduk jahatnya lebih banyak dari pada penduduk baiknya, maka kemungkinan besar pemimpin terpilih juga jahat.
Ajaran Veda pada dasarnya tidak mengenal sistem pemerintahan bernegara yang berlandaskan pada demokrasi sebagaimana yang berlaku saat ini. Bahkan dalam sejarah Veda, tidak dikenal sistem pemerintahan dari rakyat. Veda hanya mengenal sistem pemerintahan monarki, atau kerajaan. Sistem pemerintahan dari rakyat hanya dikenal pada tataran kehidupan bermasayarakat terkecil. Namun demikian bukan berarti monarki dalam ajaran Veda berlaku secara absolut. Seorang pewaris tahta kerajaan tidak harus merupakan anak sang raja dan juga tidak harus merupakan anak sulung.
Dalam kisah Mahabharata saat Bisma selaku tetua kerajaan Bharata menetapkan putra mahkota kerajaan, tidak secara otomatis Drstaratha selaku putra sulung akhirnya terpilih. Putra mahkota malah diberikan kepada adiknya Pandu. Pandu sendiri bukan merupakan keturunan Bhisma yang merupakan pewaris kerajaan Astina yang paling sah. Pemilihan Pandu sebagai penerus tahta ini tentu saja bukan dilakukan secara diktaktor oleh Bhisma, namun melalui serangkaian diskusi yang dilakukan dengan segenap punggawa kerajaan dan juga para guru kerohanian. Pandu dipilih karena dia lebih memiliki kualifikasi dari pada kakaknya yang terlahir buta serta tidak menguasai ilmu-ilmu kemiliteran dan ketatanegaraan. Demikianlah secara ideal seorang pemimpin menurut Hindu harus dipilih dari sekian banyak pilihan orang-orang yang berkualifikasi. Pemilihannya pun tidak dilakukan oleh semua orang dengan bobot suara yang sama, tetapi dilakukan oleh punggawa dan guru-guru spiritual kerajaan dengan tetap menampung aspirasi dari rakyat jelata.
Dalam tataran pemerintahan terkecil yang masih hidup sampai saat ini di Bali, yaitu sistem “Banjar” dapat kita temukan sistem pemilihan pemimpin yang agak berbeda dengan sistem monarki. Tentu saja hal ini terjadi akibat dalam sistem banjar tidak ada yang namanya “wangsa” atau keluarga kerajaan. Secara garis besar sistem Banjar tampak serupa dengan sistem demokrasi modern. Pemimpin dan pengurus banjar dipilih berdasarkan suara terbanyak anggota Banjar yang biasanya satu keluarga diwakili oleh satu suara. Tetapi, yang tampak sangat berbeda adalah adanya peran orang suci seperti pemangku dan juga pedanda yang didudukkan pada tempat tertinggi oleh segenap warga Banjar. Orang-orang suci ini dapat memberikan wejangan dan arahan yang bahkan sama kuatnya dengan suara seluruh warga Banjar.
Dalil-dalil yang mendasari sistem politik atau kepemimpinan Hindu menyebar di banyak sloka-sloka Veda. Namun demikian, terdapat beberapa bagian Veda yang mengkhususkan pembahasan mengenai sistem pemerintahan ini. Kitab Dhanurveda yang merupakan turunan dari Yajur Veda dalam Catur Veda memberikan pemaparan yang sangat mendetail mulai dari ilmu tentang pemerintahan, ilmu militer, ilmu pertahanan dan juga tata kehidupan masyarakat sipil. Kitab lain seperti Niti Sastra yang disusun oleh Canakya Pandit juga menjabarkan secara panjang lebar mengenai tata kehidupan manusia yang didalamnya juga membahas mengenai sistem pemerintahan. Dari kitab-kitab utama Veda, selanjutnya di berbagai daerah muncul kitab-kitab pemerintahan yang bersifat turunan. Di Indonesia kita mengenal kitab Nagara Kerta Gama peninggalan kerajaan Majapahit yang sangat sarat dengan dasar-dasar filosofi ketatanegaraan berdasarkan Hindu.
Ketatanegaraan Berdasarkan Sistem Varna
Ketatanegaraan Hindu tidak bisa lepas dari sistem Varna. Sistem Varna adalah sistem yang dipandang secara inhern melekat pada setiap masyarakat manusia, baik masyarakat Hindu maupun non Hindu. Disadari atau tidak, masyarakat pada dasarnya terpecah menjadi empat golongan masyarakat, yaitu golongan Brahmana, golongan Ksatria, golongan Vaisya dan golongan Sudra.
Sistem penggolongan ini tidak sama dengan sistem Kasta atau sistem Wangsa. Sistem Kasta yang sering diidentikkan sebagai ajaran Hindu, sebenarnya bukan lah ajaran Hindu. Veda sebagai kitab suci Hindu tidak pernah membenarkan bahwa pembagian golongan dalam masyarakat bersifat turun temurun berdasarkan hubungan darah. Kasta yang dituduhkan pada masyarakat Hindu berawal dari kedatangan Bangsa Portugis yang mengarungi samudra ke dunia timur berdasarkan semangat Gold (memperoleh kekayaan) Glory (memperoleh kejayaan) dan Gospel (penyebaran agama/ penginjilan). Caste dalam sejarah Portugis sudah berlangsung lama akibat proses feodalisme. Bahkan feodalisme ini terjadi pada semua sejarah masyarakat dunia. Di Inggris muncul penggolongan masyarakat secara vertikal dengan membedakan namanya seperti Sir, Lord, Duke, dan sebagainya. Gelar-gelar kebangsawanan Teuku dan Cut masih diterapkan secara kental di Aceh. Dan di Jawa sendiri juga diterapkan dalam pemberian nama Raden, Kanjeng Dalem dan sebagainya. Namun dalam perkembangannya akibat kebodohan para penganut Hindu sendiri menyebabkan seolah-olah mereka memahami sistem Varna sebagai sistem Kasta.
Menurut Bhagavad Gita 4.13, seseorang masuk Varna tertentu ditentukan oleh:
- Guna (sifat, watak, tabiat, perangai atau ciri) yang melekat pada diri pribadinya.
- Karma (pekerjaan atau profesi).
Jika seseorang memiliki sifat kebrahmanaan dan dalam kehidupannya memiliki profesi sebagai seorang spiritualis, pemikir, ilmuwan, dengan memiliki kualifikasi; kedamaian hati (samah), terkendali diri (damah), kesederhanaan (täpah), kesucian (saucam), toleransi (ksantir), kejujuran (arjavam), berpengetahuan rohani (jïänam), bijaksana. (vijïänam), agamis (astikyam), berpuas hati (santosah), pengampun (ksanthih), bhakti kepada Tuhan (bhakti), dan kasih sayang (daya) (sesuai Bhagavad Gita 18.42 dan Bhagavata Purana 11.17.16). maka dia dapat dikatakan sebagai seorang Brahmana. Namun jika dia memiliki karakter kepahlawanan (sauryam), berwibawa (tejah), teguh hati (dhrtih), penuh inisiatip (daksyam), keberanian bertempur (yuddha), murah hati (danam), berjéva pemimpin (isvara), kuat fisik (balam), toleransi (titisah), dan pengabdian kepada kaum Brahmana (brahmanyam) (sesuai Bhagavad Gita 18.43 dan Bhagavata Purana 11.17.17) serta berprofesi sebagai administrator negara, tentara dan sejenisnya, maka dia disebut sebagai kesatria. Jika orang yang punya kegiatan membajak sawah atau ladang (krsi), memelihara sapi (go raksya), berdagang (vanijyam), berpegang teguh pada kebudayaan Veda (astikyam), selalu semangat beramal (dana nistha), tidak munafik (adambhah), melayani kaum Brahmana (brahma sevanam), dan semangat mengumpulkan kekayaan (atustir arthopayacair) (sesuai Bhagavad Gita 18.44 dan Bhagavata Purana 11.17.18) maka dia disebut sebagai Vaisya. Sedangkan seorang disebut Sudra atau kaum buruh jika dia melayani dan membantu (paricara) orang lain sesuai dengan keakhlian secara tulus, khususnya melayani para Brahmana, sapi, para dewa dan pihak lain yang layak dihormati, selalu berpuas hati dengan seberapa pun banyaknya upah yang diperoleh dari kegiatan membantu dan melayani demikian (tatra labdhena santosah) (sesuai Bhagavad Gita 18.44 dan Bhagavata Purana 11.17.19). Diluar keempat golongan ini, masih dikenal satu golongan lagi, yaitu masyarakat Candala. Masyarakat Candala (lihat Bhagavata Purana 11.17.20) adalah mereka yang tidak mengikuti prinsip-prinsip moral dharma, berupa; tidak melakukan tindak kekerasan (ahimsa), berpegang teguh pada kejujuran (satyaam), tidak mencuri dan korupsi (asteyam), selalu berbuat untuk kesejahteraan semua makhluk lain (bhuta priya hitehaca), dan membebaskan diri dari nafsu, kemarahan dan keserakahan (akama krodha lobhasa) (sesuai Bhagavata Purana 11.17.21).
Ajaran Veda mendorong setiap orang bekerja secara profesional dalam Varnanya masing-masing dengan setia menjalankan hak dan kewajibannya tanpa mengambil hak dan kewajiban orang lain. Sehingga dengan demikian, seseorang yang sudah memutuskan jalan hidupnya sebagai seorang brahmana, seyogyanya tetap melakukan profesi dan sikap hidup kebrahmanaan. Sedangkan jika dia adalah seorang penghibur seperti artis, pesulap, pemusik yang termasuk golongan sudra, maka sebaiknya dia profesional dalam bidangnya tanpa harus tertarik untuk mencalonkan diri sebagai anggota dewan, apa lagi pemimpin pemerintahan.
Ketidakprofesionalan Pemimpin Negara
Saat ini sangat jelas terlihat bahwa pemimpin negara kita sangat tidak profesional. Kepemimpinan saat ini lebih banyak mengedepankan popularitas dari pada profesionalitas. Banyak artis yang akhirnya terjun ke dunia politik hanya berbekal kecantikan, ketampanan dan popularitasnya. Banyak juga para pemimpin keagamaan dan pengusaha yang mencoba keberuntungan dalam sistem politik praktis. Celakanya, akibat masyarakat lebih familiar dengan sinetron dan entertaiment, maka yang memiliki elektabilitas tinggi umumnya adalah para artis dan para pemimpin keagamaan kondang yang terkenal bukan karena sifatnya, tetapi lebih karena dipopulerkan oleh media.
Bayangkan apa jadinya negara yang dipimpin bukan oleh seorang yang berjiwa Ksatria? Apa jadinya jika para Brahmana tidak lagi menjadi penasehat pemerintahan, tetapi mencoba ikut terjun dalam kekuasaan? Tentu saja semua prinsip-prinsip dharma hancur di tangan mereka bukan? Kursi kekuasaan pada akhirnya hanya akan menjadi dagelan, panggung adu mulut dan akhirnya hanya menjadi konsumsi entertaiment masyarakat.
Seorang pemimpin harus dibentuk, bukan dilahirkan. Dengan dasar prinsip ini, Veda mengenal istilah Catur Asrama. Catur Asrama merupakan empat tahapan tingkatan hidup yang harus dilalui manusia normal. Keempat tingkatan hidup tersebut adalah; Brahmacari (masa menuntut ilmu pengetahuan), Grhasta (masa berumah tangga), Vanaprastha (masa mengasingkan diri dari hiruk pikuk duniawi) dan Sanyasi atau Bhiksuka (masa melepaskan diri dari ikatan keduniawian). Dengan filosofi Catur Asrama ini, tradisi Veda akan mendorong setiap anak untuk masuk dalam sistem pendidikan tradisional Guru Kula. Dengan memasuki kehidupan Guru Kula ini, seorang anak harus tinggal berpisah dari orang tuanya dan menetap bersama gurunya di Asrama Guru Kula. Sang guru yang bonafide akan melihat kecenderungan karakter Varna dari anak-anak didiknya. Jika sang guru melihat sang anak didik berjiwa Brahmana, maka beliau akan lebih menekankan ilmu agama kepadanya. Demikian juga jika anak didik lebih condong pada Ksatria, maka sang guru akan menekankan pemberian ilmu pemerintahan dan militer kepadanya. Seorang murid baru akan dinyatakan lulus dan boleh meninggalkan Guru Kula jika murid tersebut lulus ujian dan dinyatakan layak oleh gurunya untuk dikirim kembali ke orang tuanya.
Tradisi Veda hanya membenarkan jika seorang raja, perdana menteri dan segenap punggawa dan prajurit kerajaan diduduki oleh seorang yang dalam masa brahmacarinya memang dididik untuk menduduki pos-pos tersebut. Sementara itu, dalam tatanan pemerintahan kita di Indonesia saat ini tatanan seerti ini sudah tidak dapat dipertahankan lagi. Jangankan memilih pemimpin sesuai dengan Varnanya, memilih pemimpin yang menjalankan prinsip-prinsip dharma saja susah. Masih sangat banyak pemimpin dan calon pemimpin kita adalah golongan Candala. Tentu saja jika golongan Candala terpilih menjadi pemimpin, kita harus berkaca pada diri kita sendiri karena mungkin kita sendiri atau mungkin sebagian besar dari kita memang tergolong sebagai candala dan jauh dari prinsip dharma. Karena bagaimanapun seperti pepatah mengatakan, burung gagak akan selalu berkumpul dengan burung gagak dan burung kuntul selalu berkumpul dengan burung kuntul. Jadi rakyat yang baik pasti akan mendapatkan pemimpin yang baik, tetapi rakyat yang buruk akan mendapatkan pemimpin yang buruk.
Kriteria Seorang Pemimpin
Mencari seorang pemimpin ideal di Kali Yuga ini memang bukan suatu hal yang gampang. Veda sudah menjelaskan bahwa saat ini orang yang masih berpegang pada ajaran Dharma hanya sekitar 25% saja, selebihnya adalah orang-orang adharma. Namun demikian, bagaikan siang yang berganti malam, bukan berarti kita harus berpasrah diri pada kegelapan malam yang menyelimuti. Sebagai mahluk hidup yang dibekali dengan akal budi dan pikiran, kita harus dapat menyalakan lentera untuk sedikit menerangi kegelapan yang sedang melanda. Meski lentera tersebut tidak dapat menerangi sejauh mata memandang, namun setidaknya lentera tersebut masih dapat memandu kita melihat alam sekitar sejauh jangkauan tangan.
Dalam menghadapi pilihan sulit sistem demokrasi yang menghadapkan kita pada calon-calon pemimpin tidak ideal, kita juga harus mengambil keputusan dengan memilih yang terbaik walau diantara yang terburuk. Pilihan kita juga akan turut serta menentukan nasib bangsa ini dan juga para pengikut Veda khususnya di masa depan.
Veda memberikan banyak tuntunan kriteria seorang pemimpin yang baik. Disamping memiliki karakter Ksatria seperti yang telah disampikan di atas, seorang pemimpin setidaknya memiliki kualifikasi dharma, yaitu mampu melaksanakan Panca Yama Bratha dan juga Panca Nyama Bratha. Kitab Ramayana juga memberikan tuntutan bahwasanya pemimpin yang baik harus memiliki karakter sebagaimana disampaikan dalam Asta Bratha.
Tentukan Pilihan Anda dengan Bijak
Akhir kata, mengingat pentingnya posisi seorang pemimpin yang akan sangat berpengaruh terhadap segala arah kebijakan bangsa ke depannya, maka bagi anda yang memiliki hak pilih, tentukanlah pilihan anda dengan bijak. Pilihlah pemimpin yang setidaknya memiliki bobot nilai-nilai kepemimpinan yang mendekati dengan prinsip-prinsip kepemimpinan dan politik yang disampaikan dalam Veda.
Recent Comments