Murid: Apa yang dimaksud dengan jiva Guru?
Guru: Secara umum, jiva juga disebut dengan roh, yaitu sesuatu yang menghidupi badan jasmani ini. Jiva berasal dari kata jiv yang berarti menghidupkan. Karena ada jiva dalam badan jasmani, maka badan jasmani hidup dan aktif melakukan berbagai kegiatan.
Murid: Lalu bagaimana dengan atman, Guru?
Guru: Atman adalah salah satu sebutan lain dari jiva. Selain disebut sebagai Atman, jiva juga bisa disebut sebagai brahman, purusa, kesetrajna dan isvara. Disebut atma karena ia adalah roh individual rohani abadi yang tidak terlibat secara material, tetapi keberadaannya dibuktikan berdasarkan logika dan filsafat. Dikatakan brahman, karena ia adalah roh individual nan kekal yang berhakekat spiritual dan diketahui ada berdasarkan proses keinsyafan diri. Disebut purusa, karena ia bertindak sebagai penikmat dan penderita atas kegiatan badan jasmani yang dihuninya. Dan disebut isvara karena ia mengendalikan badan jasmani.
Murid: Dibagian badan jasmani yang mana jiva itu berada?
Guru: Jiva dikatakan berada di dalam jantung. “Hrdi sarvasya visthitam, ia berada di dalam hati setiap orang (Bg. 13.18). Hrd-dese’ rjuna tisthati, ia berada di dalam hati setiap orang (Bg. 18.61). Dikatakan lebih lanjut bahwa sang jiva berada di dalam hati bersama paramatma (Tuhan) – Katha Upanisad 1.2.20, Svetasvatara Upanisad 4.7 dan Mundaka Upanisad 3.12.
Murid: Bagaimana dengan sifat-sifat dan ciri sang jiva?
Guru: Sifat dan ciri sang jiva disebutkan dalam Bhagavad Gita 2.12-30, yaitu sebagai berikut; tak termusnahkan (avinasi), abadi (avyayam), kekal (nityam), tak terhancurkan (anasinah), tak terukur secara material (aprameyam), tak terlahirkan (ajah) permanen (sasvatah), ada sejak dahulu kala (puranah), tak terlukai senjata apa pun (na cindanti çastrani), tak terbakar oleh api (na dahati pavakah), tak terbasahi oleh air (na kledayanti apah), tak terkeringkan oleh angin (na sosayati marutah), tidak bisa dipotong-potong/dipecah-pecah (acedyah), tidak bisa dibakar (adahyah), tidak larut ke dalam air (akledyah), tidak terkeringkan (asosyah), bisa berada di mana (sarva-gatah), tidak pernah berobah (sthanuh), tak tergerakkan (acalah), selamanya sama (sanatanah),tak berwujud material (avyaktah) tak terpahami secara material (acintyah), tidak pernah berubah (avikaryah) dan tak bisa dibunuh (avadyah)
Murid: Bisakah anda menjelaskan berapa ukuran sang jiva?
Guru: Dalam Svetasvatara Upanisad 5.9 dikatakan bahwa sang jiva berukuran 1/10.000 ujung rambut. Dalam Mundaka Upanisad 3.1.9 dikatakan bahwa sang jiva mengambang di dalam lima macam udara, yaitu prana, apana, vyana, samana dan udana di dalam jantung badan jasmani. Jika sang jiva tersucikan dari kotoran lima macam udara ini, maka hakekat spiritualnya terungkap.
Murid: Bagaimana hubungan antara jiva dengan badan jasmani yang dihuninya?
Guru: Dalam Bhagavad Gita dinyatakan bahwa badan jasmani adalah ibarat pakaian bagi sang jiva (Bg. 2.22). Badan jasmani juga diibaratkan sebagai kereta bagi sang jiva untuk menikmati kesenangan material dalam pengembaraannya di dunia fana (Bg. 18.61). Jadi, baju atau pun kendaraan adalah sarana bagi sang jiva dalam usahanya hidup bahagia di alam material.
Murid: Itu berarti diri sejati setiap orang adalah jiva yang spiritual abadi, bukan badan jasmani yang material dan sementara. Apakah demikian Guru?
Guru: Betul, memang demikianlah. Kesimpulannya, “Aku adalah jiva spiritual abadi dan bukan badan jasmani yang material dan sementara dengan nama si Anu” adalah pondasi keinsyafan diri. Veda berulang kali mengingatkan setiap orang pada kebenaran ini dengan ungkapan-ungkapan berikut. “Aham brahmasmi, aku adalah roh spiritual abadi (Brhad Aranyaka Upanisad 1.4.10), Tat tvam asi, anda adalah jiva rohani nan kekal (Candogya Upanisad 6.8.7). So’ham asmi, aku adalah jiva spiritual abadi (Isa Upanisad mantra 16).
Murid: Bagaimana caranya agar kita bisa paham dan sadar bahwa kita adalah jiva spiritual yang abadi, bukan badan material ini?
Guru: Sebenarnya mudah sekali. Setiap orang berkata bahwa “ini badan saya, ini telinga dan mata saya, ini kaki saya” dan seterusnya. Ini berarti bahwa “saya” adalah pemilik badan jasmani. Dan “saya” adalah sang jiva yang menghuni badan jasmani dan menyebabkan badan jasmani hidup dan melakukan kegiatan.
Murid: Lalu kenapa kita harus menginsyafi bahwa kita adalah sang jiva, bukan badan jasmani ini?
Guru: Keinsyafan akan pengetahuan bahwa kita adalah jiva abadi sejati, bukan badan material adalah kebenaran yang akan menuntun kita mencapai mukti, kelepasan dari kehiduapn material dunia fana yang selalu menyengsarakan. Menurut Veda, selama seseorang tidak insyaf diri dan tidak peduli bahwa dirinya sejati adalah jiva spiritual abadi, maka dia dikatakan berada dalam kebodohan (avidya), tidak perduli bagaimanapun tingginya pendidikan material dan gelar akademik yang telah dicapainya. Kebodohan ini menyebabkan seseorang hanya sibuk memuaskan indriya jasmani sehingga terus terperangkap dalam lingkaran samsara, kelahiran dan kematian berulang-ulang di dunia material.
Murid: Bagaimana hubungan sang jiva dengan Tuhan?
Guru: Jiva yang jumlahnya tidak terhitung adalah tenaga marginal (tatastha-sakti) Sri Bhagavan, Kepribadian Tuhan Yang Maha Esa Krishna. Disebut tenaga marginal, karena sang jiva bisa berada di alam material atau di alam spiritual. Jiva juga disebut para-prakrti, tenaga yang lebih tinggi dari materi, sebab ia memiliki kemampuan memanipulasi materi (apara-prakrti) untuk kesenangannya sendiri (perhatikan Bg. 7.5)
Murid: Bagaimana kedudukan sang jiva sebagai tenaga (sakti) Tuhan, Sri Krishna?
Guru: Sang jiva selamanya berada di bawah pengendalian Tuhan. Jiva adalah para-prakrti, tenaga yang lebih tinggi. Sedangkan materi adalah apara-prakrti, tenaga yang lebih rendah. Keduanya berada di bawah pengendalian Sri Bhagavan, Kepribadian Tuhan Yang Maha Esa Sri Krishna. Beliau berkata, “Mayadhyaksena prakrtih, kedua prakrti ini berada di bawah kendaliKu” (Bg.9.10). Dengan kata lain, segala mahluk hidup dan alam material dikendalikan oleh Tuhan. Begitu pula badan jasmani yang dihuni sang jiva ini berada di bawah kendali Tuhan.
Murid: Jikalau sang jiva berkedudukan di bawah kendali Tuhan, itu berarti ia harus tunduk pada aturan, kehendak dan kemauan Tuhan. Bukankah demikian Guru?
Guru: Memang demikian! Berkedudukan di bawah kendali Tuhan berarti sang jiva adalah pelayan kekal Tuhan. Inilah kedudukan dasar (constitutional position) sang jiva. Karena itu dikatakan, sang mahluk hidup adalah sebagai pelayan kekal Tuhan Krishna (CC Madhya-Lila 20.108). Ekale isvara krsna ara saba bhrtya, pengendali hanya satu yakni Sri Krishna, semua mahluk lain adalah pelayan (CC Adi-lila 5.142).
Murid: Dapatkah anda menjelaskan tentang kedudukan dasar (svarupa) sang jiva sebagai pelayan Tuhan?
Guru: Pelayanan adalah dharma sang jiva, seperti halnya rasa manis adalah dharmanya gula, atau rasa asin adalah dharmanya garam. Di sini dharma berarti sifat atau ciri utama yang ada dan tidak terpisahkan dari suatu objek dan menyebabkan objek itu memiliki nama atau sebutan tertentu. Begitulah, karena memiliki rasa manis, maka benda itu disebut gula. Karena rasa asin, maka benda itu disebut garam. Karena memiliki kemampuan membakar, maka disebut api. Begitu pula karena berhakekat melayani, maka mahluk hidup disebut jiva.
Murid: Saya belum begitu paham tentang dharma sang jiva sebagai pelayan Tuhan. Dapatkah anda menjelaskan dengan contoh praktis dalam kehidupan ini?
Guru: Setiap orang sesuanggungnya adalah pelayan, tidak peduli apapun dan bagaimanapun kedudukannya di masyarakat. Presiden melayani Negara, Gubernur melayani provinsi, kades melayani masyarakat desa, istri melayani suami, suami melayani keluarga, anak melayani orang tua dan demikian juga sebaliknya. Semua pelayanan ini bersifat material dan tidak sungguh-sungguh membahagiakan. Tetapi pelayanan kepada Sri Bhagavan, Kepribadian Tuhan Yang Maha Esa bersifat kekal dan sungguh-sungguh membahagiakan karena berhakekat spiritual.
Murid: Tetapi hampir semua orang di masyarakat berpikir bahwa dirinya bukan pelayan, sebab mereka bisa melakukan kegiatan sesuai dengan keinginannya. Lalu bagaimana komentar anda mengenai hal ini Guru?
Guru: Mereka berpikir demikian karena tidak pernah mau merenungi hakekat hidupnya. Bukankah setiap orang diikat kuat oleh tugas kewajiban hidupnya sendiri agar bisa hidup? Jikalau seseorang berpikir bahwa dirinya tidak melayani siapapun, maka dia berpikir secara bodoh. Dia tidak sadar bahwa dirinya sibuk bekerja melayani indriya-indrya badan jasmaninya, sehingga dia menjadi go-dosa, budak indrya-indrya jasmani.
Murid: Anda telah menjelaskan bahwa sang jiva adalah tatastha sakti, tenaga marginal Tuhan Krishna. Apakah jiva sebagai tenaga Tuhan berwujud atau tidak berwujud?
Guru: Dalam Bhagavad Gita, Sri Krishna berkata; “Mamaivamso jiva loke jiva bhuta sanatanah, sang mahluk hidup yang jatuh dan terperangkap di alam material adalah bagian percikan kecil terpisah (amsah) nan abadi dariKu” (Bg. 15.7). Sri Krishna adalah kepribadian spiritual abadi paling utama (Purusottama) dengan potensi tak terbatas. Sebagai percikan kecil terpisah dariNya, sang jiva pun adalah kepribadian spiritual nan kekal (purusa), tetapi dengan potensi yang kecil dan terbatas. Dengan kata lain, sang jiva adalah individu spiritual kekal nan sadar dan berpotensi terbatas, dan merupakan bagian dari keberadaan Tuhan.
Murid: Apakah Sastra Veda memang mengatakan bahwa Jiva adalah individu yang spiritual nan kekal?
Guru: Ya, sebab Tuhan Sri Krishna berkata, “na tu evaham jatu nasam natvam neme janadhipah na caiva na bhavisyamah sarve vayam atah param, tidak pernah ada saat pada masa lalu ketika Aku tidak ada, anda tidak ada, dan juga semua raja ini tidak ada. Dan pada masa mendatang, tidak satu pun dari kita akan berhenti ada” (Bg. 2.12).
Murid: Dapatkah anda memberikan analogi yang menjelaskan bahwa jiva adalah amsa, perbanyakan kecil terpisah dari Tuhan?
Guru: Jikalau Kepribadian Tuhan Yang Maha Esa Krishna diibaratkan sebagai matahari, maka para jiva yang jumlahnya tidak terhitung adalah foton cahaya matahari tersebut yang merupakan partikel terkecil dalam dualism cahaya yang bersifat sebagai energi dan juga partikel. Cahaya Matahari adalah percikan-percikan amat kecil dari Matahari. Seperti itulah keberadaan Jiva dalam hubungannya dengan Tuhan.
Murid: Anda telah menjelaskan bahwa ukuran sang jiva adalah sepersepuluh ribu ujung rambut, dan bahwa jiva yang amat kecil ini adalah individu spiritual nan kekal dan sadar. Lalu bagaimana kita bisa mengerti bahwa jiva yang amat kecil ini bisa menghidupkan dan menggerakkan badan jasmani yang jauh lebih besar darinya sendiri?
Guru: Sebelumnya saya sudah menjelaskan bahwa badan jasmani adalah bagaikan kendaraan dan sang jiva adalah pengemudinya. Seseorang pengemudi dengan mudah menjalankan kendaraan dengan menuruti aturan dan mekanisme mengemudi, meskipun kendaraan itu jauh lebih besar dari dirinya.
Murid: Lalu kapankah sang jiva diciptakan oleh Tuhan?
Guru: Jiva sudah ada sejak Tuhan ada , sebab ia adalah tenaga marginal(tatastha sakti) Beliau. Oleh karena Tuhan adalah anadi, tanpa awal, maka sang jiva pun adalah anadi, tanpa awal pula (perhatikan Bg. 13.20). Jadi sang jiva yang spiritual tidak pernah diciptakan. Istilah “diciptakan” hanya terkait dengan hal-hal material.
Murid: Ada berapa jenis jiva disebutkan dalam Veda?
Guru: Ada dua jenis jiva yaitu: a. Jiva yang jatuh dan tinggal menderita di dunia fana, disebut ksara atau nitya baddha. B. Jiva yang tinggal di dunia rohani dalam kebahagiaan, disebut aksara atau nitya mukta.
Murid: Apakah sebabnya sang jiva jatuh dan menderita di alam fana?
Guru: Salah satu dari enam ciri ke-Tuhan-an Sri Bhagavan, Kepribadian Tuhan Yang Maha Esa Krishna adalah Beliau Maha Bebas atau Maha Merdeka. Sebagai bagian/percikan kecil dai diriNya, sang jiva pun memiliki kebebasan atau kemerdekaan, tetapi kebebasan atau kemerdekaan kecil dan terbatas. Kebebasan ini berupa pilihan, melayani Tuhan atau tidak melayani Beliau di dunia rohani. Karena itu, sang jiva diberikan tempat tinggal di alam material dimana ia bisa menikmati secara terpisah dari Tuhan.
Murid: Jadi sang jiva jatuh ke dunia fana karena ingin menikmati sendiri tanpa Tuhan, Begitu?
Guru: Ya, sang jiva memendam iccha, keinginan menikmati sendiri, dan dvesa, keengganan melayani Tuha di dunia rohani. Dikatakan, “ Iccha dvesa samutthena sarge yanti parantapa, karena ingin menikmati sendiri dan enggan melayani Tuhan di dunia rohani, maka sang makhluk hidup (jiva) jatuh ke alam material, O penakluk musuh” (Bg. 7. 27).
Murid: Tetapi banyak orang yang mengaku beragama merasa tidak pernah memiliki keinginan menikmati tanpa Tuhan, apalagi keengganan melayani Beliau. Lalu bagaimana komentar anda Guru?
Guru: Kelupaan adalah ciri pokok sang jiva yang kecil dan berpotensi terbatas. Saya dan anda tidak ingat kegiatan apa yang kita lakukan pada hari yang sama setahun yang lalu, apalagi kegiatan-kegiatan dalam masa penjelmaan sebelumnya. Begitulah, karena telah lupa bahwa dahulu dirinya pernah berbuat dosa yaitu melanggar aturan kehidupan di dunia rohani dengan tidak mau melayani Tuhan di sana sehingga jatuh ke dunia fana, maka orang-orang yang umumnya buta dan tuli kitab suci (Veda) ini berperasaan seperti itu.
Murid: Benarkah sang jiva yang jatuh ke dunia fana bebas menikmati kesenangan material sesuai dengan keinginan tanpa bergantung kepada Sri Krishna?
Guru: Tidak! Sang jiva secara palsu berpikir bahwa dirinya bebas berkegiatan dalam ikhtiarnya hidup bahagia di alam fana dengan mengejar kesenangan material. Ini disebut khayalan. Sesungguhnya, ia diikat kuat oleh tali-tali halus maya, tenaga material (apara-prakrti) Tuhan Krishna. Begitulah, maya mengikat sang jiva dengan tiga tali halusnya yang disebut tri-guna. Sang jiva berkegiatan sesuai dengan arah tarikan unsur-unsur tri-guna ini.
Murid: Tali-tali halus maya disebut tri-guna. Diikat oleh tri-guna, sang jiva tidak bebas berkegiatan. Dapatkah dijelaskan tentang triguna ini yang mengikat sang jiva di dunia fana?
Guru: Tri-guna berarti tiga tali. Tiga tali maya nan halus ini lebih dikenal dengan sebutan “tiga sifat alam material” yaitu: a. Sifat sattvam (kebaikan), b. Sifat rajas (kenafsuan), dan c. Sifat tamas (kegelapan/kebodohan). Ketiga sifat alam material ini mengikat semua jiva di dunia fana.
Jika badan jasmani sang jiva didominasi oleh sifat sattvam, maka ia senang belajar ilmu pengetahuan dan filsafat, dan dikenal sebagai orang saleh, bajik dan berpengetahuan. Jika badan jasmani sang jiva didominasi oleh sifat rajas, maka ia sibuk bekerja untuk mendapatkan kekayaan material dan dikenal sebagai orang pamerih dan serakah. Dan jika sifat tamas mendominasi badan jasmani sang jiva, maka ia suka bermalas-malasan dan senang melakukan tindak kekerasan yang menyengsarakan makhluk lain, dan ia dikenal sebagai orang bodoh.
Murid: Tetapi mengapa setiap orang sama-sekali merasa tidak diikat oleh tri-guna, dan malahan dengan bangga berkata bahwa dirinya bebas berkegiatan?
Guru: Sebab mereka hampa pengetahuan spiritual Veda dan tidak insyaf diri. Cobalah renungi fakta-fakta berikut. Orang yang diliputi sifat sattvam berpendapat bahwa mendengar ceramah rohani sungguh bermanfaat. Karena itu, dia pergi ke Ashram untuk bertemu dengan sang guru kerohanian (acarya). Orang yang diliputi sifat rajas berpikir bahwa nonton “Beauty Contest” sambil makan dan minum sepuas-puasnya sungguh menyenangkan. Karena itu, dia pergi ke Hotel untuk menonton acara tersebut. Dan orang yang diliputi sifat tamas berpendapat bahwa rilek dan tidur sepuas-puasnya sungguh menyenangkan. Karena itu, dia tinggal di rumah saja bermalas-malasan. Semua fakta ini membuktikan bahwa sang jiva berbadan jasmani tidak bebas berkegiatan. Dia berkegiatan sesuai dengan unsur tri-guna yang paling dominan menyelimuti badan jasmaninya.
Murid: Saya melihat di masyarakat banyak orang menunjukkan prilaku, kesenangan dan kecendrungan berbeda dari waktu ke waktu. Mengapa begitu?
Guru: Dalam Bhagavad-gita (14.10) Tuhan Sri Krishna berkata bahwa ketiga sifat alam material ini selalu berusaha mendominasi satu dengan yang lain. Sifat alam sattvam (kebaikan) dominan menyelimuti diri seseorang jika dia sering bergaul dengan para rohaniawan (sadhu). Sifat alam rajas (kenafsuan) dominan menyelimuti diri seseorang jika dia sering bergaul dengan orang-orang bisnis. Dan sifat alam tamas (kegelapan) dominan menyelimuti diri seseorang jika dia sering bergaul dengan para pemabuk, perampok dan penjudi.
Jadi seseorang menunjukkan prilaku, kesenangan dan kecendrungan yang berbeda-beda dari waktu ke waktu karena kadar dominasi unsur-unsur triguna dalam dirinya berubah-ubah sesuai dengan macam pergaulan yang dilakukan, jenis ilmu pengetahuan yang dipelajari, jenis informasi tentang suatu hal yang diterimanya, dsb.
Oleh: Ngurah Heka Wikana (Dengan sedikit perubahan)
Saudaraku ijinkan saya bertanya…
jika ada perbuatan jahat yang dilakukan maka siapa yang bertanggung jawab terhadap akibat yang ditimbulkan dari perbuatan itu?
Dear Hendri
Kita mengenal hukum karma atau hukum aksi reaksi. Siapapun berbuat jahat, pasti si pembuat juga akan menerim hasil buruknya. Hanya saja hukum karma tidak selalu seperti kita memakan cabai dan langsung pedas. Hukum karma dibagi menjadi tiga, yaitu sancita karma phala, pralabda karma phala dan kryamana karma phala. Ada hasil perbuatan yang kita nikmati sekarang akibat perbuatan kita terdahulu. Ada hasil perbuatan yang langsung kita nikmati saat kita berbuat dan ada hasil perbuatan yang baru dapat kita nikmati di kehidupan di masa depan atau bahkan di bentuk kehidupan yang lain. Berbicara masalah karma maka tidak akan pernah bisa lepas dari reinkarnasi. Hal ini lah yang akan menjelaskan kenapa dalam kehidupan ini ada yang dilahirkan cacat dalam kehidupan melarat dan dinsatu sisi ada yang lahir tampan dan selama hidupnya penuh dengan kekayaan dan prestise sosial…
Hukum Karma menjadi Hukum Tertinggi di dunia material ini, tidak ada seorang pun bisa lepas dan tepat sasaran.
Lalu bagaimana selayaknya jiva agar bisa kembali ke alam roh yg benar Guru?
Dalam jaman Kali ini sangat dianjurkan untuk pengucapan nama-nama suci Tuhan, tiada jalan yang lain. Pengucapan nama-nama suci Tuhan ini bisa dilakukan secara personal maupun secara bersama-sama (Sankirtana).
Caitanya Caritamrta Adi Lila 7.76 :
harer nāma harer nāma
harer nāmaiva kevalam
kalau nāsty eva nāsty eva
nāsty eva gatir anyathā
Arti :
Untuk kemajuan spiritual di Zaman Kali ini, tidak ada jalan lain, tidak ada jalan lain, tidak ada jalan lain selain pengucapan nama suci, nama suci, nama suci Tuhan