Setelah membaca artikel-artikel tentang berbagai ramalan dalam Weda dalam newsleter Sanatana Dharma ini, beberapa pembaca sempat menyampaikan pertanyaan kritis kepada tim redaksi. Pertanyaan itu menyangkut referensi atau buku acuan yang kami gunakan, yaitu kitab-kitab Purana, Upanisad, dan Itihasa. Dalam hampir semua tulisan, kami mengutip ayat-ayat kitab Bhagavata Purana dan Bhagavad-gita guna mendukung dan memperkuat gagasan-gagasan yang kami munculkan. Pertanyaan mereka masalahnya, bukankah sebagai umat Hindu kita telah fasih dan tanpa beban menyebut semua kisah dalam kitab-kitab Purana, Upanisad, dan Itihasa itu adalah semata-mata sebuah mitologi? Tidakkah itu berarti umat Hindu mendasarkan ajaran agamanya hanya pada mitos atau dongeng yang kebenarannya masih perlu diragukan?
Ambillah contoh kitab Bhagavad-gita. Bhagavad-gita memuat wejangan rohani yang disampaikan oleh Sri Krishna kepada Arjuna menjelang berlangsungnya perang Bharata Yudha, yang konon terjadi sekitar lima ribu tahun yang lalu. Kita semua tahu bahwa Bhagavad-gita sebenarnya adalah bagian dari Bhisma Parwa, salah satu diantara 18 Parwa kitab Mahabharata. Sri Krishna, Arjuna, beserta para Pandawa adalah tokoh-tokoh utama dalam kisah Mahabharata. Tetapi dalam anggapan sebagian besar masyarakat Hindu sekalipun, Mahabharata tidak lebih daripada sekedar sebuah epos, cerita kepahlawanan yang dikarang oleh Rsi Vyasa. Ketika kita jelaskan bahwa tempat-tempat yang disebutkan dalam kitab Mahabharata saat ini masih bisa kita telusuri lokasinya, orang masih akan menyangkal dan meragukan penjelasan itu. Menurut mereka, Rsi Vyasa terinspirasi oleh nama-nama tempat itu, lantas mengarang cerita fiksi, yang mengambil nama-nama seperti Hastinapura (sekarang New Delhi), Dwaraka, dan lain-lain sebagai latar atau setting terjadinya kisah dalam Mahabharata.
Recent Comments