Manawa Dharmasastra XII. 95 menyatakan bahwa semua tradisi (adat itiadat) dan sistim filsafat yang tidak bersumber pada Veda tidak akan memberi pahala apapun. Selanjutnya dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan tradisi (adat istiadat) yang tidak berpahala adalah adat istiadat yang tidak sesuai dengan ajaran dharma yang tercantum dalam kitab suci Veda. Contoh tradisi yang tidak berpahala dapat dilihat pada beberapa kejadian di masyarakat seperti:
- Sistem Soroh atau kasta yang diskriminatif.
- Menunda pengabenan/pembakaran mayat.
- Sambung ayam berkedok tabuh rah.
Sistim soroh merupakan salah satu tradisi yang sangat pelik di Bali. Sistem ini membedakan tinggi rendah antara soroh yang satu dengan soroh lainnya. Oknum tertentu yang merasa memiliki soroh lebih tinggi dari soroh Yan dan Tut sering kali berprilaku tidak sepantasnya yang tidak memperlihatkan prilaku seorang pengikut ajaran Dharma. Prilaku tersebut misalnya dengan tidak mau ikut memikul Wadah/Bade pada waktu Krama Banjar bertugas untuk memikul Wadah ke kuburan.Jika putranya kawin dengan gadis dari soroh Yan Tut, maka pada waktu upacara pamitan di rumah orang tua si gadis, pengantin pria tidak mau ikut sembahyang di sanggahnya si gadis. Kalau pemuda di soroh Yan Tut mengawini gadis dari soroh yang merasa lebih tinggi derajatnya dengan Yan Tut, maka anak gadisnya dibuang karena dianggapnya jatuh (nyerod).
Awig-awig di Banjar berbunyi: “paras paros sagilik saguluk sarpa naya, salunglung sabaya antaka”. Artinya bersatu saling tolong menolong dalam menghadapi suka duka pasti bulat seperti badan ular mengikuti kepalanya (sarpa = ular, antaka = kematian). Hak dan kewajiban sama, duduk sama rendah berdiri sama tinggi. Intisari dari awig-awig ini adalah bersumber pada Catur Veda.
Atharva Veda, kanda XII menyatakan bahwa, bumi ini dihuni oleh orang-orang dari ras yang berbeda-beda, bahasanya berbeda-beda. Para Rsi menghendaki agar mereka semua menjadi kaya dan sejahtera berdasarkan “Vasudhaiva Kutumbakam” artinya seluruh penduduk di bumi ini merupakan satu keluarga (intisari Veda hal. 181).
Rg. Veda V. 60. 5 menyatakan bahwa, tumbuhkan persamaan, tidak membedakan derajat seseorang. Para dewa Marut (Bayu) membenci orang yang membedakan tinggi rendahnya derajat seseorang. Semua orang adalah saudara kita. Sama Veda mengajarkan bahwa roh semua manusia adalah sama dan berasal dari sumber yang sama yaitu Tuhan. Itulah makanya Veda mengajarkan “tat twam asi, aham Brahma asmi”. Roh manusia adalah percikan dari Tuhan seperti letikan bara api sama dengan api yang maha besar (Paramaatma). Begitu pula badan semua manusia berasal dari satu sumber yaitu dari Panca Maha Bhuta. Tetapi yang berbeda adalah bentuk luarnya, besar kecilnya, warna kulitnya, prestasinya. Perbedaan luar ini disebabkan oleh karmanya yang dulu berbeda-beda. Jika hanya memperhatikan ciri luarnya saja memang kelihatannya berbeda-beda. Seolah-olah si A berasal dari sumber yang berbeda dengan si B maupun dengan yang lainnya. Untuk dapat memahami filsafat yang menyatakan semua manusia adalah sama coba renungkan riwayat terjadinya es balok, es lilin, es kopyor, es cream, es jus dan es yang lainnya. Semua es itu berasal dari air dan semua air berasal dari persenyawaan antara hidrogen (H) dengan oksigen (O). Pada tataran roh yang tidak kelihatan dan tidak berbentuk diumpamakan dengan hidrogen dan oksigen yang tidak kelihatan dan juga tidak berbentuk. Setelah 2 hidrogen (H2) menyatu dengan oksigen (O) barulah berbentuk berupa air (H2O). Amat sulit memang menjelaskan ilmu atma (atma tattwa) kepada orang awam karena Krishna sendiri dalam Bhagavad Gita mengatakan bahwa pengetahuan mengenai sang diri sebagai sang roh adalah pengetahuan yang paling utama yang bersifat sangat rahasia. Sehingga dengan demikian, menjelaskan masalah roh mungkin dapat dianalogikan seperti menjelaskan simbol-simbol ilmu kimia kepada orang yang buta huruf. Disinilah letak permasalahannya, makanya terjadi diskriminasi antara soroh A yang merasa lebih tinggi derajatnya dengan Soroh Yan Tut yang dianggapnya lebih rendah. Mereka berpatokan hanya berdasarkan ciri luarnya saja dan tidak memahami yang sebenarnya. Seperti es balok yang mengaku paling besar (agung) dan menganggap es lilin lebih kecil (rendah).
Orang yang merasa sorohnya lebih tinggi dari soroh orang lain adalah orang yang rohaninya lemah dan miskin. Orang seperti itu disebut Krpana oleh sastra agama dan dibenci oleh para dewa Marut. Orang yang terlalu fanatik dengan kulitnya disebut orang menderita penyakit kulit atau orang yang sederajat dengan tukang sepatu. Hanya tukang sepatu yang fanatik dengan harga mutu kulit sebab kulit yang bagus mutunya jika dipakai sepatu akan laku dijual dengan harga yang mahal. Begitu dinyatakan oleh Rsi Astavakra.
Rg. Veda 1.27.13 menyatakan bahwa “ hormati semua golongan di masyarakat”. Manawa Dharmasastra VIII. 20 menyatakan: “jangan menuduh sudra kepada seseorang”. Atharva Veda XII. 1.4.5 menyatakan: “ibu pertiwi telah memikul beban berat dari keluarga besar manusia yang suku bangsanya berbeda-beda, agamanya berbeda-beda. Ibu pertiwi minta agar semua manusia di bumi hidup rukun dengan semua saudaranya dimanapun berada di belahan bumi ini”. Rg. Veda X. 191.2 menyatakan: “wahai umat manusia, anda seharusnya berjalan bersama-sama, berbicara dan berpikir yang sama, seperti halnya pendahulumu bersama-sama berbagi tugas-tugas mereka. Begitulah semestinya anda memakai hakmu”. Rg. Veda X. 191.3 menyatakan: “wahai umat manusia semoga anda berpikir bersama-sama. Semoga anda berkumpul bersama-sama. Hendaklah pikiran-pikiranmu dan gagasanmu sama. AKU memberi pikiran yang sama dan kemudahan-kemudahan yang sama”. Atharva Veda III. 30. 1 menyatakan: “ bersatu dan cintailah teman-temanmu”. Kalau sudah demikian dinyatakan oleh kitab suci, maka jika ada sekelompok orang masih mempertahankan adat yang bertentangan dengan ketentuan tersebut di atas, maka orang itu tergolong “pramada” kepada Tuhan (membangkang). Seandainya di dunia ini mereka masih aman, maka setelah mati pasti rohnya masuk neraka karena perbuatannya bertentangan dengan perintah Tuhan. Soroh Yan Tut yang polos dan lugu boleh saja dikelabui, tetapi kebenaran tidak boleh diajak kong kalikong untuk menipu orang polos.
Dalam permasalahan kematian, ada juga adat istiadat yang kolot masih berpegang teguh dengan kepercayaan hari “semut sadulur, kala gotongan, pasha” dan lain sebagainya yang dianggap akan menyebabkan banyak orang mati jika menguburkan atau membakar mayat pada hari-hari tersebut. Kepercayaan seperti itu sering menyebabkan kesusahan bagi warga yang berduka karena dilarang oleh Prajuru Desa (ketentuan larangan adat) mengubur/membakar mayat dalam waktu berhari-hari lamanya. Menyimpan mayat berhari-hari di rumah merupakan beban berat karena memerlukan biaya cukup besar, resiko ketularan penyakit, terganggu oleh bau busuk, tidak bisa bekerja, dan lemah karena bergadang semalam suntuk berturut-turut. Ketentuan larangan itu bertentangan dengan sastra agama kelas tinggi seperti diuraikan di bawah ini:
Manawa Dharmasastra VI. 45: “ Kematian setiap orang sudah ditentukan sejak ia lahir di dunia. Dia tidak boleh minta umurnya diperpanjang karena hidup senang di dunia. Sebaliknya tidak boleh agar cepat mati karena susah, sedih atau menderita sakit parah”.
Berdasarkan ketentuan ini maka tidak bisa orang lain mati dengan mendadak karena adanya penguburan/pembakaran mayat pada hari-hari dilarang oleh Prajuru Desa. Larangan yang berlebihan itu merupakan ketakutan yang berlebihan terhadap kematian. Padahal kematian setiap orang sudah ada patokan yang pasti dari Tuhan.
Desa Pakraman yang warganya sudah berpikir lebih maju, malah mendorong warganya yang berduka agar melakukan penguburan atau pembakaran mayat secepat mungkin. Pada desa-desa yang seperti ini tidak ada terjadi “gerubug” lantaran mengubur atau membakar mayat pada hari-hari semut sadulur, kala gotongan, pasha dan sebagainya.
Sarasamuscaya no. 33 menyatakan bahwa “mayat itu ibarat pecahan piring mangkok, segera harus dibuang karena tidak ada gunanya agar tidak agar tidak menjadi beban. Yama Purana Tatwa menyatakan: “upacara kematian yang dilakukan sebelum lewat 7 (tujuh) hari dari sejak meninggal, tidak perlu memilih dewasa. Kapan saja boleh dilakukan sebelum lewat 7 hari. Tetapi jika lewat 7 hari dari sejak meninggal maka perlu memilih hari baik (dewasa).
Pan lagas amat percaya dengan ketiga ketentuan tersebut di atas. Beberapa tahun yang lalu Pan Lagas secara samara-samar menerima ciri pada ubun-ubunnya bahwa dia akan mati 7 hari lagi. Mulai sejak hari itu dia mempersiapkan diri menyambut kematiannya dengan jalan meningkatkan kebaktian, berjapa, meditasi dan membuat beberapa perlengkapan seperti kain putih untuk pembungkus mayat, satu setel pakaian putih dan peralatan lainnya. Kemudian dia berpesan kepada istrinya bahwa jika betul lagi 7 hari dia mati agar segera dibakar dengan sarana banten ala kadarnya. Yang penting agar ada kayu tulasi dipakai melengkapi bahan bakar yang lainnya. Pada hari H dia meditasi secara kusuk untuk menangkap ciri yang terakhir. Tetapi tidak ada ciri apa-apa yang muncul. Kenyataannya Pan Lagas hidup sampai sekarang (desember 2010). Inilah salah satu bukti bahwa walaupun anda memang ikhlas untuk mati secara wajar, jika patokan umur anda memang belum waktunya mati, ya tetap masih hidup. Jadi jangan terlalu khawatir untuk menyambut hari kematian. Semua orang sudah ada jadwal yang pasti kapan dia harus mati. Tidak bisa kematian orang lain disebabkan oleh penguburan mayat pada hari-hari yang dilarang oleh kepercayaan yang kolot. Yang perlu dipersiapkan hanya selalu bertingkahlaku di jalan dharma dan selalu eling pada Hyang Parama Kawi.
Di desa Pakraman yang jumlah anggotanya lebih banyak menganut kepercayaan yang kolot berdasarkan sastra agama kelas rendah, merupakan beban berat bagi keluarga yang mengalami duka kematian karena diharuskan menyimpan mayat berhari-hari lamanya bahkan ada yang sampai satu bulan. Beberapa kaum ibu yang berasal dari Desa seperti itu bergumam begini: “beragama Hindu rumit, setelah mati ruwet”. Begitulah jadinya jika tidak mengindahkan sastra agama kelas tinggi yang pasti benar.
Oleh: Jero Mangku Wayan Swena
lalu apa maksud terdalam dari tulisan ini?
mencoba membinasakan kuktur budaya bali?
kedua, dalam paragraf terakhir menyebut sastra agama kelas rendah. Seberapa tinggikah anda, penulis, sehingga dapat membedakan mana yang rendah dan tinggi dari sebuah sastra agama?
semoga mendapat diskusi yang mengalir. suksma
silahkan ajaran anda disebarkan didaerah non hindu, yang sudah hindu jangan diobok-obok lagi, mungkin anda mendapat pahala yang lebih besar
pak,,apa bapak memang lebih pintar dari TUHAN? kalau misalkan tidak punya biaya untuk ngaben,apa harus kremasi?? jika yg meninggal ingin diaben,, lalu kita harus gmn?? sperti cerita yg dari klungkung itu,, apa kremasi sperti hindu di india?? hindu bali itu sudah dari dulu,,hindu yg berisi tradisi adat budaya bali,,,
kalo mnrt sy jgn kita nilai tulisan diatas negatif, ambil sisi positifnya ” bertingkah laku di jalan dharma dan selalu eling ken Ida Hyang Widhi Wasa ” ini yg harus kita jalankan selama kita di dunia. Tidak menyakiti orang dan mahluk lain
Saya bener bener tidak mengerti sama artikel ini yg jelas adat adalah adat
Yaa bagbagaimanapun dan dipaksa apapun masyarakat tidak pernah lepas dr adat Dan tradisi.. Karena menurut masyarakat itu sesuatu yg sakral
Suka duka ttp djalani
Klo anda.blng. Seperti itu yaaa mngkn anda gk pernah mendalami adat istiadat setiap tempat
Pada prinsipnya saya sangat2 setuju apa yg ditulis/di sobyahkan dalam artikel ini-karena sdh membaca bbrpa buku dan melihat-memperhatikan yaa merasakan ada hal2 yg kurang/tidak berdasarkan sastra agama shg menimbulkan efek yg kita rasakan sekarang ini dan seterus…………….nya
Tolong bedakan agama dan budaya bro padaprinsipya agama mengajarkan kesederhanaan hidup sedangkan adat adalah kebiasaan yang sudah menjadi dogma atau hal yang diyakini benar maka kembali k orang itu sendiri didalam memaknaiya dan meyakini …makanya berbicara pahala atau tidak sama halnya kita yakin denga adanya tuhan …yang terpenting …dalam hidup ini adalah selalu berbuat baik dan positif tingking aja karena saya meyakini semua buatan manusia pasti memiliki celah baik atau buruk salah atau benar makanya ketika memang dirasa tidak sesuai lagi dengan konteks kekinian bisa di benahi bersama sama…….semasih untuk kepentingan bersama
penulis ne nutur apa ngarang??? luungan pules de…… jang opinine jumah.
Tuhan goban ne ngae blog, bisa nawang maan pahala ap sing, wkwkwkwkw
Saya sependapat dengan Pak werta
Setiap yadya ada pahalanya kita menghabiskan puluhan juta buat upacara pengabenan dan upacara lainya kemana lari yangnyaa .. ya ke rakyat bali juga .. seorang nenek2 menjual daun pisang dan janur dipasar hanya untuk biaya makan dia dan suaminya .. siapa yg membeli yaa kita .. karena kita nenek dann suami tertolong setidaknya untuk satuhari melanjutkan hidupnya … apakah itu bukan pahala
Ratusan juta uang berputar beredar dipasar pasar tradisional hanya untuk membeli bahan dan alat2 upacara yg asalnyabdri rakyat kecil
Krisis moneter tidak begitu menghantui bali karena ekonomi masih mengeliat karena upacara2 adat broooo jngn berpatokan pada satu sumber namun pikirkan kehidupan orang banyak menjaga tradisi jangan seperti orang barat yg tidak punya kebudayaan DESO…
Yg sependapat adalah mereka yg pastinya beraliran. Di bali mengenal kayangan tiga sesuai samuan tokoh suci kita terdahulu. Jgn recoki bali dengan aliran aliran lagi…
Sepertinya yg nulis ini bukan orang hindu bali
BecikaN sIneb gelar jro mangku nya pak. Daripada dicaci karena omong kosong anda. Dan media ini kenapa punya tendensi negatif akan aistem kemasyarakatan bali ya?
Tulisan ini sangat bagus dan berdasarkan kitab suci bukan ide ato pendapat si penulis semata. Jadi bagi yg tidak setuju berarti dia mengingkari kitab suci atau mungkin punya kepentingan untuk mempertahankan budaya yg kurang baik di Bali.
Pernyataan subtstansial yang keliru dari tulisan ini apa ya? aku iki heran ndelok comment orang Bali yang cenderung negative.
saya jeg setuju, lambat laun akan dirasakan tulisan yg dimaksud diatas 🙂
waktu yg akan menjawabnya.
Tiang nak I Made mase jero… tiang ningalin sor singgih di bali nu tetep mejalan dalam segala situasi yen saja iraga hidup bermasyarakat, api nang kocong lames bikasne jele ya tetep dikucilkan sing je ngitungang kasta, yen masalah agama bagus jero ngicen refrensi weda kewala de pesan nagih matuhang budaya/tradisi, yen merubah tradisi sube liu krama bali ane merubah sakewala tusing mengurangi arti, kumuhang ngalih gae gen semeton.
Ngring ajegang bali,,,, Sampunang sampai ter provokasi!!! Napi jero sareng sami uning umah jatma sane mkrya artikel nki??? Tolong info jbos, , suksma,, mangda nenten jatma dauh tukad mkn yan artikel nki,, iraga pada smeton bali adu argumentasi.
Jero mangku ane nulis niki? Mangku dije? Yen mangku di india… silahkan… tp diolas de nyebut2 bali! Anggo jumah gen kebisane. De nak len ajahine ngalih pahala!!!!
Menurut saya orang bali beserta agama n tradisi sudah selalu mengikuti perkambangan jaman. Jangan hanya dilihat sekilas ato di permukaan. Kita ada ngaben masal mesangih masal bahkan ad yang mengadakan nikah masal. Kalau meyadnya hanya mengadu gengsi tentu selalu berfikir ato mungkin sakit hati. Apapun itu saya bangga dengan tradisi adat n budaya bali. semua tergantung cara kita menyikapi. Suksma.
coba kita resapi, camkan, saya pribadi berterimakasih masih ada orang yang masih peduli dengan memberikan pengetahuan-pengetahuan tentang agama, klo kita membantah atau tidak setuju dengan apa yang telah di uraikan tentunya kita mempunyai alasan yang kuat, jangan menganggap diri kita yang paling benar, ilmu tiada batas. mending gak usah mencacimaki satu sama lainnya, perkuat iman masing-masing. klo memang tidak setuju tidak perlu berkata yang jelek, klo setuju gunakan pada diri masing-masing.
Tat twam asi,ak adlh km km adlh ak,dlm bermasyrakat kami adlh sama,tapi utk mslh adat istiadat dan agama,kami memiliki kepercayaan tersendiri,dan kami mnjalani dan mematuhinya berdasarkan hati nurani kami,jika mmng ada yg berkeberatn ataupun mrasa terbebani dgn hal d atas,itu bisa d kembalikan pada diri anda sndri,,,,,krn adat istiadat dan agama kami tidak pernah memaksa,,,,sudah ada aturannya sndiri…
Yih apo garang ne …lek ati dik tolih ajak nyame ne uli selat .. jek megenep2 gae . Kal ngranang uyut apo kal sing ade…
apo kal garang too??rage bise ulian IDa rage ade masi ulian Ida …yen percaye..
yang belog gen nawang to
Yang menulis artikel ini kelas rendahan , kalau dipura Desa ada odalan agung apa berani anda membakar mayat.? Ini yg nulis dari kaum aliran dauh pangkumg ne.. nagih nganggo ajaran ane tidong2. Ini modus menghapus adat Bali .. hati2 kalau leluhur murka
Negara berdiri ada UUD dan AGAMA berdiri ada kitab sucinya makanya sebelum debat baca itu kitab suci akan terjawab kebenarannya,AGAMA dan KEPERCAYAAN, ini tidak dipaksakan anda menanam anda memetik introveksi diri jangan selalu menyalahkan orang lain atau leluhur jikau mendapat keburukan karena anda salah jalan, sayang catur warna tidak berfungsi inilah akibatnya orang BRAHMANALAH turun memecahkan masalah ini bukan hanya muputang kayia saja banyak yang mengagamakan adat jadilah mengadatkan agama.
Lalu apa fungsi ayu ayuning dewasa,,apa guna hari baik,,terus ad juga yg sampe kegeria nunas duasa (hari baik ) melaksanakan yadnya,,apakah dengan yadnya itu kita dapt pahala,,,bukanya yadnya itu korban suci tulus iklas,,,semua bisa d perdebatkan,,!
Baca baik baik,, telaah bajik, kebiasan orang kita susah ber empati, katanya memuja dewi saraswati, kok ga bisa menerima ilmu, yang baik di terima yang kurang baikyang di buang…komentar2 yang negatif terhadap tulisan inni adalah cerminan diri kita…saya merasa bahwa Hindu itu harus berdasarkan kitab suci Weda…karena kita hidup di NKRI..yang punya UU agama dan lainya,
ede ngaden awak bise……. depang anake ngadanin……. geginane buka nyampat…. anak sai tumbuh luhu……. slebongkah batan biu, don sente don blego………. Ngiring semeton sami, kuncine wantah asiki, mekarye sane becik pasti lakar nandur sane becik taler sebalikne……. elingan, budaye lan agame mangdene memargi paripurne, tunggal…..
kalo di cermati artikel di atas ada benarnya juga..
Kalo memang begitu..tapi kenapa masih smpai skrg menguburkan mayat mmrlukan dewasa untuk dkuburkan..pdhal sblm 7hri dri hri kematiannya..mohon pencerahannya…
Hindu kitab suci nya adlh Weda… itu yg tyg dpt pljrnya wktu di sekolah.. kalo ada tmn kita yg mengulas suatu penomena di masyrkat bali/ hindu dan dia mampu mengutip sumber nya yg jelas dan pasti dari weda ataupun sastra suci knp kita hrs marah hnya krna mungkin ulasan itu brtentangan dgn tradisi yg sdh kita jlnkan ber abad abad… tyg ingin bertanya apa sih landasan atau pegangan atau tuntunan kita dlm berAgama…Weda atau kah Tradisi/adat..???
Duuuh gak usah itu diributin, orang setiap desa udah punya tradisi masing2, jadi ya terusin aja tradisi yg udah ada..
Kalo menurut saya .. yang menulis artikel jero mangku jgn berbicara sastra agama kelas tinggi.. dan kelas rendah saling menghargailah.. kalo masalah soroh saya setuju.. tp kalo masalah pengabenan.. saya tdk setuju dgn kata2 yang bilang menganut kepercayaan yang kolot bersastra rendah.. budaya bali mencari hari baik untuk kematian itu pasti nenek moyang kita yg dari budaya bali bermaksud baik dan kita lihat juga kondisi dan situasi di desa kalo ada odalan di pura desa bagaimana caranya ada memang ajaran agama di atas jika memang benar dari kitab suci weda itu baik.. tapi kita juga punya leluhur.. yang mempunyai adat kita juga harus menggunakan adat kita.. tuhan tdk pernah minta yadnya yang bgni2 kita lakukan yadnya dari hati yang tulus dan iklas sebisa kita.. tuhan pasti mengerti.. dan menerima.. jika ingin memperbaiki ajaran atau aliran.. hindu yng berbeda beda.. kumpulah semua agama hindu munculkanlah semua kitab suci hindu.. dan berdiskusikan lah bgmna hal yang sebenarnya dan terapkanlah ke seluruh agama hindu agar alirannya menjadi kompak.. jika bisa… hebat.. itulah hindu yg sebenarnya jgn saling menyalahkan aliran.. jika menurut anda aliran ini salah lhtlah aliran kita sendiri sudah benar atau tdk.. ingatlah TUHAN tidak meminta harus ini itu TUHAN sudah menurunkan kitab suci.. agar ajarannya di lakukan dgn benar.. tetapi slahnya kitab sucu itulah tdk tersebar merata sehingga banyak terjadi perbedaan tetapi TUHAN mengerti itu. . . Yang penting tulus dan positive.. bertujuan baik.. kecuali menyimpang dan tdk mempunyai tujuan baik.. misalnya menguburkan mayat agar dia bahagian di alam lainnya.. itu bertujuan baik.. jika menguburkan atau membakar mayat agar rohnya tdk mendapatkn kebahagian.. itu tdk bertujuan baik. Sama halx pasti setiap manusia mempunyai perbedaan ada yg belajar harus di malam hari … baru mengerti.. ada yang belajar di subuh hari baru mengerti bgtulah adat istiadat.. berbeda.. tetapi dia bertujuanx belajar walaupun wktux ada malam ada subuh.. to mksdx kan untk pintar.. smga di pahamai
Jika aliran hidu masih berbeda2 berarti semua aliran hindu tdklah sempurna mngkn ada sdkt kslhan2.. seperti manusia tiada yg sempurna pasti ada kslhan semasa hidupnya.. jika semua aliran hindu BISA menjadi satu aliran. Dengan berdiskusi dan masing2 aliran membawa kitab suci.. dan jika debatx bisa menyatukan aliran. Itulah aliran yg hampir sempurna.. karena pasti sja ada kslahan yg qta tdk sadari…. mngkn itu sdh kslhan kecil.. kalo tdk mau repot kita lahir di agama apa aliran apa.. itulah kita terapkn yg penting kita hidup baik.. tdk berbuat jahat.. semua agama semua alirann walaupun berbeda cara tp mengajarkn kebaikan.. bukan keburukan jika mngkn terjadi kslhn sdkit.. itu wajar.. hanya MAHA PENCIPTA yang sempurna jadi kita saling menghargai satu sama lain jika aliran kita tdk sesuai dengan kitab suci.. kumpulah aliran itu dan bwalah seluruh kitab suci yg aliran itu punya.. jika hasil diskusi memang tdk sesuai dgn kitab suci.. perbaikilah kesalahan itu.. dan sebarlah ajarn yg benar kalo haxa bicara tanpa melihatkan kitab sucinya dan tanpa mengumpul orang2 tdklah orang percya karena setiap oranng mempunyai kepercayaan yg berbeda jika jero mangku dari aliran hindu bali.. ingin memperbaiki aliran anda sendiri kumpulah semua aliran hindu bali.. setiap plosok desa.. dan berdiskusi dan suruhlah membawa kitab suci yg setiap orang aliran hindu bali punya.. jika anda dari aliran hindu lainya.. hargailah aliran jangan berbicara sastra agama tinggi rendah.. karena yang dapat menilai tinggi rendahnya sastra agama itu HANYA TUHAN.. jika anda ingin memperbaiki aliran hindu bali.. kumpulah seluaruh aliran hindu anda.. dan seluruh aliran hindu bali dgn masing2 membawa kitab suci.. bermusyawarahlah dan terapkanlah ajaran hindu yg sebenar2nya dan sebarlah kepada seluruh umat hindu.. walaupun berbeda dgn kitab suci karena blm mempunyai kitab suci itu tetapi jika bertujuan baik.. TUHAN pasti menerimanya karena TDK ada manusiang yg sempurna..
Bagaimana halnya jika hindu yg menerapkan ajaran weda sruti sja.. dan ada yg menerapkan ajaran weda smerti sja.. yang mana anda salahkn.. kedua kitab suci tersebut ajaran dari MAHA PENCIPTA bagi umat hindu.. walaupun orang yg hanya menerapkn ajaran weda smerti tdk dpt di salahkn dari orang yg hanya menerapkan ajaran weda sruti.. karena berbeda. Solusinya hanya satu mempertemuakn kedua kitab tersebut dan orang yg menerapkannya berdiskusi.. dan oh itu ajaran sruti pale.. oh itu ajaran smerti pale… itu dua2 kan ajaran hindu.. oh jika digabungkan menjadi yadnya yang lengkap dan benar ya ya ya mari kita bersama menerapkannya.. bgtu logikanya kalo hanya menurut sya aliran ini yg benar.. wooyy tunggu dlu menurut saya aliran ini yg benar.. aragh kalo bgtu mslh gk akan selesai
menurut saya soroh adalah asal usul keluarga tapi bukan sebagai acuan untuk menentukan tingkat strata sosial di masyarakat…
Apa hubungan anda sama kluarga saya knapa anda brani bilang tradisi yg tidak berpahala
Agama Hindu Bali, asal mulanya adalah kepercayaan Bali. Bali Mula. Kemudian datang agama Hindu, Budha..dan terjadilah percampuran. Hindu dan Budha diterima oleh orang Bali kala itu, karena mampu menyatu dan sejalan dengan kepercayaan Bali. Masalah kitab suci, setahu tiange..itu salah satunya karena administrasi dari NKRI. Maka disebutlah Weda.
Kalau ditilik ke belakang, ketika agama ini pertama kali didaftarkan di NKRI..namanya bukan Hindu. Pernah Siva-Buddha, agama Tirta, agama Bali, agama Hindu Bali, Hindu Dharma dan yg terakhir disederhanakan menjadi Hindu saja. Waktu tiang SD tiang wajib mengisi data agama dengan nama ‘Hindu Dharma’, kemudian waktu SMP sudah berubah menjadi Hindu saja.
Bagi tiang..tiang tetep orang Bali, apapun namanya..tiang ttp dengan kepercayaan yang sudah diwariskan oleh leluhur tiang di Bali.
Kalau jero yang menulis artikel ini mau mengikuti Hindu India sesuai kitab suci yang jero baca..ya silahkan. Tapi kalau menyalahkan tradisi dan mencoba mengobrak abrik tradisi ataupun adat Bali..saya kembalikan lagi ke Karmaphala.
Jele melahne nak jero ne kal nampedang.
Tiang merasa senang, karena membaca komentar di sini masih banyak yang orang Bali dengan agama Balinya. Semoga damai selalu..
Om Santih, santih..santih Om.
tumben tiang maca tulisan sane care kene, jujur tiang juga punya pemikiran yang sama dengan penulis, terutama masalah untuk poin yang pertama tentang sorohan dimasyarakat, karena di desa saya masih memegang teguh sistem seperti itu, seperti yang penulis muat diatas, mereka bahkan tidak mau ngayah (sekarang sudah ada yang mau sebagian kecil) ke pura dan pas hari H odalah minta sembahyang di depan dengan beralasan tikeh. Menurut tiang sorahan puniki cuma mereka menamakan diri pada jaman dahulu karena memiliki kepintaran, kekuatan, pengaruh dan talenta yang lebih, mereka menamakan diri mereka dengan tujuan yang mulia untuk mencapai dharma (itu yang saya percayai) dan kemudian setelah beberapa generasi tujuan mereka berubah menyimpang dari tujuan awal dan akibatnya adalah apa yang penulis ungkapkan beduwur.
.Memaca tulisan niki ten lengkap asane tanpa tiang komentar, tiang disini percaya kalau agama hindu niki adalah agama yang UNIVERSAL dan dapat beradaptasi dalam masyarakat dan lingkungan manapun. Agama Hindu niki sederhana menurut tiang namun untuk mencapai kesempurnaan dalam keserhanaan niki sulit sajane. Terus terang gen niki tiang setuju dengan napi sane penulis ungkapkan dalam tulisan beduwur kerane tiang mengalami dan berada dilingkungan yang penulis ungkapkan beduwur, Tiang cuma berharap umat Hindu sareng sami untuk lebih meningkatkan pengeertina tentang Agama Hindu dan Adat Istiadat druene, napi tujuane, napi maksudne, napi alasane lan selanturane. Kulturasi agama Hindu sareng adat ring Pulau Bali tiang yakin lakar melahirkan kulturasi sane becik yen ten wenten campur tanangan sane tidong-tidong. Tiang ten ngadanin dewek tiang, tapi tiang lihat umat Hindu di Bali saat ini mulai kehilangan jati diri adat lan agama. Akhir kata tiang mohon maaf kalau wenten kata-kata ne ten kenak ring komentar tiange, niki cuma pendapat tiange sane dasarin tiang antuk pengalaman pribadi tiang.
Sesama umat hindu mau aja di adu dengan tulisan yang seperti ini. Nyak gen belog2. Asal suba bicara soal soroh jeg uyut be. Sing sadar di adu domba.
veda itu bukan hanya dibaca aja tapi dimengerti dan dipahami
dan mungkin bacalah buku sejarah dan sastra apalagi babad bali sebagai referensi karena jawabannya ada disana….dan darisanalah bakal taw tentang bali
hindu Bali yang memang juga berpatokan pada sastra dan veda tapi perlu diingat hindu adalah agama yang bersifat fleksibel dan bali sendiri juga dari sejarahnya menganut banyaknya sekte sebelum seperti sekarang… dan kebudayaan dibali itu pun memang tidak ada diVeda tapi begitulah kebudayaan adat bali yang sudah mendarah daging hingga sekarang….tapi yang sangat lucu disini yakni tradisi sabung ayam yang pada dulunya sabung ayam sendiri hanya dilakukan sebagai ritual tabuh rah…tapi sekarang malah hanya sebagai kedok untuk berjudi semata.
kemudian kasta atau dalam veda disebut sebagai panca Varna (di Veda ada tapi saya lupa pada bagian yang mana) namun karena masuknya belanda dan kesalahanpahaman belanda yang akhirnya malah timbulnya kasta itu sendiri yang sehingga menimbulkan dikriminasi…padahal jaman sekarang kasta itu sendiri hanya sebagai pengingat kita berasal dari mana dan leluhur kita siapa tapi bukan sebagai patokan untuk merendahkan orang yang berbeda kasta
penundaan pengabenan itu lebih ke setiap desa sih…itu karena bisa jadi di desa tersebut sedang tidak bisa membantu proses pengabenan karena ada upacara di pura desanya atau karena dewasanya sedang tidak tepat
dan mungkin lebih jelas bisa ditanyakan oleh ida pedanda dan para sastrawan2 hindu bali….mungkin bisa lebih membuka wawasan tentang hindu bali
Om swastiastu,,
Agama hindu merupakan agama budaya bukan agama yg bersumber pada 1 bahasa,,, jika agama yg bersumber pada 1 bahasa itu biasanya agama baru yg diciptakan manusia dari segi doa dan kitabnya semua memakai 1 bahasa yg sama, sedangkan agama kita menggunakan berbagai macam bahasa dan lafalan mantram yg berbeda beda pada setiap daerahnya, itu kenapa agama hindu dikatakan sebagai agama budaya.. memang semua ajaran hindu bersasarkan atas 1 sumber yakni veda namun dalam penerapannya kita sbg hindu yg dewasa slalu menuesuaikan keadaan lingkungan adat istiadat dmana tempat lahir kita… tentu saja hindu di India memiliki upacara keagamaan yg berbeda dengan hindu dibali, berbeda pula dengan hindu di belanda, kanada, dan berbagai belahan dunia lainnya dan nama agamanya pun berbeda bukan hindu namun pokok ajaran dan garis besar ajarannya bernaung semua dalam ajaran dharma… di bali ada upacara tumpek wayang sedangkan di india ada upacara agnihotra… agama budaya lebih fleksibel daripada agama yg berdasarkan pada doktrin doktrin… dibali ada istilah BISA ITU BELUM BERARTI DADI, SEDANGKAN DADI BELUM TENTU PASTI BISA ,, jika ada yg mengerti kalimat itu (kasta) orang tersebut sudah dapat mencari arti didalam arti.. suksma om shanti shanti shanti om
weee..! jeg ribet sajan. makejang ngaku dueg,makejang merase paling nawang agama.makejang ngaku paling nawang Tuhan. rarisanggg…juang bo susukne.