Sekarang ada oknum oknum tertentu yang juga memasang perangkap tetapi dikemas dengan istilah-istilah yang indah. Ada istilah “kukuhang agama lan adat”, “Ajegan agama Bali manut ring lontar Bali sane luhur”, “rajegan adat Gumi Bali na” dan sebagainya.
Istilah “Kukuhang Agama lan Adate” (Tegakkan Agama dan Adat) merupakan anjuran yang sangat baik bila semua pihak murni dan jujur mempertahankan Agama dan tradisi menurut ajaran Veda yang mereka sebut dengan istilah Adat (berakar dari bahasa Arab). Tetapi “soroh jaba” harus waspada mencermatinya sebab ada gejala oknum-oknum tertentu sedang berusaha mengembalikan Adat model “Perangkap Maut” yang telah dimodifikasi dengan rapi dan bukannya Adat yang demokratis. Dresta kuno yang mulia patut dilestarikan, tetapi dresta yang diskriminatip terhadap “soroh jaba” yang sama sekali tidak sesuai dengan ajaran Veda harus ditinggalkan.
Begitu juga dengan istilah “Ajegan agama Bali manut ring lontar Bali sane luhur”, para “soroh jaba” juga harus kritis menyikapi lontar yang dimaksud, adakah lontar seperti Adigama yang mengesahkan jual beli manusia, “Hukum Agama“ yang menghukum orang melahirkan anak kembar buncing, menghukum orang yang kawin campuran (asumundung, anglangkahi karang ulu, dll.) Padahal sejak tahun l951 DPRD Bali sudah menghapus hukuman “manak salah”, “adu mundung” dan “anglangkahi karang ulu”. Bila adat yang tidak manusiawi ini masih dipertahankan oleh Desa Pakraman, maka warga yang dirugikan bisa menuntut secara hukum. Lontar Agama di Bali pada umumnya adalah baik, tetapi beberapa diantaranya sudah direkayasa demi keuntungan golongan tertentu dan merugikan “soroh Jaba”.
Istilah “Ajeg Bali” atau “Ajegang Baline” sepertinya juga sangat baik bila kita semua bermain dengan jujur untuk melestarikan Bali seutuhnya. Tetapi bila di dalam gerakan ajeg Bali ada muatan atau titipan melestarikan dresta yang diskriminatif dari soroh tertenhu maka “soroh jaba” patut waspada agar tidak terjebak oleh perangkap yang bertopeng Ajeg Bali. Kiranya cukuplah 600 tahun saja “soroh jaba” dipasangi perangkap oleh oknum-oknum feodal yang egoistis yang sedang berusaha mempertahankan kekuasaan masa lalunya.
Antara “soroh jabal” dan “soroh menak” keduanya sama-sama tidak tahu riwayat (pada sing nawang unduk) sehingga selalu berbeda pandangan. Unduk apa itu? Unduk motifterbentuknya perangkap maut. “Soroh menak” yang diuntungkan oleh “perangkap maut”tersebut tentu berusaha sekuat tenaga mengajegkannya dengan memodifikasi bentuknya laludipoles dengan cat Ajeg Bali agar kelihatan cantik dipandang orang-orang. “Soroh joba” di pelosokdesa yang masih lugu dan polos. Orang tua – orang tua yang masih percaya dengan dogma Raja-Dewa, dan rekayasa titah Dewata, tentu amat mudah kena perangkap. Tetapi bagi merekayang sudah dapat membaca asal usul “perangkap maut tersebut diatas tentu tidak mau lagimasuk ke dalam perangkap yang menyengsarakan mereka.
Mengapa Raja-Raja di Bali mengalami kepunahan? Sebab beliau melawan hukum Dharma seperti berjudi, menghisap madat, memperdagangkan manusia, merendahkan derajat orang lain, sering berkelahi dengan sesama orang Bali (Raja yang lainnya). Berperang dengan sesama orang Bali menyebabkan kena kutuk dari Ibu Pertiwi sehingga hidupnya berat dan akhirnya hancur menjadi debu. Dengan sewenang-wenang merendahkan derajat rakyatnya menyebabkan dibenci oleh para Dewa Marut. Dari kebencian para Dewa Marut itulah menjelma hukum karma berupa orang Belanda menggempur Raja Raja di Bali sehingga menjadi debu. Bila dresta kuno yang tidak adil itu mau dihidupkan kembali oleh oknum-oknum tertentu, maka bersiap-siaplah untuk memikul kutukan lbu Pertiwi dan gempuran para Dewa Marut di kemudian hari. Dresta kuno yang mulia patut kita junjung tinggi, tetapi dresta kuro yang tidak adil harus dihapus. Oknum-oknum yang mau mempertahankan dresta kuno yang tidak adil adalah orang-orang tidak tahu diri, terlalu pongah menganggap “soroh jabal” adalah soroh i belog.
Berbicara mengenai peradaban, kita mengenal istilah peradaban dewa, peradaban manusia dan peradaban raksasa. Bila ada orang perilakunya jujur, ramah-tamah, rukun, suka menolong, gigih melindungi rakyat, memuliakan orang lain dan pemaaf, maka orang itu dapat dikatakan titisan Dewa dan membawa karakter dewata. Siapapun dia, maka pantas diberi gelar lda Dewa Agung. Bila ada orang berperilaku kasih sayang kepada sesamanya, orang itu adalah titisan manusia. Akan tetapi bila ada orang mementingkan diri sendiri, selalu menyalahkan orang lain dan suka mengutuk orang lain maka orang itu adalah titisan Raksasa. Kepribadian orang seperti ini walaupun sudah di diksa atau di dwijati, harus dijauhi, sebab orang seperti itu tak ubahnya seperti air keras, siapa pun menyentuhnya pasti dimakannya. Sementara itu orang berperingai dewa ibarat tirta sanjiwani patut didekati. Sehingga sejatinya mereka yang dapat dikategorikan ada dalam peradaban para dewa tidak melulu ada di “soroh menak”, bahkan sering kali lebih banyak ada di “soroh jabal” akibat dari keluguan mereka. Tulisan ini tidak bermaksud menyudutkan salah satu soroh dari sekian soroh yang ada di Bali. Tetapi harapannya, mudah-mudahan “soroh menak” memahami kemajuan jaman dan filsafat Veda yang sebenarnya, agar beliau berperilaku seperti Raja Rama di masyarakat yaitu penuh kasih sayang kepada rakyat, melindungi semua rakyat dan aktif berbuat untuk mensejahterakan rakyat. Umat Hindu di Bali sekarang ini masih banyak yang miskin dan memerlukan uluran tangan dari para tokoh dan para hartawan. Tetapi tokoh kita masih banyak yang ketinggalan jaman sehingga perilakunya seperti I Belog yang ingin menolong ikan yang terdampar tetapi memperlakukan ikan tersebut seperti bagaimana dia ingin diperlakukan, yaitu dengan membaringkannya di atas kasur dan diselimuti agar tidak kedinginan. Lalu ikan itu dibuatkan kopi panas dan diminumkan ke mulut si ikan agar badan si ikan yang gemetaran menjadi hangat. Tokoh agama kita masih banyak yang berprilaku seperti kisah I belog ini. Banyak tokoh mengajak umat membuat upacara besar dengan alasan bisa membawa kepada kerahayuan jagat Bali. Tujuan upacara meriah itu memang baik yaitu ingin mensejahterakan umat Hindu dengan menyelenggarakan upacara besar yang menghabiskan biaya ratusan juta rupiah. Setiap KK diwajibkan iuran antara Rp.700.000,- sampai Rp 2.500.000,- dengan harapan nantinya lda Betara mapaica kesejahteraan, seger-oger, sadya rahayu. Hal ini mirip dengan upacara besar-besaran pada waktu bom pertama meledak di Kuta dengan harapan tidak ada bom lagi, tetapi lacur tak berselang berapa lama meledaklah bom yang kedua yang menyebabkan perekonomian di Bali kateter. Cerita ini jangan diartikan menentang upacara, upacara memang harus kita laksanakan sewajarnya dan jangan berlebihan (berhura-hura). Umat Hindu yang sedang seperti ikan terkapar, janganlah diberi minum kopi panas 2.500.000 derajat Celsius. Pergunakanlah wiweka jika ingin menolong umat yang sedang kateter. Kita masing masing punya nalar (wiweka). Jlka ingin menyelamatkan ikan yang terkapar di darat, bawalah ikan itu ke kolam yang airnya sejuk, taburkan makanan ke dalam kolam agar ikan itu tidak kelaparan dan jangan diberi minum kopi panas. Bila ingin menolong umat Hindu yang sedang mengalami krisis ekonomi, berilah mereka lapangan pekerjaan, buatkan poliklinik yang biayanya murah, sekolah biaya murah dan Bank dengan bunga rendah. Para pemimpin umat nun-Hindu sangat memperhatikan keperluan umatnya seperti itu bahkan sekarang mereka membangun sekolah gratis. banyak anak-anak kita dari keluarga yang miskin sudah ada yang masuk di sekolah mereka. Anak-anak itulah nantinya akan menjadi Pendeta nun-Hindu yang militan untuk menarik keluarganya pindah agama. Bila kita mau melarangnya, kita harus siap menjadi orang tua asuh untuk menyekolahkan mereka di sekolah Negeri atau malah di sekolah Hindu. Akan lebih mulia jika kita juga ikut mendirikan sekolah gratis. Jangan hanya melarang saja tanpa ada bantuan apa-apa sebab mereka juga ingin maju seperti temannya yang lain. Bagi kita umat Hindu janganlah semua uang dipakai berhura-hura dengan alasan meyadnya untuk upakara. Bila kita mampu menampung 1-5 orang teman yang masih menganggur untuk dipekerjakan di perusahaan kita, itu sudah lumayan mengurangi angka pengangguran. Atau menjadi orang tua asuh untuk menyekolahkan anak-anak yang putus sekolah. Yadnya seperti ini di jaman Kali Yuga lebih utama dibandingkan dengan upacara besar untuk berhura-hura yang sarat dengan kepura-puraan demi gengsi di masyarakat (ngatik bangbung), di luarnya memang wah akan tetapi di dalamnya kosong melompong
Apa dampak perangkap maut di atas terhadap moral kita sekarang?
Para Pemimpin kita yang sekarang kebanyakan masih menganut pola pikir Raja yaitu mendahulukan kepentingan dirinya atau golongannya dan menomor duakan kepentingan rakyat kecil. Kalau jaman dulu para mantan Raja berlindung dibawah Pemerintah Kolonial Belanda untuk menindas “soroh jaba”, sekarang para Pemimpin kita bernaung dibawah wewenang oknum Pejabat Pusat dan bersekongkol dengan investor untuk menundukkan rakyat. Beberapa contoh kejadian pemberian ijin kepada investor yang merugikan orang banyak antara lain seperti pembangunan lapangan golf yang memerlukan lahan 100 Ha dan memerlukan banyak air. Satu lapangan golf saja sudah menciptakan kemiskinan 300 KK karena petani yang tergusur tidak marnpu menciptakan lapangan pekerjaan baru selain bertani. Sumber air yang dirampas untuk keperluan lapangan golf tentu akan berpengaruh buruk terhadap produkstivitas lahan pertanian di hilir yang biasanya mendapat air dari situ. Bila rakyat menjerit keberatan terhadap proyek itu maka para Pemimpin merayunya dengan janji peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) untuk kesejahteraan rakyat. Setelah PAD meningkat, maka anggaran itu bukannya dipergunakan untuk peningkatan kesejahteraan rakyat melainkan untuk uang rapat, tunjangan perumahan pejabat, jalan jalan ke luar Negeri, beli laptop, mobil dll. Rakyat menjerit mohon perbaikan jalan, mohon pupuk murah,
pendidikan murah, pengobatan murah, tidak ada yang menggubris. Pada waktu Pilkada para calon rajin “masima krama” dengan rakyat di desa dengan rencana kerja yang luar biasa bagusnya agar rakyat memilih beliau menjadi pejabat di Pemerintahan atau menjadi DPR. Semua calon menyodorkan rencana kerja yang amat menyenangkan hati rakyat seperti rencana pengentasan kemiskinan, menanggulangi pengangguran, pengobatan gratis, pendidikan gratis, revitalisasi pertanian, pendeknya serba manis. Tetapi setelah terpilih, ternyata lupa kacang akan kulinrya. Rakyat yang lugu dan polos terus mengalami kerugian seperti nasib penjudi (babotoh) yang dijanjikan kemenangan oleh mahluk “tendas maong”. Walaupun si penjudi sudah berkali-kali kalah bertaruh sampai harta bendanya habis, tetapi masuih juga percaya dengan janjinya sang “tendas maong” sang penipu yang amat lihai. Bila si penjudi mau berhenti bertaruh, maka sang “tendas maong” berbisik: ” Jangan berhenti…! Sekarang sudah tiba gilirannya anda akan menang, jika sekarang tidak bertaruh rugi dong. Ayo pasang yang lebih besar agar kekalahan yang lalu bisa kita dapatkan sekarang!” Karena otak si penjudi memang konyol, diracuni oleh “tendas maong” yang tidak lain adalah nafsu dirinya sendiri, maka dia bertaruh sekian kali lipat yang akhirnya kalah juga.
Pembangunan komplek perumahan pada persawahan yang subur yang memakan lahan ratusan hektar, proyek ini sama juga mengorbankan para perani. Nasib para petani di lndonesia amat tertekan sehingga negara kita harus import beras ke Vietnam. Berbeda dengan nasib petani di Vietnam maupun di Thailand yang sangat diperhatikan oleh Pemerintahnya, yang menyebabkan mereka bisa mengeksport hasil pertaniannya ke lndonesia. Padahal apakah Indonesia kalah subur dari mereka? Tidak. Bahkan dulu mereka jauh lebih terbelakang dari Indonesia.
Pemberian ijin pabrik minuman keras juga merugikan orang banyak. Generasi muda yang sekarang relatif banyak suka minum ninuman keras sampai mabuk. Setelah mabuk membuat ulah, berkelahi, tawuran, kebut-kebutan dalam kondisi mabuk dan lain-lain yang mengganggu ketertiban umum bahkan sering sampai mengorbankan jiwa orang lain.
Bila Pemimpin kita memang memiliki hati nurani terhadap kondisi rakyat kecil yang sedang kesusahan, sebenarnya mereka bisa saja menolak investor yang akan merugikan orang banyak dan berusaha mengundang investor yang akan menguntungkan rakyat banyak. Tetapi sayang sebagian besar pemimpin masih sibuk mempertebal kantongnya sendiri.
Pada waktu jaman kerajaan, rakyat sengaja dibikin bodoh agar disiplin membuta terhadap titah Raja. Sekarang perhatian para Pemimpin dibidang pendidikan amat kurang sehingga biaya pendidikan menjadi mahal yang menyebabkan anak-anak dari keluarga miskin banyak yang putus sekolah. Padahal faktanya sebagian ebsar uang pajak dari rakyat katanya digunakan sebagai anggaran pendidikan. Artinya, secara tidak langsung para Pemimpin membuat rakyat kecil tetap bodoh (mirip dengan ulah Raja). Kebodohan adalah penyebab utama dari kemiskinan. Hal inilah yang menyebabkan kebanyakan rakyat lndonesia miskin. Jepang dan Singapur yang wilayahnya kecil dan sumber daya alamnya amat terbatas dapat membuat rakyatnya sangat maju, kenapa? Karena Pemerintah di sana amat memperhatikan pendidikan. Negara lndonesia walaupun didukung dengan sumber daya alam kaya raya, tetapi rakyatnya sebagian besar miskin, karena Pemerintahnya tidak serius mencerdaskan rakyatnya. Uang rakyat banyak yang disalah gunakan. Karena itu pandai-pandailah memberikan suara pada saat memilih pemimpin. Jika ada orang menjanjikan recana kerja yang muluk-muluk, suruh dia mendirikan sekolah gratis atau sekolah biaya murah atau kursus gratis untuk mendidik dan melatih para pengangguran agar para pengangguran bisa mendirikan usaha kecil-kecilan. Gerakan inilah yang paling mujarab untuk mengatasi kemiskinan dan pengangguran. Sebab para pengusaha kecil yang jumlahnya banyak bisa menyerap banyak tenaga kerja. Jika setiap pengusaha kecil mampu menampung tenaga kerja 5 orang saja, maka puluhan ribu pengangguran akan terserap olehnya. Tetapi kenyataannya para pedagang kaki lima yang berjasa menyerap tenaga kerja banyak justru diuber-uber oleh Trantib dengan tuduhan mengganggu keindahan kota. Padahal seharusnya mereka ditertibkan dengan cara disediakan tempat berjualan yang layak. Sehingga dengan tata kota yang baik, keindahan kota terjaga dan kemiskinan dan pengangguran bisa teratasi.
Karena relatip banyak rakyat berpendidikan rendah (bodoh) maka mentalnya menjadi kerdil (bermental tempe), tidak percaya diri, takut membela diri karena tidak tahu prosedur hukum. Walaupun kebijakan para pemimpinnya merugikan dirinya dan menguntungkan investor, tetapi rakyat tidak bisa berkutik, sungguh amat kasihan. Teman-temannya yang sudah tahu hukum juga pada bungkam, tidak mau membela saudaranya yang sedang terhimpit karena tidak ada honornya membela rakyat kecil. Begitulah sekarang ini hukum rimba merajalela. Yang bodoh menjadi makanan yang pintar, yang pintar dimakan oleh yang licik, yang lemah dimakan oleh yang kuat (asing belogan amaha teken ane duwegan). Diantara kita (Hindu di Bali khususnya) kebanyakan masih menganut pola hidup seperti Raja jaman dulu yang konsumtif dan suka berhura-hura. Ada yang bersenang-senang melalui perjudian, perselingkuhan, pesta sabu-sabu dan hal-hal yang bergengsi terutama bergengsi dalam kegiatan upacara yang meriah.
Pola hidup seperti itu memerlukan banyak biaya Karena pendapatan tidak sebanding dengan biaya yang dikeluarkan. Satu-satunya jalan untuk menutupi biaya itu adalah dengan menjual tanah warisan. Beberapa pengamat ekonomi dari luar Bali mengatakan bahwa orang Bali suka menghambur hamburkan uang bahkan membakar uang dalam bentuk “singa” atau “wedoh”. Orang Bali yang mendengar selentingan itu sepontan marah, karena merasa pengorbanannya (yadnya-nya) dilecehkan oleh orang lain yang tidak mengerti Agama Hindu. Kemudian bagi pendatang yang cerdik, mengunakan cara yang lain, yaitu sering melontarkan pujian dan sanjungan bahwa orang Bali dikatakan tulus berkorban (mayadnya) dan korban itu adalah pondasi dari agungnya budaya Bali yang sukses menarik banyak wisatawan (termasuk pendatang). Dengan pujian itu, orang Bali merasa bangga sehingga lebih loyal membelanjakan uangnya untuk berkorban. Langkah berikutnya dari para cerdik pandai ini adalah menyediakan berjenis jenis barang yang digemari oleh orang Bali antara lain, berbagai kain untuk pembungkus “singa” dan layangan, berbagai kertas, parasbaan warna-warni unfuk “wadah/bade” termasuk kertas togel dengan syairnya yang membuat pikiran orang Bali linglung. Disamping itu minuman keras, narkotika dan juga cewek kafe. Para cerdik pandai dari seberang amat senang (kedek ngikik) karena semua barang dagangannya laris di Bali. Oleh karena mereka amat mudah meraup keuntungan di Bali maka teman-temannya juga ikut berduyun-duyun datang ke Bali dan jumlah mereka tidak kepalang tanggung yaitu 40.000 (empat puluh ribu) orang setiap tahunnya menyerbu Bali. Karena kita terbius oleh puji-pujian dari para cerdik pandai, maka kita tidak merasa terdesak. Menurut penuturan teman di salah satu Desa dipinggiran kota Negara Kabupaten Jembrana bahwa penduduk lokal Bali (Hindu) sudah amat terdesak. Disitu jumlah penduduk lokal 500 KK sedangkan pendatang non Hindu sejumlah 2.000 (dua ribu) KK. Di Ubung, Denpasar jumlah penduduk lokal (Hindu) 500 KK, sedangkan pendatang non Hindu 3.000 (tiga ribu) KK. Tanah sawah di desa itu dulunya semua milik orang Bali, tetapi sekarang sebagian besar sudah pindah tangan menjadi milik pendatang. Dulu orang Bali menjadi tuan tanah, tetapi sekarang orang Bali menjadi penggarap (penyakap) dan pembantu di tenah tersebut. Pendatang yang dulunya hanya pedagang kaki lima tetapi sekarang sudah menjadi tuan tanah. Saudara kita yang tanahnya habis dijual menjadilah golongan KK miskin yang tidak mampu menyekolahkan anak-anaknya. Setelah anak-anaknya dewasa dan sudah pantas untuk menikah, maka mereka menikah tanpa modal. Akibat sikap feodal yang mengarahkan pernikahan pada upacara yang mewah, akhirnya orang tuanyapun mengambil hutang di bank. Belum lunas kreditan upacara perkawinan, sudah tiba gilirannya harus menyediakan uang biaya bersalin (melahirkan). Hutang untuk biaya bersalin belum lunas sudah tiba gilirannya untuk upacara tiga bulanan, kemudian otonan, makutang bok dll. Akhirnya setelah dewasa si bali tersebut mewarisi hutang turun temurun dari leluhurnya. Padahal kalau ditelisik secara niskala, “katanya”, bayi yang lahir tersebut adalah roh I Pekak yang diaber dengan meriah 3 tahun sebelum si bayi lahir. Mengapa upacara “ngabenang I Pekak” meriah? Karena didorong oleh paham yang salah kaprah, yaitu jika “ngaben” harus “ngabehin”. “Yen suba meyanin anak tua, uli meutang Sing buungan” artinya jika mengupacarai orang tua, walaupun dengan jalan berhutang harus dilakukan”. “Carike ento anak ragane ngelahan, kadong onyang adep yen suba anggon meyanin ragane sing kenken” artinya , sawah itu beliau yang punya, kalaupun dijual untuk mengupacarai beliau tidak apa-apa. Pada waktu berpikir seperti itu sama sekali tidak terlintas tentang “punarbawa tattva” (kelahiran kembali). Setelah sekarang I Pekak lahir lagi menjadi cucu ya semuanya sengsara jadinya karena menuruti paham yang keliru tersebut diatas yang menyebabkan keluarga itu jatuh dibawah garis kemiskinan. Karena itu berhati-hatilah menggunakan warisan dan pahamilah filsafat agama dengan benar.
Dikutip dengan perubahan dari tulisan Jero Mangku Wayan Suwena
Ayo semua soroh lebur jadi satu…. jadilah soroh ‘manusa sujati’.
Googling dulu apa itu soroh… hehehe
Pedas skali dan saya suka
Article ini akan sangat berguna jika ditebarkan disetiap bibit, dan perjuangan dilanjutkan untuk membuka mata yg lelap di suarga loka. Sudah seperti ga ada logika,
Panes ulian jengah~
Mohon maaf komentar sy g jelas :p
Benar.
benar dan suksma atas sharing infonya , mari umat sedharma sama sama kita membangun umat Hindu ( Bali) yg pintar . tetap mengembangkan ajaran nyata (real) yg beraifat universal . Suksma .
Article ini adalah realita yang terjadi di Bali dimana orang Bali lebih berbudaya daripada beragama. Upacara yang lebih banyak dipengaruhi oleh unsur budaya lebih diutamakan daripada intisari ajaran agama itu sendiri. Sehinggga banyak dilaksanakan upacara – upacara yang memakan biaya besar tetapi makna dan tujuannya tidak dipahami dan menjadi mubazir atau tidak tepat sasaran.
Dahulu pada Jaman kerajaan di Bali leluhurnya mendapat gelar I Gusti Ngurah itu dikarenakan oleh tugas dan jabatannya seperti gelar bupati saat ini. Apakah masuk akal apabila keturunannya saat ini juga memakai gelar seperti itu? Padahal mereka bekerja atau menjadi karyawan di suatu perusahaan.
Soroh Menak dan soroh Jaba itu tidak perlu dilestarikan karena kita semua adalah Manusa Pada. Semua manusia memiliki harkat dan martabat yang sama.
niki bagian yang sangat sesuai dengan kondisi sekarang “Akibat sikap feodal yang mengarahkan pernikahan pada upacara yang mewah, akhirnya orang tuanyapun mengambil hutang di bank. Belum lunas kreditan upacara perkawinan, sudah tiba gilirannya harus menyediakan uang biaya bersalin (melahirkan)…….