Warning: Tulisan ini dibuat hanya sebagai produk sampingan analisis permasalahan lain dalam topik yang berbeda. Tulisan ini hanya “Mind Jumping” penulis yang tidak terstruktur dengan baik sehingga mungkin tidak enak dibaca. Pembaca juga tidak boleh mempercayai tulisan ini secara langsung, tetapi diharapkan pembaca mencari informasi dan data-data lain demi validasi 😀
Indonesia terancam
Indonesia adalah suatu bangsa yang dibentuk, bukan bangsa yang terbentuk secara alami. Dalam artian Indonesia terlahir karena kesepakatan sekumpulan suku, ras dan agama yang berbeda untuk menyatukan diri karena merasa senasib dan sepenanggungan serta memiliki tujuan yang sama. Indonesia tidak seperti Jepang yang terdiri dari bangsa Jepang yang identik secara ras, genetika dan bahasa. Indonesia juga tidak seperti China, Arab Saudi, Mongol dan berbagai jenis negara lainnya. Dalam hal ini Indonesia lebih memiliki kedekatan seperti Amerika Serikat, ataupun Singapura yang juga dibentuk atas dasar kesepakatan.
Sebagai negara yang dibentuk karena kesepakatan, pada dasarnya pondasi dari kekuatan Indonesia juga terletak dari kesepakatan tersebut. Indonesia hanya akan tetap ada jika semua elemen pembentuk bangsa masih memiliki cita-cita bersama dan masih menyadari kebhinekaannya. Tanpa kesadaran akan semua ini, maka terwujudnya cita-cita bangsa tidak mungkin tercapai. Bahkan keutuhan bangsa pun terancam tinggal sejarah.
Ancaman-ancaman terhadap keberadaan bangsa Indonesia sudah muncul bahkan sejak awal kemerdekaan Indonesia. Terdapat berbagai kelompok garis keras yang ingin memaksakan kehendaknya sendiri dan berusaha mengingkari hakekat kebhinekaan. Katakanlah kelompok Darul Islam, Negara Islam dan juga kelompok komunis yang sangat ambisius ingin merubah dasar negara Indonesia menjadi negara agama atau negara komunis. Meski telah ditumpas berkali-kali, sayangnya akar-akar kelompok-kelompok ini masih tetap eksis di bawah permukaan. Eksisnya kelompok-kelompok ini disamping karena belum tuntasnya aparatur negara dalam membasminya, juga karena sebagian kelompok ini hidup dari keyakinan yang berlandaskan ajaran agama sehingga bukanlah hal mudah untuk menghilangkannya.
Dari perjuangan bersenjata menjadi perjuangan politik
Terdapat evolusi tren dalam menggoalkan cita-cita ideologis para anti kebhinekaan dan pancasila yang mengancam keberadaan bangsa Indonesia. Pada masa Orde Lama, kelompok ini secara radikal berjual dengan kekuatan senjata. Namun pada Orde Baru, akibat kuatnya peran militer di dalamnya kelompok ini cenderung berhibernasi. Sayangnya akibat jaman reformasi yang menyuarakan kebebasan muncul kelompok ini mulai berkecambah dan menampakkan batang hidungnya. Hanya saja terdapat perubahan tren perjuangan yang mereka lakukan. Atas nama demokrasi mereka mulai menggalang dukungan di tengah-tengah masyarakat melalui partai politik, mereka juga merekrut pengikut di kalangan akademisi muda di kampus-kampus dan para akhirnya mereka berusaha merebut posisi-posisi strategis di pos-pos pemerintahan dan juga parlemen.
Kenapa kekuasaan di pemerintahan dan parlemen menjadi batu loncatan yang strategis? Karena dengan menguasainya mereka punya kemampuan membentuk peraturan dan perundangan dan mengeksekusinya sesuai dengan ideologinya. Bahkan sangat memungkinkan jika mereka ingin melakukan amandemen terhadap undang-undang dasar dengan secara perlahan menghapuskan ketunggalan pancasila sebagai dasar ideologi negara dan memunculkan ideologi yang lain. Munculnya daerah-daerah dengan otonomi khusus yang diberikan hak untuk menerapkan ideologi agama tersendiri adalah merupakan kesuksesan kecil mereka. Perlahan tapi pasti mereka masih ingin menjadikan daerah-daerah lainnya menerapkan hukum agama mereka. Dan pada akhirnya tentu saja ingin merubah semua daerah dan termasuk ideologi pancasila. Jika hal ini bisa terwujud, maka pada saat itulah sebenarnya jiwa bangsa Indonesia yang asli telah tiada.
Ormas dan Kelompok Separatis sebagai bagian dari politik
Disadari atau tidak, pada dasarnya keberadaan dari organisasi masyarakat (Ormas) dan juga kelompok separatis tidak melulu hanya merupakan kebebasan berserikat dan berkumpul masyarakat yang ingin memperjuangkan kepentingannya sendiri. Ormas dan kelompok separatis lebih banyak dibentuk untuk mendukung suatu tokoh, partai dan bahkan organisasi resmi lainnya. Namun demikian, sebagian ormas dan kelompok separatis juga dibentuk oleh negara lain yang memiliki kepentingan tententu di negara ini.
Dalam kaitannya dengan kekuasaan politik, ormas dan kelompok separatis melakukan kerjasama mutualisme dengan partai maupun tokoh politik. Kerjasama ini bak hard dan soft power yang bekerja saling simultan. Soft power terletak pada partai atau tokoh politiknya yang berdiplomasi dengan cara-cara halus, sedangkan hard powernya terletak pada ormasnya yang sering kali melakukan demo dan bahkan tindakanan anarkis. Suatu ormas dan kelompok sparatis dapat tetap hidup dan eksis karena mendapatkan suntikan dana dari suatu partai atau tokoh tersebut. Dengan adanya undang-undang ormas bentukan jaman reformasi, pendanaan ormas bahkan dilegalisasi lewat dana yang digelontorkan dari uang negara sehingga rekam jejak nadi kehidupan dari suatu kekuatan politik terhadap suatu ormas menjadi tampak pudar. Sebaliknya, partai dan tokoh politik mendapatkan keuntungan dari kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh ormas yang seolah-olah mewakili suara masyarakat secara keseluruhan. Dengan kekuatan media masa, dukungan ormas ini akan dapat menginduksi lebih banyak lagi masyarakat luas sehingga berhasil mencitrakan suatu hal sebagaimana yang telah disekenariokan oleh partai maupun tokoh yang berafiliasi dengan ormas tersebut.
Dengan adanya dukungan orang kuat dibalik keberadaan ormas dan juga kelompok sparatis, menyebabkan organisasi seperti ini sangat sulit ditindak dan apa lagi dibubarkan. Sebagai contoh keberadaan FPI sebagai salah satu ormas yang dapat dikatakan telah berkali-kali melanggar hukum positif masih tetap eksis sampai sekarang. Tahun lalu disaat wacanan pembubaran FPI menggaung sangat kuat, beberapa oknum pejabat pemerintahan kita menyatakan bahwa FPI bukan organisasi yang terdaftar resmi sehingga tidak mungkin dibubarkan. Namun pada bulan Oktober 2014 ini saat FPI kembali membuat aksi politik berujung anarkis menolak Ahok untuk menggantikan Jokowi sebagai orang nomor satu di DKI, kementerian dalam negeri malah menyatakan bahwa FPI terdaftar sampai dengan tahun 2019. Inilah sekenario besar yang tidak mudah dipecahkan tanpa mengurai akar rumput permasalahannya.
Buah Simalakama Operasi Intelijen
Keberadaan ormas dan kelompok-kelompok sparatis juga tidak lepas dari peran operasi intelijen. Dalam usaha melumpuhkan seekor macan, ada kalanya kita harus memancing macan tersebut dengan macan yang telah dijinakkan. Demikian juga untuk dapat mengendus dan menangkap kelompok-kelompok bermasalah, operasi intelijen sering kali harus membentuk dan melepas kelompok kecil yang dapat menarik simpati kelompok yang dituju sehingga mudah disusupi, digali informasinya dan pada akhirnya dipetakan untuk berikutnya dieksekusi.
Namun permasalahannya ternyata tidak sesederhana itu. Menjadi seorang intel di lapangan bukan perkara mudah. Seorang intelijen yang dituntut mampu berkamuflase dan menutupi jati dirinya sering kali malah terseret dan masuk dalam perangkap. Banyak para intelijen yang ditugaskan menyusupi kelompok radikal malah menjadi berpaham radikal. Akibatnya bukannya kelompok yang dituju yang berhasil disusupi, tetapi malah organisasi penegak hukum yang akhirnya disusupi ideologi garis keras.
Permasalahan kedua yang juga tidak kalah menariknya adalah di negara Indonesia seolah-olah terdapat dua matahari yang memiliki wewenang dalam melakukan operasi pada organisasi ataupun perorangan pelaku tindak kriminal dan sparatis. Kepolisian selaku organisasi sipil bersenjata memiliki wewenang menindak warga sipil yang melakukan tindakan melawan hukum. Namun di sisi lain militer, dalam hal ini TNI juga memiliki kewenangan melakukan Operasi Militer Selain Perang (OMSP) diarahkan kepada penanggulangan bentuk-bentuk ancaman, seperti pelanggaran wilayah, spionase, sabotase, aksi teror bersenjata, separatisme, pemberontakan bersenjata, dan perang saudara. Keberadaan kelompok sparatis dan ormas anarkis seolah-olah menjadi domain yang saling tumpang tindih antara kepolisian dan TNI sehingga bukannya tidak mungkin dapat terjadi perebutan “lahan” yang berujung bentrok antara kedua institusi bersenjata ini.
Siapa yang menanam, dia yang memanen
Baik kepolisian maupun TNI memiliki personel dan analis intelijen tersendiri. Tentu saja masing-masing personel dan kesatuan ini memiliki hasrat untuk memperoleh penghargaan baik berupa tanda jasa, kenaikan jabatan maupun materi dengan kesuksesannya melaksanakan suatu operasi. Hanya saja akibat beroperasi pada lahan yang sama, sering kali terjadi masalah lapangan yang cukup pelik antara keduanya. Misalkan kelompok sparatis A telah disusupi dengan operasi intelijen kepolisian, namun akibat satu dan lain hal kelompok separatis ini belum ditumpas secara habis sehingga menimbulkan keresahan di masyarakat. Dalam hal ini meski misalnya TNI memiliki kekuatan untuk menumpasnya, namun akibat operasi pada kelompok sparatis A ini dilakukan oleh polisi maka TNI pun tidak bertindak apa-apa. Jika TNI memaksakan diri ikut terlibat di dalamnya, maka bukannya tidak mungkin malahan akan terjadi bentrok Polisi vs. TNI akibat perebutan “hasil panel”.
Perang idiologi dan pemberhangusan jati diri bangsa
Para anggota garis keras dan radikal yang ingin mengubah ideologi, keragaman agama dan budaya bangsa pada dasarnya adalah perpanjangan tangan dari negara lain yang melakukan operasi perang asimetrik. Orang-orang radikal yang ingin memaksakan kehendak ini telah tercuci otaknya sehingga mereka menjadikan negara lain sebagai kiblat agama dan budayanya. Dengan kemauan dan usaha pribadi mereka tergabung dalam kelompoknya untuk menyebarkan paham yang mereka anut ke masyarakat sekitar dan secara sadar ingin mengubah jati diri bangsa. Mereka bukan orang-orang bodoh, tetapi sejatinya mereka adalah orang-orang yang tidak sadar bahwa diri mereka diperalat dalam usaha negara lain menaklukkan Indonesia melalui perang idiologi dan kebudayaan.
Surya Sasongko, seorang pangeran dari kesultanan Solo dalam suatu kesempatan menyampaikan keprihatinanya mengenai hal ini. Pria ningrat kepala empat ini bercerita bagaimana masa kecilnya dihabiskan di daerah Solo dan Jogja. Dia bercerita bahwa pada saat itu Solo dan Jogja adalah kota budaya yang luar biasa indah yang memiliki ciri khas. Namun karena orang tuanya harus pindah ke Amerika Serikat, akhirnya Surya kecil juga ikut berangkat ke negeri seberang. Singkat cerita setelah lebih dari 10 tahun hidup di negara asing, dia memutuskan kembali ke Indonesia. Saat itu sekitar tahun 2007 saat dia menginjakkan kakinya kembali di Jogja. Betapa terkejutnya dia saat menyaksikan Jogja yang sudah berubah 180 drajat. Saat kecil dia biasa menyaksikan masyarakat jogja menggunakan kebaya, dan kamben dan blangkon sebagai identitas budayanya. Dia juga terbiasa dengan berbagai kegiatan yang menggambarkan kearifan lokal setempat. Namun setelah 10an tahun berlalu dia hanya menyaksikan jogja yang seolah-olah sudah berkiblat pada budaya Arab. Tua muda sudah menanggalkan kebaya dan blankonnya dan mengenakan gaya busana Arab. Tutur kata dan sopan santunnya pun sudah mulai berganti. Begitulah dia merasa menjadi orang asing di tanah kelahirannya sendiri.
Mungkin bukan cuman Arab, negara-negara lain juga berusaha menanamkan ideologinya di Indonesia. Katakanlah tuduhan terjadi usaha menjadikan Indonesia menjadi sekuler dan kebarat-baratan. Semua ini memang benar apa adanya. Setiap negara melalui berbagai caranya telah berupaya mencabut bangsa Indonesia dari akar budayanya sehingga menjadi bangsa yang tidak memiliki jati diri. Pada akhirnya tanpa adanya jati diri tersebut, bangsa Indonesia hanya akan menjadi bangsa budak dan bangsa babu yang hanya mengekor dan berkiblat pada satu negara. Katakanlah jika Indonesia berhasil dirubah menjadi negara Islam, maka bukannya tidak mungkin Indonesia akan sangat mengekor pada Arab Saudi. Dan dengan dikuasainya Indonesia secara agama dan budaya oleh Arab Saudi, maka mereka akan semakin mudah melakukan “perang-perang” lainnya di Indonesia seperti penguasaan ekonomi misalnya.
Warning buat umat Hindu dan penganut kepercayaan lokal
Terdapat indikasi grand design besar yang bertujuan mengkerdilkan dan bahkan menghilangkan keberadaan ajaran Hindu, ajaran agama-agama lokal serta aliran kepercayaan dan kebudayaan setempat yang sudah mengakar kuat di Indonesia. Indikasi ini diperlihatkan dari berbagai aspek. Dalam aspek perundang-undangan misalnya diatur sedemikian rupa sehingga kaum minoritas mengalami kesulitan untuk tetap bertahan dalam keyakinannya. Pembatasan jumlah agama resmi yang berimplikasi pada kolom KTP di agama adalah contoh nyata upaya penghilangan agama dan aliran kepercayaan selain yang diakui negara. Aturan surat keputusan bersama 3 menteri juga mempersulit golongan minoritas melakukan peribadatan. Demikian juga yang terjadi dari sisi kurikulum pendidikan, materi media masa dan juga termasuk program-program lain berusaha menggiring pada pemberhangusan kaum minoritas.
Recent Comments