Ciri khas dalam pemujaan kepada dewa Siva adalah adanya Lingam dan Yoni. Lalu kenapa dalam catatan sejarah pulau Bali hampir tidak satupun lingam dan yoni yang ditemukan? Benarkah penduduk pulau Bali merupakan penganut aliran Siva Siddhanta dan menempatkan dewa Siva sebagai yang tertinggi?
Kata “Siddhanta” dapat diterjemahkan sebagai “kesimpulan akhir”, sehingga secara harfiah arti kata Siva Siddhanta adalah Siva sebagai kesimpulan akhir. Atau dengan kata lain menempatkan Siva sebagai kesimpulan dan tujuan tertinggi. Paham Siva Siddhanta berkembang subur di daerah suku Tamil di India Selatan dan juga di kawasan Kasmir. Menurut teologi Siva Siddhanta, Tuhan, Jiva dan benda-benda di alam semesta ini adalah nyata. Secara terminologis mereka menyebut Tuhan sebagai “Pati”, sedangkan Jiva disebut “Pasu” dan benda-benda di alam material disebut “Pasa”. Dari ketiga ini mereka beranggapan bahwa Pati-lah yang paling tinggi dan dipuja dengan sebutan Siva atau Hara. Siva dianggap sebagai sumber dari Trimurti (Brahma, Visnu dan Rudra). Disamping itu Siva juga disebut sebagai Iswara dan Maheswara. Dalam ritual keagamaannya mereka senantiasa melakukan persembahan kepada Siva yang terkonsentasi pada Siva Lingam.
Lalu bagaimana halnya dengan Bali yang disebut-sebut sebagai penganut paham Siva Siddhanta dalam berbagai buku agama dewasa ini? Jika mau jujur, pada dasarnya konsep teologi Hindu di Bali sangat jauh berbeda dengan konsep Siva Siddhanta aslinya. Hindu di Bali tidak memusatkan pemujaan kepada Dewa Siva, tidak juga melakukan pemujaan kepada Linga Yoni. Melainkan Hindu di Bali meletakkan kesamaan posisi antara Brahma, Visnu dan Siva/Ludra dan menyebutkan bahwa ketiga-tiganya adalah Sang Hyang Widhi, Tuhan Yang Maha Esa yang sama. Trimurti ini senantiasa dipahami dengan analogi seperti satu orang yang sama tetapi melakukan pekerjaan yang berbeda maka dia akan dipanggil dengan sebutan yang berbeda. Pada waktu dia mencangkul di sawah dia disebut petani, pada saat dia mengajar di sekolah dia disebut guru dan saat dia bergaul dengan keluarganya dia disebut bapak. Konsep ini tertuang dalam beberapa lontar seperti lontar Bhuwana kosa, Wrhspati Tattva, Ganapati Tattva, Sanghyang Mahajnana, Tattvajnana dan Jnanasiddhanta yang kesemuanya adalah lontar-lontar lokal yang hanya ada dan berkembang di Bali. Karena perbedaan konsep inilah beberapa peneliti sejarah agama Hindu yang mendasarkan teorinya pada teori Max Muller menggolongkan Siva Siddhanta kedalam dua bagian, yaitu Siva Siddhanta India Selatan dan Siva Siddhanta Indonesia (Bali).
Pada dasarnya, konsep Hindu yang berkembang di Bali tidaklah sama dengan paham Siva Siddhanta di India. Bahkan dapat dikatakan Hindu di Bali tidak ada kaitannya sama sekali dengan paham Siva Siddhanta aslinya karena konsep yang diadopsi saat ini merupakan buah dari sinkritisme dan akulturasi budaya yang dihasilkan oleh Mpu Kuturan. Pada waktu itu di Bali setidaknya berkembang sembilan paksa/keyakinan yang berbeda, yaitu : Siwa, Khala, Brahma, Wisnu, Bayu, Iswara, Bhairawa, Ghanapatya, dan Sogotha (Budha) yang didalam pelaksanaannya sering menimbulkan keresahan karena mereka berjalan sendiri-sendiri sehingga raja sangat sulit mengontrolnya. Atas restu dari raja dan ratu, Mpu Kuturan melakukan Pesamuan Agung (rapat akbar) dengan mengambil tempat di Bataanyar (kini Gianyar) yang dihadiri setidaknya oleh perwakilan 1370 desa di seluruh Bali. Dari Pesamuan Agung inilah akhirnya terwujud suatu sistem yang bisa diterima oleh seluruh komunitas sehingga terbentuklah satu konsep homogen yang seolah-oleh menyerupai konsep Siva Siddhanta di India yang bisa diterapkan hampir di seluruh desa adat.
Meski Mpu Kuturan memberikan solusi dengan seolah-olah melahirkan sebuah konsep Siva Siddhanta baru yang bisa menaungi semua lapisan masyarakat Bali, namun apakah benar konsep yang beliau telurkan berpaham Siva?
Dari segi karya sastra lontar, kekawin dan pewayangan yang meresap dalam sanubari masyarakat, ternyata hampir semuanya dijiwai oleh kitab Itihasa (Ramayana dan Mahabharata). Dalam setiap gubahan lontar yang diturunkan dari kitab Ramayana, semua penulis menitik beratkan kepada Rama sebagai yang tertinggi. Demikian juga untuk lontar yang digubah dari kitab Mahabharata selalu menempatkan Krishna sebagai yang tertinggi. Tanpa Rama, maka Hanuman, Sugriwa dan Subali tidak akan ada artinya. Tanpa Krishna, apa yang dapat dilakukan oleh Panca Pandawa? Pemujaan kepada Sri Narayana juga ternyata menjadi objek yang tertinggi. Hal ini dibuktikan dengan dijadikannya Narayana Upanisad sebagai pondasi dasar keyakinan Hindu di Bali. Bahkan tidak tanggung-tanggung gubahan Narayana Upanisad disebut sebagai Catur Veda Sirah (kepala/inti sari Catur Veda). Hal ini diterangkan dengan kalimat: etad Rg Veda siro ‘dhite (demikianlah inti sari dari Rg. Veda); etad Sama Veda siro ‘dhite (demikianlah inti sari dari Sama Veda) etad Yajur Veda siro ‘dhite (demikianlah inti sari dari Yajur Veda); etad Atharva Veda siro ‘dhite (demikianlah inti sari dari Atharva Veda). Dalam kitab Catur Veda Sirah ini dijelaskan bahwa segala sesuatu berasal dari Narayana. Bahkan pemimpin para dewa seperti Brahma, Siva dan Rudra-pun lahir dari Narayana. Narayana sendiri menurut Visnusahasranama (1000 nama suci Sri Visnu) sebagaiman tercantum dalam kitab Padma Purana dan juga Mahabharata Anushāsanaparva 149 adalah nama lain dari Sri Visnu, Krishna, Rama yang merupakan sebutan Tuhan dalam konsep Vaisnava. Dengan demikian, bagaimana masyarakat Bali bisa mengatakan dirinya adalah pemuja Siva sementara pemuka agama dan orang-orang sucinya menjadikan Catur Veda Sirah yang nyata-nyata memuja Narayana sebagai mantra rahasia pokok yang tidak boleh absen dalam setiap pemujaan?
Dipandang dari konsep tata letak parahyangan (tempat suci), pawongan (pemukiman) dan palemahan (lingkungan sekitar) ternyata masyarakat Bali diarahkan oleh Mpu Kuturan untuk mengikuti konsep Varnasrama dan Vaisnava Dharma. Secara konsep Varnasrama, desa pekraman dibentuk dengan mengadopsi konsep Guru Kula (sistem pengajaran Veda). Dalam setiap desa pekraman harus ada seorang Brahmana yang tinggal di sebuah Griya dan bertindak sebagai surya (pencerah dalam spiritual) kepada sisya (murid/masyarakatnya). Konsep Vaisnava juga diperlihatkan dari tata letak tempat suci. Bangunan untuk pemujaan kepaa Visnu selalu ditempatkan pada Utama Mandala dan barulah pemujaan untuk dewa Brahma diletakkan di Madya Mandala. Sedangkan pura Dalem sebagai tempat pemujaan kepada Siva yang digambarkan selalu berpenampilan nyentrik dengan melumuri badannya dengan abu mayat dan berhiaskan ular dan pernak-pernik menakutkan ditempatkan di dekat kuburan. Demikian juga Padmasana yang merupakan penggambaran pengadukan lautan Garbha yang disangga oleh Sri Visnu sebagai Kurma Avatara selalu menjadi objek pemujaan yang utama dalam setiap pura umum di Bali. Jenis-jenis ukiran dan arsitekturnyapun hampir selalu menggambarkan kisah-kisah yang berhubungan dengan Ramayana, Mahabharata dan juga lila-lila Sri Visnu yang lain. Berbagai macam rerontek dan kober (sejenis bendera) yang menghiasi pura pada saat adanya upacara tidak pernah absen dari gambar Garuda Visnu, Naga Basuki, Cakra dan lambang-lambang kevaisnavaan lainnya.
Dari segi tradisi juga disebutkan bahwa seorang Vaisnava memiliki kewenangan tertinggi. “Rsi Vaisnava wenang ngamertanin kala bhuta, apan ida Rsi Vaisnava guruning guru. Ida wenang guru maguru, dening ida anak bhatara guru wenang maguru-guru nga, Ika ta don nira tan tekeng cuntaka dening wang kuwu kabeh”. Meskipun dalam berbagai upacara pecaruan besar diselenggarakan oleh Sang Trini Tri Sadhaka (Brahmana, Bodha dan Rsi Vaisnava), namun hanya Rsi Vaisnava-lah yang berhak bertindak muput upacara ke atas maupun ke bawah. Mpu Kuturan juga mengatakan kepada masyarakat Bali bahwa yang berhak melakukan pembersihan jika bumi ini kotor dan kacau hanyalah seorang Bhujangga Vaisnava (yan tan Sang Bhujangga amahayu, anglukat letuh-letuhing jagat, pahumahan, pategalan saprakara, tan sidha karya).
Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Bali juga ternyata sudah sangat dekat dengan prinsip-prinsip kevaisnavaan. Orang tua-orang tua Bali jika mandi di sungai akan mengucapkan mantra “malukat ring cokor Sang Hyang Wishnu, Menyucikan diri di kaki padma Sri Visnu”. Pada saat mempersembahkan canang di pancuran atau sumber air lainnya orang tua di Bali juga biasanya mengucapkan; “Om Sang Hyang Hari Murti, meungwa kita sareng, ingsung adyusa suciknawak ingsun dena sudha paripurna”. Pada saat mengikat rambut diucapkan mantra; “Om greto rupini sarwa sri olahku ya we namah swaha”. Pada saat menyisir rambut diucapkan mantra; “Sang hyang haru garu-garu gunung, angelangaken mala papa pataka, segeleh-gelehhing raga sarira, Om Sri Dewi Maharapini ya namah swaha”. Pada saat menggunakan sabuk diucapkan mantra; “Om Um Wisnuya namah” dan “Om Um Wisnu-Antaratmane namah”. Kadang-kadang juga diikuti dengan pengucapan; “Om Dewadisthanaya, sarwawyapine Siwaya, padmasana eko pratisthaya Ardhanareswariya namo namah, Am Um Mam Sri Dewaya Janardanaya namah”.
Salah satu hal terpenting pada setiap persembahan tradisi Vaisnava dan menjadi cirri khas pengikut ajaran Vaisnava adalah tidak pernah absennya daun tulasi. Daun tulasi selalu disertakan pada setiap makanan, minuman atau apapun yang dipersembahkan kepada Sri Visnu. Meskipun sebagian daerah di Bali masih menyebut dengan sebutan tulasi, namun di sebagaian besar daerah Tulasi lebih dikenal dengan sebutan Sulasih atau Kecarum/Carum. Uniknya ternyata daun Selasih atau Kecarum ini juga tidak pernah absen pada setiap sesajen yang dibuat. Inilah salah satu bukti kuat masyarakat Bali secara tidak sadar sudah menerapkan prinsip dasar Vaisnava.
Melihat dari beberapa bukti yang menunjukkan bahwa masyarakat Bali yang kesehariannya ternyata jauh lebih akrab dengan konsep Vaisnava, maka pernyataan sebagian orang yang menyatakan bahwa pulau Bali adalah penganut paham Siva Siddhanta sepertinya perlu di tinjau ulang kembali.
Bibliografi:
- M. Dharma. 1984. Vaisnava Dharma – Warisan Leluhir Kita. Denpasar: Jaya
- Sara Sastra, Gde. 2008. Bhujangga Waisnawa dan Sang Trini, Bagian Dari Konsep Saiwa Siddhanta Indonesia. Denpasar: Offset
wah baru tau.. ^^
Hare krishna
luar biasa bro… makasi
untuk meperluas dan memperbanyak kasanah pengetahuan perlu juga digali kenapa disebut Siva Siddhanta
Om Swastyastu bli Ngara
mengomentari tulisan bli “Lalu kenapa dalam catatan sejarah pulau Bali hampir tidak satupun lingam dan yoni yang ditemukan?” bagaimana menurut bli mengenai Lingga Yoni yang ada di Pura Tirta Empul Tampaksiring Gianyar? menurut pengalaman tyang sebagai orang gianyar dan sering tangkil ke Pura Tirta Empul disana dapat dijumpai sebuah batu berupa Lingga Yoni dan memang bertuliskan Lingga Yoni
mohon koreksi jika ada salah
Om shanti shanti shanti Om
Om Swastyastu sdr. Ngarayana,
Artikel ini sebetulnya sangat sensitif 😀
Sebetulnya banyak hal yang menurut saya kurang tepat di artikel ini, contoh aja tentang Tri Sadaka, konsep penempatan tempat suci dimana yang menjelaskan tentang pura dalem, tapi mungkin saya kurang berkompeten dalam hal ini untuk menjelaskan.
Alangkah baiknya jika sdr. Ngarayana meminta masukan juga di beberapa Sulinggih di Jakarta yang menurut saya juga banyak ada 🙂
Saya ada satu pertanyaan, apa konsep Varnasrama termasuk dalam Vaisnava Dharma???
mungkin perlu juga dijelaskan apa itu Vaisnava Dharma… 🙂
Suksma,
Dalam Panca Sembah selalu diutmakan pemujaan pada Siwa …
jika konsep tri murti dibali(Brahma,Wisnu,Iswara)mungkin dlm konsep dibali Iswara tidak sama dengan siwa,dimana siwa sama dengan Tuhan,yg bermanifestasi sebagai pencipta,pemelihara,dan pelebur(Brahma,Wisnu,Iswara)seandainya Siwa sama dengan Brahman mungkin tidak terjadi kebingungan.menjadi bingung karena konsep Siwa dibali dibandingkan dgn konsep Siwa di india dimana Siwa sebagai dewa pelebur,dan kemungkinan konsep Siwa dibali adalah sebuah ajaran,bukan menyebut Siwa(india) sebagai dewa tertinggi.maaf mungkin pendapat saya salah,karena sebelumnya tidak bertanya kepada yg lebih tahu,ini hanya pendapat saya sendiri..suksma
@ari_bcak
om swastyastu bli ari…
setuju artikel ini memang agak sensitif, tapi sdr. Ngara sll menempatkan tanda tanya di belakang judulnya… tujuannya tentu untuk membuka ruang diskusi, memang alangkah baiknya jika ada masukan dr Sulinggih2, tapi dengan keterbatasan sdr. ngara rasanya itu agak sulit berhubung beliau juga sibuk dengan berbagai kegiatan material sama seperti kita… mungkin dengan posting begini akan ada sulinggih yang membaca dan memberikan masukannya….atau mungkin jg kita bisa memberikan artikel ini pada sulinggih yang kita kenal… sy sll mersa kagum akan usaha sdr ngara yg saya sebut sbg usaha untuk bersama-sama membantu mencerdaskan para penganut weda….
om shanti3x om
Om Swastiastu all…
@ Bagus;
Kalau menurut peneliti sejarah seperti Haryati Soebadio dalam bukunya berjudul Jnana Siddhanta, menyebutkan bahwa Siddhanta berarti Sanghyang Aksobhya, Sanghyang Kamoksan atau Sanghyang Sunya – Nirmala. Saiwa / Siva sendiri diartikan sebagai pemuja dewa Siva sebagai dewa yang utama. Sehingga Siva Sidddhanta diartikan sebagai ajaran yang mencapai jalan menuju kepada Sang Pencipta (yang disebut Siva) atau bersatu dengansang pencipta. Siva Siddhanta juga diartikan sebagai kebenaran dari kebenaran karena Siva diartikan “kebenaran” dan Siddhanta diartikan sebagai “kesimpulan akhir” dimana kata Siddhanta merupakan konklusi dari konklusi. Drs. Gde Sara Sastra, M.Si dalam bukunya Bujangga Waisnava dan Sang Triniti Sebagai Bagian dari konsep Saiwa Siddhanta menyebutkan Siva Siddhanta sebagai sebuah sistem dari sistem, federasi agama dan filsafat yang berpuncak pada Siva.
Sri S. Satchinandandam Pillai menyebutkan bahwa Siva Siddhanta adalah ibarat senggama (perpaduan) berbagai filsafat agama dan filsafat sehingga cocok bagi segala tingkat perkembangan intelektual dan emosional manusia.
Kavi Yoga Maharshi Suddhananda mengatakan Siva Siddhanta sebagai sebuah sistem agama universal yang dapat diadaptasi dalam kehidupan modern karena bertujuan menciptakan kemanusiaan yang mentransformasi laki-laki sempurna seperti Siva dan wanita sempurna seperti sakti-nya. Ia menganggap dunia ini sebagai lila dari Siva dan saktinya.
Sehingga kalau melihat pendapat beberapa tokoh di atas, jika yang dimaksud sebagai Siva Siddhanta merupakan perpaduan filsafat dan agama, maka memang benar, agama Hindu di Bali adalah hasil perpaduan filsafat dan agama yang berbeda. Di Bali terjadi perpaduan berbagai aliran Hindu dan bahkan juga perpaduan dengan agama Buddha. Namun kalau konsep Siva Siddhanta di Bali diartikan sebagai Siva adalah merupakan tujuan terakhir, saya rasa kurang tepat melihat bukti seperti Catur Veda Sirah yang merupakan pondasi ajaran Hindu Bali yang mengarahkan pemujaan kepada Sri Narayana (Visnu).
Mungkin kita perlu menyamakan persepsi mengenai konsep dasar ini kali dulu ya teman-teman… 🙂
@Anom
Iya bli, saya menulis “Lalu kenapa dalam catatan sejarah pulau Bali hampir tidak satupun lingam dan yoni yang ditemukan?” bukan bermaksud mengatakan tidak ada lingga yang ditemukan di Bali. Lingga itu ada, tetapi sangat jarang (dengan bahasa saya “hampir tidak ada”. Sorry bli kalau bahasa saya seolah-olah kelihatan meniadakan… he..he..). Dalam analisa saya, saya melihat peraktek pemujaan sehari-hari penggunaan Siva Lingga sangat jarang dan hanya ada di beberapa pura seperti yang bli Anom sebutkan tersebut. Tetapi yang paling sering dan sudah pasti ada di setiap pura adalah Padmasana. Kenapa jika Siva Siddhanta diartikan sebagai penematan Siva sebagai yang tertinggi sangat bertolak belakang dengan konsep pemujaan kita?
@ari_bcak
Yup… betul membahas hal ini memang cukup sensitif bli, tetapi tidak apa-apalah saya angkat biar topik diskusi filsafat ke dalam lebih hangat lagi. Masak yang hangat cuman debat ke luar.. he..he..he..
Iya, saya menyadari sudah pasti dalam artikel ini pasti ada yang kurang tepat karena saya juga tidak membidanginya, melainkan saya hanya mengutip dari beberapa sumber buku yang saya baca sebagaimana dalam bibliografi. Jadi mohon kita diskusikan dan teman-teman yang memiliki acuan yang lain bisa men-share-nya sehingga bisa dijadikan acuan dalam berdiskusi lebih lanjut.
Ada beberapa pengertian yang berbeda mengenai sang Trini ini. Drs. Gde Sara Sastra, M.Si dalam bukunya Bujangga Waisnava dan Sang Triniti Sebagai Bagian dari konsep Saiwa Siddhanta mengatakan bahwa Sang Trini adalah sebuah konsep Siwaistis yang terdiri dari tiga unsur, yaitu Siwa, Sada Siwa dan Parama Siwa sehingga melahirkan 3 golongan, yaitu:
1. Unsur Siwa kemudian disebut Brahmana Siwa
2. Unsur Sada Siwa kemudian disebut Sang Bodda
3. Unsur Parama Siwa kemudian disebut Sang Bhujangga
Pernyataan Drs. Gde Sara Sastra, M.Si ini di dasarkan pada Lontar Babancangah Maospahit.
Namun jika saya melihat hasil penelitian Made Dharma yang akhirnya diterbitkan dalam buku berjudul Vaisnava Dharma: Warisan leluhur Kita yang mengutip dari sumber Kekawin Ramayana, Mahabharata, Bomantaka, Niti Sastra, Krsnantaka, Bharata Yudha, Rama Parasu Vijaya dan banyak lagi yang lainnya mengatakan bahwa 3 golongan ini pada dasarnya bersumber dari penyatuan beberapa sekte oleh Mpu Kuturan melalui pesamuhan agung sebagaimana pernah saya kutip dalam artikel sebelumnya.
Jadi kita mau ikuti asumsi yang mana nih kira-kira bli? Mari kita diskusikan lebih lanjut ya..
mengenai Varnasrama Dharma adalah konsep universal dalam Veda yang memang tidak hanya dianut oleh Vaisnava, tetapi juga pengikut Sivaisme. Namun dalam sistem keagamaan di Bali ada yang spesial dalam penerapan ini, yaitu kenapa Grya, sebagai tempat seorang sulinggih (guru kerohanian) memiliki beberapa ciri khas Vaisnava? Yaitu seperti lambang cakra atau gada yang menghiasi atribut kebrahmanaannya. Penggunaan beberapa mantra-mantra puja astawa yang berbau vaisnava, penggunaan daun tulasi/selasih/kecarum. Kesenian yang lebih menitikberatkan pada Ramayana, Mahabharata, Garuda Visnu dan sejenisnya. Sehingga dengan dasar ini saya mencoba mengangkat masalah dan mempertanyakan apakah benar Bali penganut Siva Siddhanta? Dalam artian Siva dijadikan sebagai tujuan tertinggi.
Kalau mengenai Vaisnava Dharma, secara sempit Vaisnava dijelaskan sebagai penyembah Visnu. Tetapi secara luas sebagaimana dikutip oleh Made Dharma dalam buku Vaisnava Dharma disebutkan bahwa Vaisnava didefinisikan sebagai orang yang sudah mantap dalam kedudukan yang sejati sebagai hamba Tuhan Yang Maha Esa melalui jalan Bhakti. Sehingga menurutnya, Vaisnava Dharma adalah dharma/kewajiban ke arah tercapainya keinsyafan diri yang sejati melalui cinta kasih bhakti kepada Tuhan YME (Visnu tattva dan ekspansinya).
Sepertinya kita harus mendefinisikan ulang dulu tentang Siva Siddhanta, Vaisnava Dharma dan juga beberapa hal fundamental lainnya ya bli… he..he.. ternyata not so easy.. 😀 Saya akan coba mengutip beberapa sumber lontar dalam artikel selanjutnya. Semoga saya mampu dan punya waktu ya bli… kebetulan minggu depan saya ke Bali, jadi saya coba bongkar keropak lontar kakek saya… he..he…he..
@Agung;
Coba saya kutip mantram panca sembah dulu ya…
Yang pertama sembah dengan tangan kosong:
Om àtmà tattwàtmà sùddha màm swàha
Artinya: Om, atma dan kebenaran, bersihkanlah hamba.
mantra ini arahnya ke Paramatman yang merupakan aspek Tuhan yang bersemayam dalam diri kita.
Yang Kedua dengan bunga putih:
Om Adityasyà param jyoti
rakta tejo namo’stute
sweta pankaja madhyastha
bhàskaràya namo’stute
Artinya: Om, Siva Raditya (dewa Surya), Sinar Hyang Surya Yang Maha Hebat. Engkau bersinar merah, hamba memuja Engkau. Hyang Surya yang berstana di tengah-tengah teratai putih. Hamba memuja Engkau yang menciptakan sinar matahari berkilauan.
Jadi mantra ini untuk meminta upa saksi kepada dewa Surya.
Yang ketiga menggunakan kwangen atau bunga saja:
Om nama dewa adhisthanàya
sarwa wyapi wai siwàya
padmàsana eka pratisthàya
ardhanareswaryai namo namah
Artinya: Om, kepada dewata yang bersemayam pada tempat yang luhur, kepada dia, Hyang Siwa, kepada dewata yang bersemayam pada tempat duduk bunga teratai di suatu tempat, kepada Ardhanaresvari hamba memuja.
mantram ini ditujukan kepada semua dewa (nama deva adhisthanàya sarwa wyapi). Bukan hanya Siva. Meski di akhir mantram ada kata Ardhanaresvari yang mengacu pada arti penyatuan Siva dengan Saktinya, tetapi juga disebutkan “padmàsana” (yang duduk di bunga teratai) yang bisa saja Sri Narayana, Brahma, Sarasvati dan sebagainya…
Yang keempat adalah puja dalam meminta anugrah menggunakan kwangen:
Om anugraha manoharam
dewa dattà nugrahaka
arcanam sarwà pùjanam
namah sarwà nugrahaka
Dewa-dewi mahàsiddhi
yajñanya nirmalàtmaka
laksmi siddhisca dirghàyuh
nirwighna sukha wrddisca
Artinya: Om, Engkau yang menarik hati pemberi anugrah, anugrah pemberian Dewata, pujaan segala pujaan, hamba memujaMu sebagai pemberi segala anugrah. Kemahasiddhian pada Dewa dan Dewi berwujud jadnya suci. kebahagiaan, kesempurnaan, panjang umur, bebas dari rintangan, kegembiraan dan kemajuan rohani dan jasmani.
mantra ini juga merupakan pemujaan kepada para dewa dan dewi.
Puja yang terakhir adalah:
Om Dewa suksma paramà cintyàya nama swàha. Om Sàntih, Sàntih, Sàntih, Om
Artinya: Om, hamba memuja Engkau Dewata yang tidak terpikirkan, maha tinggi dan maha gaib. Anugerahkan kepada hamba kedamaian, damai, damai, om..
Jadi kalau kita lihat, sepertinya susah untuk mengatakan bahwa dalam panca sembah kita memusatkan pemujaan kepada Siva.
@ panyonk
Masuk akal bli… mari kita coba kupas dan diskusikan yuk… mudah-mudahan teman-teman yang lain juga bisa memberikan feed back berupa bukti-bukti pendukung untuk memecahkan misteri ini..
@a_a
Yup… saya juga tidak menjustish bahwa Bali penganut Siva Siddhanta atau bukan.. tapi dari analisis saya sementara saya merasa bahwa Bali tidak murni adalah Siva Siddhanta sebagaimana yang didengung-dengungkan oleh beberapa kaum muda selama ini.
Salam,-
Om Swatyastu
Santai saja bli Ngara namanya juga berdiskusi, tyang juga masih ingin banyak belajar dan jujur masih banyak pertanyaan di kepala tyang yang ingin tyang cari jawabannya, semoga tyang memperolehnya disini,,:)
matur suksma
Om Shanti shanti shanti Om
Om Swastyastu sdr. Ngarayana,
Coba kita kaji tentang letak tempat suci yang seperti sdr. Ngarayana ulas, pada artikel sebelumnya,
https://narayanasmrti.com/2010/03/mempersiapkan-hancurnya-pulau-dewata/
menyebutkan bahwa Dewa Brahma memiliki posisi di Pura Puseh sedangkan di Pura Desa adalah posisi dari Sri Visnu, nah ini yang membingungkan karena yang saya tau bahwa itu terbalik, bisa juga dibaca disini;
http://www.babadbali.com/pura/kahyangan-desa.htm
Tentang Pesamuan Agung mungkin sdr. Ngarayana bisa membaca ini;
http://www.parisada.org/index.php?option=com_content&task=view&id=1614&Itemid=79
dan juga ada yang lebih jelas mengulas hal itu pada balipost edisi minggu 29 agustus 2010 oleh orang yang sama juga (pak Ketut Wiana),…..
ini kebetulan saya baru saja baca hasil kiriman dari keluarga 😀
Tentang Sang Triniti, mungkin perlu melihat dari berbagai sumber lain, karena masing-masing bagian tsb akan saling melengkapi dalam pelaksaan sebuah upakara.
a_a: 🙂
Suksma,
Om Swastiastu bli Ari…
Iya, pada artikel itu saya yang salah nulis nama puranya… jadi memang betul saya nulis terbalik dan mohon dikoreksi juga untuk artikel yang lainnya.. jika boleh saya ralat akan segera saya rubah.. he..he.. 😀
Tapi maksud saya adalah seperti contoh gambar berikut:
Biasanya Pura Puseh dan Pura desa ada pada satu posisi yang sama seperti contoh gambar di atas. Pura Puseh tempat pemujaan kepada Visnu adalah di utama mandala dan di Madya mandala terdapat gedong panjang (Bale Agung) yang biasanya dihiasi dengan gambar dewa Brahma atau dewi saraswati (studi kasus pura desa di desa saya… :)) sebagai tempat pemujaan kepada dewa Brahma.
Gimana kira-kira dengan pura-pura di desa pekraman yang lain bli dan teman-teman semua? Ada yang sempat memperhatikan? Mohon di share juga..
Oh ya mengenai pesamuan agung mpu kuturan memang benar tidak ada konflik dan perang antar sekter/aliran Hindu atau antar agama Hindu dengan Buddha di Bali. Sebagaimana saya tuliskan dalam artikel yang lain; ”
Maksud kalimat itu bahwasanya adanya banyak sekte menyebabkan sulitnya raja sebagai kepala pemerintahan mengendalikan rakyatnya sehingga perlu dibuat suatu sistem baru yang bisa menampung mereka semua dan implikasinya memudahkan raja mengimplementasikan pemerintahan yang lebih efektif..
Salam,-
Saya sangat menunggu hasil bongkarannya sdr. Ngarayana akan lontar-lontar yang dimiliki oleh kakek sdr. Ngarayana, mudah-mudahan sdr. Ngarayana memiliki waktu untuk menuliskan hasil bongkaran tsb 🙂
Suksma,
Umat Hindu Bali kembalilah ke weda
________________________________________
Terlepas dari kontroversi bagaimana sejarah Bali sebelum adanya hubungan pulau Bali dengan kerajaan-kerajaan dari jawa, tercatat bahwa pada masa pemerintahan Mpu Sendok (988 M) di Bali sudah berkembang ajaran Veda yang sangat kuat. Hampir semua cabang aliran Veda berkembang subur di pulau Bali. Tercatat bahwa ada sembilan paksa yang berbeda yang berkembang saat itu, yaitu : Siwa, Khala, Brahma, Wisnu, Bayu, Iswara, Bhairawa, Ghanapatya, dan Sogotha (Buddha). Bahkan jauh sebelum itu ternyata sudah terjadi hubungan yang sangat erat antara Bali dengan orang-orang dari berbagai belahan di dunia, termasuk India dan China yang dibuktikan dengan ditemukannya peninggalan-peninggalan lontar dari sekitar gunung Batu Karu, Tabanan. Lontar tersebut mengisahkan bahwa pulau Bali sudah menjadi tujuan dharma yatra dan pertapaan orang-orang suci sejak dahulu kala. Lontar tersebut juga memberikan informasi yang mengatakan bahwa di Bali sudah berkembang dua pedepokan spiritual dan oleh kanuragan yang disegani di seluruh penjuru dunia, yaitu perguruan Bulan Matahari dan perguruan Bulan Sabit. Hanya saja akibat permusuhan yang tidak berkesudahan akhirnya kedua perguruan ini berperang sampai titik penghabisan sehingga hampir tidak ada satupun dari mereka yang selamat. Namun dikatakan bahwa ternyata ada seorang murid Perguruan Bulan Sabit Cabang Seruling Dewata yang selamat dari perang tersebut walaupun dengan luka yang teramat parah. Murid inilah yang akhirnya melahirkan perguruan silat, tenaga dalam dan meditasi “Suling Dewata” sebagaimana yang bisa kita temukan di Batu Karu saat ini. Disana juga dikatakan bahwa ajaran Kung Fu Shaolin memiliki kaitan yang sangat erat dengan ilmu pencak silat tersebut.
Pada saat pemerintahan raja Udayana Warmadewa dan Ratu Gunapriya Dharmapatni, terjadi banyak kemelut di pulau Bali. Raja kesulitan dalam mengendalikan rakyatnya baik karena adanya banyak masab dan juga karena tingkah polah masyarakatnya. Untuk mengatasi kemelut tersebut, raja suami istri ini mengundang Sang Catur Sanak dari Panca Tirta (empat dari lima pandita bersaudara putra Mpu Lampita) di Jawa timur yang telah terkenal keahliannya dalam berbagai bidang kehidupan. Mereka adalah para Mpu yang datang secara bertahap, kemudian mendampingi pemerintahan raja dan ratu ini di Bali. Para Mpu ini antara lain Mpu Semeru, Mpu Ghana, Mpu Kuturan dan mpu Genijaya. Yang paling bungsu, Mpu Bharada tidak ikut ke Bali. Beliau tetap tinggal di Lemah Tulis, Pajarakan, Jawa Timur dan kemudian menjadi purohito kerajaan Daha pada masa pemerintahan Raja Sri Airlangga.
Kedatangan empat Mpu ini ke Bali membawa perubahan dan angin segar bagi pulau ini. Sebab empat Rohaniawan ini bukan saja ahli di bidang Agama, namun juga menguasai berbagai hal dan keahlian yang berkaitan dengan politik dan pemerintahan. Seorang yang menonjol dalam berbagai bidang keahlian diantara keempat pandita itu adalah Mpu Kuturan. Pada masa pemerintahan raja dan ratu ini, Mpu Kuturan selain diangkat menjadi Purohito di Kerajaan Bali, Mpu Tuturan juga memegang beberapa jabatan penting, yaitu sebagai Senapati Kerajaan yang bergelar Senapati Kuturan dan sebagai Ketua majelis Pakira-kira I Jro Makabehan yang beranggotakan seluruh senapati, Pandita Dangacarya dan Dangupadhyaya dimana majelis ini bertugas sebagai lembaga tinggi kerajaan yang berfungsi untuk memberikan nasehat dan pertimbangan kepada Raja, serta melakukan pembinaan di segala bidang, untuk menciptakan keamanan dan ketertiban di masyarakat.
Atas persetujuan Raja Udayana Warmadewa dan Ratu Gunapriya Dharmapatni, Mpu Kuturan mengadakan penelitian untuk mencari akar permasalahan yang sedang melanda kerajaan. Dari sini Mpu Kuturan banyak mendapat informasi, data, dan fakta yang sangat bermanfaat tuntuk mengatasi kemelut yang terjadi di masyarakat. Saat itu beliau menemukan kiat untuk mengatasi kemelut di masyarakat dan memandang perlu untuk melakukan perubahan di masyarakat. Akhirnya Mpu Kuturan melakukan Pesamuan Agung (rapat besar) dengan mengambil tempat di Bataanyar (kini Gianyar). Saat itu ada 1370 desa di seluruh Bali yang ikut dalam Pesamuan Agung ini. Pada saat pesamuan agung itu diundanglah tokoh-tokoh dari masing-masing kelompok dan masyrakat. Peserta Pesamuhan Agung tersebut telah siap dan telah membawa konsep dari masing-masing kelompok yang di ajukan dan dibicarakan dalam Pesamuan Agung tersebut. Kepada hadirin diberikan kebebasan dalam menyampaikan pendapat, pandangan, dan gagasan masing-masing. Semua pendapat dan pandangan ditampung oleh Mpu Kuturan selaku ketua Pesamuhan Agung. Mpu Kuturan juga menyampaikan pendapat dan pandangannya, bahwa perlu diadakan perubahan–perubahan serta mengatur kembali tatanan kehidupan masyarakat dengan suatu peraturan dengan berdasarkan situasi dan kondisi serta aspirasi dari masyarakat. Sidang menerima pandangan Mpu Kuturan dengan suara bulat. Akhirnya dalam Pesamuan Agung ini, diambil keputusan yang memuat beberapa jenis bidang, yaitu;
Paham Tri Murti dijadikan dasar pemujaan pada Visnu, Brahma dan Siva karena dianggap dapat mencakup paham dan aliran kepercayaan yang berkembangan di Bali pada saat itu, terutama paham Sivaism dan Vaisnava yang merupakan paham terbesar saat itu.
Diadakan perubahan terhadap organisasi kemasyarakatan, dengan wadah yang disebut Desa Pekraman, dan untuk menerapan paham Tri Murti tersebut, didirikan tiga pura yang disebut pura Khayangan Tiga, yaitu: (a) pura bale agung atau pura desa sebagai tempat suci untuk memuliakan Dewa Brahma, yang bertugas sebagai pencipta alam material, (b) pura puseh sebagai tempat suci untuk memuliakan Sri Wisnu sebagai pemelihara alam semesta beserta isinya, (c) pura dalem atau pura hulu setra sebagai tempat suci untuk memuliakan dewa Siva dan saktinya Dewi Durga selaku pengembali unsur panca maha butha/ pralina. (d) Disamping itu, didirikan juga tempat suci di sawah, yang disungsung oleh krama subak, kemudian dalam sejarah perkembangannya berubah nama jadi desa adat.
Pada setiap rumah tangga di wajibkan mendirikan sebuah pelinggih berbentuk Rong Tiga (Rong Telu), sebagai tempat memuliakan dan memuja roh suci para leluhur dan Sang Hyang Widhi Wasa. Sebutan lain dari rong tiga adalah kemulan yang terdapat dalam setiap sanggah atau merajan.
Semua tanah pekarangan dan tanah yang terletak di desa pakraman dan pura khayangan tiga adalah milik desa pakraman yang juga berarti milik kayangan tiga, oleh sebab itu, tanah-tanah ini tidak boleh dijual – belikan.
Jika kita perhatikan dalam hasil pesamuhan agung tersebut terlihat jelas bagaimana usaha Mpu Kuturan menyatukan masyarakat agar dapat bermasyarakat secara lebih kompak dalam berbagai lini kehidupan sosioreligius, dan hal inilah yang menjadi warisan tak ternilai bagi masyarakat Bali saat ini. Hal yang menarik disini, ternyata Mpu Kuturan tidak semata-mata ingin menyatukan berbagai aliran yang berbeda dan mewujudkan masyarakat yang harmonis secara material, tetapi juga mengembalikan kehidupan masyarakat Bali yang pada waktu itu dapat dikatakan kacau untuk kembali ke dalam ajaran Veda yang otentik. Hal ini ditunjukkan dengan adanya indikasi sebagai berikut:
Penyembahan kepada para dewa dialihkan menjadi penyembahan kepada Tuhan Yang Esa yang disebut sebagai Sang Hyang Widhi Wasa (Widhi = Vidhi = Yang Maha Kuasa).
Meskipun masyarakat diarahkan untuk bersembahyang bersama-sama dalam khayangan tiga (Pura Desa, Puseh dan Dalem), namun secara cerdas Mpu Kuturan telah membagi area desa pekraman kedalam tiga area, yaitu Utama Mandala dan Madya Mandala yang merupakan area pura Desa dan Pura Puseh dan Jaba mandala yang merupakan daerah pemukiman, pertanian, kuburan dan termasuk pura Dalem yang selalu terletak dekat dengan kuburan. Yang distanakan di Pura Desa (utama mandala) adalah Sri Visnu Tuhan Yang Maha Esa yang merupakan original creator of all think. Dewa Brahma yang merupakan mahluk hidup pertama dan bertindak sebagai second creation diposisikan di pura puseh (madya mandala) dan Dewa Siva yang juga merupakan Tama Guna Avatara diposisikan dekat dengan kuburan. Konsep penempatan arena pemujaan ini sangat sesuai dengan sastra Veda (Tri Guna Avatara).
Dalam tataran rumah tangga, dengan pembangunan tempat suci keluarga berupa rong tiga akhirnya mendorong setiap orang memuja Tuhan Yang Esa yang disebut Hyang Widhi.
Padma Sana juga didirikan dengan menempatkan Kurma Avatara (penjelmaan Tuhan) sebagai dasar dan menempatkan Burung Garuda Visnu di bagian belakangnya.
Semua mantra-mantra dalam upacara juga menggunakan kata “Om Tat Sat”, yang mengacu kepada Tuhan, Bhagavan. Sebagaimana dikatakan dalam Bhagavad Gita 17.23; “17.23 Sejak awal ciptaan, tiga kata om tat sat digunakan untuk menunjukkan kebenaran Mutlak yang paling utama. Tiga lambang tersebut digunakan oleh para brahmana sambil mengucapkan mantra-mantra veda dan pada waktu mengaturkan korban suci untuk memuaskan yang Mahakuasa”.
Konsep Garuda Visnu Kencana juga menjadi maskot Bali yang paling utama.
Intinya, beberapa indikasi “terselubung” tersebut mengarahkan masyarakat Bali kembali ke ajaran Veda dan hal inilah yang menjadi pondasi dasar dalam budaya Bali. Lalu mungkinkah budaya Bali dipertahankan jika pondasi dasarnya, yaitu Veda tergerus dan hilang dari Bali dan digantikan dengan dasar agama yang lain?
Jika kita ingin membangun Bali dari awal dengan wajah yang berbeda yang sudah barang tentu tidak akan sama dengan Bali yang dibangun oleh Mpu Kuturan, maka tidaklah masalah menggantikan ajaran Veda dengan ajaran yang lain. Namun jika kita menginginkan Bali yang ajeg yang sebagaimana yang ada sekarang dan sebelumnya, maka tidak ada opsi lain kecuali kembali ke ajaran Veda. Pura kayangan tiga tidak akan bermakna jika dirubah menjadi tempat suci lain, malahan akan mengacaukan konsep Tri Mandala. Garuda Visnu Kencana yang mendunia tidak akan berarti apa-apa jika di “jidat”-nya harus dipahat lambang agama non Vedic. Padmasana akan kehilangan roh-nya jika lambang Tuhan yang disebut “Acintya” digantikan dengan salib. Seni tari dan lukisan yang didasarkan pada Hindu akan menjadi tanpa makna jika pondasi ajaran Hindu dihilangkan.
Jadi, jika anda adalah pemuda Bali atau orang yang masih menginginkan Bali terus ada, kembalilah ke ajaran Veda, gunakan Veda sebagai pondasi dalam melakukan berbagai hal di Bali. Membanggakan seni budaya dan keindahan Bali tanpa menjaga roh-nya, Veda hanyalah merupakan kebanggaan semu. Lalu bagaimana langkah kongkrit kembali ke ajaran Veda? Terapkan ajaran-ajaran dasar dari Veda. Segera hentikan segala tindakan yang menyimpang dari ajaran Veda seperti;
1.Penyimpangan sistem Varna Asrama yang dijadikan sistem wangsa
2.Lenyapkan prostitusi, tindakan asusia dan segala hal yang bersifat asurik
3.Hentikan sambung ayam berkedok caru di pura-pura
3.Jangan menjadikan “mekemit” sebagai alasan untuk melakukan perjudian “ceki” atau domino di tempat suci.
4.Tegakkan desa pekraman dan sistem adat dengan benar. dll.
Intinya, mari kita bentengi Bali dari dalam dengan kembali ke basic, yaitu ke ajaran Veda yang otentik. Hilangkan kata-kata “nak mulo keto” (memang seperti itu) dari kamus kita, kembalikan sistem pendidikan gurukula (pasraman) dalam tatanan desa pakraman dan terapkan sistem Varnasrama dan Catur Asrama dengan tepat. Jika tidak, mari kita persiapkan hancurnya “Pulau Dewata” yang kita bangga-banggakan selama ini.
Justru pakar Hindu Bali kini mulai menyadari dan menggali, ternyata Siwa Siddhanta menjadi inti dari hampir semua ajaran leluhur-leluhur di Bali yang masih diwarisi hingga kini.
Sanghyang Widi
http://www.parisada.org/index.php?option=com_content&task=view&id=518&Itemid=79
http://okanila.brinkster.net/mediaFull.asp?ID=1272
http://www.babadbali.com/canangsari/lontar-ajaran.htm
Batara Guru
http://id.wikipedia.org/wiki/Batara_Guru
http://sudarjanto.multiply.com/journal/item/12596
Padmasana/padmasari
http://bali.stitidharma.org/padmasana-rewriting-version/#more-581
http://id.wikipedia.org/wiki/Padmasana
http://bali.stitidharma.org/padmasana/
Penjor
http://pojok-bali.blogspot.com/2008/01/ucap-syukur-lewat-penjor.html
meru
http://blackinjpn.multiply.com/journal/item/57/Meru
Gunung tinggi sbg Stana Siwa
http://liburan.info/content/view/697/43/lang,indonesian/
http://www.parissweethome.com/bali/cultural_my.php?id=3
Besakih dan Padma Tiga adalah pemujaan kepada Siwa
http://www.balipost.co.id/mediadetail.php?module=detailberita&kid=10&id=39621
http://www.parisada.org/index.php?option=com_content&task=view&id=1709&Itemid=99
Pura Uluwatu
http://www.babadbali.com/pura/plan/uluwatu.htm
Goa Gajah
http://wikansadewa.blogspot.com/2009/01/gua-gajah-pesraman-siwa-budha.html
Sa Ba Ta A I Na Ma Si Wa Ya,Siwa utama dalam Dewata Nawa Sanga
http://id.wikipedia.org/wiki/Nawa_Dewata
http://www.babadbali.com/canangsari/lontar-ajaran.htm
Rsi Aghastya, Rsi Markandeya, & Dhanghyang Dwijendra menyebarkan Siwa Siddhanta
http://sanggrahanusantara.blogspot.com/2009/06/perbedaan-hindu-india-dan-hindu.html
http://balikasogatan.blogspot.com/2010/02/siwa-siddhanta.html
Peninggalan2 Siwa di Bali
http://wisatadewata.com/article/adat-kebudayaan/sejarah-hindu-bali.78
http://githa90.wordpress.com/2010/01/20/sejarah-agama-hindu/
http://www.sinarharapan.co.id/feature/wisata/2003/0911/wis02.html
http://kemoning.info/blogs/?p=483
http://forum.detik.com/showthread.php?t=56242
Peniggalan2 Siwa seperti Lingga, dan candi ditemukan di setiap pura2 kuno, yang tidak mengalami pembaharuan oleh ajaran padmasana yang baru ada pada masa Danghyang Dwijendra pada abad 14. Padmasana itu sendiri adalah penggambaran secara kolosal dari lingga (referensi: http://www.shivavishnutemple.org/templhal/shivalinga.htm :Brahma, Wisnu, juga ada dalam simbol linggayoni, seperti pada padmasana). sedangkan yang tak terkena pengaruh tetap mengikuti bentuk lama(lingga). Justru peninggalan2 berbentuk pemujaan lainlah yang susah ditemukan sebelum masa perombakan (ke bentuk padmasana).
Hal ini bukan dikarenakan Siwa dianggap dewa tertinggi dan yang lain bukan. karena menurut Siwa Siddhanta Siwa adalah sebutan untuk Tuhan, bukan nama dari satu dewa. Nama Siwa biasanya menyertai sifat2 ketuhanan lain(siwaraditya, Siwaatman). jadi ketika orang bali memuja Siwa, dia tidak merasa memuja salah satu dewa Trimurti, tapi merasa memuja Tuhan. begitu juga nama2 Tuhan lainnya, sama saja seperti memuja Siwa.
Coba kita pikirkan sejenak, kenapa diangkat sebagai Catur Weda Sirah?
karena Narayana Upanisad mengajarkan:
Narayana Tuhan yang kekal, Brahma, Siva, Indra, waktu segala arah, atas dan
bawah, didalam maupun diluar seluruhnya diliputi oleh Narayana.
Narayana adalah segala sesuatu, yang lalu yang sekarang dan yang akan
datang. Narayana adalah suci, Tuhan dengan sinar cemerlang, tidak ada duanya
dan tidak dapat dibandingkan.
Beliau adalah Sri Visnu Tuhan YME.
Yang sudah membaca itu kenapa tidak pernah berpikir: yang memuja Narayana adalah sedang memuja Siwa. Yang memuja Brahma, indra, atau Surya, adalah memuja Narayana.
Ketika arkeolog menemukan peninggal berupa lingga, kenapa tak berpikir: oh itu peninggalan pemujaan Narayana juga.
Apapun pemujaan kita, toh di Pura kita tetap menghadap padmasana, entah itu simbol Siwa/Narayana.
(referensi: http://www.netglimse.com/images/events/mahashivaratri/mahashivaratri_65.jpg :bentuk: Lingga adalah juga simbol dari brahma dan wisnu. pemuja lingga ini juga memuja Brahma dan Wisnu, tidak hanya Siwa, dan tidak takut dianggap memuja bukan Tuhannya)
Kita tak pernah memuja Tuhan yang berbeda. jadi berhentilah membeda-bedakan.
Menurut Goris sekte-sekte yang pernah ada di Bali setelah abad IX adalah sekte Siwa Sidhanta, sekte Brahmana, sekte Resi, sekte Sora, sekte Pasupata, sekte Ganapati, sekte Bhairawa, sekte Waisnawa dan sekte Sogatha (Goris, 1974 : 10 – 12).
1.Siwa Sidhanta ini mengutamakan pemujaan kehadapan Tri Purusha yaitu Parama Siwa, Sada Siwa dan Siwa. dan Tri Murti(Brahma,Wisnu,Rudra)
2.Sekte Pasupata juga merupakan sekte pemuja Siwa. Cara pemujaan sekte Pasupata adalah dengan menggunakan lingga sebagai simbol tempat turunnya/berstananya Dewa Siwa. Jadi penyembahan Lingga sebagai lambang Siwa adalah merupakan ciri khas sekte Pasupata.
jadi ada perbedaan..jika salah mohon dikoreksi suksma
Dear all
Sepertinya kita perlu mengambil kesepakatan dulu deh mengenai apa yang dimaksud Siva Siddhanta. Apakah kita sepakat bahwa Siva Siddhanta adalah suatu ajaran yang pada akhirnya mengarahkan pemujaan kepada Siva sebagai Tuhan ataukah mengartikan Siva Siddhanta sebagai penyatuan dari berbagai masab dan meletakkan pusat pemujaan kepada 3 aspek dasar: Parama Siwa, Sada Siwa dan Siwa. dan Tri Murti sebagaimana yang disampaikan oleh Goris sebagaimana dikutip oleh saudara panyonk atau yang lainnya? Tanpa kita menetapkan definisi dari kata Siva Siddhanta, maka saya rasa cukup sulit mengambil kesimpulan apakah kita memang pengikut Siva Siddhanta atau bukan..
@ Sutha
Apakah Narayana, Siva, Brahma, Visnu dan berbagai macam dewa-dewa adalah sosok yang sama? Mohon dijelaskan sumber yang dapat kita jadikan acuan untuk asumsi ini. Karena terus terang dari pemahaman saya dengan membaca Bhagavad Gita mengarahkan pemahaman saya bahwa Dewa dengan Tuhan itu berbeda.
Salam,-
Sutha;
Copas :
Yang sudah membaca itu kenapa tidak pernah berpikir: yang memuja Narayana adalah sedang memuja Siwa. Yang memuja Brahma, indra, atau Surya, adalah memuja Narayana.
saya pikir mungkin sutha ini maksudnya narayana adalah ekspansi dari siwa, sehingga saat memuja narayana kita ditujukan ke siwa, kemudian brahma, indra, atau surya adalah manifestasi narayana, dan kemudian otomatis ditujukan ke siwa.
apakah siwa sama dengan narayana?
mungkin dari ilusi susu itu bisa menjawab
namun jelas :
Narayana Tuhan yang kekal, Brahma, Siva, Indra, waktu segala arah, atas dan
bawah, didalam maupun diluar seluruhnya diliputi oleh Narayana.
Narayana adalah segala sesuatu, yang lalu yang sekarang dan yang akan
datang. Narayana adalah suci, Tuhan dengan sinar cemerlang, tidak ada duanya
dan tidak dapat dibandingkan.
Beliau adalah Sri Visnu Tuhan YME.
di sana jelas bahwa narayana adalah tuhan yang kekal, narayana berada di dalam diri ( paramatma ) brahma, siva, dan indra, dan seluruh mahkluk hidup di alam semesta. narayana meliputi segala sesuatu yang tak terbatas, ia yang mengetahui segalanya baik dimasa lalu, masa sekarang, dan masa yang akan datang, narayana suci adanya, sinar-Nya cemerlang, tidak ada duanya, dan tidak dapat dibandingkan.beliau adalah sri vishnu TYME.
apakah siwa dapat dibandingkan dengan narayana???
seperti halnya susu itu juga ( maaf saya lupa sloka susu yang berubah itu )
@Karena terus terang dari pemahaman saya dengan membaca Bhagavad Gita mengarahkan pemahaman saya bahwa Dewa dengan Tuhan itu berbeda.
@apakah siwa dapat dibandingkan dengan narayana???
apa yang menyebabkan dewa itu berbeda dengan Tuhan?
Apa yang membedakan Narayana dgn nama dewa2 lainnya?
Apa yang menjadi tolak ukur untuk menentukan mana nama2 dewa yang layak disebut tertinggi?
Apa yang kita gunakan untuk menilai ‘mahluk'(ampura…) setaraf dewa?
Bisakah anda menunjukkan kebaikkan dewa A?bisa..
Lalu bisakah anda menunjukkan kejelekkan dewa B?C? D?
Dalam Weda semua dewa2 itu dipuja. lalu kenapa disini kita menjelek2kan salah satunya. saya berani mengatakan anda ‘menjelek2kan’ karena adanya unsur menurunkan derajat satu dewa dibawah dewa lainnya. padahal sungguh kita tidak tau seperti apa dewa itu sebenarnya.
@Apakah Narayana, Siva, Brahma, Visnu dan berbagai macam dewa-dewa adalah sosok yang sama? Mohon dijelaskan sumber yang dapat kita jadikan acuan untuk asumsi ini. Karena terus terang dari pemahaman saya dengan membaca Bhagavad Gita mengarahkan pemahaman saya bahwa Dewa dengan Tuhan itu berbeda.
oh banyak sekali..
“Bhineka tunggal ika tan hana dharma mangrwa”
“Ekam sat viprah bahuda vadanti”
Banyak lagi dalam Bhagavad Gita. namun saya kurang hafal.
justru anda yang harus menunjukkan sloka yang mengarahkan argumen anda bahwa dewa2 itu berbeda.
menurut pandangan saya Hindu itu mengenal banyak dewa. Namun, dalam tujuan terakhir umat Hindu harus terfokus pada Tuhan yang satu, inti dari setiap nama2 dewa itu. maka berangkat dari nama dewa apa saja bisa. nama itu bisa mewakili Tuhan yang satu. tanpa merendahkan/ membedakan nama dewa lain, karena asumsinya adalah, dibalik nama dewa itu adalah Tuhan yang satu juga, Tuhan yang saya puja dengan (kebetulan) nama lainNya.
Contoh saja: kita semua tau dalam Trimurti, Brahma sebagai pencipta, Wisnu pemelihara, Siwa pelebur.
tetapi aliran Vaisnawa memuja wisnu sebagai pencipta, pemelihara, dan pelebur kan? dalam Siwa Siddhanta juga begitu, apalagi dalam Brahma. Itu artinya arahnya sudah ke pemujaan Tuhan yang satu. yang menjadi kekuatan di balik semua nama2Nya. tidak masalah kalau anda tidak menganggap nama2 lain, tetapi ketika anda menganggap remeh/ menganggap lebih rendah nama lain Tuhan, anda sama saja merendahkan Tuhan anda sendiri, karena Tuhan anda ada dalam nama itu.
cobalah carikan saya sloka yang mengatakan ada nama dewa yang sebenarnya bukan nama Tuhan, bahwa Tuhan tidak dapat dipuja melalui nama itu. Anda tidak memujanya bukan berarti itu bukan nama Tuhan.
Bukankah anda selalu berbicara mengenai kaum minoritas? apakah yang minoritas dipuja itu bukan termasuk yang benar?
@Sepertinya kita perlu mengambil kesepakatan dulu deh mengenai apa yang dimaksud Siva Siddhanta. Apakah kita sepakat bahwa Siva Siddhanta adalah suatu ajaran yang pada akhirnya mengarahkan pemujaan kepada Siva sebagai Tuhan ataukah mengartikan Siva Siddhanta sebagai penyatuan dari berbagai masab dan meletakkan pusat pemujaan kepada 3 aspek dasar: Parama Siwa, Sada Siwa dan Siwa. dan Tri Murti sebagaimana yang disampaikan oleh Goris sebagaimana dikutip oleh saudara panyonk atau yang lainnya? Tanpa kita menetapkan definisi dari kata Siva Siddhanta, maka saya rasa cukup sulit mengambil kesimpulan apakah kita memang pengikut Siva Siddhanta atau bukan..
kalau anda mengatakan anda berbeda dengan saya, berarti anda berbeda. kalau anda mengangga anda sama dengan saya, saya juga menganggap anda sama, berarti kita sama.
untuk apa kita beda2kan? toh kita sama2 memuja Tuhan. kecuali anda menganggap saya tidak memuja Tuhan, atau apakah anda ingin mengatakan Tuhan anda lebih baik? kalau tidak, berarti kita sama, ya untuk apa dibeda2kan? kalay ya, itu cuma pendapat anda, bagi yang lain semua sama, anda akan selalu diterima walau anda menganggap anda lebih tinggi dari yang lain. Tidak ingin seperti itu kan? kalau begitu mari saling menghargai. mungkin dulu memang rakyat bali memuja nama Tuhan tanpa membeda2kan namaNya, dan dalam satu pura entah pura itu cenderung ke keSIWAan atau keWISNUan masyarakat bisa memuja Tuhannya masing2.
Paling tidak cobalah beberapa LINK yang saya berikan, itu hasil studi saya selama ini. dengan demikan saya harap pandangan kita bisa saling mengerti. yang saya belum mengerti kenapa anda ambisius sekali ingin menunjukkan Narayana dalam backround Hindu bali kuno?
apakah penting peninggalan2 pura itu? stelah saya tunjukkan bukti2 pun anda tetap tidak meralat tulisan itu. marilah kita anggap peninggalan2 itu milik kita bersama, umat Hindu yang di dalamnya terdapat pemujaan Siwa, Narayana, Brahma, dll. walaupun bentuk peninggalannya berupa lingga,padma, arca, apapun itu itu ditujukan kepada Tuhan kita juga.
Wah makin seru nih…… ^_^
@Sutha
Bro Sutha, pemaparan pemahaman anda menarik. Anda mengutip sloka-sloka yang sama seperti apa yang pernah saya dengar dulu waktu SMA. Semua sloka itu bersumber dari lontar yang berkembang dari Indonesia. Kira-kira sumber sloka itu dan maksud sujatinya apa?
Saya kutipkan sloka-sloka Veda yang membedakan Tuhan dengan dewa seperti yang ditulis bli ngara dalam artikel di sini: https://narayanasmrti.com/2009/07/tuhan-orang-hindu-banyak/
1. Rg.Veda X. 129.6 “Setelah diciptakan alam semesta dijadikanlah Dewa-dewa itu“
2. Manawa Dharmasastra 1. 22 “Tuhan yang menciptakan tingkatan Dewa-Dewa yang memiliki sifat hidup dan sifat gerak“
Bagavad gita 9,23 “Orang orang yang menyembah dewa dewa dg penuh keyakinan sesungguhnya hanya menyembahku, tetapi mereka melakukannya dengan cara yang keliru , hai putra Kunti“
4. Bhagavad gita 9.25 ” Orang yang menyembah dewa-dewa akan dilahirkan di antara para dewa, oang yang menyembah leluhur akan pergi ke planet leluhur, orang yang menyembah hantu dan roh halus akan dilahirkan di tengah-tengah mahluk-mahluk seperti itu dan orang yang menyembah-Ku akan hidup bersama-Ku“
Lalu maksud dari sloka-sloka ini apa ya bro? Coba sekarang anda yang mengutip satu saja sloka Bhagawad Gita yang menyatakan Tuhan dan dewa itu sama. 😉
konsep Tuhan dlm siwa Sidhanta jika berwujud Wisnu kami akan menyembah,jika berwujud brahma kami juga akan menyembah,apakah kami salah menyembah Wisnu atau Brahma? tidak,konsep di Siwa Sidanta Tuhan bermanifestasi sebagai Wisnu(pemelihara)dan Brahma(pencipta)jadi yg beraktivitas cuma satu yaitu Tuhan berarti konsep disini tidak ada yg lebih rendah atau lebih tinggi.
konsep Tuhan dlm Waisnava Wisnu(Tuhan) dan Dewa berbeda.trus tugasnya Dewa Brahma dan Dewa Siwa serta dewa-dewa yang lain apa?dan tugasnya Tuhan apa?
kenapa anda memuja Kresna, karena anda tahu itu perwujudan Wisnu(Tuhan) demikian juga dengan kami kenapa memuja Tri Murti dll karena kami juga tahu itu perwujudan Tuhan,menurut anda yg mana dianggap keliru??
@ panyonk
karena comment ini ditujukan ke saya, saya coba sedikit memberi masukan ya saudara panyonk
Sebagaimana saya tulis dalam artikel “Mencari Formula Aliran Sesat Dalam Veda”, saya tidak bisa serta merta menyalahkan dan menyesatkan anda sebagai penganut paham Tri Murti. Saya tidak bisa menghakimi anda dan melakukan perusakan terhadap keyakinan anda. Tetapi dalam kebudayaan Veda, debat filsafat seperti ini adalah hal biasa dan mohon jangan beranggapan bahwa karena di sini kita saling membantahkan dan saling menggugat itu artinya kita saling bermusuhan dan menyesatkan. Bukan… bukan itu tujuan saya.. tapi mari sama-sama saling mengerti dan belajar sastra dengan saling sharing di sini.
Pemujaan kepada para dewa ataupun yang lainnya tidak salah. Sri Krishna dalam Bhagavad Gita 9.25 sebagaimana yang dikutip saudara Made sudah memperlihatkan bahwa Tuhan membebaskan umatnya memuja siapa saja. Tentunya dengan konsekuensinya masing-masing…
Dalam pustaka suci Veda memang ada bagian yang mengajarkan kita untuk memuja para dewa dalam usaha mencapai jagadhita (kebahagiaan material), bagian ini disebut bagian karma-kanda. di sisi lain ada yang mengajarkan tentang filsafat yang mendalam tentang ketuhanan dan ada yang mengajarkan sistem bhakti yang tulus kepada Tuhan yang esa..Lebih lanjut mengenai pandangan saya ini mungkin bisa di baca di artikel ini.
Jika Tuhan dan dewa berbeda, lalu apa tugas Tuhan? Sudah saya tuliskan dalam artikel “Susunan pemerintahan alam semesta“. Mohon disimak dulu ya…
Sri Krishna menyatakan dalam Bhagavad Gita bab 17 bahwa mereka yang melandasi keyakinannya tanpa berpegang pada kitab suci adalah mereka yang berada dalam sifat kegelapan/kebodohan. jadi jika kita mengakui diri sebagai orang Hindu yang berpegang pada kitab suci Veda, mari kita coba mendasarkan keyakinan kita kepada sloka-sloka yang tercantum dalam kitab suci Veda, bukan berdasarkan angan-angan pikiran kita semata. Bukan juga hanya dengan dalih “nak mulo keto”, hanya mendasarkan keyakinan akibat kata orang saja..
Salam,-
oswst bro panyonk,
mohon maaf sebelumnya, kalau menurut sy pribadi (tanpa sastra) ya tidak ada yg keliru. sah-sah saja memuja Trimurti, dewa-dewa, leluhur, dll… dalam Hindu kita di berikan kebebasan oleh Tuhan untuk memuja yang hendak kita puja. silakan memuja yang ingin anda puja dan anda akan sampai kesana.
namun dalam weda, khususnya Bhagavadgita yang di akui sebagai kitab suci oleh semua umat Hindu di bumi ini, memang terdapat sloka-sloka yang menunjukkan bahwa dewa-dewa berbeda dari Tuhan… mohon maaf saya tidak hafal, namun salah satunya seperti yg di kutip oleh bro made di atas; jika kita mengakui Bhagavadgita sebagai kitab suci kita dan menyelaminya dengan cukup teliti, maka atas karunia Tuhan ISHWW kita akan sampai pada kesimpulan bahwa dewa-dewa berbeda dari Tuhan.
Om Swastyastu,
@Hare Krisna;
Anda harus memperbaiki copas-an anda ini karena ini jelas keliru 🙂
@Ngarayana, Made, a_a;
bagaimana dengan ini;
“tad eva agnis tad adityas tad vayus tad u candramah,
tad eva sukram tad brahma ta’ apah sa prajapatih”
(Yajurveda, XXXII.1)
arti: Sesungguhnya Ia adalah Agni, Ia adalah Aditya, Ia adalah Vayu, Ia adalah Candrama, Ia adalah Sukra, Ia adalah Brahma, Ia adalah Apah, Ia yang esa itu adalah Prajapati.
apa mantram ini keliru sehingga direvisi oleh Bhagawadgita???
saya sebetulnya sudah mempost ini disini;
https://narayanasmrti.com/2009/07/jangan-pergi-ke-surga/comment-page-2/#comment-1958
jadi apa mantram dari Veda Samhita tsb keliru???
malah ini lebih jelas untuk menjawab Rg.Veda X. 129.6; adalah Atharvaveda, XIII.3.17
Jika melihat pada selaput memang jelas berbeda tapi jika melihat pada isi mungkin akan sama… 🙂
@Ngarayana;
Tentang tulisan di artikel tsb ada baiknya segera dirubah 🙂
Klo di desa saya malah Pura Puseh yang di madya mandala sedangkan Pura Desa di utama mandala, ntar saya cek lagi……
Suksma,
Om Swastiastu
@ari_bcak
Yup.. bener kalau kutipan saudara Hare Krishna perlu di rubah.. coz artikel saya sudah saya rubah juga… he..he..he.. 😉 Mohon di cek posisi tempat pemujaan Visnu dan Brahma di masing-masing desa adat ya teman-teman… biar kita mendapatkan informasi yang falid..
Mengenai kutipan sloka Yajurveda, XXXII.1 kok tidak saya temukan ya bli? Yang dimaksud Yajur Veda Hitam apa Yajur Veda putih? Dalam http://www.sacred-texts.com/hin/ soalnya Yajur Veda dibagi menjadi 2 dan dari masing-masing masih dibagi-bagi lagi menjadi “kanda-kanda” yang berbeda, baru dibagi dalam bab dan sloka… Tapi dalam penomoran yang bli berikan hanya seperti bab dan sloka.. saya jadi bingung nyarinya… mohon bantuannya ya bli.. 😀
Kalau sloka ini menurut saya tidak mencerminkan bahwa dewa itu adalah Tuhan lho bli… 😀
Sesuai dengan pandangan saya mengenai Veda di link ini.. Kitab Catur Veda memang ditujukan untuk pemujaan kepada para dewa yang jumlahnya sampai 33 juta. Ada beraneka macam pemujaan kepada para dewa dengan melaksanakan berbagai-macam ritual agar hidup bahagia di dunia fana melalui pemuasan indriya badan jasmani. Contoh, bila ingin kuat fisik, sembah Prthivi. Jika ingin banyak rejeki, sembah Durga Dewi. Kuat seksual, sembah Indra. Ingin keturunan, sembah Prajapati, dan sebagainya. Secara umum, ajaran memuaskan indriya secara terkendali sebagaimana diatur dalam Catur Veda, disebut ajaran Karma Kanda Veda. Tujuan tertinggi yang ditawarkan adalah kebahagiaan sorgawi dengan lahir di planet Sorga (Svarga-loka). Dalam hubungannya dengan Karma Kanda Catur Veda ini, Sri Krishna berkata bahwa ajaran ini diperuntukkan bagi mereka yang kurang cerdas dan dicengkram kuat oleh sifat-sifat alam material. Menganggap alam sorgawi sebagai tujuan hidup tertinggi adalah cita-cita mereka yang tergolong veda vada ratah, tidak memahami tujuan Veda (Bg.2.42-43). Dan mereka tidak tahu bahwa kehidupan dan kebahagiaan sorgawi tidak kekal, berlangsung sebentar saja karena masih berhakekat material (Bg.9.20-21). Memuja para dewa untuk memperoleh kesenangan duniawi melalui pelaksanaan ritual adalah kegiatan mereka yang tergolong alpa medasam, tidak cerdas (Bg.7.23), hrta jïänah, berpikir tidak waras (Bg.7.20) dan dicengkram kuat oleh tri-guëa, tiga sifat sifat alam material (Bg.2.45).
Meskipun Catur Veda mengajarkan pemujaan kepada para dewa, namun semua doa-doa pujian ritual selalu di akhiri dengan Om Tat Sat. Ketiga suku kata ini menunjuk Tuhan Krishna yang juga disebut Visnu atau Näräyaëa. Lengkapnya adalah sebagai berikut , “Om tad visnoh paramam padam sada pasyanti surayah, para dewa selalu menengadah kearah tempat tinggal Visnu yang maha utama” (Rg.Veda 1.2.22.20). Dikatakan pula, “Om tat sad iti nerdeso brahmanas tri vidah ….. tena vedas ca yajïas ca vihitah pura, sejak alam semesta material tercipta, tiga suku kata Om Tat Sad sudah dipakai menyapa Tuhan dan diucapkan oleh para brahmana ketika melaksanakan ritual untuk memuaskan Beliau” (Bg.17.23). Jadi mantra Om Tat Sat diucapkan pada setiap akhir doa- doa pujian supaya ritual berhasil, sebab para dewa selalu bergantung kepada Tuhan dalam melaksanakan tugasnya mengatur urusan-urusan material dunia fana termasuk menyediakan kebutuhan hidup segala makhluk. (Dalam hubungan ini perhatikan Bg.7.21-22).
Jadi Bhagavad Gita tidak merevisi Catur Veda, melainkan kitab suci Veda yang jumlahnya seabrek itu memang memiliki banyak arah dan tujuan. Ada yang untuk tujuan karma-kanda, jnana-kanda dan ada yang ke arah bhakti kepada Tuhan yang esa.
Salam,-
konsep ketuhanan anda dan kami sudah jelas berbeda,sepertinya bakalan sulit dijelaskan,tapi selama ini kami cukup menerima dgn akal konsep Tuhan kami,karena kebebasan kami dlm memuja tidak ada konskwensinya. maaf saya termasuk orang yg tidak tahu sastra,hanya bisa menjelaskan konsepnya secara umum tanpa didasari dgn sloka dll.maksud saya sebenarnya ikut nimbrung mau menjelaskan sedikit tentang Siwa Sidanta..maaf kalau sudah melebar
Om Swastyastu sdr. Ngarayana,
Tentang kutipan dari Yajurveda, XXXII.1, saya temukan di buku “Ketuhanan Dalam Veda” (1995) oleh I Made Titib dan juga dari buku “Brahmawidya” nya Drs I ketut Donder M.Ag, sedangkan klo Yajur Veda saya tidak bawa sekarang…. 🙂
klo menurut sdr. Ngarayana maka tuh mantram menjelaskan tentang apa???
Klo yang ini bagaimana;
Nah klo pengertian ini keliru maka saya akan protes pada penulisnya deh…. 🙂
dan juga klo pengertian dari Bhagawadgita XI. 39 sendiri bagaimana???
Dan juga ada Ṛgveda II.1.4,11 menyebutkan hal yang sama…. 🙂
Eh disini juga ada;
Teologi dalam Susastra Hindu
Saya selalu mengatakan jika hanya melihat selaput maka akan berbeda sedangkan isi tetap sama, sama halnya dengan Arjuna perlu dibukakan ‘mata’nya terlebih dahulu oleh Krishna sehingga mampu melihat wujud Krishna sebenarnya yaitu berisi seluruh alam semesta berupa ribuan kepala, ribuan tangan, dll.
Suksma,
@ari_bcak
Iya melebar lagi bli… he..he.. mau tidak mau kita harus sepakati dulu apa yang dimaksud sebagai Siva Siddhanta. Apakah Maksudnya adalah menganggap Siva sebagai yang tertinggi ataukah maksudnya beranggapan bahwa Tuhan itu satu dan muncul dalam banyak wujud berupa dewa-dewa sebagaimana sering dianalogikan seperti satu orang yang sama, karena melakukan pekerjaan yang berbeda akhirnya dipanggil dengan sebutan yang berbeda?
Buat teman-teman yang punya kualifikasi dan merasa sebagai pengikut Siva Siddhanta mohon ikut memberikan pandangannya dan menyampaikan apa sebenarnya yang dimaksud sebagai Siva Siddanta mengingat arti Siva Siddhanta masih simpang siur.. he..he..
Kalau menurut saya ini dapat berarti bahwa Tuhan yang sama muncul sebagai aspek perluasan sebagaimana halnya Avatara bli… sebagaimana yang disampaikan dalam Bhagavad Gita 4.6. Disana Krishna menyatakan bahwa bentuk rohaninya sebagai Avatara adalah kekal.. Beliau memiliki sangat banyak bentuk rohani dan meskipun Beliau adalah Yang Maha Banyak, namun Beliau juga Yang Maha Tunggal, karena Beliau absolut dan acintya (tidak terpikirkan oleh angan-angan pikiran kita). Ini baru pandangan dengan membandingkan dengan Bhagavad Gita aja bli… untuk lebih jelasnya kita memang harus memahami Catur Veda dengan lengkap. Tidak bisa sepenggal-sepenggal seperti ini.
Oh ya bli, dalam pelajaran pada hari janmastami kemarin, saya mendapatkan satu keterangan kenapa diadakan agni hotra? Apakah agni hotra adalah pemujaan kepada dewa agni atau kepada Tuhan? Penjelasan yang memberi kelas adalah bahwasanya Agni adalah lidah Visnu dan melalui agni dilakukan persembaan dan pemujaan kepada Visnu. Demikian juga dengan pemujaan Suryanamaskara, yaitu pemujaan kehadapan matahari. Ternyata tujuannya tidak semata-mata kepada dewa Surya, tetapi melalui dewa surya (Matahari) yang dikatakan mata Sri Visnu kita memuaskan Sri Visnu. Berkaitan dengan ini, apakah ada korelasi Ṛgveda II.1.3 dengan konsep yang dijelaskan dalam pelajaran kemarin ya? Soalnya dalam Bhagavad Gita 11.19 disebutkan; “Anda tidak berawal, tidak ada masa pertengahan bagi Anda dan Anda tidak berakhir. Kebesaran Anda tidak terhingga. Jumlah lengan Anda tidak terbilang. Matahari dan bulan adalah mata Anda. Hamba melihat Anda dengan api yang bernyala keluar dari mulut Anda, Anda sedang membakar seluruh jagat ini dengan cahaya pribadi Anda”.
Mohon bimbingannya bli dan teman-teman semua. dan mohon maaf untuk 2 minggu ke depan mungkin saya jarang bisa comment karena liburan.. 😀 Semoga selalu dalam lindungan-Nya teman-teman.. selamat berdiskusi.
Salam,-
Eh kok melebar yach, seharusnya cuman membahas tentang Siva Siddhanta 😀
Anda bisa saja dengan mudah membayangkan Siwa siddhanta seperti apa, hanya dengan membaca lagi komen2 anda/ teman anda, namun mengganti kata Wisnu/Narayana dengan Siwa. saya contohkan sedikit:
apakah NARAYANA dapat dibandingkan dengan SIWA???(dari komentar saudara Sugix, no offense)
Agni adalah lidah Siwa dan melalui agni dilakukan persembaan dan pemujaan kepada Siwa(ngarayana)
Haha.. tidak seseram itu kok! apa yang saya katakan diatas bukan berdasar sastra/sejenisnya. saya hanya heran saja dengan cara anda2 mengungkapkan keegoisan anda.
See, ini hanya masalah nama saja. kalaupun anda merasa kitab suci mendukung anda, kitab suci yang mana dulu? Narayana Upanisad? pernahkah anda membaca Siwa Purana? disana Tuhan disebut Siwa. Brahma Upanisad juga ada untuk landasan men-Tuhan-kan Brahma. Dalam Al-quran disebut Tiada Tuhan selain Allah. tapi toh itu tak berarti bagi anda, karena hubungan manusia dengan Tuhan itu pilihan masing2. Kitab suci adalah sebagai landasan iman. kalau anda menggunakan Bhagavata purana, sedangkan yang lain menggunakan Siva purana, maka sampai kiamat perdebatan itu tidak akan berakhir. si A berkata Tuhan itu Wisnu, seperti kata purana ini! Si B berkata Tuhan itu Siwa, tertulis di purana ini! kapan ketemunya? Manusia mendebatkan tentang Tuhan ini dan itu, sedangkan tidak ada perdebatan dari Tuhan Narayana dan Siwa sendiri. itu kalau menurut anda keduanya adalah dua sosok berbeda(baik dari tingkatannya). tapi bagi saya keduanya adalah Tuhan yang satu. Saya juga memuja Narayana kok. sama sekali saya tidak diajarkan membeda2kan diantara nama Tuhan, kalau itu benar nama Tuhan.
Satu ajaran yang tidak saya temukan dalam diri anda adalah saling menghargai. Ajaran untuk menghargai dan tidak mencampuri cara pemujaan orang ada pada Siwa Siddhanta, masa dalam Hare Krishna tidak ada??
Postingan seperti ini sarat dengan propaganda. Kata2 yang dihalus2kan dan dimanis2kan (contoh: “Lalu kenapa dalam catatan sejarah pulau Bali ‘HAMPIR’ TIDAK SATUPUN’ lingam dan yoni yang ditemukan?”) membuat orang yang kurang tau akan mudah terhasut, dan yang memang sealiran dengan anda akan semakin “tegeh sebengne”. Padahal fakta2 dalam tulisan anda tidak akurat, dan saya telah memberikan link2 sebagai fakta tandingan, tetapi itu tidak membuat anda mengkoreksi apapun dalam tulisan anda (paling tidak coba bantahkan, kalau tidak mau meralat tulisan2 anda). Ada apa sebenarnya dibalik itu?
Apakah anda benar2 berharap orang bali semua akn menjadi pengikut Hare Krishna? pentingkah jumlah umat bagi anda? yang saya tau Hare Krishna telah jatuh bangun berkali2 di Bali tetapi ajaran itu tetap ada, bukan karena jumlah tetapi keteguhan para pengikutnya kan? Dan ajaran ini akan diterima dengan baik jika anda dan teman2 anda tidak menunjukkan pertentangan, tetapi pemahanan terhadap kepercayaan yang lain (itulah yang saya liat di sekitar saya, tanggapan orang tentang Hare Krishna)
Mencari ketenaran dengan melecahkan yang lain, sungguh tidak terpuji. Dengan menghargai kepercayaan yang lain dan tidak saling menyalahkan, justru akan memunculkan citra yang baik di masyarakat. ini tidak ada hubungannya dengan Tuhan, tidak ada hubungannya dengan Narayana, Siwa/ dewa2 lain. ini hanya tentang tulisan ini. Saya pemuja Siwa, saya Juga pemuja Narayana, juga Brahma. Tapi Tuhan ya tetap Tuhan yang Satu, dalam pribadi saya, saya menyebutnya Siwa, tetapi itu tidak mengurangi hormat saya pada nama2 yang lain, karena menurut saya itu semua sama: Tuhan.
Maaf panjang, kebetulan ada waktu lama buat ngenet
bagaimana konsep ketuhanan suatu ajaran dianggap universal jika tidak bisa merangkul konsep ketuhanan yang berbeda-beda.jika masih menganggap memuja ini keliru,memuja itu keliru.jika memuja ini ada koskwensinya,memuja itu ada koskwensinya.jika tidak bisa berkembang sesuai desa,kala, patra. dan tidak bisa menghilangkan keegoan.mungkin kalau kita mau menelusuri konsep-konsep yg diajarkan para leluhur kita mungkin akan segan,bangga dan merasa berterima kasih karena begitu luhur. jangan karena pengaruh Islam dan Kristen yg katanya lebih praktis, kita memunculkan ajaran yang juga praktis.mungkin ada sebagian dari umat mereka menyesal telah menghilangkan kebudayaan mereka yang adi luwung dan sudah kehilangan jati diri.kenapa kita malah ingin berbondong-bondong meninggalkan itu semua. mungkin sebagian rakyat indonesia masih bangga memiliki Bali termasuk anda.walaupun ajaran datang dari luar tetapi jati diri sebagai orang Bali tidak hilang.dan saya salah satu orang yang tidak niat menjadi orang india, mungkin anda lebih bangga menjadi orang india ya..monggo..maaf terlalu menyinggung..
yg terbaik adalah yg sudah ada memberikan sesuatu yg positif.
kenapa hrus merubah sesuatu yg sudah memberikan ketentraman. perlu wktu lama Mpu Kuturan membuat semua ini menjadi sempurna.
ini copas saya yang sya tulis sendiri tentang berbagai aliran di Hindu…saya pernah baca dari buku spritual yang dibuat oleh orang spiritual Hindu cuma maaf lupa nama Beliau..
begini bagaimana rupa Tuhan??bagaimana mewujudkan Tuhan??
Beliau menjawab…di saat melakukan sujud, pikirkan dan resapi sebagaimana kau mau dalam mewujudkanNya…apakah Ia sebagai seorang yang tampan, atau cantik atau penuh kelembutan atau bahkan garang sesuai dengan apa-apa yang ada di hatimu …senyaman-nyaman apa yang ada di dirimu dan hatimu….
di saat itu ada, panggilah dan wujudkanlah dia di dalam idep (pikiran) serta di dalam relung-relung jiwamu…bagaimana Ia tersenyum saat kau melakukan kebaikan, bagaimana Ia marah saat tindak-tandukmu tidak sesuai dengan keinginanNya…resapi itu, dan di saat itu mengada…maka gunakan selamanya seumur hidupmu….saat kau bersujud atau pada saat seluruh kehidupanmu…
itu saja..
Ekam Sat Viprah Bahuda Vadanti…..
Salam..gwar…
mungkin ada hubungannya…
masih belajar-belajar buat mengerti apa yang ditulis di atas…
maaf kalau salah kata.. ilmu masih cetek..kekekeke..
care nak be taen nepuk betaree…!
nE ade te mule ade…! nE sing ade sing taen ade…! alihin me nE sing ade…kanti ngencit ngalih ing ade pe ye…tegaran alih ne mule ade pasti ade…
dear all
Sebaiknya ketika menganalisa sesuatu, hendaknya utamakan positif thinking.
Seperti halnya artikel2 yg ditulis oleh saudara Ngarayana di web ini, menurut saya semua itu tujuannya adalah kebaikan.
Saya contohnya, mengikuti tulisan2 disini, untuk memperdalam wawasan dan mempertebal keyakinan saya. Dari kurang tau, setidaknya ada tambahan ilmu yg saya dapati. Meski tidak semua pemikiran dari penulis artikel ini dapat saya implementasikan.
Semua hal yang disajikan oleh saudara Ngarayana membuat saya untuk lebih mempelajari dan memperdalam keyakinan, meski kadang beliau dalam menyampaikan artikel sering kali agak “tegas”. Namun memang itu konsekwensi menggunakan teori perbandingan.
Terus terang terima kasih saya sampaikan atas artikel2 web ini, yg sudah membantu dan membuat melek bahwa saya adalah pengikut siva sidhanta. Dari semua pertanyaan2 di artikel ini yg berkaitan dgn siva, membuat saya lebih dalam lg mendalami ajaran ini. Cuman satu hal yg pasti saya tau, pemujaan yg dilakukan oleh orang bali mengutamakan pemujaan menggunakan lingga yoni. Namun bentuk lingga tidak seperti yg kita ketahui pada umumnya. setiap upacara pemujaan yg besar Orang bali membuat lingga, dengan kreasinya sendiri dari daun dan bunga yg dihias sedemikian rupa, dan diletakkan di sanggah surya, tempat pemujaan yg bahkan lebih tinggi dari padmasana, disitulah siva dipuja.
at the end….. Saya msh bingung, dari semua yg Ngarayana sampaikan di artikel ini, knapa ajaran hare krisna msh susah berkembang di bali khususnya??
Salam
Kidz
sebelum terlalu jauh membahas apakah di bali ini siwa sidanta atau malah waisnawa? saya coba berikan pilihan tambahan, ini berdasarkan studi kasus di desa saya sendiri yaitu sesetan, tempat pak sara sastra berdiam, yang tulisannya dijadikan referensi oleh saudara ngarayana.. kiranya dengan melihat patung budha dan gajah di depan pure desa dan puseh kami, saya lebih merasa kita di bali menganut paham siwa budha… mungkin bisa dibaca tulisan ida bagus suamba untuk lebih validnya. dan juga dalam kekawin sutasoma yang dimaksud bhine ika tunggal ika, hakikat siwa dan budha yang berbeda tetapi satu juga dia, tiada kebenaran (tuhan) yang mendua, dharma mangrua
di desa kami soroh waisnawa atau bhujangga, disini disebut soroh senggu adalah benar seperti tulisan pak sara sastra dalam hal sang yadnyamana, pemuput yadnya, tetapi dalam cerita tentang peranda sakti wawu rauh jelas berbeda sekali kenapa soroh senggu, bhujangga waisnawa ditugaskan memuput bagian caru, coba baca juga sejarah dang hyang nirata.
kalau tentang padmasana, saya hanya mengambil kesimpulan bahwa ini adalh kecerdasan yang di wariskan oleh dang hyang nirarta dalam mewujudkan Tuhan yang satu dalam bentuk yang vertikal setelah sebelumnya tokoh jenius mpu kuturan telah mewujudkan tuhan yang satu secara horisontal.. sipa yang diwujudkan? bagi saya jelas sada siwa, siwa dan parama siwa kalau mau dilihat konsep mpu kuturan jelas mengadopsi tetamian kepercayaan lokal, yang menempatkan ibunta, raganta dan bapanta sebagai implementasi dari rong tiga. ini adalah warisan agama-agama penduduk pribumi, termasuk juga bangsa dravida di india yang memiliki pemujaan kepada Ibu pertiwi (bumi)
oya, yang saya tahu dalam trayi wedha nama wisnu jarang di sebutbahkan nama krisna tidak pernah muncul, yang paling sering justru nama Indra dan surya serta agni (coba baca tulisan pak palgunadi)
kalau saat ini di bali kembali muncul sampradaya, fanatisme soroh.. sepertinya inilah yang disebut dengan history repeat itself, bukankah sebelum mpu kuturan datang leluhur kita di bali sudah berdebat seperti ini, yang mengklaim apa yang dianutnya paling benar, sehingga raja memandang itu sebagai hal yang tidak kondusif? lalu menugaskan mpu kuturan “menyatukan” mereka, yang selanjutnya disempurnakan oleh dang hyang nirarta dengan pemujaan yang lebih bersifat vertikal
btw, sangat senang membaca diskusi ini….
@Ngarayana
@ Sutha
Yang sudah membaca itu kenapa tidak pernah berpikir: yang memuja Narayana adalah sedang memuja Siwa. Yang memuja Brahma, indra, atau Surya, adalah memuja Narayana.
Apakah Narayana, Siva, Brahma, Visnu dan berbagai macam dewa-dewa adalah sosok yang sama? Mohon dijelaskan sumber yang dapat kita jadikan acuan untuk asumsi ini. Karena terus terang dari pemahaman saya dengan membaca Bhagavad Gita mengarahkan pemahaman saya bahwa Dewa dengan Tuhan itu berbeda.
————————————————–
Yatottamam iti sarvve, jagat tatva vva liyate, yatha sambhavate sarvvam, tatra bhavati liyate.
Sakwehning jagat kabeh, mijil sangkeng Bhatara Siwa ika, lina ring Bhatara Siwa ya.
(Bhuwanakosa III, 82)
Semua dunia ini muncul dari Bhatara Siwa, lenyap kembali pada Bhatara Siwa juga.
Segala yang muncul dari Bhatara Siwa itu sifatnya maya, bukan yang sesungguh nya dan merupakan dunia phenomena, yaitu dunia gajala yang tampak untuk sementara saja. Ibarat tampaknya bayang-bayang pada cermin, yang tampaknya saja ada namun sesungguhnya tidak ada, dan yang sesungguhnya ada berada di balik bayang-bayang itu. Adapun yang sembunyi di balik dunia ini, yang bersifat langgeng, hanyalah Bhatara Siwa sendiri.
Brahma srjayate lokam visnave palaka sthitam, rudretvesangharas ceva, trimurtih nama eva ca
(Bhuwanakosa III, 78)
Halnya Bhatara Siwa menciptakan dunia ini.
Brahma wujudnya waktu menciptakan dunia ini.
Wisnu wujudnya waktu menjaga dunia ini.
Rudra wujud-Nya waktu mempralina dunia ini
Demikianlah tiga wujud-Nya (Trimurti) hanya beda nama.
nama-nama Siva bila berada pada penjuru dunia ini adalah sebagai berikut :
1. Sanghyang Iswara di Timur
2. Sanghyang Maheswara di Tenggara
3. Sanghyang Brahma di Selatan
4. Sanghyang Rudra di Barat Daya
5. Sanghyang Mahadewa di Barat
6. Sanghyang Sangkara di Barat Laut
7. Sanghyang Wisnu di Utara
8. Sanghyang Sambhu di Timur Laut
9. Sanghyang Siwa di Tengah
Selain nama-nama tersebut ada pula nama-nama Siva dalam aspeknya sebagai Panca Brahma. yaitu:
1. Sadyajata di Timur dengan wijaksara Sa atau Sang
2. Bamadewa di Selatan dengan wijaksara Ba atau Bang
3. Tatpurusa di Barat dengan wijaksara Ta atau Tang
4. Aghora di Utara dengan wijaksara A atau Ang
5. Isana di Tengah dengan wijaksara I atau Ing.
Wijaksara-wijaksara Sa, Ba, Ta, A, I atau Sang, Bang. Tang, Ang, Ing ini disebut Panca Brahmaksara, Wijaksara ini sangat sering dipakai dalam puja-puja di Bali.
terus terang dari pemahaman saya dengan membaca Bhuwanakosa, Siva tatva, Ganapathi Tatva,Wrhaspati tatva mengarahkan pemahaman saya bahwa Tuhan adalah Siva.
salam
Kidz
Om swastiastu
mohon maaf bli tiang orang hindu yang mungkin belum terlalu banyak tau tentang tatwa dari agama saya..
akhir2 ini saya perhatikan di masyarakat bali mulai muncul berbagai aliran kepercayaan yg sangat erat kaitannya dengan Hindu baik itu yang bernafaskan siva adan ada pula yang bernafaskan Vaisnava…
karena itu sebagai orang Hindu Bali yang menganut Tradisi Bali saya ingin bertanya apakah sangat penting kita harus kembali membahas sekte2 apakah itu siwa sidhanta atau vaisnava?
bukankah tujuan dari Mpu Kuturan sendiri menyatukan semua sekte adalah untuk menghindari gesekan antar sekte..yah biar ga seprti aganma tetangga..
dan bukankah jika kita memuja siva atau sri krisna bukankah muaranya tetap sama Tuhan Yang Maha Esa atau orang bali nyebutnya Ida Sang Hyang Widhi wasa dan tujuan terakhir dari umat hindu adalah sama yaitu moksha…mungkin saya minta sedikit pendapat dari bli Ngarayana..
suksma..sebelumnya
Om santhi santhi santhi om…
@ pucungpuyung
Om Swastiastu
Saya juga masih sangat awam bli… Veda terlalu luas dan dalam untuk bisa diselami secara sempurna. Karena itu mari berlindung sedikit demi sedikit dibawah naungan guru, sastra dan sadhu. Mpu Kuturan lewat pesamuhan tiga memang bertujuan menyatukan banyak aliran di Bali demi memudahkan sang penguasa melakukan pemerintahan. Munculnya berbagai macam perguruan dengan berbagai coraknya di Bali tentu bukan tanpa sebab. Saya yakin ada sebagin orang Bali yang merasa haus akan filosofi dan mungkin juga penat dengan kegiatan upakara yang ujung-ujungnya “nak mulo keto”. Mereka yang tidak beruntung akhirnya ada yang beralih ke agama tetangga. Tetapi sebagian lagi beruntung dapat menemukan berbagai jenis warna lain dari Hindu dan disanalah mereka mendapatkan jawaban dari kegundahan mereka. Jadi menurut saya yang urgen untuk dipecahkan sekarang bukanlah masalah banyaknya aliran yang muncul, tetapi kenapa orang Hindu Bali ingin keluar dari Hindu Bali? Orang Bali harus segera introspeksi diri, segera menyeimbangkan antara tattva, upacara dan susilanya. Harus segera melakukan penataan ulang terhadap masyarakat yang sudah semakin carut marut.
Kemarin waktu saya pulang kampung ada sebuah kejadian menarik pada saat berlangsungnya upacara wiwaha (pernikahan) adik sepupu saya. Malam hari sebelum acara berlangsung diundang kelompok kekawin yang melantunkan kidung-kidung tentang susila serta masalah pernikahan. Dalam kidung tersebut disinggung pula masalah sadripu, larangan berjudi dan mabuk-mabukan. Hanya saja yang membuat saya heran, tidak lebih dari 5 meter tempat kekawin tersebut dilangsungkan ada beberapa tokoh lagi sedang asyik minum-minuman keras dan bermain judi. Benar-benar kontras dengan apa yang sedang disampaikan dalam kekawin. Nah satu contoh kasus ini sudah memperlihatkan bahwa tattva, susila dan upacara kita sedang mengalami ketimpangan dan perlu segera diperbaiki.
Dalam kesempatan diskusi yang lain, dimana waktu itu kakek dan juga bapak saya menyinggung kapan saya akan nyusul adik sepupu menikah, saya sambil bercanda mengatakan bahwa saya akan menyusul kalau tar biaya upacaranya sudah bisa ditekan karena saya tidak punya uang.. ternyata kakek akhirnya bercerita panjang lebar tentang perkembangan banten dan mahalnya biaya upacara yang marak di bali. beliau mengatakan bahwa upacara awal yang diciptakan oleh mpu kuturan tidaklah serumit sekarang ini. tetapi karena perkembangan budaya dan sikap orang bali yang memang seni membuat alat-alat upacara-upacara itu menjadi semakin berkembang dan kelihatan rumit. Kondisi ini diperparah lagi dengan adanya sikap piodal oleh oknum tri wangsa. Jika memang benar menjadi seorang Hindu Bali tidak perlu rumit dan bergelut dengan berbagai upacara, lalu kenapa kita tidak coba bangun Hindu di Bali dengan mencoba lebih menyederhanakannya sehingga saudara-saudara kita yang anti akan biaya upacara yang tinggi tidak berpaling?
Salam,-
@pucungpuyung
memang benar konsep upacara yg disampaikan oleh Mpu kuturan sederhana dan tidak serumit seperti sekarang, memang benar seperti yang saudara ngarayana sampaikan. namun, coba kita kembali lagi pada makna kata “yadnya”, yaitu korban suci yang tulus ikhlas. dan jangan lupa, kita memiliki konsep upacara yang amat mudah untuk dimengerti, yaitu adanya konsep “nista, madya, utama”. saya rasa tradisi kita di bali amat kuat, dan lebih kuat dari tradisi apapun jika kita benar2 sadar dan paham akan makna itu. menurut saya pribadi , tuhan tidak pernah memberikan aturan yg baku untuk melakukan korban suci.
Yadnya adalah hal yg indah untuk dilakukan, dan ketika seseorang melihat yadnya itu sebagai hal yg membebankan, maka dia tidak pernah beryadnya.kita jg msh ingat dengan sloka-sloka bhagavad gita yg artinya kurang lebih, hanya dengan setetes air, selembar daun, dan sekuntum bunga, Kuterima sembahmu. jadi saya rasa kita tidak perlu pusing memikirkan masalah ini. contoh saja upacara ngaben, kalau kita teliti banyak sekali jenis upacaranya dari yg terbesar sekalipun sampai yg amat sederhana sekali (ngaben didalam kuburan), jadi lakukan yadnya sesuai kebutuhan dan lakukan dengan iklas, itu yg terpenting. saya rasa tidak perlu untuk mencari “warna” lain di Hindu.
semakin banyak kita mendapatkan rezeki dari Tuhan, tidak ada salahnya kita beryadnya dalam porsi yg besar, justru akan menjadi munafik jika kita tidak melakukan sepenuhnya karena semua itu milikNYA, namun sebaliknya, jika rezeki kita tidak terlalu banyak, lakukan yadnya sesuai kemampuan asal iklas. itu lebih baik dari pada harus lari mencari jalan mudah yg lain dengan menyalahkan situasi. itulah seni orang bali beryadnya sebagai orang bali khususnya kita harus lebih mendalami dan memahami apa yg kita miliki secara turun temurun bukan mencari “shorcut”.
dan oknum tri wangsa yg baik hendaknya memberikan gambaran yg luas tentang yadnya kepada orang yg membutuhkan informasi.
dan memang nampaknya sekarang terjadi pergeseran paradigma tentang pemahaman yadnya itu sendiri, dimana yadnya harus dilakukan dengan besar2an, sehingga menimbulkan kesan si miskin tidak bisa melakukan yadnya, siapa yg menilai orang bisa beryadnya dengan baik atau bukan ?? gubernur ? bupati? ato oknum triwangsa yg disebutkan tadi?. jadi sedarhana saja berfikir, bahwa dalam urusan yadnya kita tidak perlu penilaian siapapun kecuali Tuhan.
memang benar dizaman skrng kata `nak mule keto` susah diterima oleh akal pikiran, dan saya pribadi jg menganggap itu kurang tepat apalagi kalau kita ingin belajar dan butuh segala macam penjelasan. tetapi apakah orang tua kita sebodoh itu melakukan sesuatu yg dia tidak bisa jelaskan? karna keyakinan memang susah untuk dijelaskan. orang yg sudah mencapai tingkat moksa pun tidak bs menjelaskan sesuatu dengan jelas. itulah yg disebut keyakinan, karna keyakinan yang kuat kadang akan mampu menghancurkan seluruh logika yg ada. kita tidak bisa menyalahkan mereka 100%.
kita memiliki sistem, meski sederhana, atau terlalu rumit, itulah sistem kita. yang perlu dilakukan sebagai generasi adalah memelihara sistem itu dan berusaha menyempurnakannya, sebab kita harus bangga dengan jalan yang kita miliki ini (hindu bali), sudah bepuluh-puluh tahun leluhur kita menjalankannya dan berusaha menjaga sistem agar membuat kehidupan generasi berikutnya dari segi kerohanian dan kita tidak perlu membanggakan cara orang lain, . Veda pun sebenarnya tidak membakukan suatu sistem, mungkin “oknum” yg berusaha membakukannya (menyeragamkan),mungkin dengan cara inilah cara orang bali menginterpretasikan ajaran Veda, dan menurut saya mereka tidak bertentangan, karna Hindu universal, anda setuju ??
akhir kata, kita semua ada didalam sebuah gua besar, amat gelap, dan berusaha keluar mencari cahaya di luar gua, dan terdapat banyak jalan didalam gua untuk akses keluar. pilih satu jalan saja, dan tekuni, meski didalam perjalanan kita menemukan banyak persimpangan yang kadang lebih menggiurkan kita untuk dapat keluar dengan cepat,namun jalani saja lorong pilihan yg kita tempuh, pada akhirnya semua tergantung pada diri kita.
terima kasih, senang bisa berdiskusi dan sharing disini 😉
salam
Kidz
kehidupan masyarakat di bali dibentuk oleh budaya yang disisipi oleh budaya hindu dan ajaran hindu yang menjadi budaya sehingga seni rupa, ukir, suara, musik, tari, bangunan, pertanian dll sebagainya menjadi satu kesatuan.
Seringkali juga kita menyalahkan upacara yang besar di bali sebagai beban hidup padahal upacara itu memutar perekonomian di bali dan lagi kita di jaman ini inginnya secara instan. Sebenarnya kalau kita menekuni bebantenan itu semua bersumber dialam, kita diajak untuk kembali menyatu dengan alam. Dijaman serba uang sekarang menjadikan semua harus kita beli biar praktis sehingga biaya jadi melambung. Bahkan untuk swadaya busung dan bunga saja di bali belum bisa, masih impor dari jawa.
Beryadnya sekali saja sudah mengeluh, seolah2 materi yang telah dia dapatkan hanya untuk masa depan, jadi masa depan sendiri sudah dipormat untuk dipenuhi dengan materi wah wah wah
peace
@ Ngarayana
tiyang terkesan dengan pemamparan dari bli
mungkin saya ingin menyampaikan pandangan saya pribadi tentang kehidupan hindu di bali…
memang klo boleh diakui pelaksanaan yadnya pada jaman sekarang cenderung sedikit memberatakan dari sisi finansial, disamping itu sebagian besar masyarakat cenderung tidak mengetahui tatwa dari yadnya tersebut, dan bisa diakui pula dalam hal susila nilai-nilai yang dianut masyarakat sudah sedikit mengalami degradasi…
bahkan ada yang beranggapan Hindu di bali seperti sudah kehilangan esensi ajarannya…
maka muncul pikiran dalam benak saya benarkah keadaanya seburuk itu???
saya rasa anggapan tersebut salah…
Hindu di Bali tetap memegang esensi ajaran Hindu itu sendiri..
mengenai Yadnya yang dibilang memberatkan secara finansial bukankah itu sudah diakomodasi dengan penggolongan yadnya berdasarkan kemampuan yaiitu nista, madya, dan utama..
kenapa setiap melaksanakan yadnya di bali selalu ngundang banjar, sanak family, dan orang dilingkungan sekitar padahal hal tersebut bisa memberatkan lagi dari sisi finansial?
dan untuk hal tersebut saya mempunyai pandangan konsep hindu adalah seperti lambang Swastika kita mempersembahkan yadnya sebagai perwujudan hubungan keatas dan mengundang orang sekitar sebagai perwujudan kita hubungan kita ke samping (representasi hubungan ke bawah juga sama sudah termasuk dalam yadnya tersebut)
dan inilah salah satu keunikan kita di Hindu bali…
bukankah ajaran Tri Hita Karana juga memuat konsep tersebut?
saya kurang setuju dengan pendapat Bli ngarayana yang mengatakan belum bisa menikah selama biaya upacara tidak bisa ditekan karena tidak punya uang…
uang bukan hal mutlak untuk melaksanakan yadnya..karena apa?belum tentu yadnya bisa terlaksana meskipun uang tersedia jika kemauan dan keikhlasan kita mempergunakan uang tersebut untuk beryadnya tidak ada…(mungkin bisa direnungkan kembali penggolongan yadnya diatas)
jika kita renungkan tidak pernah ad yang memaksa kita melaksanakan yadnya dan sebenarnya kita sendirilah yang sudah mulai mengkotakkan pikiran kita kepada hal yang bersifat materi..
bukankah agama kita sendiri mengatakan untuk mencapai kebahagiaan sejati kita tidak boleh terlalu terikat dengan hal yang bersifat materiil…
saya rasa yang saat ini perlu kita renungkan sebagai umat hindu yang kebetulan dilahirkan dan dibesarkan dalam lingkungan yang memilki kebudayaan Bali adalah bagaimana kita bisa mempertemukan nilai2 filsafat yang pernah kita temukan pada weda dengan nilai2 yang kita temukan pada kehidupan hindu di bali…mungkin dengan jalan itu kita bisa menjembatani antara filsafat agma dan budaya kita sehingga kita mulai bisa meninggalkan kata-kata “nak mule keto dapet uli ipidan” tanpa melunturkan kebudayaan bali itu sendiri…dan dengan sendirinya nilai2 susila tidak akan mengalami kemerosotan..
Semoga Hindu dan Bali kita tetap ajeg…
suksma
@pucungpuyung
re-post bli …. 😉
osa,
Hong wilaheng sekaring buana langgeng..
Dibali menurut wikipedia mirip
SMARTa..
Semuanya manifestasi dari shang hyang widdhi..
manifestasi murni ( Vishnu, Shiva ), manifestasi biasa (Dewa, Asyura, Manusia, Bhuta-i) dll.
sama aja sbnrnya mas..
_/\_
ada anggapan spekulasi bahwa Vishnu jg mewujud di jawa. tp tak ada yng tau..
sarwa bhutam manggalam..
om shanti
Om Swastyastu,
Ini ada link yang cukup menarik;
PENGERTIAN, HISTORIS, FUNGSI KAHYANGAN TIGA
Suksma,
Wah..wah..ternyata semeton bali sekarang sangat menekuni agamanya dan mulai meninggalkan kata MULE KETO, salut.
Tapi menurut tiang….Hindu di Bali kalau dilaksanakan dengan baik seperti dilontar2 yang sudah ada Bali pasti tetap maju n tambah maju.
Kenapa kesan saya kalian memperebutkan TUHAN, apakah Ciwa, Narayana, Brahma, atau yang lain kalau toh semua itu satu yang sang PENCIPTA alam semesta.
Perlu diingat Hindu bali berdasarkan WEDA bukan kitab yang lain, jadi teman2 yang mau mengubah Hindu bali dan mengatakan kembali ke WEDA? saya menjadi bingung juga, aseakan2 orang bali selama ini tidak berdasarkan weda????
Kalau bali diubah menjadi aliran tertentu, justru bali akan HANCUR dan saya yakin tidak akan terjadi. Bagaimana dengan bali sekarang yang penuh dengan Tajen, prostitusi, dll?.
Dimanapun, Agama apapun di dunia ini dari zaman dulu hal2 seperti itu pasti ada,Zaman Pandawa pun ada JUDI, bahkan Yudistira sempat berjudi walaupun disesalinya dan saya kira bali dalam batas normal saat ini dan cukup dengan memperkuat Hindu Bali yang ada sekarang dapat mengurangi hal2 yg kurang baik itu tanpa mengubah ajaran yang ada atau di istilahlah sekelompok orang BACK TO VEDA. Weda yang mana? kan orang bali sudah pake WEDA….jadi bingung deh.
Bagaimanapun juga semuanya itu bisa dikendalikan dengan baik jika kita mau,
seberapa jauhkah upakara-upakara di bali membentuk pribadi yang jujur dan berada dijalan dharma ? Dharma wacana tentang bagaimana berprilaku baik dan berlandaskan ajaran DHARMA patut sekiranya digencarkan dan mendapat perhatian khusus.
coba dipersentase,di bali(orang bali) ada berapakah orang yang benar-benar jujur.? dan ada berapa persen yang tidak suka judi dan miras ?
Heeemmmmm,mata kucek mata ilang,baru aja bangun ne nok,matopun kembali melEK melihat dengan terang…pura sudah ado,orang-orangnyo tidak pernah kepuro bawa kaco mato,hok.hok.hok.hooooooook…cREEEEET…
@belog polos
Saya sependapat dengan anda.
kalau ada orang yang mendengungkan istilah BACK TO VEDA, asumsi saya orang tersebut sudah menguasai dan tahu benar tentang VEDA, sebab secara logika sederhana saja, kata BACK TO VEDA itu berarti umat hindu (baca:masyarakat bali)sedang berada di jalur yang SALAH dari VEDA dan harus kembali kejalan VEDA. bukan begitu ??
padahal di salah satu petikan Bhagavad Gita juga menyebutkan bahwa “…AKU yang membuat Veda dan hanya AKU yang tahu Veda”,
jadi bingung, AKU yang dimaksud siapa ?? apakah `oknum` yang mendengungkan slogan BACK TO VEDA itu kali ya ??
menurut kata dari orang yang saya hormati, ketika kita(manusia) mulai berbicara tentang kebenaran, menunjukkan suatu kebenaran, sesungguhnya itu bukanlah kebenaran. karena kebenaran abadi tidak dapat diungkapkan dengan kata2 apapun di jagat raya ini. dan kebenaran tidak untuk diucapkan\ dibicarakan tetapi dirasakan. (paramasiva).
Salam,-
Swastiastu,
Tiang ikut nimbrung dikit sambil menyelam minum susu. Makin seru aja bahasannya disini, saya juga bingung mana yang benar Siwa atau Wisnu yang utama? Yang jelas Tuhan itu ada satu terserah mau siapa dipanggil. Inilah Tuhan yang tidak bisa dipikirkan. Didesa saya, ada pura khusus tempat pemujaan Siwa, dan kata orang2 tua di desa saya menganut konsep Siwa Tiga. Karena memang ada tiga pura yang ditujukan untuk Siwa. Sedangkan untuk kahyangan tiga ada tersendiri yaitu Pura desa lan puseh dan pura dalem. Menurut sejarahnya yang hanya dari cerita para sesepuh, pura pertama yang didirikan adalah Pura Siwa baru kemudian Pura desa lan puseh serta pura dalem. Memang membingungkan, sebab dipura Siwa sendiri terdapat konsep kahyangan tiga juga, karena dalam pura tersebut ada pelinggih untuk pemujaan kepada kahyangan tiga sendiri. Yang menjadi pelinggih utama di pura Siwa adalah pemujaan kepada Siwa, yang oleh penyungsungnya diberi nama Dewa Ngurah Siwa. Mungkin ini yang namanya konsep Siwa Sidhanta. Yang terpenting bahwa jangan salah kaprah tentang kata siwa itu. Menurut ajaran kanda pat dan lontar bhuwana kosa, whrespati tatwa, yang disebut Ida Sang Hyang Widhi adalah Siwa, bukan dewa siwa yang dimaksudkan di india. Tiap ajaran akan membuat kita bingung, apalaagi menghubungkannya dengan ajaran lain. Yang jelas kita sama sama menyembah Tuhan yang satu, buat apa diperdebatkan, terserah apa menyebutnya.
Suksma mohon bimbingannya… santih 3
@yudana
Om Swastyastu,
Secara bodoh saya membayangkan Tuhan itu sebagai Presiden, sedangkan para dewa adalah para menteri atau bawahan presiden.Pada saat tertentu, bawahan presiden bisa mewakili atau utusan presiden.
Mengenai dewa Siwa di Bali dengan di India berbeda, nah ini yang saya kurang mengerti,Yang jelas Tuhan itu tidak sama dengan Dewa. mohon pencerahannya.
suksma.
@Ardha
yang mana tuhan yang mana dewa saudara ardha?
Yang mana presiden yang mana menteri? pada akhir masa jabatannya presiden itu turun dan digantikan oleh (mungkin) salah satu menterinya.
Saya pernah membaca (di salah satu purana kalau tidak salah) kalau di setiap jaman tuhan (dominan) dipuja dengan nama2 berbeda.
pada masa kerta adalah Brahma, pada masa treta adalah Raditya, pada masa Dwapara adalah Wisnu, sedangkan pada masa kali adalah Siwa.
yah itulah yang saya baca.
Bagi saya tetap pemuja nama2 itu memuja tuhan yang sama. kecuali dia yang menganggap dirinya berbeda, ya berarti dialah yang berbeda (bagi dirinya sendiri, bagi saya tetap sama)
salam
haduh…wong yg punya web pahamnya waisnawa sudah jelas siwa sidhanta tidak begitu di akui
@all
nihan ta byaktan ika sang manghasyani ike Sidhanta, atyanta murkkanya.
Upayo presna purvvasca, kalahah vasanepica
precchantam aturo vaktyam, deva tantrasya nindita.
artinya :
sesungguhnya orang ygn mencela pengetahuan suci Siva Sidhanta, ia adalah orang sombong. Begini upayanya membenci pengetahuan. Mula-mula ia bertanya, kedua kalinya ia mulai menyanggah, dan akhirnya bertengkar, maka ia mencela ajaran ketuhanan, karena ia sedikitpun tidak menmpunyai pengetahuan.
Parasme soca paryyayah, dehi rahasyam evaca.
artinya:
orang yg memegang teguh pengetahuan suci Siva Sidhanta bila ia dicela oleh orang lain diiyakan saja kata-kata orang yg menghina. itu dianggap pembersih utama.
Siva sidhantaka jnanam, nadehi tasya tatvavit, na susrusa pradatavyam, arjjane guru pujyate.
artinya:
Ajaran suci Sidhanta, tidak boleh diajarkan kepada orang yang sombong, orang yang tidak patuh dan setia kepada guru.
Salam,-
@Kidz
nihan ta byaktan ika sang manghasyani ike Sidhanta, atyanta murkkanya.
Upayo presna purvvasca, kalahah vasanepica
precchantam aturo vaktyam, deva tantrasya nindita.
artinya :
sesungguhnya orang ygn mencela pengetahuan suci Siva Sidhanta, ia adalah orang sombong. Begini upayanya membenci pengetahuan. Mula-mula ia bertanya, kedua kalinya ia mulai menyanggah, dan akhirnya bertengkar, maka ia mencela ajaran ketuhanan, karena ia sedikitpun tidak menmpunyai pengetahuan.
Parasme soca paryyayah, dehi rahasyam evaca.
artinya:
orang yg memegang teguh pengetahuan suci Siva Sidhanta bila ia dicela oleh orang lain diiyakan saja kata-kata orang yg menghina. itu dianggap pembersih utama.
Siva sidhantaka jnanam, nadehi tasya tatvavit, na susrusa pradatavyam, arjjane guru pujyate.
artinya:
Ajaran suci Sidhanta, tidak boleh diajarkan kepada orang yang sombong, orang yang tidak patuh dan setia kepada guru.
Komentar saya: Setuju…..
Siapapun yang menghina ajaran Siva yang menganjurkan bhakti kepada Personalitas Tuhan yang Maha Esa, maka pasti nerakalah tempatnya.
Demikian juga orang yang melanggar perintah dan menghianati guru kerohaniannya, maka pasti neraka yang didapat.
@putratridharma
“..Siapapun yang menghina ajaran Siva yang menganjurkan bhakti kepada Personalitas Tuhan yang Maha Esa, maka pasti nerakalah tempatnya…”
nah ini…nampaknya kita sepaham…..(nampaknya). karena benar Siva menganganjurkan bhakti kepada personalitas Tuhan yang Maha Esa
nih saya lanjutin dikit petikannya :
Jyotisa nasti sandehan, tam Sivam paramam bajet
jyotir vvapo na tajyotih, visate paramam sivam.
artinya :
Demikian juga engkau bhatari, jangan ragu-ragu akan ajaran ini ajaran Sidhanta, karena pengetahuan ini sangat sulit dan sangat utama yang Aku terima dari Sang Hyang Parama Siva.
terlihat jelas siva mengarahkan untuk bhakti kepada Tuhan yg Maha Esa.
Salam,-
buat bung @Suta dan bung @Kidz yg saya hormati mohon pencerahannya
Tuhan,Dewa,Atma apakah sama atau berbeda?dlm ajaran Siwa Sidanta
1.Paramasiwa artinya Tuhan tak terpikirkan(tak berwujud,tak bergerak,tak berubah dll)artinya Tuhan suci murni tidak kena pengaruh apapun.jadi inilah konep Tuhan tertinggi dlm ajaran siwa
sedangkan konsep dlm agama lain atau ajaran lain adalah Tuhan teringgi ada disuatu tempat tertentu yg jauh.
jadi jika ada umat lain yg bertanya apakah ini yg pertama sekali dijelaskan sebagai sebagai konsep Tuhan tertinggi setelah itu baru yg berikutnya? mohon pencerahannya..
2.Sadasiwa artinya Tuhan sudah kena pengaruh maya artinya Tuhan menjalankan fungsinya yaitu maha kuasa,maha tahu dll artinya secara kasar Tuhan beraktivitas untuk alam semesta ini.jadi Tuhan dlm keadaan Paramasiwa dan Sadasiwa berbeda dan letak perbedaanya hanya pada kena pengaruh mayanya saja.
pertanyaan apakah Tuhan dlm keadaan Sadasiwa berada disuatu tempat tertentu atau tidak?artinya Tuhan yg paramasiwa ketka dlm keadaan Sadasiwa berubah menjadi berada disuatu tempat?
3. Siwa artinya Tuhan kena pengaruh maya yg lebih besar artinya Tuhan dgn perwujudan Tri Murti dll artinya juga Tuhan dgn perwujudan Dewa-dewa sesuai dgn manifestasinya dan Tuhan dlm keadaan seperti ini yg paling mudah dipikirkan oleh manusia.nah disini juga ada perbedaan antara Tuhan dlm keadaan Paramasiwa,Sadasiwa,dan Siwa tapi cuma dlm tingkat pengaruh maya.
pertanyaan bolehkah saya berkesimpulan bahwa esensinya Tuhan dan Dewa itu sama, menjadi berbeda jika Tuhan dlm keadaan Paramsiwa,Sadasiwa dan Siwa.
tambahan..Brahman atman aikyam artinya Tuhan dan atma esensinya sama tetapi kenapa juga bisa berbeda? karena atma kena pengaruh karmawasana(sisa-sisa karma yg melekat pada atma)jika diibaratkan balon udara,udara dlm balon adl atma sedangkan balon adalah karma wasana,bisa bersatu dgn udara sekitar jika balonnya sudah pecah.
apakah bener begini konsep Tuhan dlm ajaran Siwa Sidanta? jika ada kesalahan mohon dikoreksi..suksma..
@Panyonk
Saya ingat kata2 dlm buku I Wayan Suja M.si
“Ketika orang2 disuruh menunjukkan langit(Tempat Tuhan mereka) maka tiap orang akan menunjukkan langit yang paling tinggi. padahal, baik yang tinggi/rendah tetaplah semua ini langit.”
Parama siwa hanyalah sebutan untuk tuhan dalam wujudnya yang universal jauh melampaui pikiran manusia. wujudnya sendiri tak terbayangkan, namaNya pun tak terpikirkan(tak berwujud, tak ber nama) semua nama2 tuhan yang kita gunakan untuk memuja adalah nama2 ciptaan Beliau agar kita dapat mengenal dan memujaNya(manusia bisa mengenal sesuatu yang tak berwujud, tak kasat mata, sesuatu yang diluar dimensi, tetapi tidak bisa mengenal sesuatu yang tak bernama)
Kalau kita tidak mampu menggapai tuhan dalam tingkat paling tinggi(pasti tidak) kita bisa memuja tuhan dalam tingkatan yang lebih dekat(bukan lebih rendah), lebih terbayangkan, lebih terjangkau dan terfokuskan. jadi hindu bisa memuja arca, memuja nama, memuja simbol, memuja guru/tokoh suci, dll.
walau tuhan turun ke tingkatan yang terendah seperti itu sekalipun(untuk memudahkan bagi manusia yang memujanya) itu tetaplah tuhan. Langit tetap langit, atmosfir tetap atmosfer, bahkan udara yang menyentuh kulit kita ini adalah atmosfer(langit).
Salam saudara panyonk, saya sebenarnya tidak tau apa2 tentang siva siddhanta, ini hanya hasil pembelajaran saya saja. jadi mohon tuntunannya juga.
orang buta menuntun orang buta
akhirnya terperosok kedalam …..
Satyam Sivam Subham Sundaram Kantam
@panyonk
maaf baru sempat merespon… mengenai ajaran siva sidhanta, sebenarnya saya masih amat sangat jauh bisa dikatakan mengerti, bahkan mungkin anda yg lebih paham ketimbang saya, namun mudah2an saya diijinkan sharing mengenai apa yg sempat saya pelajari mengenai ajaran shiva sidhanta ini.
[…]
Sistem Saiva Siddhanta adalah inti dari ajaran Vedanta. awalnya Ini berlaku di India Selatan. filsafat siva sidhanta dibangun dari struktur fondasi Tirumantram.
dalam ajaran ini secara umum disebutkan bahwa Siva adalah Realitas tertinggi. Dia adalah abadi, tak berbentuk, mandiri, maha, satu tanpa kedua, tanpa awal, tdk beralasan, tdk berdosa, ada dengan sendirinya, pernah bebas, pernah murni. Dia tidak
dibatasi oleh waktu. Dia adalah kebahagiaan yang tak terbatas dan kecerdasan tak terbatas.
Tuhan Siva menyebar seluruh dunia oleh SaktiNya . Sakti merupakan energi kesadaran Beliau. ibarat seperti pembuat gerabah(pot) , si pembuat yg menyebabkan gerabah itu ada, tongkat dan roda merupakan penyebab instrumental, tanah liat adalah sebab material pot, begitu juga Siva adalah penyebab pertama dari dunia. Sakti adalah penyebab instrumental. Maya adalah sebab material.
Siva pemberi kasih sayang, rahmatnya tak terbatas, Dia adalah penyelamat dan adalah Guru, Dia bergerak dalam membebaskan jiwa-jiwa dari pegaruh material, Beliau mengambil wujud Guru sebagai bentuk kasih sayangnya pada umat manusia.
Dalam Siddhanta Saiva, ada 36 Tattvas yang 24 dikenal sebagai Atma Tattvas, 7 sebagai Vidya Tattvas, dan 5 yang tersisa sebagai Siva Tattvas. 24 Atma Tattvas adalah 5 elemen, eter,udara, api, air dan bumi, sedangkan 5 Tanmatras, suara, sentuhan, bentuk, rasa dan bau, dengan 5 rasa-organ, telinga, kulit, mata, langit-langit mulut dan hidung, organ internal, dengan 5 organ motorik, berbicara, tangan, kaki, anus dan organ generatif dan Ahankara, Buddhi dan Guna. The 7 Tattvas Vidya adalah Purusha, Raga
(Cinta), Vidya (pengetahuan), Kala (seni), Niyati (order), Kaala (waktu) dan Asuddha (najis) Maya. 5 Tattvas Siva adalah Suddha Vidya, Isvara, Sadasiva, Sakti dan Siva.
Kelima kegiatan (Pancha-Krityas) Tuhan adalah Srishti (penciptaan), Sthiti (pengawetan),
Samhara (kehancuran), Tirobhava (kerudung) dan Anugraha (rahmat). Ini, yang secara terpisah adalah kegiatan Brahma, Wisnu, Rudra, Mahesvara dan Sadasiva
Dalam Mantra lima berhuruf (Panchakshari) ‘Namassivaya’, Na adalah kekuatan pemutaran Tuhan yang membuat jiwa untuk bergerak di dunia, Ma adalah ikatan yang mengikat dia di roda Samsaric
dari kelahiran dan kematian, Si adalah simbol untuk Tuhan Siva, Va singkatan dari rahmat-Nya dan Ya berdiri untuk
jiwa. Jika jiwa berubah ke arah Ma Na dan ia akan tenggelam dalam keduniawian. Jika ia asosiasi sendiri dengan Va ia akan bergerak menuju Tuhan Siva.
Mendengar Lilas Tuhan Siva dan pentingnya Panchakshara, adalah ‘Sravana’.
Refleksi tentang makna Panchakshara adalah ‘Manana’ atau ‘Chintana’. Untuk mengembangkan cinta dan
pengabdian untuk Tuhan Siva dan bermeditasi kepada-Nya, adalah ‘Sivadhyana’. Untuk menjadi terbenam dalam
‘Sivananda’, adalah ‘Nishtha’ atau ‘Samadhi’. Dia yang mencapai tahap ini disebut Jivanmukta.
[…]
maaf kalau saya seandainya salah dalam memaparkan, paparan saya diatas hanya bagian kecil dari philosopi siva sidhanta yg maha luas yg saya ketahui, masih banyak yg ingin saya share, tapi saya takutnya malah makin salah saya memaparkan. tentunya saya jg mohon bimbingan dari teman2.
Salam,-
dalam siva sidhanta diajarkan bahwa SEMUA hal sadar dan tidak sadar, materi dan rohani, terpikirkan dan tak terpikirkan, atau bahkan di di luar sadar dan diluar tidak sadar, diantara material dan rohani, yg berada diluar terpikirkan dan tak terpikirkan, yang tidak termasuk kedalam berwujud dan tidak juga termasuk ke dalam tidak berwujud …. adalah siva.
salam,-
@panyonk
Kalau Tuhan bisa terkena atau terperangkap pengaruh maya, berarti Dia bukan mahakuasa. Ketuhanannya patut dipertanyakan.
Coba lihat Sloka berikut:
Bhagavad-gita 7.4
7.4 Tanah, api, udara, angkasa, pikiran, kecerdasan, dan keakuan yang palsu-secara keseluruhan delapan unsur ini merupakan tenaga-tenaga material yang terpisah dari Diri-Ku.
Bhagavad-gita 7.5
7.5 Wahai Arjuna yang berlengan perkasa, di samping tenaga-tenaga tersebut, ada pula tenaga-Ku, yang lain yang bersifat utama, terdiri dari para makhluk hidup yang menggunakan sumber-sumber alam material yang rendah tersebut.
Bhagavad-gita 7.12
7.12 Ketahuilah bahwa segala keadaan hidup; baik kebaikan, nafsu maupun kebodohan-diwujudkan oleh tenaga-Ku. Menurut suatu pengertian, Aku adalah segala sesuatu, tetapi Aku bebas. Aku tidak berada di bawah pengaruh sifat-sifat alam material, sebaliknya sifat-sifat alam berada di dalam Diri-Ku.
Perhatikan kata kuncinya: “Aku adalah segala sesuatu, tetapi Aku bebas. Aku tidak berada di bawah pengaruh sifat-sifat alam material”…, Jadi, bagaimana Tuhan bisa kena atau terjerat Maya?
Bro, untuk bisa mengerti, silakan baca penjelasan Srila Prabhupada tentang maya tersebut.
@panyonk
Silakan buka Bhg. Gita untuk mendapatkan penjelasan Srila Prabhupada tentang sloka tersebut. Bro punya kitabnya kan?
@putratridharma
Kalau memang tuhan maha kuasa, kenapa beliau tidak mampu mempengaruhi diri beliau oleh maya beliau sendiri?
Salam,-
@Kidz
Apa artinya terpengaruh atau terjerat Maya? Itu artinya ketidakberdayaan, kelupaan, kebingungan, dan pastinya itu adalah “ketidakmahakuasaan”.
Tuhan tidak berdaya? Tuhan lupa? Tuhan bingung? Tuhan tidak mahakuasa?
Salam
@putratridharma
ok, saya `mencoba` memamparkan sedikit yg saya tau, dan tolong garis bawahi buat teman2 yg lain, tujuan saya disini adalah untuk mencoba memberikan perbandingan agar pemikiran-pemikiran dogmatis, fragmatis, dan kaku tidak ada lg disini.
berkaitan dengan siva sidhanta ;
Siva sebagai tak berbentuk kekal dan misterius yang dengan banyak aspek dan dimensi. Ia adalah transendental dan imanen, yang tidak dapat diukur secara obyektif dan berkualitas dengan kesadaran kita yang terbatas. Dia berada di luar pikiran kita dan indera, tapi dalam jangkauan pengalaman kita dan kebangkitan.
aspek siva :
1. Siva as nirguna Brahman
2. Siva as saguna Brahman
3. Siva as lord of a functional universe
4. Siva as dynamic power
5. Siva as a deluded soul
6. Siva as an enlightened and self-aware soul
7. Siva as a Vedic deity
1. Nirguna Brahman
Pada tingkat tertinggi, Siva adalah Parameswara, atau Paramasiva. Dalam aspek nya tak berbentuk (Nirguna), ia adalah realitas tak berbentuk transendental, tertinggi dan paling tidak diketahui, yang adalah Brahman sendiri tanpa kualitas dan atribut, penguasa tertinggi, kebenaran kekal, absolut, tak terbatas, abadi, tak terpisahkan, seluruhnya subyektif Kebenaran, yang berada di luar indera dan pikiran, tanpa waktu. Dia adalah akhir dari segala latihan spiritual, pengalaman kesadaran murni dan kebahagiaan dalam keadaan samadhi atau serikat buruh. dengan mengalami yang semuanya diketahui dan direalisasikan. Dia adalah misteri abadi disebutkan dalam Kena Upanishad, yang Uma Haimavathi merujuk sebagai “Roh Agung”. Menurut Siva purana bahkan Brahma dan Wisnu mencapai tingkat Trinitas karena pengabdian masa lalu mereka untuk Nirguna Siva.
yg saya sebutkan diatas merupakan aspek tertinggi, tentu saja tidak ada pengaruh maya disitu. tuhan menciptakan maya, dan menciptakan sesuatu yg terpengaruh oleh maya itu jg. mungkin anda menjadi lebih jelas kalau saya sebutkan dengan kata : inilah salah satu lila tuhan, beliau berlila seakan2 diriNYA terpengaruh mayanya. kenapa saya bisa mmengatakan demikian , sudah jelas disebutkan menurut ajaran Siva Sidhanta aspek tertinggi tuhan itu seperti yg saya sebutkan diatas.
maaf atas kekeliruan pemahaman saya yg kurang ini.
Salam,-
@putratridharma
jika kita membahas antara tuhan dan mayanya, dalam ajaran siva sidhanta, pembahasan itu bukan pada pembahasan aspek tertingginya, bentuk siva bukanlah seperti petapa, bukan juga memakai kalung ular, tidak harus menggunakan pakaian kulit macan, tidak harus terdapat bulan sabit dikepalanya,dan senjatanya bukan lah trisula saja. kalau pada aspek tertentu, memang benar bentuk2 itu, tapi aspek itu bukan yg tertinggi. di ajaran Siva jg diajarkan adanya “Philosophy of Symbols”.
jadi memang benar seperti yg anda paparkan selama ini bahwa gambar, foto, arca, patung siva yg kita kenal selama ini adalah bukan Tuhan, beliau termasuk kedalam “Tamo-Guna-Pradhana Maya”. dan tentu saja bukan Beliau aspek tertinggi ajaran ini, melainkan Paramasiva/Nirguna Brahman
Salam,-
@ Kidz
Tolong cantumkan sumbernya dari mana. Saya jumpai ada kata “tirinitas”, philosophy of symbol. Lantas di akhir, anda mengatakan bahwa yang anda maksudkan Tuhan itu bukan Siva yang bermeditasi, bertrisula, dan berkalung ular.
@putratridharma
Saya bs tebak pasti anda akan mengatakan kalau saya terpengaruh tulisan indologis, karena saya menyebutkan beberapa tulisan dalam english, hal ini karna tidak terlepas dari sadhu tempat saya belajar yang memang dari india, dia bisanya bahasa inggris, saya sih msh blajar.
Begini ya, bukannya saya tidak mampu memaparkan sumbernya, hanya saja saya ,merasa sia2 memberikan sumber itu pada anda, sebab semua yg saya paparkan pasti tidak berlaku pada anda dan akan dianggap mayavadi, tapi paling tidak, sedikit tidaknya saya menyebutkan vedanta, kena upanishad, siva tatva, saiva upanisad.
Mengenai komentar saya terakhir, ok saya coba jelaskan maksud saya, Tuhan adalah Ia yg tidak terikat triguna, Ia yg menguasai ketiga dunia, dll. Karena keterbatasan manusia, maka disimbolkan dengan trisula. Tuhan adalah Ia yg tidak takut akan apapun dan immortal (menurut para rsi, hal yg paling menakutkan di alam material adalah digigit ular), maka Tuhan justru disimbolkan sangat akrab, bahkan membiarkan ular di leherNYA. Dll.
Hmm…. Bagaimana ya menjelaskan bahwa tuhan sebenarnya unthinkingable, makanya keterbatasan manusia, mensimbolkanNYA untuk memudahkan pemusatan pikiran, ketika tingkat spiritual seorang tinggi, simbol tdk diperlukan dalam bhakti. Lalu kalau dengan melihat siva dengan atribut seperti yg digambarkan itu mampu membuat orang menjadi fokus dalam bhakti dan meditasi?? whats the big deal ??
Salam,-
@ Kidz
Trinitas = Seperti konsep Kristen. Baiklah, nggak apa-apa anda mengelak untuk mencantumkan sumbernya. Itu hak anda, saya tidak bisa memaksa.
Oh….jadi semua cuma simbol ya? Jadi tidak benar-benar seperti itu…
Berbeda dalam paham Vaishnava, semua atribut Deva Siva yang memang benar seperti itu.
@putratridharma
nah itulah bedanya (menurut saya) Vaishnava yg anda paparkan dengan Siva sidhanta yg saya ketahui, dimana anda menganggap ajaran Vaishnava aspek tertinggi tuhan berbentuk Krishna lengkap dengan tubuhNYA yg digunakan sebagai duplikat wujud manusia, Tuhan yg dengan jelas seseorang yg membawa seruling dan sudah pasti di kepalaNYA terselip bulu merak, dan semua itu disebut Tuhan. sedangkan apa yg saya coba paparkan, dalam ajaran siva sidhanta, aspek wujud merupakan bagian dari aspek tertinggi, dimana ajaran ini dimulai diajarkan dari pemahaman tahap simbol2 dan wujud2, namun bukan merupakan aspek tertinggi ajaran ini.
ini saya copas sedikit, mudah2an anda tertarik untuk diulas dan dipelajari. (maaf dalam english)
[…]
According to Appar, there are three aspects of Siva. (1) The lower Siva who dissolves the
world and who liberates Jivas from their bondage. (2) The higher form is called Parapara. In this
form Siva appears as Siva and Sakti (Ardhanarisvara). It has the name Param-Jyoti. Brahma and
Vishnu were not able to comprehend this Jyoti. (3) Beyond these two forms is the Param, or the
ultimate being from whom Brahma, Vishnu, Rudra originate. It is purely the Saiva form. It is
formless. It is the Sivam of the Saiva Siddhanta. It is Para Brahman of the Upanishads and
Vedantins.
The Mahavishnu of Vishnu Purana corresponds to Param of Saiva Siddhantins. Narayana or
the higher Vishnu corresponds to the Param-jyoti of Appar or Saiva Siddhantins. The lower Vishnu
does the function of preservation. He corresponds to the lower Siva.
What is the inner meaning of all the Saiva allusions about Vishnu worshipping Siva and all
the Vaishnava allusions about Siva worshipping Vishnu? The lower Siva must take Narayana, the
Parapara or Param-jyoti as his Superior. The lower Vishnu must take Param-jyoti or the Parapara as
his Superior. The higher Vishnu and higher Siva are identical. They are inferior to Param, the
Highest.
[…]
Salam,-
@Kidz
Tentang Trinitas, anda tidak komentari. Tentang simbol-simbol yang anda maksudkan, di kitab apa itu diuraikan? Misalnya: Tuhan adalah Ia yg tidak terikat triguna, Ia yg menguasai ketiga dunia, dll. Karena keterbatasan manusia, maka disimbolkan dengan trisula. Dan juga tentang simbol ular di leher Siva (menurut para rsi, hal yg paling menakutkan di alam material adalah digigit ular), maka Tuhan justru disimbolkan sangat akrab, bahkan membiarkan ular di leherNYA. Apa itu ada dalam Veda?
Sayang sekali, Anda tidak mencantumkan sumbernya dari mana. Apa kesimpulan Veda seperti itu? Siapa yang menyimpulkan? Sebuah otoritas itu penting bagi kita yang belum punya kualifikasi. Sadhu yang anda maksudkan itu siapa? Siapa tahu saya bisa mohon pencerahan dari Beliau.
@putratridharma
ok begini saja, saya adalah orang yang tidak qualified dalam menyimpulkan hal2 seperti ini, kalau anda benar2 ingin mengetahui dan mempelajarinya, anda bisa mencoba mengetahuinya dari ajaran yg disampaikan oleh Swami Sivananda, karena sadhu yg saya katakan td memiliki guru yg gurunya adalah Swami Sivananda dengan ajaran yg beliau sampaikan di “devine life society”, anda bisa strat cari otorisasi dari sana.
Salam,-
Lama saya ga mampir saya jadi lupa dimana saja saya berkomentar sebelumnya. apakah ada yang menanggapi komen2 saya?
Akhirnya saya putuskan mampir disini saja.
“Menurut Siva purana bahkan Brahma dan Wisnu mencapai tingkat Trinitas karena pengabdian masa lalu mereka untuk Nirguna Siva.”
Saya tangkap yang dimagsud trinitas disini adalah Trimurti karena “trinity” bahasa inggris trinitas juga sering digunakan untuk menyebut Tri Murti oleh orang barat. Tetapi konsep tri murti dan trinitas sangat jauh berbeda. Namun saya sendiri berpendapat kalau trinitas itu adalah versi kristen dari konsep Parama Siwa, Sadasiwa, dan Siwaatma. Coba bandingkan.
@ Sutha
====Saya tangkap yang dimagsud trinitas disini adalah Trimurti karena “trinity” bahasa inggris trinitas juga sering digunakan untuk menyebut Tri Murti oleh orang barat. Tetapi konsep tri murti dan trinitas sangat jauh berbeda. Namun saya sendiri berpendapat kalau trinitas itu adalah versi kristen dari konsep Parama Siwa, Sadasiwa, dan Siwaatma. Coba bandingkan.
KOMENTAR: Sudah dibandingkan tapi memang dasarnya tidak sebanding. Yang sebanding hanya “tri” saja yang sama-sama artinya tiga. Para indolog memang memang bertujuan mengutak-atik supaya seolah-olah sama sehingga mudah bagi para misionaris untuk mengkonversi Hindu.
Putratridharma
Membandingkannya gimana bro?
jelas anda tidak merasakan karena anda tidak mendalami.
Bahkan mungkin anda sendiri tidak percaya? mengingat itu adalah konsep ketuhanan siwa.
Trinitas Kristen
“BAPAK adalah Tuhan, ANAK(Yesus) adalah Tuhan(Anak dari BAPAK), dan ROH Kudus adalah Tuhan. Namun bukan tiga Tuhan melainkan satu Tuhan”
Dilihat disini Trinitas tidak mirip dengan trimurti. Trimurti adalah tiga dewa yang berkedudukan sama dan saling mengisi.
Sedangkan Trinitas lebih mirip suatu jenjang jangkauan manusia untuk menjangkau tuhan sesuai kebutuhannya.
BAPAK adalah panggilan untuk tuhan yang ilahi (Parama Siwa)
ANAK adalah utusan BAPAK untuk mengajarkan manusia disini sama dengan konsep Sada Siwa yaitu Siwa sebagai pemberi pengetahuan, maka ada istilah Sad Guru, guru2 suci yang dianggap sebagai Sada Siwa pembawa pengetahuan ketuhanan. Yesus sendiri adalah seorang Sad Guru.
ROH KUDUS adalah roh yang tuhan dalam bayangan paling dekat dengan diri manusia.Ikonisasi ini mirip dengan konsep SIWA – ATMA.
Tetapi tetap baik kristen maupun Hindu meyakini ketiga hal itu adalah tuhan yang sama.
begitu menurut pandangan saya. mungkin pendapat teman kristen bisa lain. Tapi ini saya kutip dari:
Athanasian Creed
“The Father is God, the Son is God, and the Holy Ghost is God. And yet there Gods but one God”.
@ Sutha
Tuhan Bapak adalah personal (berwujud) bagaimana anda bisa menyamakannya dengan Parama Siva?
Tempatnya Tuhan Bapak di Surga, apa sama dengan tempat Parama Siva?
Kita jangan berspekulasi tentang hal itu karena dengan berspekulasi, maka misi Max Muller dkk akan tercapai. Dampak dari pengetahuan spekulatif ini adalah: adanya toleransi dan pemahaman umat Hindu bahwa ternyata Hindu dan Kristen ketuhananya sama. Pada akhirnya mereka rela masuk Kristen.
@Putratridharma
Lho kok malah ganti topik?
Bukankah anda yang membuat saya menjelaskan “spekulasi” saya?
Anda pernah bilang mempertanyakan dan menganalisa Tuhan tidak boleh, yang banyak tanya bukan penyembah utama, dll. Sekarang berspekulasi pun tidak boleh?
Ini memang cuma spekulasi. Tapi apa bedanya dengan yang lain? Hanya karena saya bukan siapa2 saya tidak boleh berspekulasi? bahkan untuk diri saya sendiri? haruskah saya hanya nurut apa kata orang2 suci, apa kata kitab tanpa ada hak untuk mempertanyakan/pun mendalami?
Anda sendiri tidak mungkin bisa berbicara disini kalau anda hanya melakukan apa yang dikatakan guru anda dan tidak pernah mempertanyakan/mendalami apa dibalik ajaran anda.
Kenapa mesti takut sama Max Muller melulu? Kalau memang tuhan Hindu itu tidak ada, barulah anda berhak takut kehilangan umat.
@ Sutha
Apa gunanya spekulasi? Kita cuma mendapat kekeliruan belaka. Lantas kekeliruan ini menular ke orang lain karena menganggap apa yang kita ungkapkan itu sudah merupakan kebenaran. Tentu saja saya tidak bermaksud memaksa Bro Sutha untuk tidak bespekulasi. Jadi kalau kurang berkenan, saya minta maaf.
Tidak boleh berspekulasi bukan berarti tidak boleh memikirkan dan menganalisis apa yang dikatakan oleh otoritas. Silakan dipikir dan analisis apa yang disampaikan otoritas. Kalau masuk akal kita langsung terima, tetapi kalau belum masuk akal, kita harus bertanya lagi begitu seterusnya sampai kita paham. Kuncinya: menerima penjelasan otoritas harus dengan tunduk hati.
Saya tidak perlu khawatir jika umat Hindu rata-rata kecerdasannya seperti Bro Sutha. Tapi Bro tahu sendiri kan kalau pemahaman tatva masih belum merata dalam umat kita.
Saya tidak takut sama Max Muller dan memang dia tidak perlu ditakuti. Kita hanya perlu waspada kalau kita tidak ingin keluarga terdekat kita berganti nama menjadi Ketut Paulus, Niluh Sisilia, atau Komang Yohanes. Sepak terjang generasi penerus Max Mullerlah yang harus diwaspadai.
Maaf jika Bro Sutha kurang berkenan…
@putratridharma
kan sudah saya sampaikan paparan saya diatas, bahwa ajaran siva sidhanta ini merupakan intisari dari vedanta yg notabene intisari dari ajaran veda. lalu apakah anda akan bertanya, siapa pengarang vedanta? bagaimana garis perguruannya? apakah vedanta, siva purana, siva upanishad, dll bukan termasuk veda yg otoritas, atau mereka bukan veda yg utama?? oh ya saya hampir lupa kalau rumus anda adalah hanya bhagavad gita yg menjelaskan Krishna-lah yg paling otoritas dan veda yg utama.
begini cara anda menangkal, ketika ada wacana (dengan mind set BG yg paling benar) anda akan bertanya : “sumbernya dari mana??” lalu dilanjutkan dengan : “siapa pengarangnya/penerjemahnya/narasumbernya?” lalu ketika anda mendapatkan semua informasi itu, akan anda mulai adu dengan BG dan parampara yg sudah diset sedemikian rupa. dan nampaknya web ini sudah siap dengan semua itu, jd celah apapun masuk sudah disiapkan penangkalnya dengan vision bahwa HK yg paling benar.
ajaran siva sidhanta setau(maaf kalau salah) saya adalah ajaran guru, ketika seorang murid merasa hatinya bergetar dan sesuai dengan seorang guru, maka itulah hidupnya, murid jarang `menguji` guru dengan mengadu dengan kitab. mungkin anda sependapat dengan saya bahwa kita harus yakin dan menghormati guru, tentu saja untuk diri sendiri tanpa harus mengajak orang lain, sebab guru satu belum tentu sesuai dengan guru yg lainnya di hati kita, biarkan saja, let it flow. saya pun berkomentar disini bukan dengan tujuan menunjukkan suatu kebenaran yg otoritas, saya hanya berkeinginan bahwa pemikiran2 yg bersifat dogmatis, fragmatis, fanaticism sempit seperti layaknya kaum dogmatis islam seperti amrozy, imam samudra dll agar tidak ada lg, karena inilah cikal bakal perpecahan.
so.. islam, jadilah islam yg baik, kristen jadilah kristen yg baik, budha jadilah budha yg baik, hindu (HK ?) jadilah hindu yg baik.
Salam,-
@ Kidz and all yang ingin mengetahui bagaimana susunan kitab suci Veda dalam bentuk bagan, mohon download file poster dalam format JPG yang saya zip di link ini. Jangan kawatir kalau ini hanya diakui oleh satu golongan, file ini saya dapat yang didasarkan pada bagan yang tercantum dalam kalender Bali tahun 1999.
Buat saudara Kidz
Coba perhatikan di bagan tersebut, dan perhatikan bagan pada bagian Vedanta. Sepertinya Siva Siddhanta tidak tercantum dalam salah satu cabang Vedanta deh bli… Disana memang ada bagian Siddhanta, tapi bukan Siva Sidhanta. Bahkan dapat dikatakan semua bagian Vedanta mengarah pada Vaisnava lho..
Jika ada yang salah silahkan diluruskan dan silahkan lanjutkan diskusinya..
Salam,-
@ Kidz
Bro Kidz selalu melebihkan komentar padahal saya tidak pernah mengatakan seperti yang Bro bahasakan itu. Semua Veda adalah otoritas. Tapi tidak semua bisa untuk memberi penjelasan terhadap otoritas ini. Melalui garis mana Veda mengalir, Veda sendiri sudah pula menjelaskannya. Ada empat sampradaya yang diakui, termasuk Rudra sampradaya pun mengarahkan pengikutnya untuk menyembah Sri Krishna. Orang2 Hare Krishna tidak mengada-ada tentang hal ini. Saya meminta supaya Anda mencantumkan otoritas: Veda mana, dan siapa yang memberi ulasan/penjelasan ini hal yang penting bagi saya. Susu memang bagus, tapi kalau mulut ular sudah menyentuhnya, apa anda masih mau meminumnya? Demikian pula halnya dengan Veda, banyak manusia-manusia berwatak ular yang menggunakan Veda untuk mencari pengikut, mencari nafkah, dan mencari popularitas. Mereka para penipu yang berkedok sebagai guru.
Anda bilang: ===ajaran siva sidhanta setau(maaf kalau salah) saya adalah ajaran guru, ketika seorang murid merasa hatinya bergetar dan sesuai dengan seorang guru, maka itulah hidupnya, murid jarang `menguji` guru dengan mengadu dengan kitab===. Bro, Anda sendiri belum yakin dengan definisi Siva Sidhanta, bagaimana anda bisa begitu agresif? Anda selalu “secara implisit” menganggap kami sebagai orang yang fanatik sempit seperti komentar Anda: ===saya pun berkomentar disini bukan dengan tujuan menunjukkan suatu kebenaran yg otoritas, saya hanya berkeinginan bahwa pemikiran2 yg bersifat dogmatis, fragmatis, fanaticism sempit seperti layaknya kaum dogmatis islam seperti amrozy,imam samudra dll agar tidak ada lg, karena inilah cikal bakal perpecahan===. Wah, Anda membayangkan kengototan saya terhadap kebenaran yang harus berdasarkan otoritas adalah akan seperti Amrozy Cs.
Begini ya Bro, silakan anda bersikap dan memilih yang Anda yakini. Tetapi Anda sebaiknya benar-benar yakin. kalau Siva Sidhanta, ya Siva Sidhanta. Anda silakan dalami ajarannya. Jangan anda berspekulasi.
Nggak usah khawatir, orang-orang Hare Krishna tidak akan memaksakan kehendak mereka. Belum ada kasus orang-orang Hare Krishna memukul saudaranya yang berpaham Siva gara-gara tidak mengakui Krishna sebagai Tuhan. Kalau memberikan penjelasan akan kebenaran yang tetap selalu merujuk otoritas, iya itu memang kami lakukan (tapi tetap dalam bingkai otoritas). Kami selalu diingatkan untuk tidak berspekulasi, karena spekulasi cenderung keliru dan akan menuntun kita pada kesesatan.
Anda selalu mengejek saya dengan mengatakan: Tiada Tuhan Selain Krishna…. yang anda ambil dari konsep tiada Tuhan selain Allah. Saya katakan dengan yakin dan tegas: Iya! Tiada Tuhan selain Krishna karena Tuhan itu hanya satu. Apa menurut Anda ada Tuhan yang lain?
Salam hormat dari yang fanatik sempit
Putratridharma
“diantara sebelas Rudra Aku adalaha Siva” (BG)
Sadasiva, Paramasiva adalah nama-nama Krishna juga.
Tuhanku Sri Krishna Anda adalah tempat tinggal yang paling utama serta tempat perlindungan hamba yang paling tinggi
Tuhanku Sri Krishna anda maha besar dan maha suci, Andalah Penguasa jagatraya ini serta dewanya para dewa.
Tuhanku Sri Krishna sebagai Paramaatma anda bersemayam didalam hati setiap orang dan sebagai Hrsikesa anda adalah sang penguasa indria-indria
salam hormat pada pribadi mulia: Kids, Putratridharma n Ngarayana
to all : mohon maaf jika ada kesalahan
@Bodogendeng
Sujud saya untuk Anda,
Terimakasih sudah menambahkan.
dandavat pranam….
bung @sutha dan bung @kidz
terimakasih atas penjelasannya sekarang saya lebih mantap dengan apa yg diyakini terutama tentang konsep Tuhan karena ini yg paling dasar sebelum belajar yg lain.slama ini saya selalu setia membaca coment bung berdua. ada satu pertanyaan apakah konsep tri purusa(Paramasiwa,Sadasiwa,Siwa)yg ada diBesakih kena pengaruh kaum indologis barat?mohon pencerahannya
शस्त्र = sastra vs शास्त्र = saastra
शस्त्र
=sastra (bahasa sanskrta)
berarti: pedang, senjata, peluru
शास्त्र
= saastra (bahasa sanskrta)
berarti: sastra, risalah ilmiah, ilmu pengetahuan, aturan, traktat agama,seni, nasihat yang baik,aturan, perintah,ringkasan aturan,buku
Beda huruf a panjang dan pendek artinya beda total!
ॐ नमो भगवते वासुदेवाय
ॐ साई नमो नम:
Brother, saya berterima kasih dan Salut untuk usaha den kerja kerasmu menulis,namun sedikit masukan,anda perlu memperdalam wawasan,dan tentunya dipertegas dengan survay lapangan.
Brother, anda menulis:
“Ciri khas dalam pemujaan kepada dewa Siva adalah adanya Lingam dan Yoni. Lalu kenapa dalam catatan sejarah pulau Bali hampir tidak satupun lingam dan yoni yang ditemukan? Benarkah penduduk pulau Bali merupakan penganut aliran Siva Siddhanta dan menempatkan dewa Siva sebagai yang tertinggi?”
Sepertinya anda belum Tirtayatra di Bali, karena lingga-yoni di Pura-Pura di Bali tak terhitung jumlahnya, Mulai dari Pura Kahyangan Jagat sampai Pura Pedharman, saya bisa sebutkan beberapa yang sangat jelas dan mungkin saya bisa antar anda untuk menunjukkan…
namaste
ॐ नमो भगवते वासुदेवाय नमः
luar biasa. baru selesai baca artikel + smua komen. saya seorang katolik. awalnya cari artikel krn bingung habis nonton mahabarata. setau saya dewa utama adalah siwa, tp kok epik utama hindu (mahabarata dan ramayana) kurang memberi peran kpd siwa? sekarang jd sdkit lbh paham. saya kagum dg bli sutha, yg penjelasannya bahkan memperkaya pengertian rohani saya. dan memang, teologi ketuhanan yg dimengerti bli sutha cukup paralel dg pemahaman ketuhanan katolik, dg tambahan: allah bapa tdk memiliki wujud. sebutan “bapa” hnya utk menunjukkan bhwa putra berasal dari dia. putra dilahirkan dari bapa, bkn diciptakan. dan dari keduanya memancarlah pribadi ke tiga, roh kudus. putra dan roh kudus adlh allah dari allah, terang dari terang, allah sejati dr allah sejati. setara dan sehakekat. dan kenapa harus menyangkal bila hindu, kristen, muslim dan umat budha menyembah tuhan yg sama? pencipta alam semesta, brtahta di surga (rohani) abadi, mendidik dan menyelamatkan manusia dlm sejarah, adil, mencintai, pengampun dan esa? kenapa hrs mngatakan bhwa pekerjaan guru lebih mulia drpda perawat? mrka bkerja dg cara berbeda, tp mmpunyai tujuan akhir sama: meningkatkan kualitas hidup manusia. terakhir: takut pemahaman ini akn mmbuat bnyak umat brbondong2 pindah agama? hahaha… jgn mmbuat orang tertawa. :v
trnyta bkn hanya orang protestan dan katolik aja yg suka berantem soal tuhan.
Copas Putu Agus Yudiawan
SAMUAN TIGA
Sarjana Belanda Goris menulis bahwa carut marutnya di Bali saat pemerintahan Raja Udayana disebabkan oleh pertikaian 9 sekte. Pertikaian terus menerus dari 9 sekte ini membuat Bali tidak aman dan Raja Udayana kebingungan sehingga memanggil Mpu Kuturan datang ke Bali.
Diceritakan Mpu Kuturan datang ke Bali tahun 1001 Masehi dan juga mengadakan pertemuan dengan 9 sekte dan Bali Aga. Pertemuan yg diadakan di pura Gunung Goak itu dikenal dengan Samuan Tiga sebagai cikal bakalnya ajaran Tri Murti yang menghasilkan konsep Rong Telu, Kahyangan Tiga dan Desa Pekraman.
Setelah pertemuan tersebut dikatakan Bali kembali aman dan seluruh umat di Bali sangat religius dalam melaksanakan ajaran Gama Tirta yg kita warisi hingga sekarang. Tulisan buah karya Goris inilah menjadi acuan ratusan tahun dari SD hingga Perguruan Tinggi, bahkan mempengaruhi tatanan sosial dan pendidikan di Bali.
Pertanyaannya sekarang apakah benar seperti yg dikatakan Goris bahwa di Bali ada 9 sekte ?. Apakah benar di Bali terjadi keributan besar terus menerus ?. Apakah benar Tri Sadhaka itu adalah 3 sekte ? dan banyak pertanyaan lain akibat pengaruh tulisan Goris ini.
Pertama, saya akan mulai dari kalimat Samuan Tiga, apabila ada 9 sekte di Bali dan konflik terus kenapa pertemuan itu dinamakan Samuan Tiga ??? kenapa tidak “Samuan Sia” ??. Kedua, apabila 9 sekte ini diwakili oleh sekte Siwa dan Buddha kenapa ajaran Siwa Budha itu satu kesatuan dari ajaran Siwa Sidhanta ??. Ketiga, apabila Siwa Budha itu satu lalu bertemu dengan Bali Aga, kenapa pertemuan itu tidak dinamakan “Samuan Dua” ??
Sekarang saya akan buktikan bahwa Siwa Budha itu adalah satu dalam Siwa Sidhanta. Mari kita liat prasasti “Samuan Tiga” menyatakan sebagai berikut :
“…ndaken lan kira Siwa rupa Budha, maka pati urip ikang Tri Mandala, Sang sangkan paraning sarat ganal alit hita ala ayu kojarang aji, utpetti, stithi linaning dadi kita kocanani paramartha sogatha”
Artinya : “…tiada lain Siwa yang berupa Budha, berkuasa menghidupkan sekalian mahluk penghuni tiga alam semesta, menciptakan besar dan kecil, kasar dan halus, suka dan duka, Engkau yang mengadakan ajaran Agama (Dharma), yang berdasarkan nilai nilai kelahiran, kehidupan dan akhirnya kematian. Jadi Engkau adalah penyebab tertinggi wahai Budha”.
Disini sangat jelas bahwa Siwa adalah Budha itu sendiri (Siwa merupa Budha) dimana Budha berarti orang yg tercerahkan. Apabila sudah tercerahkan baru dapat menjadi Siwa begitu sebaliknya Siwa dicapai setelah menjadi Budha. Inilah inti ajaran Siwa Sidhanta yg artinya pencapaian akhir menuju Siwa.
Semua mantram mantram dari ajaran Siwa Sidhanta merujuk semuanya kepada Weda Parikrama. Dari sini saja dapat dikatakan bahwa Siwa Budha itu bukan sekte. Tidak mungkin semua sekte mau bersatu apabila inti ajarannya masing masing tidak dimuat dalam ritual maupun mantram. Kemudian lagi tidak satupun ada bukti bukti sejarah peninggalan dari 9 sekte tersebut. Ini artinya memang di Bali tidak ada sekte apalagi dikatakan ada 9 sekte.
Di jawa dalam sejarah kita tau sering terjadi keributan antar raja dan perebutan kekuasaan antar saudara. Cobalah tengok dari jaman Ken Arok dan keturunannya dari Singhasari selalu terjadi perebutan kekuasaan dengan pembunuhan. Melihat fakta ini bagaimana mungkin Raja Udayana memanggil Mpu Kuturan karena di Bali Konflik ?? bahkan Raja Udayana mengirim anaknya Airlangga untuk menjadi Raja di Jawa yaitu Medang lalu terjadi perang dan akhirnya Airlangga sebagai pencipta kerajaan Kahuripan di Jawa.
Saudara Mpu Kuturan yaitu Mpu Semeru dan Mpu Gana telah terlebih dahulu ada di Bali. Suasana yg tidak kondusif di Jawa inilah kemungkinan kenapa Mpu kuturan datang ke Bali. Bukan atas panggilan Raja Udayana karena di Bali konflik sekte.
Agama di Bali adalah ajaran Siwa Budha dan Mpu Kuturan menyempurnakannya dengan memanggil seluruh tokoh yg saat itu seperti Bali Aga. Jadi yang bertemu di Pura Gunung Goak adalah tokoh ajaran Siwa Budha dengan tokoh Bali Aga dan membicarakan konsep penyempurnaan yaitu Tri Murti. Ajaran Tri Murti tentang tiga alam yaitu Bhur, Bwah dan Swah dimana konsep ajaran Siwa Sidhanta ketekannya adalah 3 (tiga). Dengan konsep tiga inilah maka pertemuan itu dikenal dengan Samuan Tiga.
Sehingga tulisan Goris ini apabila dicermati dari lontar, prasasti, dan mantram sama sekali tidak selaras atau tidak dapat dibuktikan kebenaran tulisannya. Lebih memungkinkan adalah ajaran Siwa Budha di Bali dari masa ke masa mengalami penyempurnaan. Perkembangan ajaran di Bali adalah kontinuaitas sampai pada penyempurnaan terakhir oleh Dang Hyang Nirartha atau Mpu Dwijendra.
Kemungkinan Goris mengatakan ada 9 sekte disebabkan dalam ajaran Siwa Sidhanta memuat seluruh mantram. Dari penciptaan, pemeliharaan dan peleburan begitu juga lontar tattwa, lontar Susila dan lontar upacara. Siwa Sidhanta dalam ritual memang menyangkut semua aspek kehidupan. Sehingga Goris membaginya menjadi sembilan sekte atau mungkin Goris sama sekali tidak mengetahui detail ajaran Siwa Budha atau punya motif lain kita tidak tau. Sebab seperti diketahui Belanda saat itu memang lagi menerapkan politik adu domba yg dikenal dengan Devide et Impera.
Kita tau juga banyak lontar lontar diboyong ke Belanda untuk dipelajari disana. Tujuannya apa ? tidak jelas kita mengetahuinya tetapi semenjak itu mulailah berhembus sistem chandala di India di boyong ke Nusantara dan dikenal dengan kasta. Semenjak ini pula terjadi dominasi dari wangsa tertentu yg mengakibatkan konflik berkepanjangan hingga kini. Konflik soroh/wangsa ini bagai gunung berapi kadang dingin kadang panas.
Dari urutan peristiwa dan dari sumber mantram, tattwa, susila dan upacara maka dapat disimpulkan bahwa ajaran Siwa Budha di Bali dari masa ke masa terjadi penyempurnaan. Penyempurnaan ini dilaksanakan oleh datangnya Rsi/Mpu keturunan dari Mpu Bajra Satwa secara bergantian hingga terakhir Dang Hyang Dwijendra. Ajaran Siwa Sidhanta di Bali adalah ajaran asli Nusantara bukan dari India dan sudah meliputi keseluruhan Weda berbeda jauh dengan ajaran Sampradaya India yg hanya berdasarkan dari ranting ranting Weda.