“Ketua MPR yang juga sekaligus Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan khawatir pengakuan masyarakat penghayat kepercayaan akan memicu penurunan jumlah populasi umat Islam di Indonesia.” Itulah sepenggal berita yang dipublikasikan oleh kumparan.com tertanggal 21 Januari 2018. Bayangkan di mana kredibilitas seorang ketua legislatif yang seharusnya paham fondasi negara. Undang-Undang Dasar Indonesia sudah sangat jelas memberikan kebebasan bagi masyarakatnya untuk menganut agama dan kepercayaan apa pun dan negara wajib memberikan perlindungan. Lalu kenapa ketua MPR mengeluarkan pernyataan seperti itu? Apakah itu merupakan sikap pribadi atau kah sudah merupakan pengejawantahan sikap para elite politik dan pemimpin Indonesia?
Menengok Kembali Sejarah Agama di Indonesia
Kebanyakan buku sejarah mengatakan bahwa Indonesia baru mengenal agama saat masuknya Hindu ke Indonesia pada abad ke-4 yang ditandai dengan berdirinya kerajaan Hindu pertama, Kutai Kartanegara di Kalimantan. Sejak saat itu agama Hindu bersama-sama dengan agama Buddha dikatakan berkembang bersama-sama sampai akhirnya mencapai tonggak kejayaannya pada masa kerajaan Sriwijaya dan Majapahit. Kejayaan Hindu dan Buddha dikatakan berangsur pudar seiring masuknya pengaruh Islam pada abad ke-14 yang juga selanjutnya diikuti dengan runtuhnya kerajaan Majapahit dan munculnya pecahan-pecahannya yang bercorak Islam.
Pertanyaan berikutnya adalah, apakah benar sebelum abad ke-4 leluhur bangsa Indonesia sangat bodoh sehingga dikatakan sebagai penyembah batu dan gunung atau dengan istilah kerennya Animisme? Apa benar mereka tidak mengenal konsep ketuhanan dan keyakinan dasar yang mereka jadikan patokan hidup? Mari kita pending dulu pertanyaan ini dan akan kita bahas kemudian.
Singkat kata, tidak berselang lama setelah masuknya pengaruh Islam, pada abad ke-15 agama Kristen selanjutnya diperkenalkan di Indonesia oleh para kaum misionaris yang datang bersamaan dengan masuknya pelaut Belanda dan Portugis. Semangat bangsa Eropa ke dunia timur untuk mencari dunia baru sangat terkenal dengan tiga semboyannya, yaitu Gold (mencari kekayaan), Glory (mencapai kejayaan), Gospel (penyebaran kekristenan). Pergerakan mereka diawali dengan hubungan dagang yang berangsur-angsur mengarah pada eksploitasi kekayaan alam dan bahkan eksploitasi sumber daya manusia melalui perbudakan. Dengan kata lain, pada saat itu penjajahan fisik oleh “non pribumi” mulai terjadi di sebagian besar wilayah Indonesia.
Lalu bagaimana komposisi pemeluk agama Indonesia pada jaman penjajahan? Pemerintah Belanda yang berkuasa di Indonesia pernah melakukan sensus penduduk terkait dengan keyakinan yang mereka anut. Sensus tersebut dilakukan sekitar tahun 1930. Dari hasil sensus tersebut diketahui bahwa populasi Indonesia berjumlah 60,7 juta jiwa. Dengan pengelompokan 48,7% beragama Islam dan 47,2% dikatakan sebagai penghayat kepercayaan atau Animisme. Lalu kenapa Belanda tidak memecah-mecah 47,2% menjadi pemeluk Hindu, Buddha, Kejawen, Sapto Dharmo, Merapu, Sunda Wiwitan dan sebagainya? Karena Belanda juga punya kepentingan lain. Sebagaimana kita ketahui, kaum Misionaris juga mendompleng keberadaan Belanda di Indonesia. Dan celakanya, standar agama menurut sudut pandang ajaran Agama Abrahamik (Yahudi, Kristen dan Islam) sangat berbeda dengan agama-agama Timur sehingga pada saat itu yang dianggap benar-benar agama adalah Islam, Kristen dan Yahudi. Seiring dengan perkembangan jaman dan terbukanya wawasan akan keberadaan agama-agama di dunia. Pada tahun 1895 Belanda sudah dapat menggolongkan agama-agama yang ada di Indonesia tidak hanya Islam dan Kristen. Melalui undang-undang perkawinan yang dikeluarkannya, Belanda sudah menyebutkan kata Hindu dan Buddha yang artinya Belanda sudah menyadari keberadaan agama Hindu dan Buddha di Indonesia. Hanya saja celakanya, undang-undang tersebut menyatakan bahwa perkawinan yang terjadi di luar penganut Kristen, Hindu dan Buddha harus dilaksanakan secara Islam. Artinya pada saat itu pemaksaan agama secara halus mulai terjadi yang menyebabkan populasi menganut agama selain yang disebutkan di atas menjadi semakin tertekan.
Tekanan terhadap kebebasan beragama di Indonesia terus terjadi sampai dengan masa kemerdekaan. Sesaat setelah Indonesia menyatakan diri merdeka pada tahun 1945, pemerintah hanya mengakui keberadaan 2 agama, yaitu Islam dan Kristen (Katolik dan Protestan). Meskipun di sisi lain Founding Father Indonesia, Ir. Soekarno yang memiliki darah Bali dari Ibunya menyadari bahwa masih banyak agama-agama lain yang dianut oleh penduduk Indonesia. Oleh karena itulah beliau dengan tegas menghapuskan kata-kata “kewajiban menjalankan syariat Islam” dalam sila pertama dasar negara. Sebagai sosok nasionalis, Soekarno memiliki visi agar tamu-tamu kehormatan dari bangsa lain yang berkunjung ke Istana Negara melalui jalan protocol terlebih dahulu akan disuguhi dengan kebhinekaan Indonesia. Untuk tujuan tersebut Soekarno membangun Masjid Istiqlal sebagai symbol Islam, berdampingan dengan Gereja Katedral. Di sisi lain, Soekarno juga menyiapkan tempat Ibadah umat Buddha dan Hindu. Tanah untuk Vihara disiapkan di lokasi yang saat ini dijadikan sebagai Hotel Borobudur. Sedangkan Pura disiapkan di lokasi yang saat ini dijadikan kantor Kementrian Agama. Kegagalan pembangunan Vihara dan Pura yang berdekatakan dengan Istiqlal dan Katedral tentu bukan semata-mata karena Soekarno, tetapi karena tekanan politik yang luar biasa saat itu. Kita bisa membuka kembali buku sejarah bagaimana sulitnya Hindu dan Buddha dapat diakui menjadi agama resmi negara. Jadi dapat dibayangkan bagaimana sulitnya eksistensi agama-agama lokal lainnya yang memiliki komunitas yang lebih kecil. Sebagai seorang putra Bali yang masih memiliki pemahaman kuat akan ajaran leluhurnya, pada tahun 1955 Soekarno akhirnya mensayembarakan pembangunan Monumen Nasional (Monas) yang harus mengejawantahkan perwujudan Lingga Yoni. Sebagaimana kita ketahui, Lingga Yoni adalah symbol pemujaan yang sangat umum bagi masyarakat Indonesia, terutama yang beragama Hindu.
Sebagai orang Bantul yang sangat kental dengan budaya Jawa, presiden kedua Indonesia, Soeharto juga sangat dekat dengan agama leluhurnya. Soeharto terkenal acap kali melakukan laku spiritual kejawen. Jika anda pernah berkunjung ke Taman Mini Indonesia Indah (TMII), maka anda akan menemukan rumah ibadah khusus untuk penganut Kejawen. Seperti kita ketahui, TMII digagas oleh Ibu Tien Soeharto guna mengkristalisasi keanekaragaman budaya dan agama Indonesia. Keberadaan tempat ibadah Kejawen tersebut adalah bentuk pengakuan Soeharto terhadap adanya agama lain selain yang diakui resmi. Namun lagi-lagi sayangnya, seorang Seharto tetap tidak kuat menghadapi tekanan politik mayoritas sehingga dia pun tidak berdaya untuk memberikan kebebasan beragama yang berarti.
Secara mengejutkan, kebebasan beragama malah kembali diperjuangkan oleh seorang Presiden yang berasal dari partai berbasis agama, yaitu KH. Abdurrahman Wahid atau yang lebih dikenal dengan sebutan Gus Dur. Pada tahun 2000 Gus Dur memberikan pengakuan terhadap Kong Hu Cu sebagai agama resmi di Indonesia. Diakuinya Kong Hu Cu sebagai agama baru, membuat peta populasi penganut agama mulai bergeser. Pada awalnya, banyak umat Kong Hu Cu terpaksa menjadi Buddha, Kristen dan sebagian lagi menjadi Islam dan juga Hindu tetapi akibat pengakuan tersebut, akhirnya mereka memilih berbondong-bondong kembali ke Identitas sejati mereka. Tentu saja hal ini mengakibatkan dampak yang signifikan pada populasi penganut agama resmi. Sehingga tidaklah salah jika Ketua MPR, Zulkifli Hasan menyatakan bahwa penganut Islam Indonesia dari sensus sebelumnya sejumlah 95% menjadi turun menjadi kurang dari 85%. Tentunya penurunan yang serupa juga terjadi pada agama-agama resmi lainnya.
Sekarang coba bayangkan jika agama-agama lokal yang lain yang selama ini dianggap sebagai aliran kepercayaan yang jumlahnya tidak kurang dari 200 tersebut diakui sebagai agama resmi negara, apa yang akan terjadi? Kejadian yang sama seperti yang terjadi pada tahun 2000 akan terulang kembali. Seperti yang dikatakan Zulkifli Hasan, populasi umat Islam akan mencapai angka yang tidak lebih dari 70%. Karena itulah terjadi Tarik ulur yang luar biasa terhadap proses pengakuan terhadap agama-agama lokal tersebut.
Data Agama di KTP dan Perebutan Anggaran
Mungkin Anda akan bertanya, lalu apa masalahnya dengan penurunan jumlah pemeluk suatu agama dalam suatu sensus? Di banyak negara yang menjunjung kebebasan beragama seperti di Jepang, hal tersebut bukan masalah. Karena negara tidak pernah ambil pusing dengan keyakinan pribadi penduduknya. Tetapi di nagara yang menggunakan agama sebagai salah satu tool politik merupakan masalah yang sangat besar.
Dalam sebuah seminar International bertajuk “Technology and Public Policy”, dalam salah satu slide presentasi, saya menjabarkan persentase penggunaan APBN di Indonesia. Dalam slide tersebut dapat dilihat terhadap 10 lembaga/kementerian yang memiliki anggaran terbesar. Yang membuat para peserta Internasional terkejut, terutama orang Jepang adalah saat mengetahui bahwa setiap tahunnya Kementerian Agama tidak pernah lepas dari 5 lembaga yang menerima anggaran paling besar. Saking terkejutnya, sampai ada peserta yang berkomentar; “Apakah dengan anggaran Kementerian Agama yang begitu besar akan menjamin bahwa penduduk Indonesia akan masuk Surga?” Tentu saja mereka sangat heran karena seperti di Jepang khususnya, kebebasan beragama diwujudkan dengan tidak diperbolehkannya mengajarkan agama di sekolah-sekolah. Di sekolah para siswa diajarkan budi pekerti, disiplin dan sopan santun yang mengakar pada budaya Jepang tanpa ada unsur memasukkan ajaran apa pun termasuk Shintoisme dan Buddhisme yang merupakan akar budaya Jepang.
Lalu apa yang terjadi di Indonesia sehingga data populasi pemeluk agama di KTP menjadi sangat penting? Kementerian Agama dalam melaksanakan kegiatannya terbagi atas beberapa Direktorat Jenderal yang membawahi masing-masing agama resmi yang ada. Selanjutnya anggaran yang digelontorkan negara setiap tahunnya akan didasarkan pada persentase jumlah pemeluk masing-masing agama. Jadi bisa dibayangkan jika seandainya populasi suatu agama yang sebelumnya ter data 95% kemudian menjadi 60% akan kehilangan 35% anggaran. Menurut data tahun 2015, kementerian agama mendapatkan anggaran Rp. 56,2 Triliun, sehingga jika perubahan data seperti di atas terjadi maka potensi kehilangan anggaran akan menjadi Rp. 19,67 Triliun. Jumlah tersebut bukanlah jumlah yang sedikit bukan? Karena itulah data agama di KTP menjadi sangat seksi untuk diperebutkan dan bahkan berdasarkan beberapa laporan dimanipulasi sedemikian rupa.
Agama dan Politik
Pertanyaan selanjutnya, setelah mendapatkan jatah anggaran sedemikian besar, lalu buat apa? Kalau Anda orang yang terlalu berpikir lurus, mungkin hal ini menjadi tidak penting. Tetapi jika kita mau sedikit berpikir secara lebih asimetris, maka banyak hal-hal yang saling berkaitan dan berpengaruh secara dinamis.
Agama-agama lokal yang tidak diakui negara selama ini bernaung di bawah kementerian kebudayaan. Mereka diakui keberadaannya tetapi tidak pernah mendapat pembinaan sebagaimana halnya agama-agama yang diakui, terlebih-lebih yang mendapatkan anggaran mayoritas. Dengan perhitungan kasar di atas, andaikan saja penganut agama yang tidak resmi di Indonesia sekitar 35%, maka faktanya mereka seharusnya berhak atas dana Rp. 19,67 Triliun per tahun. Dana tersebut sangat besar jika mau digunakan untuk membangun tempat ibadah, membangun sarana pendidikan agama, sekolah berbasis agama dan sebagainya. Tetapi faktanya saat ini dana tersebut dinikmati oleh kelompok agama resmi yang celakanya penggunaannya digunakan untuk upaya konversi para generasi penerus agama lokal agar segera berganti jati diri menjadi agama mayoritas. Upaya konversi itu tampak semakin nyata akibat sulitnya pengurusan akta kelahiran, akta nikah dan bahkan penguburan di luar agama resmi. Tekanan yang lebih kelihatan adalah dengan adanya kewajiban nilai pelajaran agama di Sekolah, maka mereka yang merupakan kelompok di luar agama resmi harus merelakan anak-anak mereka belajar agama lain demi bisa lulus sekolah formal. Seperti kita ketahui, masa-masa keemasan untuk dapat mencuci otak manusia adalah pada saat mereka TK sampai SMA. Dapat dibayangkan jika mereka dipaksa dicekoki dengan ajaran agama lain pada masa-masa tersebut, maka kemungkinan dia tetap dapat mewarisi ajaran leluhurnya akan sangat kecil. Sehingga jangan heran jika kita melihat lini masa yang memperlihatkan potret perubahan wajah penduduk nusantara terjadi seperti deret hitung yang berubah secara sporadis dari masyarakat yang kaya tradisi dari sabang sampai Indonesia menjadi masyarakat yang berwajah sama dengan Jilbab dan Jubah gaya Arabnya.
Lalu apa untungnya mengonversi agama orang? Agama merupakan basic value of belief yang sangat sulit dikur tetapi akan sangat berpengaruh pada artifak-artifak yang akan ditampilkan di permukaan. Dengan nilai-nilai kepercayaan yang sama, maka orang tersebut akan lebih mudah digerakkan untuk tujuan-tujuan tertentu. Penggunaan agama untuk tujuan politik bukanlah hal baru seperti yang sudah sukses diterapkan di pilkada Jakarta tahun lalu. Agama sebagai alat politik sudah terjadi sejak jaman dulu kala di seluruh belahan dunia. Di Jepang misalnya, pada jaman dahulu Shogun menjadi sangat berkuasa dengan menggunakan Shintoism sebagai alat politiknya. Keluarga Shogun dikatakan sebagai keturunan langsung Amatiresu, atau Matahari sehingga harus dihormati dan kekuasaannya tidak boleh digoyahkan. Karena itu pernah suatu masa di mana masuknya ajaran Buddha ke Jepang dianggap sebagai ancaman sehingga keberadaannya sangat dibatasi. Namun karena perkembangan masyarakat Jepang yang semakin modern dan semakin logis, akhirnya tidak dapat dielakkan sehingga saat ini Kekaisaran hanya dipandang sebagai simbol dan bukan pemegang kekuasaan mutlak.
Akibat masyarakat Indonesia yang memang masih sangat “agamis” dan sering kali kurang logis, menyebabkan isu agama menjadi sangat mudah untuk dieksploitasi guna kepentingan politik. Padahal tokoh politik yang mereka dukung akibat kesamaan agama, belum tentu memperjuangkan kepentingan mereka.
Agama sebagai alat Penjajahan dan Perang Modern
Penjajahan pada jaman dahulu diwujudkan dengan penguasaan atas lahan dan perbudakan. Agar para rakyat dapat dikuasai tanpa ada perlawanan berarti, maka sudah merupakan hal lumrah jika pada saat terjadi perluasan kekuasaan, maka sang penguasa juga akan berusaha mengubah agama rakyatnya. Seiring dengan perubahan jaman, penjajahan tidak lagi hanya sebatas penjajahan dan perang fisik yang melibatkan kontak senjata, tetapi mengarah pada hal yang semakin tidak kasat mata.
Penjajahan Ekonomi merupakan bentuk penjajahan yang sangat kentara pada pertengahan abad ke-20. Penjajahan tidak lagi diperlihatkan dengan sikap invasi militer yang ditujukan untuk menghancurkan dan menguasai negara lain, tetapi dengan cara penguasaan terhadap sistem perekonomian. Pasca kekalahan pada perang dunia kedua, kekuatan militer Jepang dilucuti sedemikian rupa sehingga mereka hanya memiliki personel militer terbatas yang hanya bertujuan untuk bela diri. Tetapi dengan jiwa Bushido yang mereka miliki, mereka melebarkan sayap dan kembali menjajah negara lain termasuk Amerika sendiri dengan cara yang berbeda. Pemangkasan anggaran militer memberikan mereka kesempatan untuk mengembangkan industri dan teknologinya. Perkembangan industri dan teknologi yang pesat juga telah didukung akibat sikap kerja samanya dengan Amerika yang telah menaklukkannya. Industri Jepang memberikan dukungan terhadap sistem logistik tentara Amerika yang saat itu berperang di semenanjung Korea dan juga Vietnam. Lalu apa yang didapatkan Jepang? Kekuasaan? Bukan, Jepang berhasil menguasai aspek ekonomi. Bahkan secara cepat gurita bisnis Jepang melebarkan sayap ke Amerika dengan ditandai masuknya produk otomotif dan elektronik Jepang. Inilah yang disebut sebagai perang dan penjajahan ekonomi.
Perang selanjutnya adalah perang proxy, atau perang yang dilakukan dengan memanfaatkan pihak lain. Perang proxy yang sangat terkenal dan masih bisa diamati sampai saat ini adalah seperti apa yang terjadi di Timur Tengah. Organisasi Taliban tidak muncul begitu saja. Organisasi tersebut pertama-tama dibentuk oleh Central Intelligent Agency (CIA) milik Amerika Serikat. Taliban dibentuk oleh CIA dengan tujuan membendung pengaruh Rusia di Timur Tengah. Kenapa Amerika Serikat dan Rusia memiliki kepentingan di Timur Tengah? Karena Timur Tengah menyimpan ladang minyak yang sangat besar dan juga merupakan market yang cukup strategis. Di satu sisi, saat Taliban makin kuat dan CIA tidak lagi sanggup mengendalikannya, Taliban malahan menjadi salah satu musuh bagi Amerika Serikat. Di sisi lain Taliban juga telah sukses menginduksi munculnya organisasi-organisasi militan lain di Timur Tengah. Tetapi jangan lupa, bahwa peperangan yang terjadi di Timur Tengah tidak selamanya merugikan. Peperangan tidak akan dapat terjadi tanpa logistic persenjataan yang kuat. Pertanyaannya, apakah pihak-pihak yang berseteru di Timur Tengah memiliki pabrik senjata? Tidak. Senjata-senjata tersebut disuplay dari Rusia dan juga dari Amerika Serikat. Sehingga dengan demikian terjadi perdagangan senjata dengan nilai yang sangat fantastis. Sehingga dari sini kita lihat, ujung dari proxy war yang sebenarnya terjadi antara blok komunis dengan sekuler pada akhirnya menguntungkan kedua belah pihak salah satunya dari aspek ekonomi dengan penjualan senjata.
Akibat boomingnya penggunaan internet, perang berikutnya adalah perang cyber. Sehingga jangan heran jika banyak negara sudah memiliki tentara khusus yang ditugaskan dalam bidang cyber. Saat berkunjung ke Naval Post Graduated School, California saya berkesempatan melihat demo bagaimana tentara cyber melakukan penyerangan terhadap fasilitas nuklir dan berpotensi menghancurkannya. Tujuan dari perang cyber bukan pada cyber itu sendiri, tetapi bagaimana mencapai tujuan dari cyber tersebut. Partai-partai dan kelompok tertentu di Indonesia juga bahkan saat ini sudah melengkapi diri dengan tentara cyber yang bertujuan menyebarkan informasi tertentu yang rata-rata tujuannya menyudutkan pihak lain dan memuluskan keuntungan kelompoknya. Meskipun hal tersebut mereka lakukan dengan membangun opini melalui informasi hoax.
Yang terakhir dan yang paling berbahaya adalah perang agama. Perang agama di sini bukan seperti perang antara pasukan Salib dan pasukan Islam yang terjadi pada abad pertengahan. Perang agama yang saya maksud adalah bagaimana membuat suatu bangsa menjadi bangsa inlander dengan meniadakan jati dirinya. Inilah yang saya rasakan sedang terjadi di Indonesia saat ini. Ada sekelompok orang yang sedang berusaha menghilangkan identitas Indonesia dengan tujuan lain agar Indonesia memiliki identitas seperti yang kelompok tersebut inginkan sehingga akan lebih mudah untuk digerakkan untuk tujuan-tujuan tertentu mereka. Sekarang coba tanya diri Anda sendiri, apakah Anda bangga dengan agama Anda atau budaya Anda? Sebagian besar orang Bali yang saya tanya meletakkan kebanggaan budayanya di atas agamanya. Tetapi di sisi lain seperti di Jawa dan Sunda, identitas agama menjadi lebih penting dari pada identitas budayanya. Meski beberapa orang Bali yang sudah pindah agama menyatakan budaya Bali sebagai identitasnya, tetapi kembali lagi ke teori budaya, di mana agama adalah basic value-nya, maka hanya dalam hitungan 1-2 generasi identitas budaya mereka juga akan berubah. Lalu apa implikasi dari hal tersebut? Mereka akan tercabut dari akar budayanya dan lebih membanggakan agamanya. Akibatnya, mereka yang beragama Islam mungkin akan merasa lebih dekat dengan bangsa Arab dan akan bangga dengan darah Arab. Mereka yang Katolik lebih condong ke Vatikan. Beberapa yang Hindu juga mungkin merasa punya kedekatan dengan India. Andaikan Arab, Vatikan dan India berperang, akankah penduduk Indonesia yang sudah tidak punya akar budaya ikut berperang membela junjungannya? Jika hal itu terjadi, maka penjajahan dengan media agama berarti sudah sukses.
Dengan tidak punya identitas sebagai suatu bangsa sendiri akibat hilangnya akar budaya bangsa, maka bangsa ini akan terombang-ambing tanpa arah dan lebih mudah dikendalikan oleh bangsa lain. Karena itulah saya sangat mendukung kebebasan beragama di Indonesia dengan mensyaratkan bangkitnya agama-agama lokal seperti Kejawen, Sapto Darmo, Merapu, Sunda Wiwitan dan banyak lagi lainnya. Dengan bangkitnya mereka, dengan terjaganya budaya masing-masing suku maka jati diri Indonesia sebagai sebuah bangsa yang ber-behineka tunggal ika akan terbangun. Hanya dengan memiliki fondasi jati diri itu bangsa ini akan menjadi kuat. Bukan dengan menjadi budak Arab, budak Eropa, India atau lainnya. Ambillah ajaran yang baik dari kebudayaan orang, tetapi tidak menghancurkan budaya bangsa sendiri.
Recent Comments