Penistaan Agama Menjerat Ahok
Tanggal 27 September 2016 mungkin merupakan hari yang apses untuk orang nomor 1 DKI, Basuki Cahya Purnama atau yang akrab disebut Ahok. Pada waktu itu adalah waktu kunjungan kerja Ahok ke Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu dalam rangka meninjau program budi daya ikan kerapu. Pada saat pidato tersebut, pak Ahok menyampaikan bahwa program budi daya tersebut akan tetap berlanjut meski beliau tidak terpilih lagi pada pilkada Februari 2017.
“Kan bisa saja dalam hati kecil Bapak Ibu, nggak pilih saya karena dibohongi pakai Surat Al Maidah 51 macam-macam itu. Itu hak Bapak Ibu. Kalau Bapak Ibu merasa nggak bisa pilih karena takut masuk neraka, dibodohin, begitu, oh nggak apa-apa, karena ini panggilan pribadi Bapak Ibu,” katanya. “Program ini jalan saja. Jadi Bapak Ibu nggak usah merasa nggak enak karena nuraninya nggak bisa pilih Ahok,” tambahnya.
Pada tanggal 6 Oktober 2016, Buni Yani mengunggah Video pidato Ahok yang berisi penggalan perkataan tersebut di atas dengan memberi judul “Penistaan Agama?” dan juga mentranskrip perkataan Ahok namun dengan menghilangkan kata “pakai”. Sehingga penggalan kalimat yang seharusnya “Kan bisa saja dalam hati kecil Bapak Ibu, nggak pilih saya karena dibohongi pakai Surat Al Maidah 51 macam-macam itu” berubah menjadi “Kan bisa saja dalam hati kecil Bapak Ibu, nggak pilih saya karena dibohongi Surat Al Maidah 51 macam-macam itu”.
Postingan Buni Yani tersebut menyebar secara cepat di internet dan akhirnya mengarahkan pada upaya penjeblosan Ahok ke penjara. Upaya pelaporan kasus dugaan penistaan agama yang menjerat Ahok pertama kali dilakukan oleh Front Pembela Islam (FPI) dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sumatera Selatan. Pelaporan tersebut selanjutnya juga diikuti oleh beberapa pelaporan yang dilakukan oleh organisasi lainnya di beberapa daerah.
Untuk meredam berita yang semakin simpangsiur dan massa umat Islam yang semakin memanas, pada tanggal 10 Oktober 2016 Ahok menyampaikan permintaan maaf secara terbuka kepada seluruh umat Islam dan juga mengatakan bahwa apa yang dia sampaikan tidak dimaksudkan untuk menistakan Islam. Bahkan pada tanggal 24 Oktober 2016, Ahok juga mendatangi Mabes Polri untuk mengklarifikasi pernyataannya di kepulauan Seribu. Hanya saja, apa boleh dikata, bak terorganisir, pada tanggal 14 Oktober dan 4 November ribuan orang dari beberapa organisasi Islam berunjuk rasa menuntut agar Ahok dipidanakan dan dipenjarakan. Unjuk rasa tersebut bahkan juga diikuti oleh para politikus nasional, seperti Fahmi Hamzah dan Fadli Zon.
Kasus Penistaan Berbau Politis
Terlepas dari bagaimana para penegak hukum menginterpretasikan ayat-ayat KUHP dan mengaitkannya dengan kasus penuduhan penistaan agama tersebut, sebagai lulusan master dalam bidang pertahanan saya dapat membaca trik-trik politik di balik kasus yang ditujukan pada Ahok. Bahkan saya sangat yakin, masyarakat awam pun pastinya dapat memahami motif dibalik kejadian ini secara gamblang.
Ahok adalah tokoh yang fenomenal. Sebagai seorang Kristen yang minoritas di negeri mayoritas Islam ini, beliau terbukti mendapat tempat khusus di hati masyarakat Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan terpilihnya beliau sebagai Bupati Bangka Belitung dan juga terakhir bersama-sama Jokowi terpilih sebagai wakil gubernur DKI. Upaya pemberhangusan Ahok agar tidak semakin muncul ke permukaan sudah terjadi beberapa kali, salah satunya adalah upaya menjadikannya tersangka kasus pembelian tanah Rumah Sakit Sumber Waras. Sayangnya pada kasus tersebut, Ahok tidak berhasil diseret menjadi tersangka kasus korupsi.
Akhir tahun 2016 adalah momentum pertarungan para politikus yang sangat menentukan karena beberapa bulan setelah itu, tepatnya Februari 2017 akan diadakan pemilihan pimpinan serentak di beberapa daerah. Dan seperti kita ketahui, Ahok merupakan salah satu kandidat dari 3 pasang kandidat yang terdaftar sebagai calon gubernur dan wakil gubernur DKI. Pertarungan pilkada DKI menjadi sangat istimewa, karena pada dasarnya DKI merupakan miniatur dari Indonesia. DKI dapat menjadi barometer dan batu loncatan seorang tokoh politik sebelum diorbitkan ke tingkat nasional sebagai seorang calon presiden dan/atau calon wakil presiden. Oleh karena itu, penting untuk dapat memenangkan pertarungan pilkada DKI jika ingin eksis di tingkat nasional.
Untuk dapat memenangkan pertarungan politik, hanya ada 2 cara, yaitu jadikan dia sebagai kawan atau hancurkan sebagai lawan. Menjadikan Ahok sebagai koalisi sudah tidak mungkin bagi 2 kandidat yang lain karena sudah jelas-jelas pada event tersebut mereka harus sama-sama berjuang merebut simpati rakyat agar dapat memberikan suaranya. Jadi, jalan yang ditempuh haruslah dengan “menghancurkannya”. Pertarungan politik, bukanlah peperangan fisik, sehingga makna menghancurkan di sini sudah pasti bukan membunuh. Cara menghancurkan lawan politik tentu saja dapat dilakukan dengan berberapa cara, yaitu mengupayakan agar lawan politiknya dapat mundur atau gagal secara hukum untuk mengikuti pertarungan pilkada, dan/atau menurunkan elektabilitasnya sehingga suara dari pada pendukungnya dan juga terutama dari swing voter dapat berpindah. Sebagai satu-satunya kandidat non-muslim yang bertarung di wilayah mayoritas muslim, maka salah satu jalan termudah untuk menjatuhkan Ahok adalah dengan isu Suku, Agama, Ras dan Golongan (SARA). Kebetulan sekali Ahok memenuhi semua unsur SARA ini. Ahok adalah seorang Kristen keturunan Tionghoa, seorang minoritas di kalangan para minoritas. Kasus Al Maidah 51 merupakan peluang emas bagi para lawan politiknya untuk menjegal langkah Ahok menjadi tokoh Nasional. Skenario pertama yang harus diusahakan adalah menjadikan Ahok sebagai tersangka dan kemudian terpidana yang berkekuatan hukum tetap. Jika Ahok menjadi terpidana kasus penistaan agama, maka otomatis dia batal secara hukum untuk dapat bertarung di pilkada DKI. Jika sekenario tersebut sukses, maka setidaknya 1 pasang lawan politik dapat dilenyapkan. Padahal seperti kita ketahui, Ahok memiliki elektabilitas yang paling tinggi diantara 2 kandidat lainnya akibat ketegasan dan kesuksesannya dalam memimpin Jakarta beberapa tahun terakhir. Namun dari serangkaian persidangan kasus penistaan agama yang sedang dijalaninya, sepertinya kecil kemungkinan Ahok akan sudah divonis bersalah dan dihukum dengan berkekuatan tetap dalam waktu dekat ini, padakah pilkada sudah tinggal beberapa minggu lagi. Namun demikian, bukan berarti upaya ini gagal, kegagalan skenario pertama, setidaknya dapat berlanjut ke skenario kedua. Skenario kedua adalah menurutkan elektabilitas Ahok menjadi serendah mungkin. Seperti kita ketahui, sebelum diangkatnya isu penistaan agama, elektibilitas Ahok bahkan menyentuh di atas 50% yang artinya Ahok berpeluang memenangkan pilkada hanya dengan 1 putaran. Setelah kasus penistaan yang menimpannya, saat ini elektabilitas Ahok jatuh melorot ke kisaran angka 30-an%. Tentunya lawan politiknya masih akan mengupayakan berbagai upaya agar elektabilitasnya semakin turun. Namun meskipun tidak sukses membuatnya lebih rendah lagi, setidaknya probabilitas pilkada 2 putaran sudah di depan mata. Sehingga yang harus diperjuangkan hanyalah memastikan bahwa lawan politik Ahok yang menyiapkan skenario tersebut di atas juga bisa masuk ke putaran kedua. Dan jika itu terjadi, berupaya keras menggalang suara dari pendukung lawan politik yang kalah sehingga pada putaran kedua mendapatkan suara tertinggi.
Dalam hal ini tentu saja kita tidak akan membahas lebih lanjut siapa lawan dari Ahok dan bagaimana strategi detailnya. Namun mari kita lebih fokus pada penistaan agama itu sendiri.
Penistaan Agama?
Seorang senior saya dan saat ini menjabat di salah satu instansi pemerintahan berkata; “Tidak masalah menistakan agama, yang tidak boleh dinistakan adalah manusia”. Senior tersebut adalah seorang kutu buku lulusan pesantren dan sekaligus menyandang gelar master dari universitas ternama. Uniknya, dari berbagai literatur yang telah dibacanya, ternyata dia memiliki pemahaman yang luas dan mendalam akan berbagai ajaran agama yang ada. Dari pemahamannya tersebut, bahkan dengan tegas dia mengatakan bahwa dia adalah seorang mantan Islam yang menganut filsafat Buddha, meskipun karena beberapa alasan di KTP-nya sendiri masih tertulis Islam. Sekarang kita tidak akan membicarakan latar belakang dan sosok personal senior saya tersebut di atas, tetapi mengenai bagaimana dia bisa menyampaikan bahwa agama pada dasarnya boleh dinistakan.
Jika Anda adalah seorang akademisi, atau peneliti, maka Anda pasti paham bahwasanya setiap kegiatan ilmiah yang Anda kerjakan perlu dipublikasikan secara luas. Publikasi kegiatan ilmiah tersebut tidak hanya sebatas untuk mendapatkan poin dan koin, sebagaimana sistem yang berlaku di Indonesia. Publikasi ilmiah adalah sebuah langkah agar kegiatan ilmiah yang dilakukannya dapat dibaca oleh orang banyak, mendapat pengakuan akan kebenarannya atau bahkan mendapat bantahan, koreksi dan bahkan “dicampakkan” secara ilmiah. Kenapa? Karena ilmu pengetahuan, hasil penelitian dan teori-teori yang menyertainya tidaklah statis. Ilmu pengetahuan selalu berkembang seiring dengan perkembangan peradaban manusia. Sebagai sebuah gagasan, ilmu pengetahuan bersifat terbuka untuk dikritisi, direvisi dan disempurnakan sehingga semakin baik dari waktu ke waktu. Sehingga jangan heran jika dalam dunia akademis, tidak jarang teori yang sudah dianggap establish setelah sekian lama dibantahkan dengan teori baru berdasarkan bukti-bukti hasil penelitian baru yang lebih valid.
Sebagaimana halnya ilmu pengetahuan, agama pada dasarnya adalah gagasan. Agama memberikan kita pemahaman mengenai berbagai hal, termasuk kehidupan setelah kematian, konsep ketuhanan, konsep kehidupan dan sampai kepada hukum-hukum kehidupan sehari-hari, baik yang nyata bisa dibuktikan kebenarannya maupun yang tidak. Sebagai sebuah gagasan, tidak ada agama yang jatuh dari langit, dalam artian Tuhan memberikan kitab suci dengan tulisan ayat-ayatnya secara langsung kepada para nabinya. Semua kitab suci ditulis oleh manusia itu sendiri berdasarkan pengakuan wahyu yang diterima oleh nabinya. Bahkan dalam banyak kasus, yang menulis kitab suci itu sendiri bukanlah nabi penerima wahyu, tetapi para pengikutnya. Dan harus diakui, tidak jarang dari berbagai kumpulan tulisan tersebut juga ditemukan pertentangan di dalamnya sehingga akhirnya perlu diselaraskan. Seperti misalnya dalam ajaran kekristenan, setidaknya saat ini dikenal 2 jenis kitab yang diakui secara luas, yaitu perjanjian lama dan perjanjian baru. Perjanjian lama kurang lebih berisi ajaran-ajaran yang mirip dengan kitab suci Yahudi, Taurat. Sedangkan perjanjian baru berisi kumpulan naskah-naskah yang dikumpulkan dari 27 kitab dan secara otoritatif disahkan dalam Konsili Quinisextum pada tahun 692. Namun belakangan ternyata ditemukan beberapa bukti kitab peninggalan sejarah yang terkait dengan ajaran Yesus yang cukup kontroversial seperti misalnya Injil Barnabas. Demikian juga dalam ajaran Islam, Al-Quran tidak dituliskan langsung sedemikian rupa pada jaman Nabi Muhammad. Proses penulisan Al-Quran melalui beberapa periode, mulai dari jaman Nabi Muhammad itu sendiri, masa Khulafaur Rasyidin, masa Abu Bakar dan terakhir distandardisasi pada masa Utsman bin Affan. Kitab suci Hindu, Veda juga demikian. Sebelum Jaman Maha Rsi Vyasa, ajaran Veda tersebar secara oral melalui ajaran para Rsi-Rsi suci melalui garis parampara (perguruan)-nya. Karena Maha Rsi Vyasa merasa bahwa ingatan manusia pada Kali Yuga akan semakin berkurang, maka sekitar 5000 tahun yang lalu semua ajaran-ajaran tersebut dikodifikasi menjadi sekian banyak kumpulan naskah/kitab suci yang selanjutnya disebut sebagai Veda. Demikian juga dengan kitab-kitab suci agama-agama lainnya tidak ada yang dapat dikatakan “jatuh dari langit”.
Sayangnya, meski merupakan sebuah gagasan yang sebagian ajarannya belum terbukti kebenarannya, sebagian agama bersifat tertutup sehingga tidak boleh diuji. Kasus Galileo Galilei, seorang astronom hebat dijamannya adalah contoh nyata kasus nyata pengungkapan kebenaran yang menimbulkan penolakan luar biasa dari para tokoh agama tertutup. Akibat pandangannya yang mendukung Copernicus dengan menyatakan bahwa peredaran bumi adalah bulat mengelilingi matahari dan matahari sebagai sistem tata surya, akhirnya dia harus menghadapi pengadilan gereja Italia tanggal 22 Juni 1633 karena dianggap menistakan agama. Galileo mendapat hukuman pengucilan sampai akhirnya meninggal akibat pandangan yang sangat bertentangan dengan keyakinan Gereja yang menyatakan bahwa pusat tata surya adalah Bumi, bukan Matahari.
Sampai saat ini, kata “penistaan agama” tetap digunakan di negara-negara berbasis agama terutama di Timur Tengah. Pasal penistaan agama sangat ampuh untuk membungkam kebebasan berpikir dan berpendapat. Kenapa hal ini perlu dibungkam? Jawabannya tentu agar tidak ada upaya mengkritisi ajaran agama tersebut, apa lagi membuktikan bahwa konsep-konsep gagasan yang disampaikannya keliru. Jika hal ini terjadi, maka agama tersebut otomatis runtuh dan berpotensi mengakibatkan kehilangan pengikut. Padahal di satu sisi, agama sangat ampuh untuk dijadikan alat politik kekuasaan. Melalui doktrin agama, penguasa lebih mudah menggerakkan umat manusia untuk berbuat/tidak berbuat sesuatu.
Bagaimana Hindu Memandang Kasus Penistaan Agama?
Hindu bukan agama tertutup. Filsafat Hindu sangat terbuka untuk diuji. Karena itu, salah satu sloka Veda menyatakan; “meski 1000 Veda menyatakan bahwa api itu dingin, maka jangan lah kamu percayai”. Lebih lanjut, Sri Sankaracharya bahkan menegaskan bahwa jika Veda menyatakan bahwa api itu dingin, maka taruhlah Veda itu ke dalam api. Lalu apa maksud dari sloka dan pernyataan acharya besar Hindu tersebut?
Ajaran Hindu (tepatnya Sanatana Dharma) telah mengalami pengujian setidaknya sejak agama baru saingan pertamanya muncul, yaitu dengan lahirnya Sidharta Gautama yang selanjutnya dikenal dengan sebutan Sang Buddha. Sang Buddha memiliki gagasan filsafatnya sendiri yang dengan tegas menolak supremasi dari para Brahmana pada waktu itu. Sang Buddha dengan tegas menolak beberapa hal di ajaran Hindu yang menurut sang Buddha telah disimpangkan, mulai dari kasus penyimpangan sistem varna menjadi kasta, pengorbanan binatang, dan sampai pada hal yang paling esensial, yaitu pandangan ketuhanan. Sang Buddha tidak secara gamblang menyatakan bahwa Tuhan itu ada. Bahkan seolah-olah Buddha membawa paham atheistik. Sehingga jangan heran jika penganut ajaran Buddha saat ini sebagian besar juga tidak akan melihat bahwa sosok Tuhan itu ada, walaupun mereka akan mengatakan bahwa konsep mereka adalah ketuhanan yang tidak berwujud. Setelah masa sang Buddha, muncul lagi konsep filosofi lain yang baru, mulai dari Jaina, Carvaka, Sikh dan seterusnya. Namun demikian, tidak ada sejarah yang menyatakan bawah penganut Sanatana Dharma (Hindu) melakukan unjuk rasa atau mengajukan mereka yang memiliki paham dan pandangan yang berbeda yang menyatakan “kebenaran” yang diyakini saat itu salah sebagai suatu yang sesat. Tidak ada kasus mereka diajukan ke pengadilan atau dihukum oleh raja. Yang ada adalah adu argumen dan filsafat baik yang dilakukan tertutup maupun terbuka di khalayak umum. Biasanya, mereka yang kalah debat akan mengabdi sebagai murid mereka yang menang debat. Sehingga dengan demikian, masyarakat awam juga akan mengikuti mereka yang dianggap lebih paham tentang filosofi tersebut.
Pada jaman penjajahan kerajaan Mogul ke India, kasus penghancuran Hindu dengan kekerasan semakin menjadi-jadi. Banyak para Brahmana yang dipenggal, banyak tempat suci dihancurkan dan bahkan kuil Hindu untuk memuja Siva terbesar, Tejohimalaya diubah menjadi kuburan yang saat ini dikenal dengan sebutan Taj Mahal. Namun demikian, meski India dikuasai oleh raja muslim, diskusi dan debat terbuka masih tetap berlangsung. Salah satu cerita fenomenal mengenai debat tersebut berlangsung tahun 1486 antara Chan Kazi atau Maulana Sirajuddin dan filsuf besar dari Gaudya Vaisnava, yaitu Sri Chaitanya Maha Prabhu. Pada saat itu dikatakan bahwa Pemerintah Muslim melarang berbagai kegiatan keagamaan yang dilakukan oleh para vaisnava, terutama kirtana-kirtana terbuka yang dilakukan di jalan-jalan. Sri Chaitanya Mahaprabhu akhirnya mendatangi kediaman Chan Kazi dan melakukan debat terbuka di sana. Secara sangat piawai, Sri Chaitanya Mahaprabhu mengutip banyak ayat-ayat Al-Quaran dan membuat Chan Kazi bertekuk lutut.
Kasus pemlintiran ajaran Hindu malah terjadi besar-besaran di Nusantara. Walisongo secara sangat piawai banyak menggubah kisah-kisah itiasa, terutama Ramayana dan Mahabharata, terutama yang dilakukan oleh Sunan Kali Jaga. Sunan Kali Jaga memelintir kisah-kisah pementasan wayang bertajuk 2 kitab suci Hindu tersebut di atas dengan mengubah lakonnya dan memasukkan unsur-unsur Islam ke dalamnya. Padahal tahukah mereka kalau yang mereka lakukan adalah memelintir ajaran Hindu yang bersumber dari kitab suci Veda sendiri? Bahkan di jaman modern ini juga terjadi “penistaan” masif terhadap Hindu melalui berbagai lambang-lambangnya. Misalnya tari bali yang sejatinya adalah untuk sarana pemujaan terhadap Tuhan, seperti misalnya tari panyembrama, pendet dan sejenisnya malah ditarikan di masjid dengan menggunakan kerudung. Padmasana sebagai sarana pemujaan umat Hindu Bali dimodifikasi menjadi tempat pemujaan umat Katolik. Beberapa gereja bahkan dibangun sangat mirip dengan arsitektur pura. Padahal, keberadaan pura tidak lepas dari filosofi yang tertuang dalam ajaran Veda.
Lalu kenapa umat Hindu tidak beringas seperti kasus yang menimpa Ahok? Kembali lagi ke dasar pemikiran sebelumnya, Hindu adalah agama yang terbuka, yang siap dikritik dari segala sisi dan lebih mengedepankan adu otak dari pada otot. Dalam kasus seperti Ahok, ujung-ujungnya kita akan melihat kejadian tersebut persis seperti kisah Bharata Yudha. Pada saat itulah kita akan dapat melihat antara dharma dan adharma mengumpul pada dua kubu yang sangat kontras. Mereka yang adharma akan memperlihatkan diri dengan gerakan-gerakan yang lebih mengedepankan massa dan cenderung anarkis.
Sebagai umat Hindu, menghadapi hal ini tentunya kita tidak boleh tinggal diam berpangku tangan. Karena nusantara ini semakin hancur, bukan karena para fundamentalis lebih banyak, tetapi karena orang-orang baiknya yang sebenarnya masih mayoritas cenderung memilih untuk diam. Sebagaimana dikatakan oleh Arya Weda Karna dalam dharma wacana di Parahyangan Jagad Guru, BSD, Serpong. Pada dasarnya kita harus bangga karena meski jumlah Hindu di Indonesia hanya sekitar 10 juta orang (meski di BPS hanya ditulis 5 jutaan orang, karena adanya politik pembagian kue anggaran departemen agama), namun sejatinya Hindu adalah perekat Pancasila dan Kebinekaan. Indonesia tetap menjadi NKRI karena terdapat beberapa daerah yang menghalanginya untuk berubah menjadi negara agama, yaitu salah satunya Bali. Karena itulah kaum fundamentalis memiliki kepentingan besar untuk menghancurkan Bali dan beberapa daerah lainnya yang menolak syariah dengan berbagai cara, baik dengan halus mau pun kekerasan.
Singkat cerita, intinya Hindu tidak mengenal konsep penistaan terhadap agama. Ayat penistaan agama hanyalah upaya politik agar keborokan-keborokan gagasan suatu agama tidak terungkap. Pada akhirnya, saya pribadi yakin bahwasanya ajaran yang akan tetap bisa bertahan hanyalah ajaran terbuka yang dewasa untuk dikritik oleh siapapun.
Om tat Sat.
Bagiku sih, syarat untuk menganut suatu agama itu juga harus cerdas, kalau cuma setengah2 atau baru secuil dalam memahaminya, jadi mudah dihasut. Secara logika sih, ucapannya si Ahok itu tidak ada unsur penistaan. Bahkan tidak ada rasa tersinggung saat menonton videonya. Anehnya masih banyak yg terpengaruh dan tertutup nuraninya sampai sekarang saya komen ini. Dengan menjadi cerdas, kita juga bisa tahu, mana ulama yang benar dan mana yang tidak benar. Mana yang kasar seperti si pelarian ke arab itu, mana yang benar2 mengikuti jalan nabi Muhammad yang tulus dan penyabar.
Salut saya..🙏 Tulisan yg bagus.. Mudah dimengerti, berkelas, menjadikan kita berpikir lebih rasional tentang agama..