Wiku Bang Bungalan menyatakan tentang kebaktian dengan jalan berupacara dengan mempersembahkan sesajen nilainya paling rendah dibandingkan dengan melaksanakan susila dan falsafah agama. Tetapi masyarakat berpendapat bahwa dengan mempersembahkan banten lah yang paling utama sehingga orang pada berlomba-lomba mempersembahkan banten dengan biaya puluhan juta bahkan ada yang sampai ratusan juta rupiah.
Salah satu keluarga di Desa Basang Bawak yang terdiri dari 4 jiwa yaitu Bapak, Ibu, anak laki-laki dan menantu. Mereka merencanakan membuat upacara “pacaruan” dengan harapan agar situasi rumah tangganya tenteram dan damai. Sang Ibu minta agar dicukupkan “pecaruan manca sato” (5 ekor ayam.), tetapi sang menantu bersikukuh agar “Ngarsi Gana” yang meriah diiringi dengan Gong. Sang Ibu pun dengan terpaksa menurutinya agar tidak terjadi pertengkaran dalam berupacara. Setelah terjadi kesepakatan, mulailah membuat banten dan pada hari “H” terselenggaralah upacara “pecaruan Ngaresi Gana”yang meriah dengan biaya 15 juta rupiah. Berselang beberapa bulan berikutnya situasi keluarga itu bukannya menjadi tenteram, tetapi sebaliknya malah bertambah kalut karena sang anak beralih profesi yaitu dari tukang bangunan menjadi “Bos Kafe”. Semenjak sang anak memiliki “perusahaan baru”, dia tidak pernah pulang ke rumah, karena siang malam sibuk mengurus cewek kafe. Dengan demikian istrinya merasa kecewa bercampur geram, sang Bapak dan Ibu pun kecewa berat. Selain tidak pernah pulang, malah sang anak tega mencuri sertifikat tanah orang tuanya untuk digadaikan. Setelah Ibunya mengetahui surat tanahnya digadaikan oleh anaknya, spontan ibunya naik pitam lalu melaporkan anaknya ke Polisi.
Dalam contoh kasus ini dengan jelas dapat dibandingkan antara nilai upacara dengan nilai susila. Sebesar apapun upacara itu dipersembahkan, bila perbuatan kita asusila maka hasilnya hanya keributan, kesusahan dan kesedihan.
Ada juga contoh sepasang pengantin yang sangat miskin. Untuk upacara “wiwaha”‘ (pernikahannya) mereka merencanakan dengan “banten beyakala” yang “kanista” (paling sederhana) dan hanya mengundang kalangan keluarga terdekat. Tetapi saudara-saudaranya malu dengan upacara “kanista” lalu pengantin itu didorong agar membuat upacara yang meriah serta mengundang seluruh anggota Banjar sebanyak 280 orang. Terpaksa pengantin itu melaksanakan upacara dengan jalan berhutang puluhan juta rupiah agar bisa membuat upacara yang meriah. Pada hari “H”, terselenggaralah upacara yang meriah. Lalu setelah selesai upacara, tibalah gilirannya menghitung-hitung hutang dan ada yang sudah mulai menagih pembayaran babi, itik, ayam potong dan lain-lain. Pengantin itu pun minta tolong kepada saudara-saudaranya untuk membantu membayarkan hutang, atau setidaknya diberi pinjaman uang untuk membayar bonan. Tetapi sayangnya tidak seorang pun di antara saudaranya yang mau memberi bantuan. Dengan demikian sang pengantin menjadi amat menyesal dan jengkel. Bahtera rumah tangganya mulai berlayar mengarungi samudra kehidupan yang baru diawali dengan muatan hutang yang berat. Karena mata pencariannya hanya sebagai buruh tani yang hanya kais pagi makan pagi, tentu tidak bisa membayar hutang dengan mudah. Sampai mereka memiliki 2 orang anak pun mereka belum mampu melunasi hutangnya. Pada suatu hari istrinya melihat tetangganya sedang menghitung setumpuk uang di warungnya sendirian. Situasi pada waktu itu sunyi senyap karena masyarakat sedang sembahyang di Pura. Pada waktu itulah sang istri memukul kepala tetangganya dari belakang dengan linggis sehingga tetangganya sempoyongan. Setelah korbannya sempoyongan, sang pelaku segera mengambil uang tersebut lalu kabur untuk disembunyikan di sawah. Sang korban aduh aduh kesakitan lalu didengar oleh tetangga yang terdekat sehingga banyak orang berdatangan dan bertanya apa yang terjadi. Singkat cerita dengan berbagai penyelidikan yang dilaksanakan akhirnya sang pelaku (istri pengantin) itu masuk penjara. Jadi upacara yang meriah pada kasus ini juga dikalahkan oleh perbuatan asusila.
Pada bulan Agustus 2006 di salah satu Desa Pakraman, umat Hindu merencanakan “ngaben ngerit”. Para peserta merencanakan hanya membuat satu “patulangan” yang berbentuk “bogem” atau kotak untuk dipakai bersama dalam rangka mewujudkan amanat “sagilik saguluk” di kalangan sesama anggota Krama Desa. Tetapi selang beberapa hari kemudian ada salah seorang yang mengajukan usul agar diperbolehkan membuat “patulangan” berbentuk “singa” dengan dalih tidak berani memakai “bogem”. Akhirnya dengan demikian situasi menjadi berubah, yaitu ada yang tetap memakai “bogem” tetapi banyak juga yang berlomba-lomba membuat “singa” dengan biaya antara 5 – 10 juta rupiah setiap ekor “singa”. Ada juga dari keluarga yang tergolong miskin lkut “jengah” sehingga ikut-ikutan membuat “singa” dengan harapan tidak kalah dengan yang lainnya. Setelah selesai upacara, uang sekian puluh juta rupiah yang berwujud “singa” sudah ledes dibakar. Lalu anaknya pun menuntut dibelikan sepeda motor dan HP untuk sarana bersekolah.
Begitulah, pada waktu “majengah jengahan” dalam upacara meriah tidak terpikirkan sama sekali tentang kepentingan anak bersekolah sehingga modal yang sangat terbatas diobral demi gengsi dengan dalih untuk berkorban. Setelah sekarang dituntut oleh anak, maka baru bingung. Karena wajib membiayai anak sekolah akhirnya 3 ekor sapi milik orang lain yang “dikadas” pun terpaksa dijual tanpa persetujuan si pemilik. Pemilik sapi tidak terima sapinya dijual tanpa ijin, lalu terpaksa sang pemilik sapi melaporkan kasus itu ke Polisi.
Begitulah, masih banyak contoh nyata kejadian (dalam kisah ini nama dan tempat disamarkan) tentang upacara yang meriah dikalahkan oleh perbuatan asusila. Cerita ini jangan diartikan menentang upacara. Sama sekali tidak ada maksud menentang kegiatan upacara. Upacara tetap penting dan harus kita laksanakan, tetapi yang dalam batas kewajaran dan tidak dalam keberpura-puraan agar tidak menjadi bumerang. Yang lebih penting dari aspek upacara itu adalah melaksanakan tata susila dan filsafat. Upacara harusnya menyesuaikan menurut kondisi masing-masing agar pelaksanaan agama menjadi enak, menyenangkan dan mendatangkan pahala sesuai dengan tujuannya (jagathita).
Pola pikir orang yang berupacara seperti ketiga contoh kasus yang disebut di atas mirip dengan kasus sebagaimana terjadi di satu desa di India. Diceritakan ada pemuka Agama menyelenggarakan upacara penting yang dihadiri oleh banyak undangan. Sang Yajamana memiliki seekor kucing yang sering mencuri makanan. Sejak hari H-2 kucing itu dimasukkan ke dalam keranjang dan ditaruh di dekat pajangan banten yang akan dipersembahkan dengan maksud agar kucing itu tidak merusak banten. Pada hari H-nya banyak tamu yang hadir di situ. Para tamu yang melihat ada kucing di dalam keranjang di dekat banten mengira bahwa jika mengadakan upacara seperti itu maka harus dilengkapi dengan kucing di dalam keranjang. Akhirnya, berselang beberapa bulan berikutnya salah seorang di antara tamu itu juga mengadakan upacara yang sama, tetapi dia tidak memiliki kucing. Karena mereka beranggapan bahwa harus ada kucing sebagai pelengkapnya, maka sang Yajamana sibuk mencari kucing ke sana ke mari dan akhirnya baru mendapatkan kucing pada hari H-2. Kucing itu pun dimasukkan ke dalam keranjang dan ditaruh di samping banten. Pada malam tepat sebelum upacara akan berlangsung, sang kucing itu kelaparan, dia berusaha sekuat tenaga merobek keranjang untuk bisa keluar. Tidak seorang pun mengetahui hal ini karena semua pada ketiduran. Setelah kucing itu berhasil meloloskan diri maka berpesta pora lah dia memakan apa saja yang ada pada banten tersebut sehingga banten itu porak-poranda. Setelah kenyang kucing itu lalu pergi menghilang. Besok paginya sang Yajamana bangun bersiap-siap akan menata banten untuk dipersembahkan. Tetapi dia amat terkejut setelah melihat bantennya amburadul. Segera dia memeriksa keranjang tetapi ternyata kucingnya sudah hilang.
Makna yang bisa dipetik dari cerita ini adalah, umat yang terlalu terpaku kepada upacara dan mengabaikan susila dan filsafat kebanyakan nasibnya mengenaskan. Upacaranya tidak mendatangkan pahala seperti yang diharapkan disebabkan oleh kucing-kucing bergengsi dan kucing kepura-puraan. Berpura-pura tulus “mayadnya”, tetapi di dalam hatinya adalah untuk bergengsi dan untuk pesta pora. Uang sudah banyak hangus untuk biaya upacara, tetapi pahala ketenteraman yang diharapkan tidak kunjung datang, malah sebaliknya kericuhan dan kesusahan yang datang. Orang yang tidak mau mendalami filsafat agama dan tidak mau praktek meditasi akan tersinggung membaca cerita ini. Boleh saja tersinggung dan silakan marah-marah. Bagi yang tersinggung dan marah itu artinya mereka secara tidak sadar membakar diri sendiri dan hanya menunggu waktu saja untuk jatuh sakit. Orang yang cepat tersinggung dan cepat marah tekanan darahnya cenderung tinggi. Tekanan darah yang tinggi bisa memicu strok yang ujung-ujungnya membawa pada Kematian.
Ada juga kisah Pak Gede Sur, orangnya sangat ulet berdagang sehingga ekonominya sangat maju. Setiap ngodalin dia mempersembahkan banten cukup meriah dan pada odalan tertentu dia menghaturkan banten “padudusan agung” yang lumayan besarnya. Tetapi di samping berdagang dia juga sebagai rentenir (lintah darat) sehingga ekonominya maju dengan pesat bisa membeli tanah di sana-sini di Denpasar. Setelah dia berumur 70 tahun, kegiatan rentenir itu masih dilakukannya lalu meminjam uang di salah satu Bank sebanyak 1 Milyar untuk modal rentenirnya. Karena sudah tua dan tidak lincah lagi maka uang 1 Milyar itu dipercayakan kepada iparnya untuk dibungakan. Sebulan, dua bulan, tiga bulan iparnya sangat lancar menyetorkan bunga uang yang lumayan besarnya yaitu 10% X 1 Milyar. Hal ini menyebabkan Pak Gede Sur sangat senang. Setelah menginjak bulan ke-4, tidak ada setoran sepeser pun dan akhirnya uang 1 Milyar itu dilarikan oleh iparnya alias lenyap. Seketika itu Pak Gede Sur shock, tidak bisa tidur, nafsu makan hilang dan akhirnya strok lalu digotong oleh anaknya dibawa ke rumah sakit. Hutang 1 Miliyar di Bank harus dilunasi. Agar bisa melunasi hutang tersebut, terpaksa dengan menjual tanah, semua tanahnya dijual dipakai melunasi hutang sehingga kekayaannya menjadi nol kosong. Kekayaan sudah ludes, badan lumpuh, pikiran terus susah dan sedih mengenang kehilangan uang 1 Milyar dan kehilangan tanah, hanya menunggu waktu saja untuk berangkat pulang ke alam baka berbekal perasaan sedih dan bukan berbekal kekayaan. Walaupun beliau sudah taat ngaturang banten piodalan madudus agung, tetapi begitulah kenyataannya bahwa haturan banten itu dikalahkan oleh perbuatan yang melanggar tata susila maupun filsafat. Menghaturkan banten sangat baik sekali, tetapi akan lebih baik lagi jika haturan itu tidak dicemari oleh perbuatan yang melanggar susila maupun melanggar filsafat agama.
Sekarang umat Hindu sedang berlomba untuk melakukan Kebaktian. Gerakan ini adalah baik sekali bila memang murni dari hati sanubari yang tulus. Tetapi jika diselidiki ternyata banyak juga yang sarat dengan muatan kepura-puraan yang menyebabkan umat yang miskin menjadi bertambah miskin. Contohnya kejadian di salah satu keluarga yang terdiri dari l0 KK hanya 1 KK yang masih punya sawah sedangkan yang 9 KK tidak punya sawah. Yang punya sawah usahanya sering jebol, beternak bebek jebol, beternak sapi jebol, terakhir dia beternak cewek kafe tetapi juga jebol sehingga banyak hutang. Untuk bisa melunasi hutangnya maka satu-satunya jalan adalah dengan menjual sawah warisan dari orang tuanya. Agar disetujui oleh ayahnya menjual sawah maka dia berdalih untuk memperbaiki sanggah. Karena sudah kadung “terkontaminasi” takut “kepongor”, sang orang tua pun setuju memperbaiki sanggahnya yang sejatinya masih bagus dengan sanggah model baru dengan batu lahat serba hitam. Merekapun kemudian berhitung masalah biaya, yaitu biaya bangunan sanggah dan biaya upacara “pamelaspas” dijumlahkan muncullah angka estimasi 50 juta. Biaya sebesar itu bukannya ditanggung sendiri oleh KK yang menjual sawah melainkan dibagi rata bersama l0 KK sehingga masing-masing KK diharuskan urunan Rp 5 juta. Akibat kepiawaiannya berbicara, KK yang lainnya yang tidak setuju pun akhirnya harus tunduk. Dengan demikian ada KK yang hanya punya 1 ekor sapi yang sangat diandalkan untuk membajak sawah, terpaksa dijual untuk membayar urunan. Dengan terjualnya sapi itu tentu menyebabkan KK itu menjadi semakin terpuruk secara ekonomi. Nasib KK yang seperti itu belum berhenti sampai di sana, dia juga kena urunan di Pura Dadiya dan di Pura Desa. Bila tidak mampu membayar urunan risikonya dipecat atau dikucilkan dari Adat. Begitulah nasib umat yang miskin di tengah-tengah galaunya upacara yang meriah. Mereka hanya bisa mengeluh meratapi nasibnya, tidak ada orang lain atau lembaga yang peduli dengannya membantu urunan, apalagi membelikan sapi untuk dipakai membajak sawah. KK yang seperti itu tentu sulit untuk bisa menyekolahkan anaknya sehingga semakin banyak anak-anak krama Bali yang putus sekolah. Anak-anak yang putus sekolah tentu akan menjadi calon orang miskin juga. Begitulah nasib umat Hindu yang miskin, tidak ada yang memperhatikan. Celakanya, ternyata kondisi ini menjadi incaran sedap para kaum misionaris Kristen. Mereka langsung memegang erat para krama Bali yang kesusahan ini. Dikasi indomie, dikasi uang dan bahkan ada yang dikasi calon istri atau suami. Anak-anaknya yang kesusahan disekolahkan gratis ke sekolah Kristen. Akhirnya, sangat disayangkan, sangat banyak krama Bali pindah ke Kristen dan tumbuh menjadi militan-militan Kristen yang gigih mengkristenisasi umat Hindu Bali yang lain. Lalu bagaimana tindakan krama Bali atau lembaga resmi Hindu Bali yang lain? Sama sekali tidak berbuat apa-apa. Mereka terlalu sibuk dengan upacara dan upacara. Sungguh menyedihkan dan miris melihatnya.
Ada lagi kisah di salah satu Desa Pekraman yang terdiri dari 80 KK nyungsung sebanyak 6 Unit Pura yang hari odalannya beruntun dari Pura pertama sampai yang keenam. Umat di situ mulai melaksanakan upacara dari Galungan kemudian pada Kuningan ngodalin di Pura pertama, berikutnya di Pura kedua, ketiga, keempat dan seterusnya sampai ke Pura keenam sampai akhirnya datanglah Galungan berikutnya setiap 6 bulan. Di samping harus nyungsung keenam Pura itu, umat di sana juga ngodalin di sanggahnya masing-masing, setiap ngodalin harus mengundang sanak famili untuk “mebat” sehingga biaya ngodalin menjadi relatif besar. Belum lagi urusan manusa yadnya, bhuta yadnya dan pitra yadnya, sehingga umat di desa itu boleh dikatakan tenggelam di dalam kegiatan berupacara sehingga tidak sempat untuk mendalami filsafat apalagi untuk memikirkan masa depan anak cucunya. Karena dari Galungan ke Galungan berikutnya dipadati dengan upacara ngodalin, tentu pembukuan keuangannya menjadi minus, sebab belum sempat mekuli untuk meningkatkan pendapatan, sudah datang lagi waktunya harus mengeluarkan biaya untuk berupacara. Untuk menutupi kekurangan biaya itu akhirnya terpaksa menjual tanah bagi yang masih punya tanah. Pernah ketika penulis jalan-jalan ke Desa itu menemukan di salah satu Gang ada papan kecil berisi tulisan “dijual tanah 15 Are hubungi Hp 081xxxxxxxx —–>tanda panah menunjuk ke arah lokasi tanah yang akan dijual.” Bagi yang tidak punya tanah, terpaksa meminjam dulu kepada sahabat terdekat. Bila kita jeli berpikir menurut filsafat agama maka semestinya umat di desa itu hidup sejahtera, tentram dan damai karena sudah terus-menerus mempersembahkan banten dengan meriah. Tetapi nyatanya semakin miskin dan keharmonisannya semakin goyah.
Begitulah faktanya jika mengabaikan filsafat agama yang diwahyukan dalam Veda dan di Bali dinyatakan kembali oleh oleh Wiku Bang Bungalan, bahwa kebaktian melalui upacara paling rendah nilainya. Wiku Bang Bungalan boleh saja dibantah, Beliau tidak ada untung dan tidak ada ruginya. Tetapi yang tidak percaya dengan wacana Wiku Bang Bungalan nyatanya bertambah miskin. Sama sekali tidak ada sloka suci dalam Veda yang menyuruh agar umatnya miskin. Semua memberi tuntunan agar umatnya sejahtera (jagadhita). Karena kita melaksanakan Agama menuruti dresta yang sudah kedaluwarsa dan mengabaikan kitab suci, maka begitulah jadinya. Masalah upacara sangat erat hubungannya dengan hukum ekonomi dan amat jauh dari rohani. Barang siapa mengabaikan hukum ekonomi di dalam berupacara pasti akan bangkrut. Orang yang mengaku berbakti dengan upacara sebenarnya adalah orang yang suka hura-hura dengan dalih beryadnya. Sama seperti orang yang menjual tanah untuk memperbaiki sanggah, sebenarnya adalah untuk membayar hutang hasil kehidupannya yang hura-hura dan tingkah lakunya yang adharma. Upacara hanyalah sarana menuju spiritual. Spiritual sendiri masih jauh dari itu semua. Spiritual adalah kondisi jika kita bisa menyadari spirit (jiva) dan hakekatnya terhadap Ia Yang Maha Mutlak.
Dikutip dengan perubahan dari karya tulis Jero Mangku Wayan Swena
Recent Comments