Setelah kerajaan Majapahit runtuh sekitar abad ke-15, Bali menjadi benteng terakhir bertahannya agama Hindu. Pada masa ini, Dang Hyang Nirartha yang berasal dari Majapahit diterima dan diangkat sebagai guru dan pendeta kerajaan pada masa pemerintahan raja Dalem Batur Enggong di Bali. Atas restu dari raja Dalem Batur Enggong, Dang Hyang Nirartha melakukan pembaharuan terhadap sistem sosial religius masyarakat Bali. Tatanan desa pakraman yang diperkenalkan oleh Mpu Kuturan pada abad ke-10 Masehi, diperbaharui oleh Dang Hyang Nirartha menjadi sistem wangsa yang secara luas lebih dikenal sebagai sistem kasta. Tujuannya adalah untuk mengukuhkan kekuasaan pemerintahan feodalisme yang dipengaruhi oleh pola kerajaan Majapahit. Sayangnya, hanya anggota tiga golongan pertama yang mendapat pengakuan dan perlakuan terhormat dalam masyarakat, dengan sebutan Tri Wangsa. Penyimpangan yang dilakukan dalam sistem wangsa ini adalah penggolongan masyarakat didasarkan pada status kelahiran dan garis keturunan seseorang, bukan berdasarkan bakat, sifat, dan pekerjaan seseorang seperti pada konsep Catur Varna menurut Veda.
Penyimpangan tersebut terlihat pada fakta bahwa keluarga Dang Hyang Nirartha dan seluruh keturunannya diangkat menduduki golongan brahmana; keluarga Raja Dalem Batur Enggong beserta keturunannya mendapat status sebagai golongan ksatria; para arya atau senapati dan prajurit pengikut Dang Hyang Nirartha dari Majapahit menjadi para waisya; sedangkan para pemimpin kerajaan-kerajaan lain di Bali yang tunduk kepada Raja Dalem Batur Enggong menjadi diberi label sebagai golongan sudra. Diskriminasi terlihat jelas pada para warga pemberontak yang merupakan penduduk asli Bali, dianggap sebagai warga jaba atau diluar sistem kasta.
Konsep desa pakraman yang telah menjadi struktur sosial-religius umat Hindu di Bali pada masa itu, dibebani dengan sistem ”kasta”, dengan tujuan untuk melanggengkan kekuasaan raja. Pakraman juga dibebani dengan tafsiran agama yang berbasiskan pada status kasta. Sehingga upacara-upacara keagamaan (yajna) yang dilakukan berubah menjadi ajang adu gengsi dan pamer status untuk menunjukkan kasta seseorang. Dalam masa itu Dang Hyang Nirartha dan Raja Dalem Batur Enggong mengeluarkan banyak babad dan purana yang mengatur tentang pelaksanaan upacara atau ritual bernafaskan kasta atau wangsa. Dalam babad-babad seperti itu disebutkan bahwa hanya para pedanda atau brahmana keturunan Dang Hyang Nirartha yang boleh menjadi pemimpin upacara keagamaan. Upacara-upacara agama ditandai dengan mempersembahkan sarana sesajen dan persembahan yang menelan biaya mahal. Semakin megah dan semakin banyak ragam sesajen yang disediakan, semakin tinggi status sosialnya dalam masyarakat.
Tradisi yajna atau upacara keagamaan yang berdasarkan status kasta dan gaya kepemilikan individu atas tanah tersebut saat ini semakin menunjukkan sisi buruknya. Demi status kasta, untuk melaksanakan yajna, masyarakat Bali terpaksa harus menjual tanahnya. Penjualan tanah sebagai aset kekayaan yang sangat penting itu sering berakibat terjadinya proses pemiskinan. Anehnya, para brahmana keturunan tersebut tidak pernah berupaya untuk melakukan revitalisasi terhadap penyimpangan ini. Sebagian dari mereka justru larut dalam budaya seperti itu. Sebab secara ekonomi, mereka (brahmana) mendapatkan keuntungan dari pelaksanaan upacara besar-besaran. Hal ini terjadi, karena berbagai sarana upakara dan sesajen yang dibutuhkan dalam pelaksanaan ritual harus dibeli dari para pedanda tersebut.
Upaya melestarikan sistem kasta tersebut juga masih terlihat dengan jelas dalam berbagai praktek keagamaan masyarakat Hindu di Bali pada zaman modern ini. Hal ini terlihat pada pelaksaan upacara-upacara keagamaan besar yang hanya boleh dipimpin oleh para pedanda (pendeta) yang disebut sebagai Tri Sadhaka. Tri Sadhaka adalah sebutan bagi para pendeta yang merupakan Pedanda sekte Siwa, Pedanda sekte Buda, dan Pedanda sekte Bujangga Wesnawa, yang bertugas memimpin rangkaian upacara-upacara besar keagamaan di Bali. Dari berbagai sekte yang pernah berkembang di Bali, ketiga sekte inilah yang terbesar dan masih berpengaruh hingga kini. Menurut tradisi turun temurun, hanya para brahmana yang berasal dari tiga wangsa inilah yang boleh memimpin upacara-upacara tersebut. Namun karena penetapan pendeta pemimpin upacara itu sangat bernuansa kasta, terjadilah upaya pelurusan yang dilakukan oleh generasi muda Hindu. Mereka menganggap, semua pendeta yang memenuhi kualifikasi kesuciannya dapat memimpin upacara itu, tidak peduli kedudukan dan status sosialnya dalam masyarakat. Contoh kasus aktual sehubungan dengan hal tersebut muncul pada saat pelaksanaan upacara Labuh Gentuh dan Bhatara Turun Kabeh di Pura Besakih yang puncak acaranya pada dilaksanakan pada tanggal 18 April 2000 (Majalah Hindu Raditya, Juni 2000). Kemelut terjadi pada saat penentuan siapa yang boleh menjadi sulinggih atau pemimpin upacara tersebut. Sesuai keputusan PHDI Pusat No 102 Um/IV/B/PHDIP/2000 menetapkan bahwa semua sulinggih (sarwa sadhaka) berhak menjadi pemimpin upacara. Namun dalam prakteknya, hanya para pedanda dari Tri Wangsa saja yang dianggap sebagai pemimpin upacara yang sah, sedangkan pendeta dari soroh lain hanya dianggap membantu ”kerja bhakti”. Penetapan siapa yang boleh menjadi pemimpin upacara dalam upacara-upacara di Pura Besakih itu, seolah-olah menjadi penyakit kronis yang selalu mengundang pertengakaran umat Hindu di Bali setiap tahun. Sebagian komunitas umat yang menyadari penyimpangan yang terjadi dalam praktek keagamaan tersebut berupaya melakukan koreksi. Namun hal itu berakibat pada terjadinya perselisihan paham diantara komunitas-komunitas umat Hindu di Bali.
Masih adanya pengaruh sistem kasta hingga saat ini pada kehidupan umat Hindu di Bali, tercermin pada kasus terjadinya konflik pada tubuh lembaga Parisada Hindu Dharma Indonesia. Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) merupakan lembaga tertinggi umat Hindu di Indonesia yang bertugas mengayomi, membina dan memajukan umat Hindu Indonesia. Namun dalam perjalanannya sejak tahun 1959, lembaga ini masih diwarnai oleh nuansa feodalisme dalam tubuh kepengurusannya. Beberapa posisi kepengurusan masih wajib diisi oleh para sulinggih yang merupakan keturunan dari Tri Wangsa.
Perpecahan umat Hindu akibat masih kuatnya pengaruh sistem kasta dalam tubuh kepengurusan PHDI, mencapai pucaknya dalam kasus PHDI Propinsi Bali tahun 2001 (Bali Post, 21/11/2001). Tanpa persetujuan pihak PHDI Pusat, PHDI Tingkat I Propinsi Bali melaksanakan pertemuan pengurus atau Lokasabha IV yang dilaksanakan di Pura Gunung Lebah, Campuhan, Kabupaten Gianyar, pada tanggal 23 November 2001. Lokasabha tersebut sejak awal telah ditentang banyak kalangan Hindu. (Bali Post, 23/11/2001). Ratusan umat Hindu melakukan aksi unjuk rasa di halaman Gedung Jayasabha, tempat kediaman resmi gubernur Bali. Alasan umat Hindu tidak menyetujui pelaksanaan lokasabha PHDI Bali di Campuhan tersebut adalah karena dalam pelaksanaan maupun susunan kepengurusan yang terbentuk tidak mewakili seluruh aspirasi dan komponen umat Hindu yang ada di Bali (Koran Tempo, 25/02/2002). Hal itu berbuntut pada tidak diakuinya kepengurusan PHDI Lokasabha Campuhan tersebut oleh PHDI Pusat yang dituangkan dalam Surat PHDI Pusat No. 11/Um.02/Parisada Pusat/XI/2001 (Bali Post, 29/01/2002). Alasannya adalah pelaksanaan lokasabha tersebut tidak berdasarkan prinsip kesetaraan, demokrasi, dan keadilan, serta tidak mengakomodasi aspirasi segenap komponen umat Hindu.
Menurut Putra (2002), kemelut yang terjadi pada PHDI Bali sesungguhnya berawal dari kelemahan yang cukup mendasar dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD & ART) Parisada hasil Mahasabha VIII bulan September 2001. Kelemahannya adalah tidak diberikannya definisi secara jelas berbagai istilah penting, sehingga menimbulkan ketidakjelasan dan berbagai penafsiran dalam penerapannya. Putra mencontohkan, adanya istilah ”sampradaya” dan ”komunitas umat”. Keduanya adalah istilah-istilah yang baru bagi umat Hindu, dan tidak dapat dipahami secara jelas.
Istilah ”sampradaya” dan ”komunitas umat” sesungguhnya dimaksudkan untuk membungkus istilah ”soroh” yang merupakan pengelompokkan warga Bali berdasarkan garis keturunan (ikatan geneologis) para leluhurnya. Ada ratusan soroh dalam umat Hindu di Bali. Menurut Putra (2002) istilah soroh sering dipandang secara negatif sebagai pengelompokkan orang berdasarkan keturunan/ikatan geneologis yang sesungguhnya merupakan perwujudan sistem kasta. Pengikut sertaan utusan soroh sebagai peninjau dalam kegiatan Mahasabha PHDI, memberikan ketidakjelasan, terutama bila dikaitkan dengan kedudukannya dalam organisasi Parisada. Jelasnya, soroh mana saja yang berhak menjadi peninjau yang memiliki hak bicara dan dapat dipilih sebagai pengurus PHDI? Mengingat di Bali terdapat ratusan soroh, sedangkan menurut pemberitaan media masa, hanya beberapa soroh tertentu yang diundang untuk menjadi peserta atau peninjau, misalnya soroh Pasek, Pande, dan Bujangga Waisnawa. Kecemburuan timbul pada soroh-soroh yang lainnya. Sebaliknya, bila seluruh soroh diundang sebagai peserta atau peninjau dalam Mahasabha atau Lokasabha PHDI, dikuatirkan musyawarah lembaga tertinggi umat Hindu tersebut hanya akan menjadi ajang konflik kepentingan berbagai soroh.
Sedangkan sampradaya adalah istilah untuk menyebut sebagian warga umat Hindu yang membentuk kelompok studi spiritual dan mempraktekkan ajaran-ajaran agama Hindu yang praktek keagamaannya lebih menekankan pada pelaksanaan aspek-aspek spiritual. Ajaran-ajaran tersebut berkembang dan ditekuni oleh sebagian umat Hindu di Indonesia, sebagai hasil dari interaksi dan komunikasi sebagian generasi muda Hindu di Indonesia dengan komunitas-komunitas spiritual yang ada di India. Ajaran sampradaya-sampradaya tersebut umumnya lebih dekat dengan ajaran-ajaran Veda yang sesungguhnya, dan tidak banyak dikaburkan dengan pengaruh adat-istiadat seperti yang terjadi pada agama Hindu Bali. Contoh-contoh sampradaya tersebut antara lain (Putra, 2002) adalah Hare Krishna, Say Studi Group, Brahma Kumaris, Trancendental Meditation, Veerasaivisme, dan lain-lain. Secara alamiah, umat Hindu di Bali yang tergabung dalam berbagai soroh tidak menyukai keberadaan sampradaya-sampradaya tersebut. Hal ini terjadi karena mereka memiliki perbedaan penekan dalam menjalankan ajaran agamanya, yang satu lebih menekankan aspek spiritual, sedangkan yang lainnya lebih berkutat pada aspek ritual tanpa disertai upaya pemahaman filsafatnya. Tampak bahwa dalam berbagai sampradaya, terdapat upaya yang bersungguh-sungguh dalam memberikan pengetahuan rohani dan pendidikan nilai-nilai ajaran Veda kepada generasi muda Hindu khususnya, dan umat Hindu pada umumnya. Hasil dari kegiatan seperti itu adalah terciptanya generasi muda Hindu yang bertaqwa kepada Tuhan, memiliki budi pekerti yang luhur, dan bermoral tinggi. Namun demikian, kegiatan pendidikan nilai-nilai agama yang dilakukan oleh berbagai sampradaya tersebut masih mendapat tentangan dari kalangan pedanda, sulinggih dan brahmana keturunan yang masih membanggakan dirinya sebagai keturunan tri wangsa.
Dari pemaparan di atas, tampak jelas bahwa umat Hindu di Bali masih terperangkap pada konflik-konflik kepentingan dan kemelut antar kelompok, yang bersifat superfisial. Bahkan kepengurusan Parisada Hindu Dharma Indonesia sebagai lembaga tertinggi umat Hindu di Indonesia, ditengarai masih dimonopoli oleh kaum tri wangsa. Dominasi kepentingan kaum tri wangsa ini terlihat dengan jelas pada pelaksanaan Lokasabha IV PHDI Bali, yang jelas-jelas melanggar kebijaksanaan yang ditetapkan oleh PHDI Pusat, sebuah lembaga yang kedudukan dan wewenangnya lebih tinggi. Selain itu, terdapat kecenderungan umat Hindu di Bali untuk mencari identitas diri mereka dengan cara menelusuri kembali garis keturunan para leluhurnya. Mereka kemudian membentuk soroh, gotra, atau pungkusan yang dalam prakteknya menjadikan warga soroh tertentu membanggakan leluhurnya yang dianggap lebih tinggi derajatnya dari leluhur soroh yang lain. Proses pembodohan umat juga masih dilakukan oleh golongan-golongan tertentu, misalnya dengan masih mempertahankan konsep Tri Sadhaka atau Tri Wangsa dalam pelaksanaan upacara-upacara keagamaan. Ritual keagamaan dibuat sedemikian megah dan rumitnya dengan biaya yang mahal, tanpa disertai upaya penjelasan filosifi dan maknanya. Generasi muda Hindu yang mencoba melakukan revitalisasi dan pelurusan terhadap penyimpangan yang terjadi, dengan mengajak kembali pada ajaran Veda, justru dituduh ingin “meng-India-kan” Bali. Konflik-konflik kepentingan tersebut yang terjadi secara berkepanjangan, bermuara pada terabaikannya kegiatan pembinaan dan pendidikan nilai-nilai religius umat Hindu di Indonesia
Sumber pemicu konflik-konflik kepentingan tersebut dapat dengan jelas ditelusuri kembali asal-usulnya. Yaitu sebagai akibat masih kuatnya warisan pengaruh sistem kasta, atau sistem wangsa yang diperkenalkan oleh Dang Hyang Nirartha pada abad ke-15 Masehi. Sistem wangsa tersebut berperan secara langsung maupun tidak langsung dalam proses hilangnya komponen-komponen pendidikan dan penanaman nilai-nilai agama Hindu kepada umat Hindu di Indonesia.
Sistem wangsa menganggap seseorang otomatis sebagai brahmana bila ia terlahir dalam keluarga brahmana. Padahal menurut konsep Catur Varna, seseorang disebut brahmana bukan karena kelahiran. Seseorang disebut brahmana bila ia memiliki sifat dan pekerjaan kebrahmanaan, yaitu : samah (kedamaian), damah (mengendalikan diri), tapah (pertapaan), saucam (kesucian), ksantih (toleransi), arjavam (sifat kejujuran), jnanam (pengetahuan), vijnanam (kebijaksanaan), dan astikyam (taat kepada prinsip keagamaan) sebagaimana yang diajarkan dalam Kitab Bhagavad-gita (18.42). Jelaslah bahwa pengakuan seseorang sebagai brahmana bukanlah tergantung pada kelahiran dan keturunannya, melainkan berdasarkan sifat-sifat mulia yang dimilikinya.
Dalam prakteknya, sistem wangsa di Bali mengakui seseorang sebagai brahmana, kalau ia lahir dalam garis keturunan Dang Hyang Dwijendra dan Dang Hyang Asthapaka. Padahal, perilaku mereka seringkali tidak mencerminkan kesucian dan perilaku seorang brahmana. Hal ini sama dengan seorang anak yang terlahir dalam keluarga dokter otomatis dianggap sebagai dokter. Sudah barang tentu dibutuhkan latihan dan pendidikan yang benar untuk melihat apakah anak tersebut memang memiliki bakat untuk menjadi dokter. Dalam praktek kesehariannya, para brahmana keturunan tersebut justru memelihara kebiasaan berjudi dan menyabung ayam dalam komplek-komplek tempat persembahyangan umat Hindu. Mereka tidak memiliki pengetahuan agama Hindu yang benar, dan melaksanakan berbagai ritual keagamaan hanya berdasarkan sistem gugon tuwon (dipercaya secara tradisi turun temurun) dan lebih bermotif ekonomi (Majalah Hindu Raditya, Juni 2002).
Dalam sistem brahmana keturunan seperti itu, tidak ada lagi yang dapat diharapkan menjadi seorang guru atau acarya (guru spiritual) dalam artian yang sesungguhnya. Karena dalam diri mereka tidak pernah terjadi pembelajaran ajaran-ajaran Veda, dan tidak pernah mempraktekkan ajaran-ajaran Veda tersebut secara tulus dalam keseharian mereka. Yang terjadi adalah upaya untuk mempertahankan posisi mereka di mata umat, dengan melakukan upaya-upaya pembodohan umat. Keadaan demikian yang berlangsung terus menerus di Bali, mengakibatkan terputusnya garis parampara Hindu di Bali.
Untuk mempertahankan sistem wangsa di Bali golongan brahmana keturunan berusaha menghalangi orang-orang muda Hindu yang ingin belajar Veda. Mereka menyebarkan paham bahwa Veda bersifat keramat, sakral, dan tidak boleh di baca oleh sembarangan orang. ”Sakaralisasi” Veda ala sistem wangsa tersebut sangat berbeda dengan pola pendidikan gurukula yang merupakan sistem pendidikan tradisional dalam kebudayaan Veda. Dalam kebudayaan Veda, sejak dini seseorang mulai diajarkan untuk mempelajari Veda, bahkan sejak usia lima tahun hingga usia lebih kurang dua puluh lima tahun, tergantung kepada kemampuan siswa tersebut. Dalam masa brahmacari seperti, seseorang dikirim ke rumah seorang guru atau acarya untuk tinggal bersama mereka dan mempelajari Veda di bawah bimbingan orang-orang yang terpelajar dalam pengetahuan Veda. Mereka menjadi sisya (murid) dengan cara tinggal di asrama atau tempat pemondokan yang disediakan oleh gurunya. Oleh karena itulah, pola pendidikan seperti itu disebut gurukula. Dengan sistem wangsa seperti di Bali yang mengkeramatkan Veda, dapat dimengerti mengapa pendidikan tradisional agama Hindu di Indonesia menjadi tidak berfungsi hingga saat ini. Ini merupakan salah satu bukti lagi penyimpangan dari sifat seorang brahmana menurut Veda. Seseorang disebut brahmana sejati, bukan menurut garis kelahiran dan keturunan, bila ia terpelajar dan menguasai pengetahuan Veda, dan berusaha dengan segala kemampuannya untuk mengajarkan pengetahuan spiritual itu kepada masyarakat. Bila tidak demikian, ia tidak dapat diakui sebagai seorang brahmana, walaupun terlahir sebagai anak seorang brahmana.
Sistem wangsa di Bali juga bertanggung jawab terhadap kurangnya kesadaran umat Hindu di Bali untuk membangun sarana dan prasarana pendidikan agama Hindu di Indonesia. Terjadi persaingan antar golongan dalam upaya meraih pengakuan masyarakat terhadap status sosial mereka. Mereka lebih rela berlomba-lomba menyumbangkan dana untuk melaksanakan upacara-upacara adat atau pembangunan pura yang megah yang membutuhkan biaya tinggi. Menurut data statistik, penduduk Bali memiliki tingkat pendapatan perkapita tertinggi di seluruh Indonesia. Namun besarnya pendapatan tersebut belum dibarengi dengan kesadaran untuk mengalokasikan dana guna pengembangan pendidikan bagi generasi muda Hindu.
Dikutip dengan sedikit perubahan dari Thesis Suryanto, M.Pd berjudul “Problematika Penyelenggaraan Pendidikan Berbasis Hindu Di Indonesia: Sebuah Kajian dari Perspektif Pendidikan Hindu Tradisional Model Gurukula Di India”
Salam untuk semuanya…
Terus terang, sejak saya kecil nama Danghyang Nirartha sudah saya hapal. Beliau begitu dipuji di banyak tulisan, termasuk di buku-buku pelajaran agama Hindu. Tapi terus terang, saya meragukan kualifikasi Beliau di bidang kerohanian. Alasannya sebagai berikut.
1. Beliau aktif berpolitik, seorang sadhu tidak boleh berpolitik.
2. Beliau terikat dengan kekuasaan/kerajaan (sebagai pendeta) istana.
3. Sampai sekarang saya tidak habis pikir kenapa Beliau mengajarkan agama Islam di lombok? Adakah ini karena Beliau ingin popularitas? Bahkan katanya Beliau naik Haji? Apa di Veda kurang lengkap sehingga harus seperti itu?
Kenapa…..
Kasta berasal dari Veda
Jika anda bertanya kepada orang Hindu, apakah dalam agamanya diajarkan kasta, pasti mereka menolak dan membantahnya, akan tetapi justru kenyataan dan fakta malah mereka yang menerapkan dan mentradisikan adanya kasta dalam masyarakat Hindu. Fenomena kasta bukan hanya ada di bali saja, bahkan di India sebagai induknya agama Hindu juga menerapkan system kasta. Di setiap Negara yang penduduknya mayoritas atau ada Hindunya seperti Nepal, Sri langka, Bangladesh juga terdapat system Kasta. Jadi adanya kasta bukan hanya di bali saja, hampir merata dalam mayarakat yang beragama Hindu.
Bahkan kasta sudah muncul pada ribuan tahun yang lampau, sehingga muncul avatar Sang Buddha yang salah satu tugas beliau adalah untuk menghilangkan system kasta di dalam masyarakat Hindu.
Mengapa begitu kuat orang hindu melestarikan kasta ? jika bukan dari dasar agama, mana mungkin mereka bertahan sampai ribuan tahun untuk melstarikan dan menerapkan kasta dalam masyarakatnya?
Istilah pertama yang digunakan di India bukan kasta tetapi “varnas” Bahasa Sanskerta yang artinya warna (colour); ditemukan dalam Rig Veda sekitar 3000 tahun sebelum Masehi yaitu Brahman (pendeta), Kshatriya (prajurit dan pemerintah), Vaishya (pedagang/ pengusaha), dan Sudra (pelayan).
Tiga kelompok pertama disebut “dwij” karena kelahirannya diupacarai dengan prosesi pensucian.
Dalam Bhagavadgita percakapan ke-IV sloka ke-13 ditulis:
CHATUR VARNYAM MAYA SRISHTAM, GUNA KARMA VIBHAGASAH, TASYA KARTARAM API MAM, VIDDHY AKARTARAM AVYAYAM
artinya: catur warna adalah ciptaan-Ku, menurut pembagian kualitas dan kerja, tetapi ketahuilah walaupun penciptanya, Aku tidak berbuat dan mengubah diri-Ku.
Warna adalah profesi atau bidang kerja yang dilaksanakan seseorang menurut bakat dan keahliannya; tidak ada perbedaan derajat diantaranya karena masing-masing menjalankan karma dengan saling melengkapi.
Mantram-mantram dari Yajurveda sloka ke-18, 48 antara lain berbunyi:
RUCAM NO DHEHI BRAHMANESU, RUCAM RAJASU NAS KRDHI, RUCAM VISYESU SUDRESU, MAYI DHEHI RUCA RUCAM
artinya: Ya Tuhan Yang Maha Esa bersedialah memberikan kemuliaan pada para Brahmana, para Ksatriya, para Vaisya, dan para Sudra. Semoga Engkau melimpahkan kecemerlangan yang tidak habis-habisnya kepada kami.
Yajurveda Sloka ke 30, 5 berbunyi:
BRAHMANE BRAHMANAM, KSATRAYA, RAJANYAM, MARUDBHYO VAISYAM, TAPASE SUDRAM
artinya: Ya Tuhan Yang Maha Esa telah menciptakan Brahmana untuk pengetahuan, para Ksatriya untuk perlindungan, para Vaisya untuk perdagangan, dan para Sudra untuk pekerjaan jasmaniah.
Profesi yang empat jenis itu adalah bagian-bagian (berasal) dari Tuhan Yang Maha Esa yang suci, diibaratkan sebagai anatomi tubuh manusia dalam tatanan masyarakat, sebagaimana Yajurveda sloka 31, 11 menyatakan:
BRAHMANO ASYA MUKHAM ASID, BAHU RAJANYAH KRTAH, URU TADASYA YAD VAISYAH, PADBHYAM SUDRO AJAYATA
artinya: Brahmana adalah mulut-Nya Tuhan Yang Maha Esa, Ksatriya lengan-lengan-Nya, Vaisya paha-Nya, dan Sudra kaki-kaki-Nya.
Dari sloka-sloka di atas, dijadikanlah sebagai dasar sistem kasta yang terjadi sampai sekarang ini. Andai kata dalam veda tidka mengajarkan tentang adanya varna dia ats, maka mustahil siste kasta muincul dalam agama Hindu. Maka tidakah salah jika Danghyang Nirartha juga menerapkan system kasta di bali, karena di India sendiri ajaran tersebut juga ada dan diterapkan hingga sekarang.
Jika memang kasta bukan dari agama Hindu, mengapa sampai ribuan tahun tidak ada satupun Rsi yang melarang bahkan menolak ajaran tersebut? Hanya satu orang saja yaitu Sang Buddha Gautama. Setelah beliau meninggal, ajarannyanya pun ditentang oleh kaum brahmna, bahkan mereka kmebali kesis semua yaitu mentradisikan kasta.
sebagai penutup, andaikata ajaran kasta adalah salah, lalu mengapa orang Hindu bali sulit untuk melapas ajaran kastanya? padahal mereka begitu taat dan patuh pada ajaran Hindu, apalagi Veda……….?
XARELX
Jawabannya simpel saja: ada penyimpangan ajaran. Politik mendominasi keberagamaan masyarakat. Ada kepentingan-kepentingan politik kaum tertentu yang berusaha dilanggengkan. Inilah penyebab penyimpangan. Karena itulah dari zaman ke zaman Tuhan atau utusan Tuhan turun ke dunia untuk memurnikan kembali ajaranNya.
Kalau dalam Veda ada sloka tentang Catur Varna, ya Catur Varna, bukan Catur Kasta.
Tentang di Bali, itu sama saja. Kaum tertentu berusaha melanggengkan eksistensinya. Zaman kerajaan adalah zaman keemasan bagi sistem Wangsa ini. Tapi sekarang sudah mulai terkikis seiring banyaknya generasi yang melek Veda. Yah… paling lagi dua atau tiga generasi sisa-sisa feodal itu akan habis.
Di Arab dann negara-negara Islam perbudakan lebih parah lagi. Inilah yang menyebabkan mengapa TKI kita diperlakukan tidak senonoh tetapi hukum tidak bisa memprosesnya. Jawbannya karena TKI itu sudah dianggap budak. Jadi bisa diperlakukan seenaknya. Bahkan banyak yang diperkosa atau dibunuh. Hampir saban hari ada beritanya di TV.
@ Putra tridarma
Selama ini kalian mengklaim bahwa Hindulah agama yang sangat Tua (purba) agama pencerahan, agama welas asih. tetapi mengapa mengatasi kasta saja hampir ribuan tahun belum bisa hilang? bukankah kalian meyakini reinarnasi? bukankah tambah dewasa dan tambah pintar semua?
jika pelanggaran Ham disebabkan karena majikan, atau bosnya jahat itu terjadi dimana-mana. bahkan semua agama elarang dan mengkritik keras hal tersebut.
akan tetapi dalam maslaah kasta coba sebutkan Rsi mana yang melarang dan mengkritik kasta? bukankah kata kalian Rsi ebih tinggi dari Nabi? lalu mengapa tidak mengeluarkan sebuah fatwa atau buku yang ditujukan untuk menghilangkan sistem kasta.
coba saudra tri darma, rsi saipa saja yang melarang Kasta, berikan contoh kepadaku.
@ Xarel X
Selama manusia menyimpan egosime dan memelihara budaya feodalisme, maka selama itu pula Kasta tidak akan pernah dapat dihapuskan. Masyakat apapun di muka bumi ini pada jaman Kali (Kali Yuga) yang sudah berlangsung sejak 5000-an tahun lalu pasti pernah terseret dalam sistem kasta, meskipun mereka tidak menyebutkannya sebagai “kasta”. Pada jaman modern ini, meskipun mereka beragama Islam, Yahudi, Kristen, Buddha atau Hindu tetap saja terjadi sikap feodalisme. Lihatlah SBY yang berusaha melanggengkan dinasti kekuasaannya dengan mendidik anaknya agar suatu saat dapat mengikuti jejaknya. Lihat Bupati Tabanan, Bali yang sekarang diangkat mengikuti jejak ayahnya. Begitu juga beberapa negara yang masih mempertahankan sistem kerajaan berusaha menjaga keluarga kerajaan dan keturunannya tetap dihormati. Kasus yang paling dekat yang bisa kita amati adalah kesultanan Yogya. Disana masih diterapkan sistem dimana yang bisa menjadi Raja hanya keturunan raja, seorang keturunan abdi dalem hanya akan dijadikan abdi dalem. Kesultanan Jogja adalah Islam, lalu kenapa pembagian ini dipertahankan?
Dalam bentuk yang berbeda dalam Islam juga dijelaskan mengenai budak dan majikan. Adanya budak dan majikan apakah bukan merupakan bentuk lain pembagian masyarakat? Adanya pembeda kafir dan Mukmin apakah bukan merupakan bentuk lain dari kasta?
Jika semua orang bisa melepas sikap feodal dengan mengikuti sistem Varna yang tidak berdasarkan kelahiran, tetapi berdasarkan profesi dan kemampuan, maka sudah barang tentu dunia ini akan aman. Bukankah tatanan masyarakat dunia yang ideal secara sadar atau tidak sadar dibangun dari sistem warna? Semua negara pasti memiliki kaum birokrat dan tentara (Kesatria), memiliki kaum agamawan (Brahmana), kaum pedagang dan usahawan (Vaisya) dan kaum pembantu, pelayan, artis atau penghibur (Sudra). Apakah di negara Islam tidak ada sistem seperti ini?
Veda memaparkan bahwa agama-agama selain Veda baru muncul setelah berakhirnya Dvapara Yuga dan memasuki Jaman Kali (Kali Yuga) sebagai akibat buruk dari Kali Yuga. Jaman para Rsi dan penulisan Veda sendiri berlangsung pada akhir Dvapara Yuga dimana saat itu sistem Varna masih berjalan dengan baik dan belum dibelokkan menjadi sistem Kasta. Jadi wajar kalau belum ada Rsi yang membahas masalah Kasta.
Salam,-
XARELX
===jika pelanggaran Ham disebabkan karena majikan, atau bosnya jahat itu terjadi dimana-mana. bahkan semua agama melarang dan mengkritik keras hal tersebut.
Saya: Iya semua mengkritik, tapi cuma mengkritik saja. Lihatlah setiap saat ada pemberitaan tentang penganiayaan “budak”. Di Malaysia dan di negara-negara Islam, di Arab Saudi terutama. Kenapa bisa begitu? Ya, karena kerajaan yang membiarkan. Jadi pelakunya susah dikenai hukum, kecuali hukum Tuhan. Saya membaca berita di VIVA News, bahwa sebagian besar pangeran-pangeran Arab sekarang punya kebiasaan baru. Pesta di bawah tanah dengan para pelacur. Minuman alkohol yang disajikan oleh bartender yang didatangkan khusus dari Thailand, Narkoba juga tersedia melimpah, serta pelacur yang juga didatangkan khusus. Pangeran Brunei juga begitu. Skandal-skandal bertebaran di kalangan bangsawan. Lalu apakah karena seperti itu Al Quran di salahkan?
Mengenai Rsi siapa yang mengkritik kasta? Semua Rsi Hindu mengkritik kasta. Tidak ada yang membenarkan. FATWA? Untuk apa ada fatwa? Wong di kitab itu sudah jelas dan lengkap semua. Berbeda dengan di Islam, karena di Al Quran belum lengkap atau belum diatur, maka diperlukan fatwa.
XarelX
Jika yang anda maksudkan Rsi itu adalah Rsi-Rsi lampau yang hidup se-zaman dengan para Rsi penerima Wahyu, maka jawaban dari Saudara Ngarayana sudah sangat tepat. Istilah kasta tidak ada pada zaman itu. Tatanan masyarakat di tiga Yuga sebelumnya adalah sesuai dengan Veda (Catur Varna).
Tetapi, jika yang Anda maksudkan Rsi2 zaman modern, termasuk para Sanyasi, maka semua tidak ada yang membenarkan kasta. Srila Narotama Das Thakur dan semua guru/acharya Vaishnava tidak ada yang membenarkan praktik kasta itu. Srila Narotama pernah diperlakukan (dilecehkan) kebrahmanaannya oleh mereka yang mengaku para Brahmana kasta. Walau para Brahmana Kasta tersebut bisa ditaklukkan hanya oleh murid-murid Beliau, tetapi egoisme mereka tidak hilang. Tercatat dalam sejarah bagaimana kemudian Tuhan menunjukkan keagungan Srila Narothama dengan tiba-tiba memunculkan tali suci kebrahmanaan yang keemasan dari badan padma Beliau. Dan ketika Beliau berpulang pun terjadi keajaiban karena badan Beliau berubah menjadi susu. Ini pelajaran bahwa kebrahmanaan seseorang bukan ditentukan oleh kelahiran.
Tokoh2 seperti Sri Rama Krishna, Svami Vivekananda, Svami Sivananda, para mahatma, dan Rsi2 modern semua menentang kasta. Mahatma Gandhi lebih2 lagi, sebutan Harijan yang beliau populerkan adalah buktinya. Srila Prabhupada? Jangan ditanya lagi deh… baca aja buku-bukunya.
@ Xarel X
saya berusaha membantu saudara Xarel X sehingga nantinya memandang penganut weda ( orang bali pada khususnya ) bisa saudara pandang sederajat atau setidak tidaknya sebagai penganut “bentuk lain dari jalan yang disediakan Tuhan untuk bisa kembali ke Beliau”, saya ajukan bukti tertulis berikut:
http://www.parisada.org/index.php?Itemid=28&id=26&option=com_content&task=view
thx
Leave
Bhisama PHDI itu adalah mubazir. Wong sudah jelas ada di Veda bahwa itu Catur Varna, untuk apa lagi dibhisamakan? Mestinya disosialisasikan saja ajaran Vedanya. Sebarkan buku-buku Hindu, berikan penyuluhan dll. PHDI ketularan MUI.
@ All
Kesultanan Jogya dari Islam? Itu salah besar, anda harus bisa membedakan ajaran dan budaya. Dalam Islam yang ada adalah Kholifah, itupun bukan dari keturunan, tapi dipilih oleh rakyat atau panitia wakil dari sahabat Nabi, contohnya setelah nabi Muhammad ada kholifah, Abu Bakar, lalu Umar, berikutnya usman, lalu Ali. Adapun kerajaan tidak ada satupun dalil baik ayat atau hadits .
Kesultanan jogya adalah kasus menarik, ketika pemerintah mau mengajukan penetapan gubenur jogya harus dengan pemilihan, yang marah malah rakyatnya, aneh bukannya rakyat yang senang. Hal ini menunjukkah bahwa system kesultanan dijogya memberikan rasa keadilan dan ketentraman pada rakyatnya, bukannya merugikan. Maka sangat jauh sekali membandingkan kasta dengan kesultanan. Karena satu orang dibanding dengan jutaan manusia. Adapun kasta secara varna justru menunjukkan perbedaan klas dan itu melanggar HAM. Andaikata tidak ada sultan atau presiden, apakah jadi rakyat semua ? mustahil system pemerintahan bisa berjalan.
Kalo memang mau merubah system kasta, contoh aja tuh Amerika, walopun dalam Kristen tidak ada kasta, tapi dalam sejarah Amerika pernah terjadi perbedaan kelas antara kulit putih dan kulit hitam. Dengan undang-undang dan system pemerintahan yang baik ternyata Amerika bisa keluar dari system warna kulit, bahkan presiden sekarang obama kuit hitam .
Bali pun jika ingin melepas system kasta, maka harus didukung pemerintah dan DPRD, buat aja Perpu tentang persamaan kasta. Ato mengapa Hindu bali tidak mencontoh Hindu Jawa, mulai dari jawa barat sampai jawa timur tidak ada system kasta/varna, bukankah Hindu dulu pusatnya di Jawa?
Kristen Yang Menghapus kasta di India
Percuma diskusi dengan mereka, muter-muter terus brow, bukankah jelas sekali dalam masyarakat hindu dimana saja ada kasta. Jika memang bukan bersumber atau terinspirasi dari Veda lalu dari mana?
Atau pasti kalian menjawab bahwa semua itu adalah Lila Tuhan ?
Justru yang menghapus kasta di India adalah Kristen, dunia telah melihat, ketika Bunda Teresa datang ke India, kasta-kasta rendah yang berpenyakitan tidak pernah disentuh oleh pemerintah dan kaum agamawan hindu, bahkan mereka dianggap sebagai Karma dan hasil reinkarnasi kehidupan sebelumnya, sehingga harus dijauhi.
Tetapi Bunda Teresa dengan kasihnya, menampung dan mengobati mereka yang sakit, bahkan tidak sungkan dan jijik mau bersama dengan kasta-kasta rendah.
Pada saat itu dimana peranan Hare krisna?
Dimana para pertapa Hindu yang katanya ahli moksa ?
Atau saking moksanya sehingga mereka tidak melihat kepada kaum yang papa…?
Lihat link dibawah ini:
http://www.cakka.web.id/blog/kristen-menghapuskan-kasta-di-india
KOMANG YOHANES
Ke mana saja Bli? Baru muncul…
Mengenai Kasta yang Bli sebutkan dihapus oleh Bunda Theresa, Bli terlalu belebihan. Bunda Theresa memang tercatat sebagai orang yang penuh welas asih. Beliau sukarelawan di antara begitu banyak sukarelawan. Satu Bunda Theresa tidak sebanding dengan kesalahan jutaan orang Kristen dalam bingkai Kerajaan Inggris yang menindas India. Tidak usah terlalu dibesar-besarkan. Kiprah Bunda Theresa tidak sampai setengah dari kiprah Srila Prabhupada yang dengan kasih sayangnya menyelamatkan begitu banyak kaum hippies di Amerika Serikat secara khusus, dan di dunia secara umum. Mengenai kasta yang lebih konyol terdapat di luar India. Bahkan sampai sekarang pun itu tetap ada. Di mana-mana ada penindasan dan perbudakan. Coba baca link2 ini:
Kasta di Perancis: http://indonesian.irib.ir/index.php?option=com_content&view=article&id=25384:beginilah-pembagian-kasta-ala-perancis&catid=15:lintas-warta&Itemid=58
Rasisme di Amerika: http://www.voanews.com/indonesian/news/a-32-2005-06-28-voa11-85405307.html
Rasisme di Australia
http://pr3d.wordpress.com/2009/04/29/rasisme-in-australia-the-stolen-generation-and-balgo-mission/
Penindasan ras kulit putih terhadap kulit hitam
http://staff.undip.ac.id/sastra/hadiyanto/2009/03/03/penindasan-ras-kulit-putih-eropa-terhadap-ras-kulit-hitam-afrika-dalam-cerpen-%E2%80%9Ca-black-skinned-girl%E2%80%9D/
Weda tidak mengajarkan system kasta, namun varna.
Kasta dan varna bukan hanya berbeda bentuk katanya, tetapi juga berbeda secara konsep.
Pada sistem kasta, kasta tertentu dianggap lebih superior disbanding dengan kasta lain.
Sedangkan pada sistem varna, semua profesi adalah sama. Yang diajarkan dalam Weda adalah bahwa manusia dapat mencapai Tuhan dengan menjalankan profesi (varna) masing-masing dengan sebaik-baiknya dan menyerahkan hasilnya kepada Tuhan maka manusia dapat mencapai Tuhan.
Veda, termasuk Gita, mengulas secara mendalam bagaimana cara melaksanakan kewajiban (dharma) dan menyerahkan hasilnya kepada Tuhan dengan sangat komprehensif. Tidak ada satu ulasan pun dalam Weda yang menyatakan bahwa satu profesi lebih baik dari profesi lainnya, seperti yang dimaksudkan dalam sistem kasta.
@ Putra tridarma
Putra kamu baca sejarah kurang teliti, perhatikan sebelumnya tulisan xarel X, Amerika memang pernah mengalami rasisme, tetapi mereka bisa menuntaskan masalah tersebut dengan UU mereka sendiri, bahkan presidennya sekarang adalah kulit hitam.
semua link yang kamu berikan itu memang terjadi, tetapi karena adanya irihati dan kesenjangan sosial diantara mereka, bukan berdasarkan agama.
coba anda cek dalam agama kristen adakah ayat dalam bible yang menjelaskan tentang kasta atau varna sebagaimana agamamau?
Beda dengan Hindu, yg jelas-jelas dalam veda menjelaskan adanya varna, itu sama halnya dengan Agama mengajarkan perbdaan kelas. maka tidak aneh jika orang Hindu menerapkan kasta dalam masyarakatnya.
Putra kamu gak usah berpaling dari kenyataan, jika rasisime di eropa terjadi karena dari beberapa orang/organisaasi/politik, tetapi di Hindu malah “dilembagakan” dan “dikuatkan” dengan sloka veda.
coba anda lihat di Amerika, buktinya Rasisme bisa diatasi, sekarang dalam hindu Mulai zaman sebelum Buddha sampai sekarang Kasta belum Hilang ?
Di dunia ini satu-satunya agama yang melegalkan kasta ya Hindu, kalo kamu ingin merubah kasta, kembali saja kamu ikut ajaran Buddha, tapi sayang kalian malah membuangnya, dan kembali ke ajaran kasta.
@ Komang Yohanes
Saya rasa anda belum mengerti perbedaan dasar antara Kasta dan Varna.
1. Kasta adalah pembagian kelas masyarakat berdasarkan keturunannya.
2. Varna adalah pembagian kelas masyarakat sesuai dengan guna dan karma-nya.
Masyarakat mana yang bisa memperlakukan semua orang sama? Masyarakat mana yang tidak membagi perannya menjadi seorang pemimpin, penggerak ekonomi, pemuka spiritual dan pelayan? Coba anda tunjukkan……. Soviet yang menganut paham komunis dan menjunjung sosialis-pun tidak bisa lepas dari embel-embel kaum pemimpin, usahawan, buruh dan prajurit…
Varna tidak didasarkan pada keturunan… tapi jika sampai didasarkan pada keturunan seperti contoh kasus beberapa sistem negara saat ini yang masih melanggenggang kekuasaannya dengan berusaha mewariskannya kepada keturunannya, itu yang disebut dengan Kasta.
Dalam artikel inipun saya mengatakan bahwa sistem wangsa/kasta menjadi eksis di Bali karena pengaruh sistem feodal dan dalam usaha Dang Hyang Nirarta menjaga kekuasaannya dan keturunanya. Jadi sebelum itu, meskipun Bali sudah menganut Hindu, tapi sistem Kasta belum ada.
Nah sekarnag tugas anda, coba anda kutip sloka-sloka Veda yang membenarkan bahwa pembagian sosial dalam Veda didasarkan pada keturunan…. 🙂
Sekarang, kalau berbalik ke masyarakat Kristen, kenapa harus ada pendeta, ada Paus, ada orang suci yang diagung-agungkan oleh masyarakat umum? Bukankah menurut anda kedudukan mereka sama?
Kekristennan juga dibangun oleh aturan kitab Perjanjian Lama yang oleh Yesus dikatakan tidak akan dihapuskan walau hanya senoktahpun. Tetapi beliau hanya akan menggenapinya. Dalam perjanjian lama terdapat banyak ayat-ayat tentang perbudakan, yang artinya perjanjian lama mendukung pembagian manusia menjadi budak dan majikan. Apakah ini bukan pengkastaan?
Pada jaman pengarungan samudra dengan moto Gold (mencari kekayaan), Glory (mencari kejayaan), Gospel (penyebaran agama) juga terjadi penjajahan dan perbudaan yang sangat merajarela di dunia Timur. Apakah aksi ini tidak diketahui oleh pemimpin Kristen yang ikut berlayar? Tidak kan?
Penghapusan perbudakan dan diskriminasi antara pria dan wanita di dunia Barat, bukan digerakkan oleh Kristen, tetapi oleh aksi kemanusiaan. Setidaknya itulah yang dapat di quote dari buku Christopher Hitchens yang berjudul “God is not Great”.
Salam,-
Komang Yohanes
Maaf baru bisa online tapi jawaban dari Saudara Ngarayana sudah lebih dari cukup. Itu jika Bli punya semangat untuk melihat secara jernih. Bli memahami Varna dengan Kasta aja kok sulit amat?
Saran saya: tolong pakai kacamata supaya jelas tulisan KASTA dengan VARNA beserta pemaknaan keduanya.
Nah, kutipan-kutipan dari Saudara Ngarayana tentang “kasta” di kitab Bli yang sekarang bagaimana menjelaskannya? Itu jelas di depan mata.
Terima kasih bli ngarayana atas pencerahannya. Kalau saja ada 1000 orang Hindu seperti bli ngarayani, para pendakwah dan pengkotbah mungkin bisa sedikit diatasi agresivitasnya.
@komang yohanes: sang hyang Yesus memberkati anda..Dunia barat seperti sekarang ini bukan karena Ke-Kristenannya, tapi karena dobrakkannya atas Kristen yang dimulai saat Rennaisance. Penentang paling keras atas kemajuan ilmu pengetahuan pada mulanya ya tentu saja Gereja, penemuan obat dianggap melawan kehendak Tuhan bla bla bla….Baca saja Nietzche dlm bukunya Anti Christ dan Senjakala Berhala, dia saja dapat memahami bahwa sistem varna merupakan sebuah keniscayaan dalam sistem masyarakat dimanapun, dan Veda ibaratnya hanya menegaskan keniscayaan itu, sama halnya seperti menegaskan bahwa api itu panas dan bisa membakar, jangan salahkan ‘Veda’nya jika kemudian api disalahgunakan.
@Xarel: Jelas Kesultanan Yogya adl Islam, walaupun Kejawen, mana mau disebut Hindu walaupun sebenarnya isinya setengah Hindu. Jika anda menolaknya sbg budaya krn di Islam hanya ada Kekhalifahan, ya sami mawon dg orang Hindu yg menolak sistem kasta, karena di Veda yg ada adl catur varna. Bgmn dg ngr spt arab saudi yg nyata2 sbg negara Islam, kenapa dia diperintah dg sistem kerajaan turun menurun, bukan dg kekhalifahan? makanya Al-Qaida gak suka ma klg kerajaan Saudi ya? Jelas, anggota keluarga kerajaan Saudi adl para “Ksatria” merangkap “waisya” karena menguasai ekonomi, para Imam adl “Brahmana”, rakyatnya yg ikut makmur anggaplah sbg waisya-sudra, pendatang non muslim jelas dianggap sudra, you see?
wah setuju sekali dengan pernyataan socrates
@Xarel : kiss my ass
@komang yohanes : suck my fuck’n dick son of the bitch
Fakta berkata,
bali mayoritas hindu kebinekaan terjaga, masyarakat makmur,
Indonesia :
bobrok, banyak korupsi,carut marut,da’i sejuta umat memperkosa aida, syieh fuji fedofilia, roma irama raja ngentot bukan raja dangdut
Coba tebak apa mayoritas penduduk indonesia?
ga usah nunjukin gua ayat ayat dalam kitab loe beri bukti aja njing
walaupun gua atheis gua mendukung prabhu ngarayana
@Socrates
Salam kenal dari saya…
Kagum deh sama komentarnya dan juga tentang bacaan filsafatnya. Saya yakin Anda sudah melahap banyak buku-buku filsafat. Dan tambah kagum saya ketika anda masih menempatkan filsafat Veda sebagai otoritas. Aufklarung……
@ Sengkuni dasa
Namamu seperti tokoh pewayangan, tukang adudomba seorang tokoh antagonis dalam wiracarita Mahabharata. Ia merupakan paman para Korawa dari pihak ibu. Sangkuni terkenal sebagai tokoh licik yang selalu menghasut para Korawa agar memusuhi Pandawa. Antara lain, ia berhasil merebut Kerajaan Indraprastha dari tangan para Pandawa melalui sebuah permainan dadu. Menurut versi pewayangan Jawa, pada mulanya Harya Suman berwajah tampan. Ia mulai menggunakan nama Sengkuni semenjak wujudnya berubah menjadi buruk akibat dihajar oleh Patih Gandamana.
Sengkuni seperti dirimu licik, ini kan diskusi, mengapa tidak dibalas dengan argument..Ato memang orang bali mudah emosi, udah kalap jika agamanya terpojok?
Itu keliatan kalo sembahyangmu selama ini hanya tahap ritual saja, belum masuk ke spriritualmu. Jika kamu memang rajin sembahyang, maka antara hati, ucapan dan perbuatanmu akan baik semua.
Dalam web ini jika yg berkata kotor selain orang Hindu, pasti kalian langsung menyerbu dan menyerang semaunya, tetapi jika yang berkata kotor adalah orang Hindu, putra tridarma, ngarayana diam semau, seakan “mendukung”, bukannya mengingatkan saudaranya yg masih belum sadar.
Terima kasih atas cacian, makian darimu
Semoga Tuhan memberkati dirimu.
@ KOMANG YOHANES
Saya secara pribadi sebagai peserta diskusi minta maaf Bli… Terima kasih juga atas peringatannya… Untuk Sengkuni dasa, walaupun Anda mengaku atheis, tolong tetap menjaga prinsip kesopanan. Salam
@ Ngarayana
Walopun di Kristen ada pendeta, pastur, paus, itu adalah jabatan, dan dalam Kristen dan laur Kristen itu tidak dianggap kasta, hanya kamu saa yang menganggapnya. Jika jabatan sprituaal dianggap Kasta, maka dlaam Hindu agamamu sendiri malah tambah banyak.
Adapun penjajahan yg pernah dilakukan Eropa, itu bukan dari bagian agama Krsiten, ingat dalam Bible tidak pernah mengajarkan peperangan atau pembunuhan. Yesus adalah contoh tauladan yang Nyata bagi penganutnya, beliau selalu cinta kasih, bahklan orang mati saja dihidupkan.
Berbeda dengan para avatarmu, sukanya bersitri banyak, berperang, hidup dikerajaan, makanya gak pernah mengurusi ummat yang miskin, papa dan kekeurangan. Sehingga sampai sekarangpun kebiasaan para pertapa Hindu,swami, pedande juga tdk mau terjun langsung menyentuh masyrakat yg kurang mampu. Disinilah letak perbedaan antara kami dan kalian.
Hindu berutang budi dengan Barat
Jika barat tdk pernah menjajah India, maka sampai sekarang kalian tidak bakalan maju, dan masih terjejah dengan Islam. Kalian sebetulnya ewajib bersyukur pada Krsiten yg telah membebaskan pejajahan selama beradab-abad oleh dunia Muslim. Aneh memang yg katanya para pertapa itu sakti tapi dijajah berabad-abad kok gak bias menang melawan penjajah, bahkan merdekapun India itu diberi.
Hindu berutang pada barat yg telah meninggalkan system pendidikan dan dasar-dasar kemajuan bagi India. Jika memang hindu itu agama yng lengkap, llau mengapa India menganut system pemerintahan dai barat..?
Bahkan para presiden, perdana menteri, menteri, pejabat, dan ahli saintnya sekolah keamerika dan eropa…..? mana kalo kalian emang hebat…?!
Siste pendidikan dan undang-undang negarapun juga mengadopsi Barat, itu keliatan sekali jika kalian kurang pede, ato tidak punya system yag asli Veda.
Salah satu contoh lagi ketergantungan kalian pada barat adalah pulau Bali, selalu merayu bule-bule utntuk dating jadi turis, sehingga dpat hujan dolar yg berlimpah, akhirnya dibali banyak pemudanya yg hidup bergaya ala barat……, kenapa tidak berkiblat ala India…?! Bahkan Supermen is Deat sangat copy paste barat sekali. Jika kalian memang pede mengapa tidak ada band yang berpenampilan ala HK…?!
Hindu Juga Penjajah
Selama ini orang Hindu mengklaim mereka tidak pernah menjajah Negara atau daerrah lain. Bukankah dalam sejarah India lampau juga saling perang dan saling mengkuasai, baik dalam perang Ramayana maupun Mahabarata, Tuhan-tuhan laian ikut terlibat perang langsung, yng hanya maslaah sepele, seperti wanita, tahta dan kerajaan.
Disinilah letak perbadaan dengn Tuhan Yesus memberi contoh penuh kasih sayang pd makhluk, Yesus tidak pernah iukut perang bahkan membunuh satu orangpun tidak pernah.
Di Nusantara Hindu disebarkan dengan cara penjajahan, yaitu pd zaman Majapahit, semua wilayah nusantara, bahkan sampai Malaysia, Aceh, Brunei dijajah oleh Hindu Majapahit dan menyebarkan agamanya . maka sangat aneh sekali saudara nagarayana menuding borok orang lain , padahal borokmu sangat jelas dipelupuk mata…..?
Hindu Mendukung Kasta
Kalian selalu menyatakan bahwa kasta tidak ada dalam Hindu yag ada adalah Varna, dan itu adalah macm-macam ato jenis pembagian tugas. Tapi anehnya justru mengapa semua Negara yg ada Hindunya pasti ada kasta..?!
Bukti kedua yg paling autentik adalah turunya Avatar Buddha salah satunyanya adalah membubarkan kasta. Ingat Budhha turun telah ribuan tahun yg lalu, dengan jelas sekali bahwa saat itu ada kasta brahmana sebagai superior dalam Hindu. Makanya Buddha mendirikan agama sendiri yang tidak ada kasta dalam masyarakatnya. Jika memang dalam Hindu tidak kasta, maka mustahil dan sangat mengada-ada sang Buddha berkampanye membubarkan Kasta. Jka memang dalam Hindu tdak ada kasta, maka Buddha bakal membenarkan ajaran varna, justru sebaliknya dengan adanya Varna maka lahirlah Kasta.
Sebetulnya jika Hindu ingin menghilangkan Kasta itu gampang sekali, iutilah cara sang Buddha.
@ Komang Yohanes
Sering kali saya sampaikan dalam setiap comment yang saya rasa menyimpang agar setiap peserta diskusi menyampaikan pendapat dengan cara yang benar dan juga sudah saya peringatkan bahwasanya saya sama sekali tidak melakukan sensor apapun terhadap comment yang masuk kecuali comment tersebut dianggap spam oleh sistem atau memuat content berbau fornografi. Jadi jika ada comment2 yang pedas, baik itu dari umat Hindu atau umat yang lainnya, saya sebagai admin menyerahkan tanggung jawab baik secara moral maupun material kepada pihak yang memberi comment.
Jadi mohon saudara Yohanes dan juga teman-teman mengerti dan bisa menahan diri masing-masing.
@ sengkuni dasa
Saya tidak akan pernah menghapus comment apapun… tapi sekali lagi mohon jangan berkata-kata kasar… andaikan ada suatu tuntutan secara hukum atas comment2 di web ini, maka sudah pasti saya akan membalikkannya ke pemberi comment. Apa lagi identitas pemberi comment bisa dilacak dengan data-data IP address, jenis komputer, lokasi dan sebagainya yang ter-record di server dan di sistem web site ini.
Dan satu lagi, mohon jangan pernah panggil saya AC Bhaktivedhanta ngarayana swami… yang berhak menyandang kata Bhaktivedhanta hanyalah seorang suci “Swamiji” yang sudah menguasai literatur Veda dengan sangat baik. Saya hanya seorang pelayan rendahan yang tidak memiliki pengetahuan Veda. Mohon panggil saya dengan nama asli saya “Ngarayana”, atau nama diksa saya “Laksmi Narayana Dasa” atau nama lain yang anda suka asal tidak mengarah pada sesuatu yang hiperbola seperti comment anda.
Kata-kata kasar dan caci makian tidak diperlukan dalam suatu debat atau diskusi. Hindu sendiri menjunjung debat dalam sistem pembelajaran Veda. Tapi bukan sembarang debat tanpa dasar. Debat harus berdasarkan logika dan dasar yang jelas sehingga tidak akan terjadi debat kusir.
Mohon perhatikan hal ini teman-teman… saya ingin web ini benar-benar bisa berfungsi sebagai media diskusi baik antar umat Hindu maupun antar agama yang efektif dan dapat membangun spiritualitas kita. Apa lagi tujuan web ini adalah mengarahkan pembicara untuk sadar pada “Krishna”. kata “Krishna” ini jangan dipandang secara sektarian… tapi pahamilah kata “Kesadaran Krishna” di sini sebagai “Kesadaran Tuhan”. Sehingga apapun agama anda, dari manapun asal anda maka jika web ini berhasil membawa anda untuk semakin yakin pada Tuhan baik anda memanggilnya “Allah”, Jehovah, Hyang Widhi, Gusti atau apapun juga… maka saya anggap misi saya sudah sukses.
Kembali untuk saudara Yohanes, Okay balik lagi ke masalah Kasta 🙂
Maksud saya menyampaikan kepada anda bahwa di Kristen ada pembagian masyarakat menjadi pendeta, pedagang, tentara, pemimpin masyarakat dan sebagainya, bukan mengatakan bahwa dengan adanya hal seperti itu berarti Kekristenan menerapkan kasta. Tetapi dengan ini semua saya ingin menunjukkan kepada anda bahwa anda memiliki pemahaman yang rancu antara kasta dan varna. Makanya saya katakan bahwa kasta adalah suatu pembagian masyarakat yang didasarkan pada keturunan, tetapi varna adalah pembagian masyarakat yang didasarkan pada profesionalisme, pekerjaan, kemampuan personal, watak, sifat dan sejenisnya serta sama sekali tidak ada hubungannya dengan garis keturunan. Sehingga dengan pembagian masyarakat di Kristen yang membagi menjadi golongan pemimpin agama, tentara, bisnismen, pembantu dan sebagainya yang tidak ada hubungannya dengan keturunan adalah merupakan sistem Varna sebagaimana yang disampaikan dalam kitab suci Veda. Anda bisa mengerti?
Saya rasa anda berpendapat terlalu dangkal. Seberapa tahu anda masalah avatara? Avatara yang mana? Ada banyak Avatara lho… Para swamiji dan pemimpin Hindu tidak peduli dengan masyarakat dan lingkungan? Jika anda mengatakan hal ini di Indonesia khususnya maka saya juga setuju dengan anda… memang benar, para Ditjen Hindu, Parisada dan sejenisnya jarang yang mau terjun ke plosok-plosok… beberapa oknum malah hanya memikirkan keuntungan sendiri, memikirkan jabatan dan kekayaan. Semoga apa yang anda sampaikan ini didengar oleh para pemimpin Hindu. Hanya saja saya garis bawahi lagi bahwasanya hal ini bukan karena kitab sucinya… tetapi karena mereka, para pemimpin Hindu kekeringan pengetahuan Veda…. harus kita akui dengan jujur kalau banyak para pemimpin Hindu menjadi “orang suci” karena keturunan akibat masih derasnya sistem wangsa di Bali… mereka diangkat menjadi pemimpin dan pemuka agama bukan karena kesucian hati mereka dan kemampuan mereka menguasai kitab suci, tetapi oleh karena keturunan. Inilah yang harus kita dobrak bersama dan ini juga salah satu maksud artikel ini saya publikasikan.
Selanjutnya mengenai dunia Barat dan ketergantungan dunia Timur akan dunia Barat secara “MATERIAL” itu memang benar.. Tetapi apakah dunia Barat mencerminkan Kristen? Atau malah Atheis?
Karena kesenjangan material ini, Prabhupada ke Amerika dalam rangka mengimbangi kesenjangan spiritual dan material ini. Beliau mengatakan bahwa di Barat terdapat kekayaan material dan di dunia Timur tertadap kekayaan spiritual. Kedua hal ini bagaikan dua orang yang buta dan lumuh. Untuk bisa berjalan secara harmonis, maka dunia Barat yang memiliki hal material tetapi miskin spiritual harus merangkul dunia Timur yang kaya spiritual tetapi miskin material. Dan benar saja… sampai saat ini ISKCON sebagai salah satu bentuk penyatuan tersebut berhasil menghantarkan sekian banyak pemuda-pemudi Barat yang kaya raya menjadi sadar akan spiritual dan juga membantu para kalangan dan penekun spiritual di Timur yang miskin secara material menjadi lebih baik.
Kalau saya lanjutkan sesuai dengan alur diskusi anda, sepertinya tidak akan menyelesaikan topik diskusi kita di artikel ini. Mohon masalah-masalah yang lain dibahas dalam topik artikel yang relevan.
Jadi mari kita fokuskan hanya ke masalah Kasta, Wangsa dan Varna. Sekali lagi, mohon tunjukkan sloka di Hindu yang membagi masyarakat berdasarkan keturunan..
Salam,-
@YTH AC Bhaktivedhanta ngarayana swami
tolong coment2 saya yang di atas jangan dihapus
Soalnya comentnya mantap sekali
@ komang Yohanes my ass
lo bilang kata2 gue kasar
gue pernah tinggal Di USA 2 tahun ya kata2 itu gue pelajari dari orang2 sono yang notabene kristen coi.
lho bilang hindu india belajar di barat kenapa ga pakai weda
emang monyet loe
ga baca sejarah ya
pada waktu negara barat melakukan 3G gold gospel, glory
setiap mereka melakukan penjajahan mereka selalu mencuri ilmu pengetahuan negara yang dijajah dan membawanya pulang kenegara mereka(pencuri)
sebagai contoh orang bali yang ingin mendalami sastra bali harus belajar ke Belanda karena semua prasasti2 penting beserta lontar2 di bawa ke belanda waktu penjajahan.
dan setiap negara yang mereka jajah dibuat agar masyarakatnya menjadi bodoh tidak dibolehkan sekolah kayak nenek moyang loe.
jesus aja belajar agama ke india dan thibet waktu dia menghilang kalo ga salah ada dalam artikel ini, ngaku kagak loe?
‘Walopun di Kristen ada pendeta, pastur, paus, itu adalah jabatan, dan dalam Kristen dan laur Kristen itu tidak dianggap kasta, hanya kamu saa yang menganggapnya’
sory gue ketawa dulu, wakakkakakakkkakakakakakkkaa
dasar goblok itu mah sami mawon nyet alias sama itu juga disebut kasta loe aja yang tidak mengakuinya
@ Sengkuni dasa
Jujur saja saya tdk ngerti bahasa Inggris, tetapi ketika membaca tulisan inggrismu dan kalimat “ga usah nunjukin gua ayat ayat dalam kitab loe beri bukti aja njing” tsb,enerjinya sangat jelek sekali, penuh dengan kemarahan, sakit hati, dendam, keras kepala, mudah bosan, angkuh dlll.
tulisanmu tdk bisa mempngaruhi diriku, dan ketika membaca tsb, aku langsung meaafkanmu. karena aku yakin dengan hukum karma dan reinkarnasi, bahwa semua ucpan, perbuatan kembali kepada pelakunya sendiri.
coba lakukan dirumahmu, ambilah sebuah cermin, jika kamu Hindu Bali, maka bacalah Tri sandiya 3X / jika kamu pengikut Hare krisna, bacalah mantra HK 3x lalu lihatlah cermin tsb selama 5 menit lebih.
lihatlah siapa yg muncul dlm bayangan tsb.
jika kamu memang manusia yang mempunyai nilai kemanusiaan maka tidak mungkin mencaci manusia lain.
jika kamu mencaciku dengan: “kiss my ass”
ku balas dengan ucapan: “Kiss Lord krisna”
sekali lagi sengkuni, aku ucapkan trimakasih yg banyak atas makianmu.
@ sengkuni dasa
Kamu kelihatan sangat lucunya……………?
Orang Barat sebelum ke India sudah maju dalam segala bidang, jika memang India maju, mengapa menjadi negara pelanggan dijajah?!
anehnya mengapa kamu belejar di Amrik? kok ke India. cobalah lu ngaca mulai dari kecil, pola makananmu, sistem pendidikanmu, pakaianmu, bahkan segala tehnolgi itu berasal dari barat buatan orang Kristen.
tapi aneh yaaa…..
ngakunya lulusan Amrik…..
diajak diskusi jawabanya maki-maki…
diberi tulisan dijawab dengan kedongkolan….
buktikan jika dirimu seorang terpelajar, maka gunakanlah kejeniusanmu…..
@yohanes
lho bilang orang bali ngemis2 sama bule
bule aja banyak ko yang ngemis nyari kerja ke bali, kemarin aja ada bule yang ngelamar kerja ke tempat gua,katanya di gaji cuman $500 / bulan aja mau
banyak dari mereka yang nipu teman2nya yang tumben kebali
bahkan sekarang ada prostitusi terselubung yang pelacurnya juga bule,
orang kristen dan muslim juga banyak merantau ke bali ngemis kerja
ada bahkan yang usaha kerajinan bali
”Hindu Juga Penjajah
Selama ini orang Hindu mengklaim mereka tidak pernah menjajah Negara atau daerrah lain. Bukankah dalam sejarah India lampau juga saling perang dan saling mengkuasai, baik dalam perang Ramayana maupun Mahabarata, Tuhan-tuhan laian ikut terlibat perang langsung, yng hanya maslaah sepele, seperti wanita, tahta dan kerajaan.
Disinilah letak perbadaan dengn Tuhan Yesus memberi contoh penuh kasih sayang pd makhluk, Yesus tidak pernah iukut perang bahkan membunuh satu orangpun tidak pernah.”
dalam ramayana dan mahaberata mereka perang untuk membela kebenaran
“hidup sri rama”
“hidup sri krishna”
Kagak kayak negara barat yang berperang untuk mencuri kekayaan negara timur
“Yesus tidak pernah iukut perang bahkan membunuh satu orangpun tidak pernah.”
ya beliau yesus yang agung yang sangat saya kagumi memang tidak ikut tapi pendeta2 kristen yang mempelajari ajarannya beserta pengikut2nya yang menjajah dan membunuh di negeri timur.
(lempar tangan sembunyi batu)
@Xarel X
Kalo lho ga bisa bahasa inggris ni gue ajarin
Kiss my ass artinya lho itu orang yang bijaksana.
kalo lho ketemu roma irama atau zainudin MZ bilang aja kiss my ass mereka akan menghadiahkan loe 72 bidadari di sorga
loe ga usah maafin gue, lho suruh aja tuhan lho maafin sainudin MZ, syief fuji, osama bin laden, roma irama,Amrozzy Cs, orang2 arab yang doyan memperkosa sama nyiksa orang indonesia di arab saudi, Etc,
@sengkuni dasa
Trimakasih atas cacianmu, kumaafkan dirimu…
kubalas ucapanmu:
Kiss Lord Krisna…. I hope you are happy
@ Ngarayana
Andai saja masalah penyelewengan dari konsep varan menjadi kasta hanya di bali saja, itu bias dimaklumi. Berarti ada distorsi pemahaman terhadap Veda. Akan tetapi di India sendiri sebagai Induk agama Hindu, serta lahirnya para Avatar dan Rsi, ternyata mengalami adanya kasta yg lebih parah dengan di Bali. Berarti memang ada kesamaan semua dlm Agama Hindu ditempat manapun bahwa kasta berasal dari tafsiran bersumber dari varna yang ada di Veda.
Dalit dalam sistem kasta] di India adalah seorang yang biasanya diharamkan untuk disentuh, (untouchable), adalah orang yang tidak memiliki varna. Varna merujuk kepada keyakinan Hindu bahwa manusia pada umumnya diciptakan dari bagian-bagian tubuh yang berbeda-beda dari dewa Purusha. Kedudukan sosial mereka ditentukan dari bagian-bagian tubuh manakah mereka diciptakan, misalnya dengan siapa mereka dapat menikah dan pekerjaan apa yang dapat mereka lakukan.. Kaum Dalit berada di luar sistem varna dan secara historis telah dilarang untuk melakukan pekerjaan apapun kecuali pekerjaan-pekerjaan yang paling rendah.[1]Mereka juga dikenal sebagai kaum tak berkasta. Di antaranya termasuk para penyamak kulit (disebut chamar), petani-petani miskin dan para buruh yang tidak bertanah, pemulung sampah (disebut bhangi atau chura), para pekerja kerajinan di jalan-jalan, seniman-seniman rakyat, pencuci pakaian dhobi, dll.
Dalit adalah istilah yang terbaru dan yang secara politis paling tepat di antara banyak istilah lain yang telah digunakan untuk kelompok ini. Istilah-istilah yang menyinggung yang umumnya digunakan di masa lampau termasuk chura, bhangi, neech, kanjjar, dan mirasi. Sementara istilah chura dan bhangi adalah istilah berdasarkan profesi untuk para pemulung sampah, istilah ini juga dapat digunakan sebagai istilah umum bagi mereka yang dilahirkan dari kalangan rendah. Yang lainnya adalah nama-nama kasta yang sesungguhnya. Harijan adalah istilah untuk kaum yang haram disentuh (untouchable), yang diciptakan oleh Mahatma Gandhi, yang berarti Anak-anak Tuhan—Hari adalah nama lain untuk Dewa Wisnu.
Jika memang Varna bersifat hanya pembagian tuga kerja saja, maka Veda harus direvisi ulang, karena sekarang ini sudah banyak sekali macam-macam profesi, maka yang benar bukan catur varna, tetapi ribuan varna.
Sebagai tambahan ada beberapa Link yg menarik dibawah ini:
http://www.sabda.org/misi/kegerakan_orang_orang_dalit_di_india
http://murwanto.blogspot.com/2006/12/sistem-kasta-india-modern.html
@ Komang Yohanes
Sistem Kasta yang masih sangat kental di masyarakat Hindu di India dan di Bali memang masih ada dan sangat kental sampai saat ini. Namun apa benar ini karena pengaruh ajaran Veda tentang Varna? Veda tidak bisa diamandemen oleh siapapun kecuali Tuhan sendiri. Veda juga tidak bisa dikonsiliasi sebagaimana halnya Al-kitab. Dan mau tidak mau, suka-tidak suka, kelahiran manusia yang berbeda-beda dalam guna dan karma pasti ada. This life is never flat. Keterangan yang disampaikan oleh Veda mengenai 4 jenis golongan manusia berdasrkan watak dan frofesi ini memang benar adanya kan? Kalau Veda mengatakan bahwa semua manusia lahir sama dan akan memiliki profesi yang sama, justru itulah yang salah. Dengan pembagian 4 golongan ini, apakah perlu direvisi karena menurut anda ada banyak golongan saat ini?
Menurut Veda ada 4 golongan varna, yaitu:
1. Brahmana = mereka yang berwatak suci dan cenderung pada ketuhanan serta bertindak sebagai pemimpin spiritual… mau dia pemangku, pastur, nabi, imam atau apapun yang berhubungan dengan dunia spiritual
2. Ksatrya = adalah mereka yang berwatak pemberani, seorang administrator dan pemimpin yang memiliki profesi sebagai seorang prajurit, pemimpin organisasi termasuk negara.
3. Vaisya = Kaum penggerak perekonomian yang memiliki jiwa bisnis termasuk para pedagang, petani, business man, pemilik modal dan sejenisnya.
4. Sudra adalah mereka yang tidak memiliki watak seperti kaum yang lainnya, dan memiliki profesi sebagai pelayan dari ke-3 varna yang lain. Mereka adalah pembantu, pelayan, termasuk juga para artis, pemain musik dan lainnya yang tugasnya menghibur orang lain.
Keempat jenis Varna ini secara jelas ditegaskan dalam kitab suci Veda sebagai berikut:
1. Kualifikasi seorang Brahmana menurut Bhagavad Gita 18.42 dan Bhagavata Purana 11.17.16 adalah sebagai berikut:
(a) Kedamaian hati (samah)
(b) Terkendali diri (damah )
(c) Kesederhanaan (tapah)
(d) Kesucian (saucam)
(e) Toleransi (ksantir)
(f) Kejujuran (arjavam)
(g) Berpengetahuan rohani (jnanam)
(h) Bijaksana. (vijnanam)
(i) Agamis (astikyam)
(j) Berpuas-hati (santosah)
(k) Pengampun (ksanthih)
(l) Bhakti kepada Tuhan (bhakti), dan
(m) Berkasih-sayang (daya)
2. Kualifikasi Kshatriya menurut Bhagavad Gita 18.43 dan Bhagavata Purana 11.17.17 adalah sebagai berikut:
(a) Kepahlawanan (sauryam)
(b) Berwibawa (tejah)
(c) Teguh hati (dhrtih)
(d) Penuh inisiatip (daksyam)
(e) Keberanian bertempur (yuddha)
(f) Murah hati (danam)
(g) Berjiva pemimpin (isvara)
(h) Kuat fisik (balam)
(i) Toleransi (titisah), dan
(j) Pengabdian kepada kaum Brahmana (brahmanyam)
3. Kualifikasi Vaisya menurut Bhagavad Gita 18.44 dan Bhagavata Purana 11.17.18 adalah sebagai berikut:
(a) Membajak sawah/ladang (krsi)
(b) Memelihara sapi (go raksya)
(c) Berdagang (vanijyam)
(d) Berpegang teguh pada kebudayaan Veda (astikyam)
(e) Selalu semangat ber-amal (dana nistha)
(f) Tidak munafik (adambhah)
(g) Melayani kaum Brahmana (brahma sevanam), dan
(h) Semangat mengumpulkan kekayaan (atustir arthopayacair)
4. Kualifikasi Sudra menurut Bhagavad Gita 18.44 dan Bhagavata Purana 11.17.19 adalah sebagai berikut:
Melayani/membantu (paricara) orang-orang lain sesuai dengan keakhlian secara tulus, khususnya melayani para Brahmana, sapi, para Deva dan pihak lain yang layak dihormati
Selalu berpuas hati dengan seberapa pun banyaknya upah yang diperoleh dari kegiatan membantu/melayani (tatra labdhena santosah).
Sementara mereka yang tidak termasuk dalam empat kualifikasi di atas adalah seorang “candala” yang berwatak Asurik atau keraksaaan… Bahkan Veda sendiri menyatakan bahwa pada jaman Kali Yuga ini sangat banyak manusia yang berwatak jahat sehingga dia tidak mengikuti sistem Varna, tetapi malah melenceng ke sistem Kasta.
Lebih jauh tentang ini mohon tengak di artikel “Varnasrama Dharma“
Adanya ke empat pembagian ini, apakah melanggar jenis-jenis profesi yang ada di dunia sekarang ini? Bukankah semua profesi bisa dikelompokkan kedalam 4 jenis Varna ini dan mereka yang bertabiat buruk pasti masuk ke golongan Candala? Coba anda pikirkan profesi apa yang tidak dapat masuk dalam ke 4 Varna + candala ini……
Dengan menganalogikannya dengan organ tubuh, Veda juga sudah menjelaskan bahwasanya kalau ke-4 jenis varna ini tidak jalan, maka akan terjadi ketimpangan dan suatu organisasi tidak akan sehat. Coba anda pikirkan jika dalam suatu kantor dimana ada penasehat dan motivator, ada pemimpin perusahaan, ada selles executive, ada satpam dan ada tukang sapu. Jika salah satu dari mereka tidak menjalankan tugas dengan baik, apa yang akan terjadi? akankah perusahaan berjalan normal?
Sekarang tengok masyarakat anda, baik itu masyarakat Kristen, Islam atau apapun, secara jujur harus anda akui, apakah tidak terbagi kedalam Varna-varna yang disampaikan oleh Veda?
Jika ada penyimpangan dalam beberapa masyarakat Hindu di India maupun di Bali saat ini adalah karena mereka sudah berwatak Asurik… sudah mengarah kepada Adharma dan melupakan ajaran Veda. Jika mau jujur, bahkan mungkin mereka sendiri tidak pernah mengerti ajaran Veda. Jangan kira karena Veda diwahyukan di India dan beberapa Avatara turun disana otomatis orang-orang di sana suci. Tidak… bahkan sebaliknya, kenapa kitab suci dan kenapa Avatara turun di sana? Karena disana penuh dengan kejahatan dan keangkaramurkaan yang sangat… sehingga Tuhan perlu turun di sana. Coba anda baca sejarah-sejarah Avatara.. bukannya semua Avatara turun karena adanya manusia-manusia jahat itu kan?
Varna tidak membagi manusia menjadi tinggi dan rendah, tetapi karena karakter dan profesinya. Andaikan anda memandang ajaran Varna ini seperti pemahaman anda saat ini, maka sejujurnya masyarakat modern menerapkan sistem kasta yang sangat-sangat keras. Di dunia kerja terdapat sekian banyak jenjang profesi dan mengharuskan bagian staff terbawah tidak ubahnya bagaikan budak. Dalam masyarakat akan ada pembedaan antara dia yang kaya dengan yang miskin, yang berpakaian kumal dengan yang pakaian ber-merk dan seterusnya…
Jadi menurut hemat saya, jika anda berhasil menunjukkan bahwa ajaran Varna yang menunjukkan pembagian masyarakat dunia berdasarkan sifat dan profesinya salah. Dan masyarakat dunia bisa dibangun tanpa kelas dan penggolongan baik dari segi pekerjaan dan kepemimpinan, maka anda bisa meyalahkan ajaran Veda. Tapi kalau tidak, berarti anda sebenarnya belum bisa mengerti sistem kasta dan varna dan cenderung mencari kesalahan sejarah dari orang-orang Asurik/Candala yang mengaku diri mereka pengikut Veda, padahal mereka tidak mengerti tentang ajaran Veda.
Anyway, bagaimana dengan ayat-ayat perjanjian lama yang saya sampaikan yang membenarkan perbudakan? Apakah itu perlu di amandemen? 😉
Salam,-
Di India, Nyawa Bisa Melayang Karena Beda Kasta
Meski sudah memasuki era modern, namun budaya Kasta di India tetap dipakai. Kekerasan pun kerap terjadi, dan wanita lebih banyak jadi korban.
Polisi India memeriksa wanita yang tewas dibunuh
Asha Saini, 19 tahun, dan Yogesh Kumar, 20 tahun, saling jatuh cinta. Mereka rencananya akan segera menikah. Tapi, keluarga Saini tidak setuju karena calon suami hanya seorang sopir taksi. Pihak keluarga menilai, pekerjaan sejenis itu tak pantas buat keluarga mereka. Namun, sebenarnya penolakan itu lantaran Kumar berasal dari kalangan kasta rendah.
Namun, Saini tetap bersikeras untuk menjalin cinta dengan Kumar. Upaya memisahkan keduanya pun dilakukan pihak keluarga Saini. Gadis itu dipaksa untuk dinikahkan dengan pria lain.
Upaya itu ternyata tak berhasil. Cinta sudah begitu menyatu di kedua remaja itu. Akhirnya pilihan tragis dipilih keluarga Saini. Keduanya dibunuh. “Kami membunuh mereka berdua karena kami menentang hubungan itu. Jika seseorang datang ke rumah anda untuk bertemu anak perempuan anda, apa lagi yang harus kami lakukan?” kata paman Saini yang bernama Om Prakash, saat dia dan ayah kandung Saini, ditahan pihak kepolisian India.
Saini dan Kumar menjadi salah satu korban di antara lima kasus yang sama di India pada Juni 2010 lalu. Mereka dibunuh karena dianggap menodai kehormatan keluarga. Umumnya yang menjadi korban adalah anak perempuan, yang dianggap seharusnya menjaga kehormatan keluarga.
Pihak kepolisian mengatakan, pihak keluarga sebelumnya sudah mencoba cara untuk memisahkan Saini dan Kumar, namun tak berhasil.
Polisi menetapkan paman dan ayah Saini sebagai tersangka dalam kasus pembunuhan. Tetangga Saini mengaku mendengar jeritan keras pada malam hari, sebelum akhirnya polisi datang dan menemukan Saini dan Kumar tewas.
“Tongkat kayu berukuran besar digunakan untuk menghabisi keduanya. Gadis itu menjerit, dan mengatakan”Bunuh saya tapi jangan bunuh Kumar,” kata Umesh Kumar menirukan kata-kata terakhir Saini. Umesh adalah tetangga keluarga Saini. “Mereka memukul Saini dengan sangat kejam, dan darah keluar dari kepala Saini.”
Kumar mengatakan, dirinya mencoba untuk menolong gadis malang itu, dengan cara menelpon polisi, namun pesawat telpon miliknya rusak. Tetangga lain tak berani meminjamkan telpon karena tak ingin ikut campur.
“Itu bukan urusan kami. Anak gadis itu memang seharusnya patuh pada orang tua,” kata salah satu tetangga keluarga Saini, yang tak mau disebut namanya.
“Yang paling memprihatinkan dari setiap kasus pembunuhan semacam ini, pembunuhnya adalah mereka yang memiliki hubungan keluarga,” kata Wakil Deputi Komisioner Polisi Narendra Bundela.
Di India, kasus pembunuhan dengan mengatasnamakan “Pembunuhan demi kehormatan keluarga” tidak hanya terjadi di pedesaan, tapi juga di kota besar seperti New Delhi.
Masih belum terdata dengan jelas, berapa banyak kasus pembunuhan semacam itu. Namun pihak pemerintah, pengadilan tinggi hingga Mahkamah Agung India berusaha mencari jalan keluar agar kasus pembunuhan sadis semacam itu dapat diredam.
Akibat maraknya kasus pembunuhan atas nama kehormatan itu, anggota kabinet India mengadakan pertemuan untuk membahasnya. Hasilnya, pihak pemerintah akan mengubah hukuman ringan menjadi lebih berat kepada pelaku pembunuhan semacam itu. Sebelumnya, sudah banyak didapati, hukuman bagi pelaku pembunuhan demi kehormatan itu, lebih ringan bahkan lepas dari jeratan hukum, sehingga menyebabkan masih tingginya kasus pembunuhan sejenis itu.
Dr. Ranjana Kumari, Kepala Pusat penelitian Sosial India mengatakan, kasus-kasus pembunuhan seperti yang dialami Saini dan Kumar merupakan contoh ekstrem dari benturan budaya modern dan tradisi kuno India.
“Kehormatan keluarga, biasanya secara tradisional ada pada anak perempuan. Dan ketika anak perempuan tak patuh, maka dianggap menodai kehormatan keluarga,” kata Ranjana.
“Itulah beban berat yang ditanggung anak perempuan di India. Termasuk apa dan bagaimana mereka memakai pakaian, sekolah di mana, di mana mereka tinggal, menikah, semuanya harus menunggu keputusan keluarga,” tambah Ranjana.
Renu, 27 tahun, kakak perempuan Kumar, mengatakan dia dan adiknya tinggal menumpang di rumah kerabat, setelah orangtua mereka meninggal beberapa tahun lalu. “Saya kehilangan segalanya. Saya sebatang kara sekarang,” kata Renu sambil menangis terisak. Dia menambahkan, dirinya begitu dekat dengan Kumar.
“Rasa duka ini akan ada seumur hidup saya. Saya ingin keadilan. Apa yang terjadi pada adik saya juga harus dirasakan para pelaku pembunuhan itu. Mereka harus dihukum gantung,” ujar Renu.
Seperti dimuat di National Geographic, ratusan, mungkin ribuan, wanita di India menjadi korban pembunuhan seperti yang dialami Saini. Banyak kasus yang tak dilaporkan, dan para pelakunya tak pernah tersentuh hukum.
toentas.com/…/di-india-nyawa-bisa-melayang-karena-beda-kasta
HALELUYA…………………………………..
@Xarel X : wah kamu bijaksana sekali sudah saya maki2 tetap tenang
mungkin karena sering singgah di web ngarayana
@ bli ngarayana : ternyata saya salah menilai anda, saya kira anda orang yang cepat tergiur dengan pujian ternyata tidak anda orang yang sangat rendah hati.
saya kira anda akan marah jika saya menulis coment2 yang kurang ajar
ternyata tidak malahan saya mendapat jawaban yang sangat bijaksana.
anda juga tidak berat sebelah jika dari kawan anda yang salah anda juga tidak segan untuk menegur.
anda juga orangnya sabar sekali memberi pencerahan untuk si Komang Yohanes walaupun dia tidak memberi sepeser pun
silahkan kembali ke topik semula saya tidak akan mengganggu lagi.
saya sudah cukup puas membuat onar
Salam,
Pertama saya salut pada saudara Ngarayana yang dapat menceritakan adanya kebobrokan pada sistem keagamaannya sendiri terutama di tanah kelahirannya. Jarang2 ada umat yang berani seperti ini, biasanya cuma orang2 yang merasa benar saja. Saya baru habis membaca buku “Sejarah kegelapan para Paus” karangan brenda raphl lewis, disana banyak kontroversi, skandal, tragedi manusia yang justru dilakukan oleh beberapa Paus di Vatikan. Namun ada juga Paus yang berusaha membenarkan sistem gerejanya. Salut juga bagi mereka orang2 Kristen dan katolik yang juga dapat mengutarakan kebobrokan sistem gerejanya sama seperti ngarayana, baik dalam buku, website maupun film2.
Memang orang umat agama lain kalau belum mengerti akan maksud Weda mereka hanya melihat kenyataan dan realita dari berbagai menifestasi ke-Hindu-an. Padahal itu adalah hasil dari distorsi Weda yang diprakarsai oleh kaum feodal. Sama halnya seperti buku Sejarah Paus yang saya baca ini, adanya perilaku negatif terhadap wanita di masyarakat, perebutan tahta ke-Paus-an, bahkan sikap menentang iptek yang diprakarsai galileo yang sudah terbukti kebenarannya karena tidak sesuai alkitab (seperti film Agora). Yang pada intinya adalah adanya penggolongan masyarakat demi feodalisme tertentu dibawah payung keagamaan. Jadi lucu juga kalo pada komen2 diatas pada saling membenarkan agama sendiri dan melecehkan agama lain sebelum mengerti benar.
Dimana-mana pun pasti ada setiap individu mengambil peran dalam masyarakat dimana itu dijabarkan dalam warna menurut weda. Namun yang saya liat disini weda adalah mungkin satu-satunya kitab suci yang menuliskan adanya pembagian masyarakat (CMIIW) berdasarkan fungsi dan tugasnya pada kehidupan.
Pada wacana ini tercium adanya keinginan untuk meluruskan ajaran weda pada kehidupan umat hindu, bukankah itu bagus…?.
Ngarayana :
Apa dalam bagawan gita atau kitab suci hindu lainnya ada yang menyebutkan bahwa pembagian warna masyarakat ini merupakan “KEHARUSAN” untuk dilakukan ATAU merupakan “KENISCAYAAN” bentuk masyarakat seperti Socrates sebutkan….?
jika ini keharusan..lantas apa pentingnya…?
Mungkin tidak bila ada kaum petani (waisya) yang memiliki sifat seperti brahmana yang anda sebutkan satu-satu diatas (komentar) akan diangkat menjadi brahmana, namun masih tetap bertani…? Apakah pembagian warna ini bersifat tetap atau bisa berubah sesuai umatnya…?
Sebenarnya pembagian warna ini lebih condong ke jenis pekerjaan sehari-hari atau sifat-sifat mulia/rohani yang dia miliki…?
Apa pembagian warna ini ada hubungannya dengan catur marga yang anda sebutkan pada halaman lain..?
Salam
@bli ngarayana
penjelasan anda seperti biasanya dari yang sudah-sudah, runtun dan mencerahkan. Tetaplah menulis untuk pencerahan bagi rekan-rekan semua.
Setiap perdebatan tidak selalu harus berlangsung dalam suasana saling melecehkan jika masing-masing pihak mengerti bahwa adu argumentasi dilakukan untuk meningkatkan pemahaman terhadap suatu pengetahuan. Tetapi, memang seringkali berlangsung panas dan hilang arah karena ketiadaan keinginan untuk mendengarkan argumen pihak seberangnya yang mungkin dirasa akan mempengaruhi pendiriannya sebelum acara diskusi. Suatu hal yang manusiawi sekali.
Menjadi terbuka dan open minded untuk bisa menelaah dan memahami argumen kawan diskusinya menjadi penting disini sehingga diskusi berjalan tanpa membuang2 energi dengan masing-masing pihak mengulang2 hal yang sama.
Hence, hopefully that in the end we will have a sweet conclusion and we’ll realize that we’ve reached a higher level of knowledge and consciousness.
Pisau menjadi tajam karena bergesekan dengan asahannya yang terkadang dalam prosesnya diwarnai bunyi2 yang tidak menyenangkan ditelinga. Tetapi jika digesek dengan yang bukan asahannya, pisau malah akan menjadi tumpul atau hancur.
Salam
All…
Hari ini hari suci Ekadasi dan juga bertepatan dengan peringatan disabdakannya Bhagavad Gita oleh Sri Krishna kepada Arjuna di Kuruksetra. Sangat bertuah jika bisa membaca sloka Bhagavad Gita sebanyak-banyaknya. Idealnya sampai tamat….
Eve
Anda semakin cerdas saja… Pertanyaan-pertanyaan yang berbobot.
Sebelum dijawab oleh Prabhu Ngarayana, saya ikutan komentar ya…
Mengenai perpindahan Varna (alih profesi) itu mungkin terjadi. Sebagian orang sudra terbatas kecerdasannya sehingga memang hanya cocok pada pekerjaan yang membutuhkan dominasi tenaga. Sebagian lagi yang kecerdasannya bagus setelah belajar dengan tekun bisa menjadi lebih pintar dan menjadi Vaisya, Ksatria, atau bahkan Brahmana. Vaisya bisa menjadi Ksatria atau Brahmana, dan jika ia bangkrut (secara ekonomi/karier), modalnya habis, hutangnya menumpuk, maka untuk bertahan hidup dia hanya memiliki tenaga untuk dijual. Jadilah dia kuli bangunan atau tukang angkut barang di pelabuhan, maka dia sudah berprofesi dalam penggolongan Sudra. Seorang Vaisya kemudian ingin mendaftar menjadi prajurit atau terjun di politik menjadi Kepala Pemerintahan, maka dia sudah menjadi Ksatria. Dan jika Sudra, Vaisya, Ksatria, menekuni Kerohanian, pengetahuan rohaninya menjadi luas dan dalam, menjadi bijaksana, maka dia secara “defacto” (he he he pinjam istilah dari seberang) adalah Brahmana. Kebrahmanaan ini kemudian disahkan secara dejure (didiksa Brahmana) maka dia kemudian diberi gelar Brahmana (kalau di Bali: Ida Pedanda, Sri Mpu). Kalau di India atau khususnya Vaishnava sekarang cukup disebut Brahmana saja. Setelah itu, dia dianggap berkualifikasi untuk melaksanakan tugas-tugas keBrahmanaan (menjadi penyuluh atau “surya” bagi umat).
Idealnya memang ada pembagian profesi secara jelas. Tapi di zaman sekarang, memang terjadi kerancuan. Banyak prajurit berbisnis, Sudra yang otaknya pas-pasan ikut2an jadi caleg, jadilah dia korban politik. Yang lebih parahnya beberapa Sulinggih juga ikut berbisnis: jual banten atau jual jasa konsultasi Rohani. Jika ada sulinggih seperti itu sebenarnya dia sudah menjadi Waysia atau malah Sudra.
Orang-orang sudah lepas dari tatanan. Mereka enggan melaksanakan kewajibannya sendiri dan memilih mengerjakan kewajiban orang lain. Inilah yang akan memicu timbulnya kekacauan. Padahal melaksanakan kewajiban sendiri walaupun hasilnya tidak sempurna adalah jauh lebih baik daripada mengerjakan kewajiban orang lain.
Salam…
Tambahan
Mengenai hubungan dengan Catur Marga
Bhakti marga dimungkinkan untuk dicapai oleh siapapun. Bahkan sebagian Sudra (yang tidak cerdas secara materialpun bisa). Tidak demikian halnya dengan jalan Jnana atau Yoga. Hanya orang-orang khusus yang mampu menempuhnya. Tapi sebenarnya mereka yang menempuh Jnana/Yoga puncaknya juga harus Bhakti.
@ Bli Komang Yohanes:
Salam sejahtera. Selamat menyambut dan merayakan hari raya Natal. Semoga kita semua dapat merasakan kasih dan karunia Yesus Kristus agar kita dijadikan semakin tekun dan semangat dalam pelaksanaan pelayanan kepada Tuhan. Puji Tuhan.
Saya tertarik dengan kepedulian bli Komang Yohanes terhadap relatias yang terjadi di kalangan saudara-saudara bli yang berlabel Hindu, khususnya relitas kasta sebagaimana diutarakan dalam diskusi ini. Sepenangkap saya setidaknya ada kesamaan niat bahwa masing-masing dari kita sedang berusaha agar bisa memandang masyarkat sesuai kedudukannya yang sebenarnya, bukan terkotak-kotak oleh kasta.
Pernyataan bli Komang Yohanes, “
Andai saja masalah penyelewengan dari konsep varan menjadi kasta hanya di bali saja, itu bias dimaklumi. Berarti ada distorsi pemahaman terhadap Veda. Akan tetapi di India sendiri sebagai Induk agama Hindu, serta lahirnya para Avatar dan Rsi, ternyata mengalami adanya kasta yg lebih parah dengan di Bali. Berarti memang ada kesamaan semua dlm Agama Hindu ditempat manapun bahwa kasta berasal dari tafsiran bersumber dari varna yang ada di Veda.”
Komentar saya:
Meskipun benar adanya bahwa di India (yang bli jadikan tolak ukur Hindu) disana terjadi sistem kasta yang lebih parah dibandingkan dengan di Bali, namun bukan berarti itu menjadi kesamaan bagi semua tempat dalam Agama Hindu. Masih bisa kita temui sebagian banyak umat Hindu-penganut Sanatana Dharma yang menerapkan Weda secara “as it is”, seperti satu diantaranya di Kesadaran Krishna atau Waishnawa.
Perihal kenyataannya terjadi sistem kasta yang kebetulan secara sadar atau tidak sadar banyak dialmatkan terjadi dikalangan masyarakat berlabel Hindu itu hanyalah sebuah fenomena distorsi yang kemudian telah menjadi budaya dibanyak tempat, namun tidak disemua tempat Hindu. Mengenai dari mana sumber inspirasi para pendistorsi itu melahirkan sistem kasta ya itu cerdik-cerdiknya(licik) nya mereka untuk mencari cari kesamaan nama bagi pembagian kasta dengan pembagian warna, untuk sesuatu yang sesungguhnya berbeda dengan tujuan nantinya konsep yang mereka kembangkan untuk kepentingan mereka , entah melanggengkan kekuasaan , feodalisme, dll tersebut mudah diterima masyarakat bila tanpa kita kaji dengan penalaran lebih dalam. Jaman Kaliyuga seperti saat ini cara semacam ini hampir lumrah, cenderung saling mengolok-olok. Dan terbukti memang berhasil bahkan menjadi budaya yang sangat kronis. Namun ditegaskan pada dasarnya antara warna dan kasta sangat berbeda. Dan untuk itulah menurut saya Bli Ngarayan dan teman2 yang lain mengangkat diskusi ini untuk menegaskan abu-abu ini.
Terimakasih.
Pembenaran Kasta dengan Hukum Karma….?
Baik di India maupun dibali ummat Hindu adalah salah satu pemeluk agama yg taat pada Veda, bahkan di bali sendiri mereka mayoritas masih berpegang adat yang bersendikan lontar, hasil dari tafsiran Veda. Maka mustahil jika ada sautu ajaran yg menyeleweng dibiarkan dan dilestarikan. Pasti akan cepat diperbaiki dan dirubah.
Akan tetapi ada satu hal yang menarik yaitu, mengenai system kasta, bukankah jelas-jelas bertentangan dengan Veda? Tetapi mengapa masih terjadi sampai hari gini. Bahkan berbagai cara dilakukan untuk merubah dan menghapus ajaran Kasta, sampai-sampai PHDI mengeluarkan fatwa tentang penghapusan Kasta. Tetapi hasilnya tidak maksimal, hanya sedikit saja yg sadar, itupun kalangan muda yg terpelajar, beda dengan kelompok HK yg memang tidak mengakui adanya kasta.
Mengapa sampai kuat dan langgeng tradisi kasta di bali ataupun di India, salah atu factor yg memperkuat adalah adanya keyakinan KARMA. Kekeliruan memahami Karma sehingga dijadikan salah satu alasan adanya kasta, karena kehidupan sekarang dipengaruhi oleh kehidupan dahulu, sehingga orang yg baik akan dilahirkan dalam keluarga yg baik, orang yg jahat dilahirkan dalam kondisi orang yang jahat.
Logika inilah yang membuat sistem kasta bertahan sampai dengan hari ini! Para kasta rendah yang meyakini hukum karma ini terpaksa hanya pasrah dan menerima keadaan dan perlakuan buruk terhadap mereka.
Pandangan Sang Buddha
Bagaimana pandangan Sang Buddha terhadap sistem kasta ini? Sang Buddha mengakui kebenaran tentang adanya hukum karma dan tumimbal lahir akan tetapi Beliau dengan tegas menolak sistem kasta! (padahal sebelum mencapai keBuddhaan, Beliau terlahir di kasta Ksatria yang cukup terhormat). Tapi Sang Buddha tidak menghiraukan kedudukan kastanya yang tinggi dan tetap menolak sistem kasta. Mengapa? Bukankah logika golongan brahmana di atas cukup masuk akal??
Ini karena setiap makhluk bahkan yang paling rendah sekalipun memiliki Bodhicitta (benih-benih keBuddhaan). Ada benih-benih kebajikan yang dapat dilatih dan ditumbuhkan dari dasar batin yang paling mendalam setiap makhluk. Pandangan Sang Buddha telah menembus sekat-sekat duniawi dan melihat potensi bodhicitta yang indah pada setiap makhluk; Beliau tidak lagi melihat rendah-tinggi, kaya-miskin, cantik-jelek. Semua dilimpahi oleh kelembutan dan kasih sayang, oleh perasaan simpati dan welas asih. Keindahan Bodhicitta inilah yang tidak dapat dilihat oleh mata para brahmana yang tertutupi oleh debu kemelekatan duniawi.
Alasan kedua adalah karena karma bukanlah segalanya. Keadaan kita saat ini tidaklah hanya bergantung pada karma semata. Kondisi dan faktor-faktor kesalingbergantungan juga berkontribusi dalam menentukan keadaan kita saat ini. Bukankah selain Karma Niyama; kita juga mengenal adanya Utu Niyama, Bija Niyama, Citta Niyama, dan bahkan Dhamma Niyama! Jadi, meskipun penting dan berpengaruh, karma hanyalah salah satu elemen yang mempengaruhi kondisi kita.
Berikutnya, sistem kasta telah menciptakan satu rantai fatalisme. Dengan alasan karma-karma buruk kehidupan sebelumnya, orang-orang yang terlahir di keluarga bercap kasta rendah diperlakukan sangat buruk dan pada umumnya hidup dalam himpitan kemiskinan, tekanan sosial dan depresi batin yang menyiksa. Akibat tekanan sosial dan batin seperti ini, banyak warga kasta rendah melakukan kriminalitas (seperti pencurian, dsb). Lantas kapan mereka akan bisa keluar dari kasta yang rendah ini? Kondisi hidup yang buruk akan menekan mereka untuk melakukan keburukan dan mereka kemudian terlahir lagi dalam keburukan dan seterusnya dst… sampai kapan??
Tambahan pula, kaum brahmana tidak menyadari kebenaran dari Paticcasamuppada (kesaling-terkaitan). Bukankah kebutuhan hidup mereka seperti makanan, pakaian, kenyamanan bisa tersedia juga karena adanya kontribusi dari para golongan bawah, dari para kasta rendahan tersebut? Sudah selayaknyalah mereka menghargai dan menghormati para kasta rendahan.
Inilah beberapa alasan mengapa Sang Buddha dengan tegas menolak sistem kasta.
Siraman hangat sang mentari…
Arakan awan putih baris-berbaris…
Sepoi angin mengalun lembut…
Terhiasi oleh Bodhicitta segenap makhluk
Marilah kita semua, mulai momen ini juga, mulai saat ini juga, mencoba berlatih dan berlatih, menumbuhkan hati yang bajik.
Mungkin banyak kegagalan ‘kan menghadang
Mungkin banyak kesulitan ‘kan menerjang
tapi… seraya tersenyum, kita akan mencoba… dan… mencoba lagi…
XarelX
Anda lupa melihat satu hal: yakni siapa yang diuntungkan dengan adanya Wangsa ini? Jawaban dari itu adalah mereka yang punya kuasa dan kekayaan yang tinggal di Puri. Merekalah yang mempertahankannya. Makanya agak susah. Tapi itu hanya masalah waktu saja kok. Dengan berakhirnya sistem kerajaan, itu tidak perlu dikhawatirkan. Tak lama lagi masa pemertahanan hegemoni ini akan berakhir. Tapi yang akan memakan waktu cukup lama adalah pemertahanan Wangsa melalui Geria-Geria. Para sulinggih pro Wangsa ini jauh lebih berpotensi untuk memperpanjang hegemoninya.
Kalau mengenai pendapat Anda bahwa itu terjadi karena salah memahami hukum Karma, ada juga kemungkinannya begitu. Tapi mungkin dugaan itu tidaklah begitu kuat. Dengan pengetahuan keagamaan yang benar, maka itu bisa diluruskan. Banyak teman saya dari wangsa Ksatria yang sudah anti sistem Wangsa ini.
Salam
Terima kasih PutraTriDharma
Dari tanggapan memang pembagian warna ini berdasarkan jenis pekerjaan, tapi kalau dilihat sekarang, memang banyak kerancuan. Sebab dengan mendalami satu profesi saja terkadang manusia beserta keluarga tidak bisa hidup, mereka suka cari penghasilan sampingan. Bahkan yang sudah hidup berkecukupan pun jika masih ada waktu akan mencari hasil tambahan. Tidak hanya senin-jumat, sabtu minggu pun juga bekerja dengan profesi lain yang dengan warna yang berbeda.
Misal mungkin ada pemimpin acara keagamaan merangkap sebagai pedagang atau sebagai PNS. Ini bukan merupakan keinginan manusia yang berperan sebagai satu warna dalam masyarakat tapi lebih kepada tuntutan keberlangsungan hidup untuk mencukupi kebutuhan hidup.
Menurut bagawan gita atau kitab Hindu lainnya apakah mencari penghasilan tambahan untuk hidup dengan warna berbeda itu keliru..? sehingga ini juga disebut sebagai kerancuan. Atau catur warna ini hanya untuk pekerjaan inti saja sedangkan pekerjaan tambahan tidak termasuk…? Meski anda sebut jaman kaliyuga apa catur warna tetap bisa diterapkan dengan tidak adanya kerancuan ini…?
Salam
Salam
Eve
Zaman sekarang kerancuan sulit dihindari. Tapi setidaknya para Brahmana yang tidak rancu karna mereka merupakan insan-insan yang diharapkan menjadi penerang umat. Terlalu terbelenggu dengan materi tidak mungkin bisa mencerahkan umat.
Ada dua profesi yang harus dikukuhkan secara formal yakni Ksatria dan Brahmana. Ksatria harus disahkan menggunakan SK. Demikian juga dengan Brahmana harus disahkan dengan upacara Diksa. Jadi profesi keduanya tidak bisa dijadikan sampingan. Kalau Sudra dan Vaisya tidak membutuhkan formalitas. Jadi kuili atau petani ya tidak perlu mendaftar atau disahkan oleh pemerintah. Demikian juga kalau mau berdagang. Jadi yang mungkin nyambi adalah Ksatria yang juga berbisnis (punya usaha). Pedanda juga bisa nyambi, tetapi sebenarnya begitu dia nyambi dan terikat dengan materi, maka kualifikasinya sudah merosot. Ada etika kebrahmanaan yang harus dipegang teguh oleh sulinggih. Kalau itu dilanggar, maka dia tidak layak menyandang kebrahmanaan lagi.
PutraTriDharma
Dari penjelasan anda setidaknya mengisyaratkan warna Brahmana jangan tercampur dengan warna lainnya agar kesucian brahmana tetap terjaga. Dan ketiga warna lainnya dapat saja tercampur, apa dalam Weda dan bagawan gita “pen-spesial-an” ini ada…?. Karena satu sama lainnya juga berperan penting dalam masyarakat. Dan apa dalam kitab Hindu tidak ada pengecualian untuk jaman kaliyuga ini akan kemungkinan tercampurnya catur warna itu (kecuali brahmana)….?
Salam
Eve
Saya katakan seperti itu dalam konteks zaman sekarang yang merupakan zaman besi, penuh kekalutan. Tuntutan ekonomi mengalahkan pemertahanan tatanan Varna, di mana materi menjadi nomor satu. Sudah kaya tapi kepingin lebih kaya lagi. Inilah yang menimbulkan kekacauan.
Brahmana (sulinggih) sebenarnya selalu mendapatkan daksina setelah melaksanakan tugasnya. Nah dengan daksina itu semestinya dia berpuas hati. Dia seharusnya hidup sederhana dan mulai meninggalkan ikatan material. Tapi susah memang jika sudah jadi sulinggih tapi kepingin kemewahan. Mobilnya lux. Rumahnyajuga mewah. Jadilah sulinggih sebagai profesi untuk menumpuk harta. Padahal kebanyakan sulinggih sudah tua. Tinggal nunggu beberapa tahun pulang deh… Tapi kemewahan membuat dia lupa akan dekatnya ajal. Inilah jerat material….
TAPI:
Jika seseorang menjadi Vaishnava (berkesadaran Tuhan), maka dia tidak berada di jenis Varna manapun. Dia melampaui Varna tersebut. Lihat penjelasan Srila Prabhupada Sloka 4.13 Bhag. Gita.
Salam
jadi menurut anda konsistensi catur warna yang ada sekarang mendapat tantangan keras utk jaman sekarang. namun apakah mungkin catur warna ini tidak cocok utk jaman sekarang sesuai pembahasan anda diatas, meski kesalahan terletak pada individu bukan pada ajaran weda. atau dengan kata lain catur warna tidak cocok dalam jaman kaliuga karena justru mengarah ke perpecahan berkat kaum feodal.
namun agaknya pendapat anda terakhir agak bersimpangan dengan ngarayana dimana vaisnawa tidak termasuk dalam catur warna, sebab pada komen ngarayana sebelumnya menyebutkan hanya asurik/raksasa/candala yang diluar warna itu. apa sebenarnya “melampaui” ini menciptakan warna baru yaitu warna waisnawa….?
salam
Eve
Pendapat saya tidak berseberangan kok. Apa yang dikatakan saudara Ngarayana itu benar. Golongan itu memang tidak memenuhi kriteria untuk masuk salah satu Varna. Golongan itu tidak mengenal etika, atheis, dan jahat. Akan tetapi kalau menjadi Vaishnava seseorang sudah melampaui Varna. Kata melampaui artinya sudah pernah menapak di wilayah itu kemudian meninggalkannya untuk mencapai tujuan secepatnya, yakni Krishna.
Walaupun banyak terjadi kerancuan, tetapi Varna akan tetap eksis. Di sadari atau tidak di negara kita sebagian sistemnya sudah menerapkan sistem Varna ini. Buktinya adalah pelarangan rangkap jabatan, pelarangan pejabat-pejabat publik/politik untuk menjadi pimpinan perusahaan dll.
Kesimpulan:
Candala dan Asura tidak masuk Varna karena tidak sampai, sedangkan Vaishnava tidak berada di wilayah Varna karena sudah melewatinya.
Demikian
PutraTriDharma
Mungkin kata yang lebih tepat “melalui” bukan “melampaui” pada komen anda sebelumnya yang terkesan tidak pernah menyentuh meski sama2 di luar objek. Namun dari komentar2 diatas saya yakin kalau sebenarnya dalam weda tidak dibenarkan bila tiap individu memiliki beberapa warna dalam kehidupan masyarakat. Cukup satu warna saja pada saat yang bersamaan, dan bisa meningkat sesuai kesadaran dan kemampuan.
Atau mungkin sebaiknya memiliki berbagai macam pekerjaan namun tetap di satu warna, misal waisya dimana para pebisnis selain berdagang juga bermain saham, atau para brahmana selain memimpin upacara juga sebagai guru kerohanian. Apa kalo yang seperti ini diijinkan dalam konsep weda khususnya catur warna…?
Satu lagi pertanyaan, mungkin lebih condong ke PHDI sebagai organisasi utama di Indonesia. Sistem hegemoni yang ada di bali terutama dimana yang diutamakan adalah faktor keturunan ini berlangsung lama bahkan dari jaman Nirarta (sesuai wacana). Yang saya heran kenapa tidak dari dulu ini dibahas secara signifikan oleh generasi muda hindu, singkatnya kenapa kok rasanya baru rame dibicarakan sekarang (apa cuman prasaan saya saja). Apa saking begitu berkuasanya para kaum brahmana (dan kaum lainnya) yang mendukung hegemoni…… terutama di bali…? Saya yakin generasi muda seperti ngarayana dan anda juga sudah ada dari dulu, dan tidak hanya menunggu hingga semuanya sadar.
Salam
Membicarakan kasta atau wangsa sekarang sebenarnya sudah basi, tetapi harus tetap dilakukan untuk mencegah masalah ini berkamuflase. Dulu, beberapa publikasi yang mengkritisi penyimpangan sistem Varna ini di muat di media-media Hindu. Warta Hindu Dharma, Raditya, Media Hindu dan diskusi-diskusi melalui milis. Tapi itu belumlah memadai dari segi kuantitas. Satu-satunya buku yang membahas tentang itu berjudul KASTA Kesalahan Berabad-Abad ditulis oleh Ketut Wiana dan Raka Santeri dan diberi pengantar oleh Putu Setia. Publikasi yang lain hanya berupa artikel di media-media yang saya sebutkan.
Tambahan
Eve
Dalam mahasabha-mahasabha PHDI juga sudah dibahas, tetapi karena sebagian tokoh PHDI (terutama para sulinggih) secara “implisit” semangatnya masih protektif terhadap “kewangsaan” ini maka ini menjadi remang-remang. Bukti yang paling mencolok adalah dipermasalahkannya Prabhu Guna Avatara Das sebagai anggota Sabha Pandita PHDI. Padahal dari segi kebrahmanaan Beliau bisa “diadu” dengan para sulinggih terutama penguasaannya terhadap Veda. Jadi benang kusut masalah Kasta memang harus terus diurai sampai tuntas.
Prabhu Ngarayana…. Mohon luruskan atau beri komentar tambahan. Terimakasih…
wah..wah…lama tidak berkunjung, makin rame aja nih disini.
maaf ya sebelumnya saya lancang ikut berkomentar `lagi` disini.
@eve dan @putratridharma
saya tertarik dengan komentar yg terakhir yg berkaitan dengan PHDI dan Prabhu Guna Avatara Das. mungkin kita coba simak artikel berikut :
http://www.iloveblue.com/printnews.php?jenis=article&pid=623
iseng2 saya browsing…eh malah terhempas di situs ini. setelah teman2 membaca artikel tersebut, mohon pencerahannya ya…
Salam,-
Saya tertarik dengan link di ILoveBlue yang saudara Kidz berikan. Sebenarnya permasalahan mengenai Hare Krishna Hindu atau bukan merupakan masalah yang sudah berlangsung lama. Tetapi sepertinya karena dibalik permasalahan itu terdapat nuansa politik, maka sampai saat ini masalah itu masih selalu diungkit-ungkit.
Dalam sekian banyak kesempatan, Srila Prabhupada memang menolak Hindu. Tetapi kata “Hindu” yang ditolak di sini adalah pemahaman agama Veda yang menurut beliau sudah sangat menyimpang dari ajaran asli kitab suci Hindu itu sendiri. Contoh-contoh penyimpangan itu mungkin antara lain mengenai “kasta dan wangsa” yang kita bahas di topik ini. Konsep ketuhanan yang mentok pada konsep leluhur dan para dewa tanpa mau mengkaji kitab suci Veda lebih lanjut, tetapi malahan hanya mengedepankan tradisi. Karena itulah Prabhupada dengan tegas juga mengatakan bahwa Hindu adalah kemerosotan yang tak tertolongkan dari bentuk asli Sanatana Dharma Veda. Lebih lanjut beliau juga berkata “India, mereka telah membuang sistem agama yang sesungguhnya, Sanatana Dharma. Secara takhyul, mereka menerima satu agama campur aduk (a hodgepodge thing) yang disebut Hinduisme. Karena itulah muncul kekacauan.” Kenapa Prabhupada mengatakan hal ini? Karena beliau ingin mengajarkan ajaran Sanatana Dharma yang murni sesuai dengan parampara dan mudah diterima oleh orang-orang Barat pada umumnya dimana mereka sudah terlanjur antipati kepada Hindu.
Pemahaman ajaran Veda yang sebenarnya sebagaimana sudah dijelaskan oleh putratridharma adalah lepas dari ego sektoral. Lepas dari ego kelompok dan golongan. Lepas dari klaim mengklaim agama dan hanya bertujuan pada Jagadhita (kesejahtraan material semua mahluk hidup di dunia) dan Moksa (pencapaian pada sat cit ananda) dengan cara menuntun seluruh manusia dan mahluk hidup untuk sadar pada Tuhan. Prabhupada juga mengatakan bahwa dengan kesatuan paham seperti inilah yang bisa menjaga keteraturan manusia di dunia dan menyatukan mereka dalam satu visi. Lebih jauh, beliau juga mengatakan bahwa PBB yang hanya menekankan pada hal material tanpa menanamkan kesadaran pada Tuhan kepada seluruh umat manusia adalah usaha yang non sense dan sia-sia belaka.
Jadi menurut hemat saya, Prabhupada tidak menolak mengatakan diri sebagai Hindu / pengikut Veda, tetapi beliau menolak jika ajaran yang beliau sebarkan sama dengan ajaran Hindu yang terdistorsi yang beliau hadapi selama ini di India.
Salam,-
Kidz, link itu ngga bisa dibuka. Tolong copaskan aja kalau bisa.
Kidz
Oke sudah bisa dibuka.
Pertama: Saya punya buku Am I a Hindu itu. Siapa Ed Visvanathan? Dia bukan seorang rohaniwan. Dia juga bukan sarjana di bidang keagamaan. Dia bukan Brahmana. Jadi kalau mendefinisikan Hare Krishna hanya berdasarkan buku karangan Ed Visvanathan itu tidaklah tepat. Itu sepihak namanya. Saya sudah membaca buku itu berulang-ulang. Isinya lumayan banyak yang salah kaprah.
Mestinya, jika mereka ingin mengetahui apa itu Hare Krishna, maka sumbernya haruslah dari buku-buku Hare Krishna. Tentang ini, saya sudah banyak berdebat dengan Pak Wirajhana di blognya. Dia juga mengutip pernyataan Ed Visvanathan ini.
Mestinya juga sebelum mengolok-olok masyarakat Hare Krishna, mereka memeriksa KTP yang diolok-olok itu. Juga mereka seharusnya melihat Kitab suci Hare Krishna lalu dibandingkan dengan kitab suci mereka. Mestinya mereka melihat pertapaan yang dilakukan oleh Hare Krishna lalu dibandingkan dengan pertapaannya. Ah, mestinya mereka menanyakan siapa Tuhannya Hare Krishna lalu dibandingkan dengan Tuhan mereka. dst…
Kedua: Kesadaran Tuhan memang tidak dibatasi oleh agama apapun. Orang Islam boleh berkesadaran Tuhan (banyak orang Islam yang ikut Hare Krishna). Orang Kristen silakan (di Eropa, Amerika, Australia, Afrika) banyak yang ikut Hare Krishna… Nah, Brahmana Prabhu Guna Avatara Dasa adalah penekun kerohanian di Hare Krishna “yang kebetulan beragama Hindu”.
Kids & PutraTriDharma
Terima kasih atas linknya, itu sangat fenomenal bagi masyarakat hindu. Apakah PHDI sudah memberikan penjelasan akan “keberadaan” ajaran Hare Krishna ini secara gamblang..sampai ada UU-nya ? jika dihubungkan di Indonesia HK ini disebutkan sudah berkembang luas yang berdampingan dengan masyarakat Hindu namun dirasa memiliki habit keseharian yang berbeda (selayaknya beda ajaran agama).
Jika dilihat dari seluruh masyarakat hindu di indonesia tiap daerah sebenarnya sudah punya hindu sendiri2 misal di yogja ada kejawen, kaharingan dan tempat2 lain mungkin adatnya berbeda tapi masih tetap bernaung atas nama hindu dimana PHDInya seperti dalam bahasan “Balinisasi” pada web ini kebanyakan orang2 hindu bali. Jadi secara keseluruhan, sebenarnya tidak hanya HK dan hindu bali saja yang berhadapan tapi juga setiap hindu di daerah2 tersebut.
Menurut saya (maaf) mungkin PHDI tidak hanya menganggap atau mengutamakan manifestasi kehinduan nusantara hanya dilihat dari hindu bali saja namun dapat mengkover semua hindu di nusantara termasuk ajaran2 HK, hanuman, sivais, kejawen, dsb dsb yang juga sama2 bernafaskan hindu sesuai culture masing2 meski terkadang satu sama lainnya berbeda seperti HK lebih meninggikan krisna/wisnu daripada siwa.
Tambah lagi seharusnya PHDI juga memelihara dan melindungi ajaran dan budaya hindu tiap daerah seperti hindu kaharingan yang sudah punah lantaran masyarakat hindunya sudah ke-bali-bali-an atau malah banyak yang pindah agama lain.
Salam
Eve
Terima kasih atas komentar-komentarnya…. Saya suka.
Pencerahan yg saya dapatkan menurut saya terdapat pda perbedaan antara komentar @eve dan @putratridharma adalah :
@eve mengomentari lembaga ini untuk mengayomi seluruh sampradaya hindu agar disetarakan,
@putratridharma mengomentari agar lembaga ini sepatutnya menggunakan kesadaran HK dalam mengayomi seluruh sampradaya
@ngarayana berarti sila prabhupada tidak mengakui ajaran hindu yg tidak menggunakan kesadaran HK dan kalau hindu itu sudah menggunakan kesadaran HK barulah disebut hindu ? maaf karena keterbatasan saya, mohon penjelasannya, dari penjelasan saudara sebelumnya saya malah berfikir bahwasanya ada banyak Hindu, yg secara umum dibagi menjadi : hindu yg terdistorsi (campur aduk, dan tanpa kesadaran HK) dan hindu yg berlandasan HK. Anda juga menyinggung tentang “ego”, kata ini sangat sensitif dan sarat akan persepsi subjektif.
Trims
Salam,-
@putratridharma
mengenai komentar anda yg kedua,
“…banyak yang ikut Hare Krishna… Nah, Brahmana Prabhu Guna Avatara Dasa adalah penekun kerohanian di Hare Krishna “yang kebetulan beragama Hindu”….”
pertanyaan… ketika orang beragama Islam masuk HK, apakah dia mengikuti ajaran Islam ? begitu jg dengan orang Kristen yg masuk HK, apakah semua kitab sucinya(Kristen) masih berlaku untuk dia terapkan?
nah kalau pendiri ISCKON sudah secara resmi menyatakan bahwa HK tidak ada urusan dengan ajaran Hindu (ajaran yg merosot?? ajaran veda yg terdistorsi?? ajaran campur aduk?? dll)lalu bagaimana dengan Brahmana Prabhu Guna Avatara Dasa dengan agamanya yg `kebetulan` Hindu ?
@ngarayana
maaf sebelumnya saya lupa mengomentari kalimat anda ini :
“…Sebenarnya permasalahan mengenai Hare Krishna Hindu atau bukan merupakan masalah yang sudah berlangsung lama. Tetapi sepertinya karena dibalik permasalahan itu terdapat nuansa politik, maka sampai saat ini masalah itu masih selalu diungkit-ungkit…”
jujur saya baru kali ini mendengar permasalahan HK Hindu atau bukan, kalau tidak saya masuk ke web site anda, saya tidak akan pernah bisa tau informasi dan belajar sejauh ini, dan yg pasti disini saya murni untuk belajar memperkaya diri dan bukan atas dasar adanya nuansa politik seperti yg saudara sampaikan diatas
Salam,-
Kidz
Hare Krishna tentu tidak mengajarkan sesseorang untuk membuang ajaran luhur yang ada di kitab sucinya. Sebenarnya logikanya begini: Ajaran luhur apa saja yang ada di luar Veda, sudah pasti ada di dalam Veda, akan tetapi ajaran luhur yang ada di dalam Veda belum tentu ada di luar Veda. Bagi pengikut Vaishnava dari yang bukan berlatar belakang Veda, tentu tinggal menambahi apa yang tidak diperoleh di kitabnya, termasuk bagaimana cara yang benar untuk memperolehnya. Ajaran di agamanya yang sesuai dengan Veda itu tinggal dikuatkan oleh ajaran Veda, jika tidak sesuai perlu dikaji ulang, dan jika kurang atau belum ada dilengkapi dari Veda.
Jadi bukan hanya tetap mempertahankan kitabnya saja, tetapi setelah ikut Hare Krishna, seseorang sebaiknya membaca dan mempelajari juga kitab-kitab yang lain untuk menambah wawasan.
Ibarat naik tangga, Kesadaran Tuhan adalah puncaknya
Demikian
@putratridharma
lalu apa bisa orang beragama Islam dan juga memiliki kesadaran Hare Krishna ? lalu apa bisa juga seorang disebut Kristen dengan mengikuti ajaran Hare Krishna?
biar saya jelaskan maksud saya begini : disaat dimana Islam mengajarkan tiada Tuhan selain Allah, lalu apa bisa orang tersebut menyebut Allah Maha Besar dan dilengkapi dengan Hare Krishna, Hare Rama?
bukannya penjelasan anda pada saya mengarahkan untuk meng-Krishna-kan seluruh ajaran agama? maaf kalau saya salah menilai.
Salam,-
Kidz
Kalau risih atau nggak sreg dengan istilah Kesadaran Krishna, ya katakan saja Kesadaran Tuhan. Memangnya kenapa kalau ada kalimat tiada Tuhan selain Allah? Kalimat itu kan kebenaran karena Tuhan memang hanya satu. Krishna disebut sebagai Allah, kenapa tidak?
Tapi mesti dipahami dulu konsep Ketuhanan seperti apa. Ketika menyebut Allah, konsepnya seperti apa? Kalau konsepnya adalah Brahman – Paramatman – Bhagavan, maka itu sudah tepat. Jika belum seperti itu, maka pasti penjelasannya ada yang kurang. Nah kekurangan ini akan dilengkapi oleh Veda.
Maaf awalnya mungkin komentar saya naif, sebab kenyataannya memang susah menyatukan masyarakat yang beranekaragam, tak kecuali organisasi seperti PHDI. Saya berkomentar seperti itu karena “Balinisasi” Hindu yang ada di Indonesia (mungkin cocoknya dari topik lain di web ini). Hubungan dengan ke-Kasta-an adalah hanya ada di Bali, hindu tempat lain jarang ada sehingga hindu tempat lain terpaksa “mencari kasta” seperti di Bali agar tetap keliatan Hindu-nya, dan seperti yang diwacanakan ini tidak sesuai dengan Weda.
Orang Indonesia yang awam mengenal Hindu pasti identik dengan Bali dengan segala adat dan tatacara ibadahnya, ngga bali ngga hindu-lah. Coba kita lihat Kejawen, orang awam menyebutnya hindu bukan, muslim bukan, bahkan disebut “kepercayaan lokal” belaka. Padahal jika ditelusuri itu “salah satu” dari ajaran hindu juga secara konteks. Keyakinan seperti itu jika disebut hanya sebatas “kepercayaan” juga tidak, karena sudah seperti agama bahkan ada budayanya juga yang khas apalagi memang konteksnya sama dengan hindu. Namun bangsa kita hanya meng-UU-kan beberapa agama saja meski ada kepercayaan (yang saat ini banyak kepercayaan dibilang sesat).
Maksud saya sebelumnya adalah kepercayaan2/agama2 seperti ini ada pengikatnya terutama PHDI sebagai organisasi nasional yang bernafaskan Hindu. Namun itu kembali lagi ke PHDI, apa mau menerima ….? apa mau mengajak dan mengikat jadi satu…? meski di dalam PHDI dominasi orang Bali. Tidak hanya itu, ajaran2 lain seperti hanuman, HK, dan sivais2 yang muncul apa juga mau diikat..?. Mari kita bayangkan kebebasan beragama/berkeyakinan tanpa ada badan organisasi skala nasional yang mengikat…? apa jadinya…? apa depag aja cukup..? . Sebab kalau hanya bicara “ajaran dan kesadaran” semuanya punya argumen sendiri2 (maaf), jangan2 hingga membuat organisasi nasional sendiri dan tidak berelasi ibaratnya “dianaktirikan/tidakdiakui” dari organisasi besarnya.
Jadi maksud komentar saya diatas adalah bukan hanya “disetarakan” yang lebih tepat “diikat/diperhatikan” sehingga memperjelas atau mengakui keberadaan yang lain. Weda dan kitab suci lainnya dari segala sudut pandangnya. Analoginya, memang sulit cari orang spt GusDur untuk kasus “TiongHoa”….hehehe.
#Kids
Menurut anda, ada ato ngga suatu ajaran atau entah disebut kesadaran atau keyakinan atau bahkan pengetahuan rohani yang dapat melintasi, menyentuh, memberi warna, melengkapi, merelasikan, menghubungkan, membedakan, mencari benang merah atau bahkan mengarungi semua agama/keyakinan dimuka bumi ini sehingga membuat umat dapat melihat secara keseluruhan/total dari semua ajaran agama/keyakinan yang dianut oleh manusia……???
Jika menurut anda itu ada, maka tidak salah memanfaatkan keanekaragaman Indonesia untuk saling “mengenal” agama/keyakinan/budaya satu sama lain. Tapi jika menurut anda itu tidak mungkin ada/bisa, it’s OK memang itu sulit dan segera buka kitab suci agama/keyakinan anda, perdalam, menjadi ahlinya dan jangan memandang atau “mempelajari” ajaran agama/kepercayaan lain. Itu. Kembali ke anda sendiri dan itu kebebasan individu tentunya.
Salam
Eve
Iya, pemikiran Anda tentang KEJAWEN dalam konteks kemungkinan diayominya oleh PHDI ini gagasan yang bagus. Iya kalau memang setelah dibandingkan dengan ajaran agama-agama yang ada di Indonesia ternyata KEJAWEN lebih dekat dengan Veda (Hindu) dibandingkan dengan ajaran agama lain, kenapa tidak dicoba untuk diayomi oleh PHDI? Yang serupa dengan itu pun ternyata ada di tempat lain dan sudah diayomi dalam payung PHDI: Keyakinan Alukta yang menjadi Hindu Alukta di Sulawesi Selatan, demikian juga Keyakinan di Kaharingan yang kemudian menjadi Hindu Kaharingan. Lalu mengapa tidak Keyakinan KEJAWEN menjadi Hindu Kejawen di Jawa?
Pertanyaannya adalah:
1. Bersediakan KEJAWEN diayomi PHDI?
2. Bersediakah PHDI mengayomi?
3. Ikhlaskah agama Mayoritas kalau KEJAWEN diayomi oleh PHDI?
@Putratridharma
kalau dari yang saya lihat, kejawen tidak mau bergabung dengan Hindu, tapi tidak juga mau menjadi islam. Sejatinya mereka mengikuti ajaran agama leluhur mereka sebelum Islam. Tentu saja itu sebenarnya Hindu. tetapi kenapa mereka tidak mau disebut Hindu?
1.karena Hindu identik dengan budaya bali. itulah kenapa mereka menyebut diri “Ke-jawa-an” atau Kejawen. mereka percaya Hindu itu hanya nama label, bukan nama umum untuk ajaran dharma ini. jadi sah saja memakai nama berbeda.
2. Teror dari luar. ada kisah beberapa orang(sekitar 4000 kk) di beberapa desa yang saat itu beragama non hindu berencana akan kembali menjadi hindu. hal ini diekspose di tv2 saat itu. setelah berita itu menyebar, akhirnya berbondong2 datang pemuka2 agama dari agama yang akan ditinggalkan. mereka melakukan berbagai cara, akhirnya tidak ada satupun dari ke 4000 orang itu yang berani ganti KTP jadi Hindu, sebagai gantinya, mereka menyebut diri mereka kejawen.(kisah nyata)
Sekarang sudah ada rencana pemerintah untuk menghapuskan keterangan agama pada KTP. Kelompok2 kejawen semakin mengukuhkan keberadaan mereka(semakin berani mengekspose diri). Tapi mereka tetap tidak (/belum?) mau disebut hindu. begitulah dari penuturan beberapa orang kejawen yang pernah saya dengar.
Sutha
Saya tidak pernah bergaul dengan penganut KEJAWEN ini, tetapi komentar Anda sangat masuk akal terutama tentang teror dari luar itu. Mungkin Saudara Ngarayana lebih paham mengenai KEJAWEN ini karena Beliau lama di Jawa dan sering terjun ke masyarakat Jawa.
Mungkin ada yang bersedia menambahkan….
Yaa,, orang kejawen memang lebih mementingkan spiritualitas… ^^
Kalau belum pernah bergaul dengan mereka, main aja ke grup ini… Anggotanya banyak yg kejawen lhoo… ^_^
http://www.facebook.com/home.php?sk=group_149642038418662&ap=1
Herwitz
Trims linknya…
#PutraTriDharma
Komentar saya sebelumnya juga didasarkan wacana permasalahan Prabhu Guna Avatara Das yang anda ceritakan. Sehingga saya berpikir PHDI-lah yang perlu mengikat hindu-isme lain di nusantara dan jangan mempermasalahkannya. Namun sudah terlanjur bila PHDI itu identik dengan suku bali, kehinduan suku lain pun belum tentu mau terlibat.
Saya tidak tau banyak tentang PHDI, tapi mungkin saja yang terjadi banyak malah kurang aktif/komunikatif perwakilan dari daerah/suku/ajaran hindu lain sehingga di PHDI hanya hindu bali yang “kerja”, tidak seaktif Prabhu Guna Avatara Das yang anda ceritakan. Mungkin saja lho…
Untuk 3 pertanyaan anda, saya atau mungkin yang lain belum tau banyak tentang PHDI dan kejawen, karena saya rasa belum lengkap dapat info pembahasan/pemahaman/pemikiran kejawen point demi pointnya seperti website ngarayana ini yang membahas tentang vaisnawa dan hindu di nusantara.
Saya ada satu pemikiran, ini bukan pertanyaan tapi fenomenal. Kalau orang hindu bali beribadah ke sulsel yang hindunya alukta, apa mereka sebaiknya beribadah sesuai dengan adat alukta (tata pakaian/assesoris)..? kalo hindu kaharingan beribadah di pulau bali, apa mereka harus pakai pengikat kepala, baju putih selayaknya tata ibadah di bali..?
Salam
Eve
===Saya ada satu pemikiran, ini bukan pertanyaan tapi fenomenal. Kalau orang hindu bali beribadah ke sulsel yang hindunya alukta, apa mereka sebaiknya beribadah sesuai dengan adat alukta (tata pakaian/assesoris)..? kalo hindu kaharingan beribadah di pulau bali, apa mereka harus pakai pengikat kepala, baju putih selayaknya tata ibadah di bali..?
Nah, inilah masalahnya. Di mana-mana (di Nusantara) adat Bali mendominasi keber-agamaan umat Hindu. Sebaiknya adalah seperti ini: Standar persembahyangannya mengikuti Kitab Suci Veda, tetapi penunjang/pembungkus (kemasan) peribadatan: misalnya pakaian dan properti (upakara)mestinya disesuaikan berdasarkan (Desa Kala Patra) dimana peribadatan itu dilaksanakan. Bungkus boleh berbeda (dan sebaiknya jangan diseragamkan) tetapi isi harus standard. Contoh kecil yang benar: saudara Ngarayana adalah seorang Vaishnava (Hare Krishna), ketika Beliau beribadah ke pura-pura di Bali, Beliau tidak memakai dhoti (sarung yang dipakai dengan model khas India)dan kurta (baju gamis khas India). Tilakanya (simbol yang seperti hurup “U”) di jidatnya juga tidak mencolok (katanya Beliau ganti dengan air plus mantra). Masih jarang orang Bali yang punya kesadaran seperti itu.
saya setuju, seharusnya penampilan luar tdk jadi kendala kita dalam mendekatkan diri pada tuhan, aplg hindu bali telah memiliki konsep mulia “desa kala patra” yg seharusnya sudah bisa melandasi sikap keluwesan tersebut.
Ato untuk penegasan sikap secara formal, PHDI sebagai organisasi resmi formal hindu perlu kiranya membuat keputusan yg menekankan hal tersebut sebagai landasan bertindak umat untuk kebaikan bersama
salam,
Menurut hemat saya pandangan penulis mengenai Dang Hyang Nirartha pada tulisan di atas adalah kurang tepat.
Dang Hyang Nirartha adalah orang yang sangat berjasa pada umat Hindu di Bali, karena itulah sampai sekarang ia sangat dihormati oleh umat Hindu khususnya di Bali.
Pendapat saya pribadi mengenai mengapa Dang Hyang Nirartha mengangkat keturunannya menjadi pendeta-pendeta di seluruh Bali adalah karena pada saat itu Dang Hyang Nirartha ingin memastikan bahwa umat Hindu di seluruh Bali lebih koheren. Dengan menjadi koheren, diharapkan dapat menghadapi gempuran dari luar. Itu jugalah saya kira alasannya mengapa Dang Hyang Nirartha membuat pura di banyak titik di pinggir Pulau Bali.
Tentunya sekarang ini kita harus mengembangkan apa yang sudah dibangun oleh Dang Hyang Nirartha. Artinya, kalau dulu Dang Hyang Nirartha mengandalkan keturunannya sebagai pembimbing rohani bagi umat Hindu di Bali, maka sekarang harus semakin banyak lapisan masyarakat yang dapat diandalkan untuk berprofesi sebagai pendeta.
#Tirta
Pendapat Tirta ada benarnya juga, mungkin kondisi saat itu ke-koheren-an pada masyarakat Bali (terutama) merupakan sebuah “jawaban”. Namun seperti sebuah pepatah (atau ini ayat dalam Bagawan Gita mungkin) “Jika kita menghargai orang bijaksana, janganlah ikuti dirinya, tapi turutilah perintah dan nasihatnya”, apakah dengan meneruskan usaha beliau juga akan menjadi “jawaban” atas kondisi umat Hindu nusantara saat ini…? apakah mengandalkan pendeta seperti yang Tirta sebutkan adalah perintah/nasihatnya …?
Ada apa dengan Bali saat itu, sehingga Dang hyang nirarta hanya “fokus” membangun pura-pura di bali saja, padahal nuansa hindu beredar se-nusantara……..?
Untuk kondisi sekarang pendekatannya tentu harus berbeda dengan dulu. Sekarang tidak bisa lagi hanya mengandalkan keturunan Dang Hyang Nirartha, tetapi harus melibatkan semua kelompok masyarakat. Kalau setelah sekian ratus tahun masih bergantung pada satu klan tertentu, artinya tidak ada kemajuan.
Mengenai kondisi di Bali saat itu, menurut hemat saya kondisinya adalah terkepung. Orang Bali sendiri mungkin saat itu tidak merasa khawatir, karena mereka tidak terlalu terinformasi dengan apa yang terjadi di luar Bali. Tapi Dang Hyang Nirartha adalah pendeta dari Jawa yang hijrah ke Bali, sehingga dia melihat langsung apa yang terjadi di Jawa. Karena itu beliau berusaha agar apa yang terjadi daerah asalnya tidak merembet ke Bali.
@Tirta
Ya, kita hanya bisa menduga-duga. Mungkin begini, mungkin begitu… Tapi faktanya adalah: Sistem Wangsa merupakan buah karya dari Beliau. Faktanya Beliau berpolitik. Faktanya Beliau mengajarkan agama Islam di Lombok.
@ Putratridharma
Dang Hyang Nirartha tidak mengajarkan agama Islam. Beliau mengajarkan filsafat Veda kepada masyarakat Islam.
Pendekatan yang beliau lakukan di Lombok itu bukan sesuatu yang unik. Pendekatan tersebut banyak dilakukan oleh rohaniawan agama-agama Timur, yaitu memberikan pelajaran rohani tanpa mengubah tatanan yang sedang berlaku di masyarakat. Tujuannya tentu adalah kesejahteraan masyarakat itu sendiri. Di Bali kita mengenal Mpu Kuturan. Beliau adalah tokoh yang sangat berjasa terhadap umat Hindu di Bali. Karena beliaulah kita mengenal konsep desa pakraman, dimana di tiap desa terdapat Pura Dalem, Pura Puseh dan Pura Desa. Uniknya, agama Mpu Kuturan adalah Budha.
Jadi, Dang Hyang Nirartha tidak mengajarkan Agama Islam, tetapi mengajarkan filsafat Veda kepada masyarakat Islam.
Mengenai Dang Hyang Nirartha berpolitik, saya percaya bahwa langkah beliau menempatkan keturunannya sebagai pendeta-pendeta di seluruh Bali adalah bagian dari strategi beliau untuk menjaga keajegan Hindu di Bali. Kalau kita baca perjalanan hidup Dang Hyang Nirartha, kita bisa melihat bahwa segala yang beliau lakukan memang tidak jauh dari tujuan tersebut. Sejak tiba pertama kali di Bali sampai dengan mencapai moksa, beliau membuat pura bagi masyarakat setempat dan mengajarkan agama Hindu. Tujuannya tidak lain adalah agar ajaran Hindu tetap menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat.
Anyway, sekarang kan sudah ada sekolah Agama Hindu, banyak ashram, dan banyak sampradaya. Kalau kita ingin memperdalam agama, ada banyak sekali fasilitas yang mendukung. Mari kita manfaatkan kondisi ini dengan sebaik-baiknya, tanpa perlu memiliki pandangan negatif terhadap orang-orang yang memiliki komitmen sangat tinggi terhadap perkembangan Agama Hindu.
Biar bagaimanapun meski ada cerita Nirartha menyebarkan agama islam atau berpolitik berketurunan, menurut saya Beliau telah berjasa besar akan perkembangan Hindu terutama di Bali saat itu meski menurut ajaran HK beliau mengajarkan siwais di bali. Ibaratnya dahaga di gurun pun sembuh dengan kubangan air, meski air itu tidak begitu bersih tapi sangat bermanfaat (sudut pandang HK).
ijin copy paste..
thank, banyak menambah wawasan