Seorang anak TK yang lahir dan besar di ibu kota melontarkan sebuah pertanyaan menggelitik kepada orang tuanya saat dilangsungkannya upacara besar di kampungnya di Bali. Pertanyaan yang sederhana, tetapi sudah barang tentu tidak bisa dijawab hanya dengan kata “nak mulo keto” (memang sudah demikian).
Saat itu berlangsung upacara Dewa Yadnya tingkat utama di rumahnya yang melibatkan berbagai macam korban binatang. Ada seekor kerbau, beberapa ekor babi dan puluhan itik dan ayam disemblih. Sementara sang pinandita memimpin upacara dan menyemblih satu-persatu hewan-hewan korban, sang anak kecil bertanya pada ayahnya; “Papa, Tuhan kita kok doyan makan ya? Apa Tuhan memakan persembahan hewan sebanyak itu? Apa Tuhan ga kasihan ya sama binatang-binatang itu sampai harus melahap dengan rakus kayak gitu?”. Sang papa hanya bisa tertegun dan berusaha menjelaskan kepada anaknya yang masih kanak-kanak dengan mengatakan; “Dek, kita mempersembahkan binatang-binatang itu agar mereka disupat, dan kelak roh-roh mereka diangkat ke alam sorga sehingga mereka akan menikmati kebahagiaan di sana”. Sang anak kembali bertanya; “Tapi Pa, kalau memang demikian kenapa bukan adek aja yang dipersembahkan agar adek bisa masuk sorga? Atau kenapa bukan papa dan jero mangkunya aja sekalian yang dipersembahkan agar semua masuk sorga?”. Ujung dari pertanyaan-pertanyaan sederhana ini pada akhirnya hanyalah “nak mulo keto” yang tentunya tidak memuaskan keingintahuan sang anak cerdas ini.
Jika anda hidup di komunitas minoritas Hindu, mungkin pertanyaan yang serupa dengan apa yang disampaikan anak kecil ini juga sering dilontarkan kepada anda. Pada umumnya orang non Hindu tidak pernah disibukkan dengan berbagai macam upacara dan persembahan makanan, mereka hanya cukup berdoa, bernyanyi atau hanya mengagung-agungkan nama Tuhan, lalu kenapa orang Hindu bergitu sibuk dalam upacara yang menelan dana milyaran rupiah?
Dalam Bhagavad Gita 9.26 Tuhan Yang Maha Esa, Sri Krishna bersabda; “patraḿ puṣpaḿ phalaḿ toyaḿ yo me bhaktyā prayacchati tad ahaḿ bhakty-upahṛtam aśnāmi prayatātmanaḥ, Kalau seseorang mempersembahkan daun, bunga, buah atau air dengan cinta bhakti, Aku akan menerimanya”. Dari sloka ini kita dapat mengerti bahwa Tuhan tidak pernah meminta persembahan mewah dan mahal sehingga memberatkan umatnya. Meskipun Beliau mengatakan persembahan “patraḿ puṣpaḿ phalaḿ toyam, daun, bunga, buah atau air” namun yang terpenting dari itu semuanya adalah “bhakty-upahṛtam, persembahan bhakti”. Membuat persembahan mewah dan mahal tanpa ada rasa bhakti di dalamnya tidak akan ada gunanya. Tetapi hanya persembahan yang dilandasi dengan rasa bhakti yang tulus meskipun tanpa menggunakan sarana apa-apalah yang akan diterima oleh Tuhan.
Lalu buat apa Tuhan, Sri Krishna meminta persembahan daun, bunga, buah atau air? Apakah Beliau lapar dan perlu makan? Untuk menjawab pertanyaan ini, mari kita coba mengambil suatu analogi dalam kehidupan kita sehari-hari. Andaikan anda adalah orang tua yang memiliki dua orang anak. Setiap hari anda memberikan uang jajan yang sama besarnya kepada kedua orang anak anda. Satu anak menggunakan semua uang tersebut untuk membeli jajan dan menghabiskannya seorang diri. Sementara itu, anak anda yang satunya menggunakan uang tersebut untuk berbelanja, tetapi selalu menyisihkan sebagian untuk anda dalam bentuk sebuah permen seraya dia berkata; “Pa, ma, ini saya bawakan permen buat kalian. Saya harap papa dan mama menerimanya”. Melihat perbedaan tingkah laku kedua anak anda ini, apa yang terbesit dalam benak anda? Yang mana yang lebih anda hargai? Apakah anak yang menggunakan uang jajannya dan menghabiskannya seorang diri ataukah anak yang dengan tulus menyisakan dan membawakan anda sesuatu walaupun hanya berupa sebuah permen yang sama sekali tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan kekayaan yang anda miliki? Jika anda manusia normal, saya yakin anda lebih menghargai anak yang menyisahkan uang jajannya untuk sebuah permen itu bukan?
Begitu pula dengan Tuhan. Tuhan adalah pemilik dan penguasa alam material dan alam rohani, bahkan kita sebagai jiva yang kekal adalah bagian dari kekuasaan Beliau. Dalam Śvetāśvatara Upaniṣad 6.7 disebutkan; “vidāma devaḿ bhuvaneśam īḍyam, tiada yang lebih besar dari pada Beliau, dan Beliau adalah sebab utama segala sebab”. Bahkan dalam Brahma Samhita sloka 13 dikatakan; “Benih-benih transendental (anti materi yang menjadi satu alam semesta) Sankarsana muncul dari pori-pori kulit Maha-Visnu dalam bentuk telur emas yang tak terhitung jumlahnya sambil Maha-Visnu berbaring di lautan penyebab, semua telur tersebut tetap tertutupi oleh unsur material besar”. Dari penjelasan sloka Veda yang lain kita mengetahui bahwa satu alam semesta terdiri dari milyaran galaksi. Dengan demikian, dapatkan anda membayangkan betapa besarnya Tuhan? Apakah Tuhan perlu memakan secuil makanan yang kita persembahkan? Bukankah jika Tuhan mau, dalam satu kali lahap, semua alam material yang terdiri dari jutaan alam semesta ini akan habis dalam sekejap?
Jadi, sarana material yang kita gunakan untuk memuja Tuhan hanyalah merupakan perwujudan ungkapan cinta kasih kita kepada Beliau. Bukan karena Tuhan sedang haus dan lapar, serta akan marah jika kita tidak membawakan Beliau sesuatu. Orang Hindu juga tidak punya kewajiban untuk membuat upacara besar-besaran yang menghabiskan sekian banyak dana dengan dalih memuaskan Tuhan. Sungguh tindakan bodoh jika ada orang Hindu yang harus ribut-ribut bertengkar dengan sanak familinya, menjual harta warisan leluhur, menelantarkan pendidikan putra-putrinya dan dengan bangganya memamerkan pada masyarakat kalau dia sanggup mengadakan upacara ritual tingkat utama tanpa didasari rasa cinta bhakti yang tulus kepada Tuhan. Padahal Sri Krishna dengan tegas mengatakan; “eka-bhaktir viśiṣyate priyo hi jñānino ‘tyartham ahaḿ sa ca mama priyaḥ, orang yang memiliki pengetahuan sepenuhnya dan selalu tekun dalam bhakti yang murni adalah yang paling baik. Sebab dia sangat mencintai-Ku dan Aku sangat mencintainya” (Bg.7.17). Jangan anda pikir Tuhan bisa disuap, jangan anda pikir dengan upacara megah tanpa bhakti akan meluluhkan hati Tuhan dan jangan berpikir dengan upacara ngaben yang megah akan mengantarkan anda dan keluarga anda ke alam moksa. Hanya cinta kasih yang murnilah yang bisa menyelamatkan anda.
Jika anda merasa pernah menjual warisan leluhur, atau bahkan “turus lumbung” anda hanya untuk membuat upacara megah, atau anda hanya sibuk berkutat dalam berbagai macam ritual tanpa anda tahu esensinya. Tanpa pernah menyeimbangkan faktor pilosofi, mendidik generasi muda anda dalam ilmu pengetahuan rohani, tanpa pernah perduli dengan lembaga pendidikan yang akan menanamkan pondasi Veda kepada kaum muda Hindu, maka mulailah bercermin pada sloka-sloka Veda. Dalam Bhagavad Gita 7.18 Sri Krishna menyingung betapa pentingnya pondasi pengetahuan dalam menumbuhkan rasa cinta bhakti dalam diri seseorang untuk menggapai dunia spiritual (jñānī tv ātmaiva me matam āsthitaḥ sa hi yuktātmā mām evānuttamāḿ gatim).
Upacara adalah bagian yang sangat penting dalam pengungkapan rasa syukur dan cinta bhakti kita kepada Tuhan, tetapi upacara yang tidak dilandasi oleh pengetahuan, adalah upacara dalam tingkat kebodohan. Kenyataan ini sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Sri Krishna dalam Bhagavad Gita 17.5-6; “aśāstra-vihitaḿ ghoraḿ tapyante ye tapo janāḥ dambhāhańkāra-saḿyuktāḥ kāma-rāga-balānvitāḥ karṣayantaḥ śarīra-sthaḿ bhūta-grāmam acetasaḥ māḿ caivāntaḥ śarīra-sthaḿ tān viddhy āsura-niścayān, Orang yang menjalani pertapaan dan kesederhanaan [ritual korban suci] yang keras yang tidak dianjurkan dalam Kitab Suci, dan melakukan kegiatan itu karena rasa bangga dan keakuan palsu didorong oleh nafsu dan ikatan, yang bersifat bodoh dan menyiksa unsur-unsur material di dalam badan dan Roh Yang Utama yang bersemayam di dalam badan, dikenal sebagai orang jahat”.
Jadi untuk menghindari ritual keagamaan yang dalam sifat kebodohan, sudah saatnya umat Hindu bangkit dari praktek-praktek ritual yang tidak dilandasi atas pengetahuan dan kitab suci. Sudah saatnya umat Hindu harus membentengi diri dengan sistem pendidikan yang baik. Biarkan tradisi “nak mulo keto” kita kubur dalam-dalam dan menggantinya dengan pengetahuan spiritual. Pada dasarnya kita sudah memiliki sistem pendidikan rohani sang sangat komprehensip dengan sistem upanisad dan parampara-nya yang dinaungi oleh sistem guru kula. Tahukah anda kalau ternyata sistem pesantren yang diterapkan oleh umat Islam adalah adopsi dari sistem guru kula Hindu? Kenapa kita harus mencari sistem pendidikan baru dengan meniru pesantren dan menamakanya pesantian jika kita sudah memiliki sistem guru kula?
You’ve every think that you need…..
Mungkin yang lebih disorot dalam artikel saudara Ngara di atas adalah kasus yang banyak terjadi di Bali, dan dengan berbesar hati harus kita akui bahwa hal itu (penyelenggaraan upacara besar2an) sangat sering terjadi di Bali dan itu lebih banyak di landasi oleh kepentingan bisnis ataupun pengakuan status sosial dibanding dengan rasa bakti dalam melaksanakan yadnya itu sendiri. Bahkan untuk persembahan uang kepada pinandita pelaksana upacarapun sudah ada standar sendiri yang notabene sudah terlalu berbau bisnis, di daerah kuta seorang peranda minimal mendapat 750 ribu untuk sekali melaksanakan upacara. Salah satu penyebab terjadinya hal ini kemungkinan karena bercampur baurnya adat dengan agama sehingga tidak bisa dibedakan lagi, dan pembauran ini telah menciptakan kue ekonomi yang sangat menggiurkan bagi sebagian orang dan mereka cenderung untuk mempertahankan status ini dan sistem kasta (yang notabene adalah kesalahpahaman dari catur warna) dengan terus-menerus mempropagandakan betapa pentingnya pelaksanaan upacara / ritual keagamaan (yang biasanya dibesar-besarkan).
Situs2 seperti ini sangat diperlukan untuk lebih menyebarkan pengetahuan keHinduan yang berbasis pengetahuan yang cukup. Ritual seperti kulit telur, diperlukan untuk melindungi putih dan kuning telur yang belum matang. Bila spiritualitas seseorang telah matang di godok dalam pengetahuan tattwa maka kulit telur ritual perlu untuk di tanggalkan sedikit demi sedikit supaya bisa menikmati inti kebahagiaan di dalamnya. Bila ritual terlalu dibesar-besarkan tanpa di barengi dengan pencarian makna ritual itu sendiri dan tanpa dibarengi dengan penggalian tattwa agama, sama seperti kulit telur yang belum matang di cat berulang kali terus menerus sehingga menjadi terlalu tebal dan pada akhirnya intinya tidak akan pernah matang dan lama2 akan membusuk.
Mungkin diperlukan penyamaan persepsi ditingkat elit (PHDI dan orang yang berkompeten tentang ajaran Hindu yang benar) untuk memberikan ketegasan arah bagaimana pelaksanaan kegiatan upakara yang sesuai dengan weda agar tidak terjadi penyelewengan dari ajaran weda. Masyarakat Hindu di Bali semakin hari banyak yang tidak mengerti tentang upacara yadnya yang mereka selenggarakan karena tatwanya kurang disosialisasikan oleh orang yang berkompeten. Untuk itu diperlukan pencerahan-pencerahan keagamaan lebih intensif. Web ini bisa mejadi salah satu referensi silang yang bermanfaat dalam mencerahkan kita semua masyarakat Hindu yang masih kurang paham tentang ajaran Hindu yang sesungguhnya.
Sebenarnya dari tuntunan Agama Hindu, untuk upacara atau yadnya itu semua ada tingkatannya (Nista, Madya, Utama). Jadi tidak harus yadnya itu dilakukan dengan besar-besaran, karena inti dari yadnya itu sendiri adalah rasa iklas dari yang melaksanakannya. Seperti yang kita ketahui yadnya itu adalah upacara korban yang dilaksanakan secara tulus iklas. (Iklasnya itulah yang paling penting)
Soal hewan yang dijadikan korban dalam upacara yadnya itu memang bertujuan untuk meningkatkan derajat mereka, agar mereka bisa terlahir dengan tingkatan lebih tinggi (bukan masuk surga karena semua itu pasti ada tahapnnya)–sesuai pelajaran agama yang kita peroleh waktu di sekolah–
Kalo menurut pendapat saya sendir sih, korban atau caru yang dihaturkan pada suatu upacara itu sendiri bukan ditujukan kepada TUHAN, melainkan untuk persembahan para mahluk alam bawah agar mereka tidak mengganggu kehidupan manusia. Jadi disini kita disadarkan bahwa kita hidup tidaklah sendiri, melainkan masih ada mahluk yang hidup bersama kita yang ada di alam lain. Sedangkan persembahan yang ditujukan kepada TUHAN, itu tetap persembahan yang seperti disebutkan dalam sloka Bhagawad gita diatas yaitu persembahan berupa buah-buahan, daun dan bunga yang ada pada canang sari.
Dari pemahaman itulah saya berusaha menyimpulkan kalau hewan-hewan korban itu akan dinaikkan tingkatannya karena pengorbanan mereka untuk membantu manusia memperoleh kesejahteraan dan terbebas dari gangguan mahluk alam lain. Jadi maksudnya disini kita bukan juga menyembah mahluk alam alin, melainkan kita hidup saling berdampingan dan saling menjaga dengan mereka. Karena bagaimanapun juga mereka juga tetap adalah mahluk ciptaan TUHAN dan beberapa dari mereka adalah saudara-saudara kita yang meninggal secara tidak wajar (baik itu karena salah pati ataupun ulah pati).
Mungkin sekian dulu sedikit tanggapan dan informasi yang saya pahami mengenai upacara yadnya itu sendiri. Jadi mohon dimaafkan kalau ada yang salah dan ditambahkan kalau ada yang kurang.
Salam
Om Shanti, shanti, shanti.. Om
dalam paragraf 9 “…Upacara adalah bagian yang sangat penting dalam pengungkapan rasa syukur dan cinta bhakti kita kepada Tuhan, tetapi upacara yang dilandasi oleh pengetahuan, adalah upacara dalam tingkat kebodohan….”
sepertinya Phrabu kurang satu kata yaitu kata ‘tidak’, seharusnya ….tetapi upacara yang tidak dilandasi oleh pengetahuan adalah upacara dalam tingkat kebodohan…
@ dwi
Terimakasih atas koreksinya bli dwi. Iya, saya salah ketik. Akan saya perbaiki sekarang.
Om Swastiastu,
saya sarankan untuk bli ngarayana untuk menanyakan secara langsung maksud dari adanya upacara2 besar dengan mengorbankan berbagai macam makluk hidup kepada pihak2 yang berkompeten, misalnya PHDI atau langsung dengan narasumber yang sangat mengerti dengan upacara hindu bali seperti Ida Pedanda Gde Made Gunung atau dengan Ida Bagus Made Sudarsana.
agar kedepan artikel2 seperti ini bisa berimbang, tidak hanya dari sudut pandang penulis saja (walaupun penulis berargumen berdasarkan Weda – Bagavad Gita) bila mana perlu bli ngarayana merekamnya dan menuangkan langsung hasil wawancara bli ngara dengan para narasumber.
dan bila bli ngarayana merasa yakin atas pendapatnya, kenapa hanya lewat media ini saja bli ngara memberikan pendapatnya? bila perlu saya sarankan juga bli ngara menulis artikelnya di harian Bali Post yang kita tahu hampir 70% warga bali membacanya.
@ Dear Ari
Thanks atas comment dan masukannya bli. Iya sebatas ini saya hanya menulis di sini dan atas bantuan bapak Kama Jaya, beberapa tulisan saya dimuat di majalah Raditya. Terus terang saya tidak pernah berusaha memasukkan tulisan-tulisan saya ke media-media seperti Bali pos atau media yang lain, kecuali ada yang membantu saya mengirimkannya ke sana. Apa bli mau membantu saya menyebarkan tulisan-tulisan ini? Setiap orang boleh menyebarkan tulisan-tulisan di ini secara bebas tanpa perlu meminta ijin dari saya.
Untuk masalah diskusi dengan pemimpin2 Hindu. Saat ini saya berargumen berdasarkan suara perorangan, bukan organisasi sehingga sudah barang tentu akses saya ke organisasi seperti PHDI otomatis tidak kuat dan mungkin dapat dikatakan tidak ada. Tetapi jika suatu saat saya punya kesempatan berdiskusi dengan orang-orang PHDI atau Depag, saya tentu akan mencoba menyampaikannya.
Sebuah perdebatan mengenai Dewa dan Tuhan juga pernah saya lakukan di majalan Media Hindu. Saya mengutip banyak sloka sebagaimana dalam artikel “Apakah dewa sama dengan Tuhan?”. Hanya saja dari pihak Media Hindu hanya mengatakan; “Sumber yang kami miliki tidak demikian” dan disamping itu mereka mengatakan “Kitab Smrti bukan Veda”. Tentu hal seperti ini memerlukan diskusi yang sangat panjang dan perlu waktu khusus (semisal seminar). Saat ini saya dan seorang sepuh di Bali, Bapak Ngurah Heka Wikana sedang mempersiapkan sebuah buku “Merekonstruksi Hindu – Merangkai kembali filsafat Veda yang terdistorsi”. Mudah-mudahan buku tersebut akan menjadi tonggak untuk menyamakan persepsi dengan mereka yang ortodok terhadap budaya “nak mulo keto”, kaum moderat dan kaum ortodok Veda. Mohon doa restunya ya bli agar buku itu cepet kelar.
Sebagaimana yang disampaikan oleh bli LIMBAH KALIYUGA, Memang demikianlah adanya……
Upacara mewah dan megah itu bagus, tetapi harus diiringi dengan bhakti yang tulus dan dengan diimbangi oleh kemampuan material yang cukup. Tetapi sangat ironis jika kita melakukan upacara yang megah tetapi dengan ngedumbel dan ngutang sebagaimana yang disampaikan oleh bli LIMBAH KALIYUGA. Tindakan seperti itu sama dengan tindakan bunuh diri dan tergolong persembahan dalam tingkat tamas.
Salam,-
Di bnjr kampung sy jg lucu, bikin PAJEGAN (prsmbhan stinggi 2 meteran bhkn lbh) ktanya mlu pd tmn kalau gk tnggi, gengsi gtu. Walau ngutang, parahnya di kemudian hari bila ada odalan sll mngeluh, ya itu td bikn pajegan smpe ngutang…..Ini di 1 daerah sj, ktika main2 ke daerah lain jg gtu, trnyta kita suka mnyusahkan diri dgn gengsi tnggi. Kntra skali kita miskin dlm beragama. Apalagi ngaben dkmpung sy gk bakalan bs ngaben trwujud kalau gk pnya biaya ratusan juta rupiah……..
Di bnjr kampung sy jg lucu, bikin PAJEGAN (prsmbhan stinggi 2 meteran bhkn lbh) ktanya mlu pd tmn kalau gk tnggi, gengsi gtu. Walau ngutang, parahnya di kemudian hari bila ada odalan sll mngeluh, ya itu td bikn pajegan smpe ngutang…..Ini di 1 daerah sj, ktika main2 ke daerah lain jg gtu, trnyta kita suka mnyusahkan diri dgn gengsi tnggi. Kntra skali kita miskin dlm beragama. Apalagi ngaben dkmpung sy gk bakalan ngaben trwujud kalau gk pnya biaya ratusan juta rupiah……..Alhasil org2 yg bs ngaben dikampungku adlh minimal pnya tanah utk djual buat ngaben, ato org kaya, ato org sjenisnya
masalah banten ini mengingatkan gw akan hal pertama yang gw terima pada saat gw pertama kali belajar agama Hindu di sekolah agama…hal tersebut adalah sarana sembahyang yang terdiri dari 3 hal, yaitu : air, bunga, dan api…..di kemudian hari, gw belajar lagi bahwa apabila tidak ada bunga maka daun bisa dipakai untuk menggantikan bunga tersebut…..
tetapi, sebagai keturunan bali, gw belajar tentang banten….tadinya gw pikir buat apa banten itu karena toh di agama tidak diwajibkan untuk membuat banten…..setelah dipikirkan lebih mendalam, banten itu ternyata adalah simbolisasi rasa terima kasih manusia (terutama manusia Bali) kepada Sang Pencipta….buat nenek moyang kita, masak untuk Sang Pemurah dan Pemberi Segalanya hanya dikasih air, bunga dan api doank….ga afdol rasanya…..maka timbulah seni banten sebagai salah satu seni pemujaan kepada Sang Pencipta….
tetapi, sedihnya sekarang banten sudah melenceng dari maksud utamanya yang sangat mulia tersebut…..banten seolah-olah menjadi keharusan dan menjadi lambang status sosial seseorang yang mempersembahkan banten tersebut….pemberian status nista, madya, dan utama makin memperparah kondisi ini….sebab secara psikologis, tidak ada manusia yang mau dikategorikan sebagai nista karena mempersembahkan banten level nista….akhirnya yang terjadi adalah orang-orang berlomba membuat banten seutama mungkin walaupun dengan cara hutang atau meminta-minta…..
selain itu, orang-orang Bali di Jakarta dan perantauan cenderung memaksakan model banten nya kepada umat Hindu dari suku lain sehingga ajaran Veda tentang desa kala patra ditabrak oleh umat Hindu sendiri terutama Hindu Bali…..gw sangat sebal mendengar ada seorang umat yang dengan bangganya mengatakan telah menuntun umat Hindu keturunan Cina dengan adat Bali…..umat seperti ini menurut gw adalah umat yang tidak tahu Veda karena di Veda tidak mengajarkan ajaran yang superior apalagi cuma adat Bali yang merupakan turunan/campuran dari adat Jawa Majapahit…..
untuk itu, marilah kita buka mata kita terhadap banten dan sesajen di dalam Hindu dengan mencari intisari maksud dari banten tersebut….jangan menghakimi orang sebagai bukan Hindu apabila ia menolak untuk memakai banten Bali….jangan memaksakan untuk memakai banten Bali di luar Bali….terimalah bentuk-bentuk banten apa adanya sesuai dengan adat setempat….dan jangan mencibir apabila ada banten yang tidak sesuai dengan pendapat anda…kondisi-kondisi ini sering gw temukan di masyarakat Bali terutama yang tidak pernah hidup di perantauan
Trmikasih bli Ngarayana
atas ijinnya, kami dgn senang hati mnybarkan ajaran Dharma ini/artikel2 ini
Dharma will never die
Yang salah itu saya…..Yang benar itu juga bukan anda,kitalah yang melaksankannya di jagat ini dimanapu dan siapapun….agama itu ajaran(spt teknologi)….untuk mencapai tujuan segalanya harus berkorban….tiada dharma tanpa pengorbanan…brahman tak akan berputar tanpa kurban….ada kata dharma wigata…..agama melahirkan budaya,budaya itu warisan yang dijalankan dengan desa,kala dan patra.Sebagai pewaris dengan keyakinan sepenuhnya dharma agama itu tegas dan jelas untuk mencapai suatu tujuan…jadi bukan estetika kehidupan.walau tuhan hadir didalamnya tak akan mampu menghadapi segala keluhan insan didunia fana ini.Pengambdian,keteguhan,disiplin adalah utama dalam mencapai tujuan agama……mungkin..he…..tri hita karana adalah dasar pikirin orang bali umumnya……ngiring sareng2 dabdabin…
Reformasi Untuk Persembahan…
Coba anda lihat dengan seksama dengan hati nurani:
1. Berapa juta untuk membuat banten dalam sebuah upacara ?
2. terjadi kesenjangan antara orang kaya dan miskin dalam membuat banten….
3. Semakin besar dan mewah bantennya semakin “wah” dalam masyarakat sekitarnya….
Saya yakin jika seandainya sekarang ini ada avatar yang turun ke Bali, maka akan sedih dan menangis, begitu boros dan menghmabur-hamburkan uang hanya untuk membuat banten…..
saya saykin baha Tuhan tidak butuh banten, karena Tuhan maha segalanya…
saya yakin bahwa cara banten yang ada sekarang telah menyimpang jauh bahkan terpleset dari ajaran Krisna (Tuhan)
bukankah masih banyak orang miskin…
bukankah masih banyak anak terlantar….
bukankah masih banyak orang gelandangan…
bukankah didalam orang miskin ada Tuhan…
bukankah didalam anak terlantar ada Tuhan
bukankah disetiap orang gelandangan ada Tuhan….
andaikata setiap uang yang dipakai untuk buat banten diberikan kepada mereka , maka Tuhan akan senang, karena barang siapa yang melayanai ciptaan tuhan berarti berbakti pada Tuhan.
“kembali ke Laptop heheheeh”
suksme ats pencerahannya,,,,,,,,,,,
Seandainya upacara2 boros itu tidak ada, tidak mungkin bangsa Belanda akan mempromosikan Bali di dunia Internasional sebagai Isle of God! Mungkin pariwisata Bali saat ini tidak lebih dari Pulau lainnya di Nusantara,,, coba tanyakan kepada hati nurani kita, kenapa kita mengeluh akan biaya yg dikeluarkan utk upacara2 itu, padahal tuhan sudah menganugrahi kita tanah Bali yg subur, kenapa tanah2 itu tdk kita pakai menanam pohon pisang, pohon kelapa atau memelihara babi, padahal hal2 itu kita pergunakan seiap upcara? Dan perlu diketahui upacara2 besar yg dilakukan jaman sekarang, hanya akan dilakukan jaman ini saja, karena upacar bsar itu vibrasinya masih bertahan slama minimal 50 tahun, jadi tidak perlu takut upacara itu memskinkan kita, karena sebagai orang bali saya percaya tuhan yg sy berikan persembahan akan memberkan kesejahteraan kpd anak cucu saya! orang bali perlu kita Waspadai hasutan sampradaya, semoga orang bali senantiasa bersatu dg menyembah tri murti dan siwa sbg dewa tertinggi,,,om shanti shanti shanti om
Upacara yang mewah memang sangat bagus untuk orang-orang yang mampu, namun jika umatnya kurang mampu maka hendaknya tidak usah memaksakan diri. Wisatawan datang ke Bali memang karena adat dan budayanya. Namun jangan sampai orang Bali hanya menjadi “Topeng Monyet”, hanya menjadi objek pertunjukkan, namun yang menikmati keuntungannya hanya investor yang notabena orang non-Bali.
Itulah pengetahuanan yg sejati..