Jika di sekolah ada kelas rendah dan kelas tinggi, maka sastra agama pun ada yang kelas rendah dan kelas tinggi. Yang di maksud dengan sastra agama kelas rendah adalah sastra agama yang tidak sesuai dengan ajaran Veda dan tidak jelas penulisnya. Sebaliknya yang dimaksud dengan sastra agama kelas tinggi adalah sastra agama yang bersumber dari Veda, Upanisad, Itihasa (Ramayana dan Mahabharata), Dharmasastra, Bhagavadgita, Sarasamuscaya.
Menurut Manawa Daharmasastra XII.95 menyatakan bahwa sastra agama dari kelas rendah tidak mendatangkan pahala karena berdasarkan kegelapan. Jika anda melakukan upacara keagamaan mengikuti petunjuk sastra agama yang kelas rendah maka anda akan mendapatkan susah-susahnya saja. Anda tidak akan mendapatkan kemakmuran, keamanan, ketentraman dan kedamaian. Salah satu contoh sastra agama kelas rendah adalah buku sarwa caru yang mengajarkan upacara dengan mengorbankan binatang. Sedangkan Veda mengajarkan agar manusia mengorbankan sifat-sifat kebinatangannya kemudian meningkatkan sifat-sifat kedewataan agar manusia berhasil mencapai moksa. Sastra agama kelas rendah membolehkan makan daging, sedangkan Veda melarang makan daging karena daging itu didapat dengan jalan menyakiti dan membunuh. Tidak ada mahkluk rela dibunuh, termasuk anda tidak mau dibunuh oleh siapa pun. Seandainya pun ada orang yang mau menukar nyawa anda dengan isi dunia dan surga, pasti anda tidak mau menukarkan nyawa anda dengan isi dunia dan surga. Begitulah tingginya nilai kehidupan di Tri Loka yang dinyatakan oleh kitab suci. Mengapa anda tiak mau menukarkan nyawa dengan isi dunia maupun surga? Karena tujuan anda lahir ke dunia adalah untuk mencapai moksa. Kalau ada orang mengatakan bahwa manusia tidak berdosa membunuh binatang, maka orang itu pasti tidak mengerti dengan ajaran Veda yaitu tat twam asi, ahimsa, sarwa prani hitangkarah, iswarah sarwa bhutanam, daridra Narayana. Manusia tidak berhak mencabut nyawa binatang karena manusia tiak bisa menciptkan binatang. Manusia tidak bisa menghidupkan binatang yang sudah mati. Hanya Tuhan yang berhak mencabut nyawa mahkluk hidup, karena Tuhan mampu menghidupkan yang sudah mati.
Orang yang mengatakan tidak berdosa membunuh binatang adalah orang berbuat Poraka namanya. Berbuat Poraka (ngaku-aku) dikutuk oleh Betari Giri Putri sehingga hidupnya sengsara. Jika pada kehidupan sekarang masih aman, maka pada penitisan berikutnya pasti sengsara karena rohnya akan masuk di dalam kandungan binatang dan lahir berupa binatang yang sengsara selama hidupnya.
Tuhan bersama para dewa dan alam senang dengan kehidupan yang beraneka ragam. Itulah makanya diciptkan mahkluk hidup yang beraneka ragam dan dipelihara dengan kasih sayang secara adil (sarwa prani hitangkarah). Binatang yang beraneka ragam di hutan, ikan yang beraneka ragam di laut, semuanya hidup berdampingan secara damai karena dipelihara oleh Tuhan, para dewa dan oleh alam.
Orang pander yang Poraka tidak mengerti dengan rahasia ini, sehingga mencari pembenar melampiaskan nafsunya membunuh hewan untuk dimakannya. Agar perbuatannya sepertinya benar maka mereka menyatakan sebagai berikut:
Kalau kita tidak makan babi, maka jika babi itu lebih banyak jumlahnya dibandingkan dengan jumlah manusia maka manusia akan dimakan oleh babi. Mereka lupa bahwa di dalam hutan jumlah babi hutan jauh lebih banyak daripada jumlah manusia, tetapi belum pernah babi itu berani memakan manusia. Kalau segerombolan babi hutan kepergok dengan seorang manusia, pasti gerombolan babi itu lari karena takut dengan manusia. Mengapa mereka takut? Karena pada umumnya manusia kejam membunuh binatang untuk dimakannya.
Jika kita tidak makan sapi, kalau jumlah sapi amat banyak, maka kita akan diinjak-injak oleh sapi.
Ubuhan tunu wenang tunu artinya binatang itu wajar dipanggang.
Begitulah caranya mereka mencari-cari alasan untuk membenarkan kekejamannya terhadap binatang. Semua binatang jika kepergok engan manusia pasti lari menyembunyikan diri. Mereka lari agar tidak dibunuh. Disamping itu ada tujuan yang lebih tinggi yaitu jika mereka mati secara wajar karena tua (tidak dibunuh), maka mereka berharap dapat menitis menjadi manusia. Mereka ingin menjadi manusia karena manusia memiliki derajat tertinggi di antara mahkluk hidup.
Orang-orang yang membunuh binatang adalah orang-orang yang tidak mengerti dengan proses reinkarnasi dari binatang menjadi manusia (begitu dijelaskan oleh Swami Vivekananda). Binatang yang dibunuh menyebabkan prosenya untuk menjadi manusia terhambat. Misalnya babi yang diberi jatah umur 20 tahun oleh Tuhan untuk menjalani karmanya, jika baru berumur 1 tahun diguling (dibunuh) oleh manusia menyebabkan proses karmanya untuk menjadi manusia tertunda 19 tahun. Jika babi itu tidak dibunuh oleh manusia sehingga dia dapat melakoni hidupnya selama 20 tahun, maka pada penitisan berikutnya dia akan lahir menjadi manusia.
Itulah makanya Catur Veda mengajarkan: tat twam asi, kasih sayang kepada semua mahkluk hidup, ahimsa, iswarah sarwa bhutanam agar proses reinkarnasi itu berjalan dengan normal. Sarasamuscaya no. 76 juga menyatakan: “Tidak boleh membunuh mahkluk apa pun”. Yajur Veda XIV. 8 menyatakan: “lindungi manusia dan binatang”. Sarasamuscaya no. 64 menyatakan: “ahimsa an sathya wajib dilaksanakan”. Sarasamuscaya no. 89 menyatakan: “sayangilah semua mahkluk hidup”.
Orang yang pongah membunuh binatang dengan alasan “nyupat” adalah orang yang tertipu oleh sastra agama kelas rendah. Jika betul punya kemampuan untuk “nyupat” tetapi tangannya membunuh yang mengacaukan proses reinkarnasi. Begitulah mereka menipu dirinya sendiri karena terlalu percaya dengan pendapat orang lain yang suka menipu.
Orang yang kena tipu, tentu mengalami kerugian atau kehilangan yang menyebabkan dia susah dan sedih. Ada yang kehilangan uang, harta benda, kendaraan, tanah, rumah, kemerdekaan dan yang dicintainya. Begitu pula orang yang tertipu oleh sastra agama kelas rendah, tidak disadari bahwa dia telah kehilangan kesempatan untuk meningkat menjadi dewa, bahkan sebaliknya akan jatuh menjadi binatang yang menderita selama hidupnya di dunia binatang. Orang yang suka membunuh binatang tidak mengetahui bahwa secara tidak sadar dia menukarkan kemanusiaannya yang mulia dengan daging binatang yang dimakannya. Akibatnya martabatnya jatuh. Martabatnya yang jatuh dapat dilihat dari perilakunya lebih rendah dari perilaku binatang. Salah satu contohnya selingkuh, binatang tidak pernah berselingkuh. Membuang orok di bak sampah atau di parit. Binatang tiak pernah membuang bayinya di bak sampah.
Manawa Dharmasastra XI. 58 menyatakan bahwa orang yang kejam membunuh binatang pada kelahiran berikutnya akan menjadi binatang. Setelah dia mati maka rohnya masuk di neraka karena surga untuk dia sudah diduduki oleh roh binatang yang dibunuhnya. Setelah selesai mengalami penderitaan di neraka maka rohnya jatuh ke dunia masuk ke dalam kandungan binatang dan lahir berupa binatang. Sedangkan roh binatang yang dulu dibunuhnya lahir ke dunia menjadi manusia. Bagaimana prose situ bisa terjadi dapat dibaca pada Manawa Dharmasastra XI. 74-81 sebagai berikut: setelah roh itu selesai menanggung siksaan di neraka maka roh itu jatuh ke dunia masuk kedalam kandungan binatang yang lemah dan lahir menjadi binatang yang lemah. Di situ roh itu lagi mengalami penderitaan selama di dalam kandungan maupun selama hidupnya di dunia. Penderitaan yang berulang-ulang terdapat di berbagai kandungan serta kelahiran-kelahiran yang menyiksa, terbelenggu oleh penderitaan karena diperbudak oleh yang lain. Derita itu bisa juga berupa kesedihan yang menyayat hati karena berpisah dengan yang dicintainya. Atau terpaksa tinggal dengan orang-orang jahat, bekerja berat untuk penjahat. Jika tidak mau bekerja keras, maka disiksa oleh majikannya yang jahat. Di samping itu bisa juga kedatangan musuh atau ditimpa oleh penyakit yang tidak ada obatnya ( Sarasamuscaya 395 hal. 196).
Oleh: Jero Mangku Wayan Swena
Recent Comments