[anti-both]
Sisya: Anda menjelaskan bahwa karma yang dilakukan sesuai prinsip-prinsip dharma, maka karma itu tergolong subha karma. Tetapi dalam kenyataan hidup sehari-hari, tidak ada karma apapun yang seratus persen baik. Misalnya seorang polisi, karena tugasnya menjaga ketertiban dan keamanan, maka dia harus melakukan tindakan kekerasan melawan dan membunuh penjahat. Lalu bagaimana Veda menjelaskan hal ini?
Guru: Veda mengatakan bahwa sva-dharma atau tugas kewajiban setiap golongan sosial (varna) di masyarakat manusia pasti ada saja cacatnya. Begitulah, brahmana kadang-kadang harus berkorban binatang ke dalam api yajna. Seorang kesatriya harus berkelahi dan membunuh musuh di medan perang. Seorang vaisya harus berbohong agar bisa memperoleh keuntungan dalam bisnis. Dan seorang sudra harus melaksanakan pekerjaan yang secara fisik kejam, kotor dan menjijikkan. Semua cacat yang melekat pada karma ini berlawanan dari prinsip-prinsip dharma dan secara pasti menimbulkan akibat buruk yaitu dosa. Karena itu supaya terhindar dari dosa, Sri Krishna berulang kali meminta agar kita hanya bekerja untuk Beliau saja dengan menghaturkan hasil kerja sebagai persembahan kepadaNya. Beliau berkata, “yahnarthat karmanah, lakukan kerja itu untukKu sebagai yajna. Anyatra loko’ yam karma bandhanah, jika tidak, kerja itu hanya akan mengikat kamu di dunia fana ini (Bg. 3.9). mayi sarvani karmani, lakukan semua kerja itu untukKu (Bg. 3.30). Mat karma krn, lakukan kerja itu untukKu (Bg. 11.55). Mad-artham api karmani, laksanakan kerja itu dengan Aku sebagai tujuannya (Bg. 12.10)”. Demikianlah, dengan melaksanakan karma itu dalam bhakti kepada tuhan, kita bisa terlepas dari reaksi dosa yang mengikat kita di dunia fana.
Sisya: Apakah ini berarti bahwa prinsip bhakti yaitu bekerja untuk menyenangkan Tuhan membolehkan setiap orang berbuat dosa dalam batas-batas tertentu?
Guru: Dalam Veda tidak ada dikatakan bahwa orang boleh berbuat dosa dalam batas-batas tertentu atau boleh berbuat sedikit dosa. Oleh karena setiap karma yang terkait dengan svadharma setiap varna manusia pasti ada cacat atau dosanya, maka, supa tidak terbelenggu oleh dosa, Veda meminta agar setiap orang melaksanakan svadharmanya atau svakarmanya masing-masing secara ketat dan mempersembahkan hasil kerjanya kepada Tuhan Yang Maha Esa, Sri Krishna untuk kesenanganNya semata. Dengan menuruti prinsip bhakti ini, seseorang dijamin mencapai kesempurnaan hidup. Dikatakan, “sva-karmana tam abyarcya siddhim vindati manavah, dengan mempersembahkan hasil kerja yang diperoleh dari melaksanakan tugas-kewajibannya pada Tuhan, manusia bisa mencapai kesempurnaan hidup” (Bg. 18.46). Kesempurnaan hidup adalah mukti, kelepasan dari kehidupan material dunia fana yang menyengsarakan.
Sisya: Saya meyakini bahwa setiap karma pasti akan mendatangkan pahala. Lalu bagaimana seseorang bisa dikatakan tidak terkena reaksi dari setiap karma yang dilakukannya?
Guru: Seseorang dikatakan terkena akibat dari perbuatannya jika dia bekerja secara pamrih, yaitu bekerja untuk memuaskan indriya jasmaninya semata dalam usahanya hidup bahagia di dunia fana. Orang yang berkarma seperti itu disebut karmi. Berbuat atau bekerja secara pamrih dengan berbagai akibatnya secara umum disebut karma. Selanjutnya, seseorang dikatakan tidak terkena akibat dari karma yang dilakukannya jika dia bekerja tanpa keterikatan pada hasil, senantiasa merasa puas dan senang dalam bekerja, bebas dari rasa kepemilikan, bertujuan hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup paling pokok agar bisa hidup sederhana, tidak terpengaruh oleh keberhasilan ataupun kegagalan (perhatikan Bg. 4.19-22) dan mempersembahkan hasil kerjanya sebagai yajna kepada Tuhan. Bekerja dalam bhakti tanpa menimbulkan akibat baik ataupun buruk seperti ini disebut akarma. Sedangkan segala perbuatan adharma, yaitu beraneka-macam asubha karma yang terlarang disebut vikarma. Segala vikarma mengakibatkan dosa dan menyebabkan mahluk hidup jatuh ke neraka setelah ajal dan kemudian lahir dan jenis-jenis kehidupan rendah dan hina.
Sisya: Jadi meskipun seseorang sibuk melakukan bermacam-macam karma, sebenarnya dia melakukan akarma jika dia tidak melekat pada hasil kerjanya. Apakah demikian Guru?
Guru: Ya. Karena itu dikatakan bahwa orang yang bisa mengerti karma sebagai akarma dan akarma sebagai karma disebut buddhiman, orang cerdas. Dan karena melaksanakan karma menjadi akarma, maka dikatakan, sa yuktah krtsna-karma-krt, dia bekerja pada tingkatan spiritual meskipun sibuk dalam berane-macam kegiatan (Bg. 4.18).
Sisya: Akarma sebagaimana telah anda katakan adalah perbuatan tanpa menimbulkan akibat baik ataupun buruk yang mengikat si pelaku di dunia fana. Apakah bisa saya katakan bahwa orang yang tidak bekerja adalah orang yang melakukan akarma?
Guru: Apa yang anda maksud dengan tidak bekerja? Secara fisik mungkin seorang bisnisman rumah potong hewan terlihat diam saja dan tidak melakukan kegiatan apapun. Tetapi secara mental dia bekerja dengan keras karena dia memikirkan rencana perluasan bisnisnya karena perluasan rumah potong hewan yang dia rencanakan harus segera dioperasikan. Meskipun tidak aktif secara fisik, pengusaha ini harus terkena akibat buruk dari kegiatan menyemblih hewan setiap hari. Karena itu, orang yang terlihat secara fisik tidak bekerja bukan berarti akarma.
Sisya: Jadi kriteria pokok bahwa seseorang melakukan akarma hanya jika dia tidak terikat pada hasil kerja dan semata-mata sebagai pelayanan bhakti kepada Tuhan?
Guru: Betul. Dengan mempersembahkan hasil kerja kepada Tuhan, maka segala akibat baik ataupun buruk yang muncul dari pelaksanaan kerja itu ditiadakan. Dengan kata lain, pekerjaan dan si pelaku kerja menjadi tersucikan.
Sisya: Berdasarkan penjelasan anda tentang karma, akarma dan vikarma, kegiatan pelayanan bhakti kepada Tuhan adalah akarma. Apakah dengan demikian dapat dikatakan akarma adalah berhakekat spiritual?
Guru: Tepat sekali. Kegiatan pelayanan bhakti selamanya spiritual karena berhubungan langsung dengan Sri Krishna yang mutlak spiritual. Kegiatan pelayanan bhakti mensucikan sang bhakta karena berhubungan langsung dengan Krishna yang maha suci. Dan kegiatan pelayanan bhakti dikatakan akarma karena ia naiskarmya, meniadakan segala akibat baik ataupun buruk dari kegiatan kerja yang dilakukan. Seperti halnya matahari meniadakan bau harum ataupun bau busuk setiap tempa dengan sinarnya. Begitu pula, Sri Krishna meniadakan segala akibat baik ataupun buruk dari kegiatan kerja yang dilakukan sebagai pelayanan bhakti kepadaNya. Sri Krishna berkata, “tad kurusva mad arpanam, dengan menghaturkan segala hasil kegiatan yang dilakukan sebagai persembahan kepadaKu, subhasubha phalair evam moksyase karma bandhanaih, anda akan terbebaskan dari akibat kerja, baik atau pun buruk. Sannyasa yoga yuktatma vimukto mam upaisyasi, berdasarkan prinsip ketidakterikatan seperti ini, anda akan terbebas dari kehidupan material dan mencapai tempat tinggalKu” (Bg. 9.27-28). Pelayanan bhakti kepada Tuhan secara pasti meniadakan dosa yang timbul dari kegiatan kerja yang dilakukannya. Hal ini disampaikan oleh Tuhan Yang Maha Esa, Krishna kepada bhaktanya Uddhava, “Seperti halnya api membakar kayu menjadi abu, tatha mad visaya bhaktir uddhaivainam sa krtsnah, begitu pula O Uddhava, pelayanan bhakti kepadaKu membakar menjadi abu kegiatan berdosa yang mungkin dilakukan oleh penyembahKu” (SB. 11.14.19). Beliau juga berkata, “bhaktir punati mam nistha svapakan api sambhavat, dengan melakukan pelayanan bhakti kepadaKu, bahkan si pemakan daging anjing sekalipun dapat disucikan dari kehidupan yang berdosa (SB 11.14………..). Brahma sang pencipta dunia fana berkata, “karmani nirddhati kintu ca bhakti bhajam, pelayanan bhakti (kepada Sri Govinda) menghapus segala akibat buruk yang timbul dari kegiatan-kerja” (Brahma Samhita 4.54).
Sisya: Mengapa untuk bisa kembali pulang ke dunia rohani, seseorang harus bebas dari akibat baik subha karma dan juga dari akibat buruk asubha karma?
Guru: Sebab akibat baik subha karm dan akibat buruk asubha karma sama-sama mengikat mahluk hidup di alam material. Pahala baik subha karma mengikat sang jiva di alam fana dengan kesenangan material yang semu dan sementara (maya sukha). Sedangkan pahala buruk dari asubha karma mengikat sang jiva dalam alam kesengsaraan dan penderitaan. Karena itu untuk bisa kembali pulang ke alam rohani, seseorang harus bebas dari segala akibat subha karma dan asubha karma.
Sisya: Pada umumnya semua orang waras tahu apa itu subha karma dan asubha karma. Tetapi mengapa begitu gampangnya orang melakukan tindakan asubha karma?
Guru: Karena mereka terseret arus tri guna, tiga sifat alam material, yaitu sattvam, rajas dan tamas dalam kadar yang berbeda-beda. Jika sitaf alam sattvam dominan menyeliputi diri seseorang, maka dia akan menjadi orang baik yang senang melakukan subha karma. Jika lebih banyak diselimuti oleh sifat rajas, maka dia akan menjadi orang serakah dan banyak melakukan perbuatan asubha karma denganmerusak kehidupan mahluk lain. Jika sifat alam tamas yang dominan menyelimuti, maka dia akan dikenal sebagai orang bodoh dan malas yang cenderung asubha karma.
Sisya: Jadi apakah hanya orang yang dominan diliputi sifat sattvam yang bisa melakukan subha karma?
Guru: Ya, sebab dikatakan, “sattvam sanjayate jnanam, dari sifat alam sattvam berkembang pengetahuan spiritual” (Bg. 14.17). Pengetahuan spiritual membuat seseorang insaf akan diri dan berwatak dewani. Dan dari watak dewani ini lahir bemacam-macam subha karma.
Sisya: Dapatkah anda memberikan contoh-contoh praktis dalam kehidupan bahwa setiap orang berkarma sesuai dorongan sifat-sifat alam material yang paling dominan menyelimuti?
Guru: Tuan Amri tahu bahwa berzinah adalah perbuatan berdosa, tetapi mengapa dia melakukannya juga? Sebab sifat alam rajas yang sangat tebal menyelimuti dirinya memaksa dia melakukan asubha karma yang terlarang ini. Tuan Murad tahu bahw jika dirinya disiksa, dia akan menderita bukan kepalang, tetapi mengapa dia senang menyiksa binatang? Sebab sifat alam tamas amat tebal menyelimuti dirinya sehingga dia senang melihat mahluk lain menderita. Tuan Minas menolak secara sopan dan halus ikut serta dalam safari membunuh binatang sebab dia ada dalam sifat alam sattvam.
Sisya: Dikatakan dalam Veda bahwa kondisi kehidupan orang-orang dimasyarakat berbeda-beda antara satu dengan yang lain karena perbuatan mereka berbeda-beda dalam masa penjelmaan sebelumnya. Dapatkah anda menjelaskan hal ini secara ringkas?
Guru: Menurut Veda, setiap karma pasti menimbulkan pahala. Ini disebut hukum karma phala atau hukum sebab akibat. Dikatakan bahwa ada karma yang seketika menghasilkan phala yang disebut prarabha karma. Contohnya saat kita memakan cabai, maka seketika itu juga kita merasakan pedas. Ada karma yang phalanya baru dirasakan beberapa waktu kemudian dalam masa kehidupan sekarang ini yang disebut kriyamana karma. Contohnya, Tuan Dany tiba-tiba masuk penjara karena baru diketahui melakuan perampokan setahun yang lalu. Dan ada karma yang phalanya akan dirasakan pada masa penjelmaan berikutnya yang disebut sancita karma. Contohnya sang majikan menyiksa si pembantu sampai menderita cacat fisik. Karena berhasil menyogok hakim, sang majikan berhasil bebas dari jeratan hukum. Tetapi dia pasti akan merasakan akibatnya dalam masa penjelmaannya yang akan datang. Jadi dari ketiga macam karma ini, sancita karma lah yang menentukan kondisi kehidupan setiap orang dalam penjelmaan berikutnya. Sancita karma ini sering diistilahkan sebagai hutang karma, sebab phalanya belum dijalani. Oleh karena setiap orang memiliki hutang karma dalam kualitas dan kuantitas yang berbeda-beda, maka kondisi kehidupan mereka dalam penjelmaan sekarang berbeda-beda.
Sisya: Apa hubungan karma phala dengan takdir, nasib dan usaha Guru?
Guru: Takdir adalah kondisi kehidupan yang telah ditetapkan oleh Tuhan dalam aspekNya sebagai Paramatma berdasarkan kualitas dan kuantitas huktang karma, dan akan dijalani oleh sang mahluk hidup dalam penjelmaan berikutnya. Kondisi kehidupan yang telah ditetapkan ini mencakup lima hal yaitu: usia, pekerjaan, rejeki, pengetahuan dan kematian. Dikatakan, “ayuh karma ca vittam ca vidya nidhanam eva ca pancaita ni hi srjyante garbhasthasyeya dehinah, usia, pekerjaan, kekayaan, pengetahuan dan kematian telah ditentukan semasih seseorang berada dalam kandungan: (CN 4.1). Nasib adalah akibat baik atau buruk, menyenangkan atau menyengsarakan dari takdir. Sedangkan usaha adalah perbuatan yang dapat dilakukan seseorang agar bisa menikmati kehidupan yang lebih baik dalam penjelmaan berikutnya.
Sisya: Jika saya ditakdirkan hidup sengsara, bagaimana mungkin saya bisa berusaha sehingga sukses merubah nasib saya menjadi lebih baik?
Guru: Usaha anda memperoleh nasib jelek jadi baik dalam masa kehidupan sekarang ini mungkin tidak berhasil sebagai akibat hutang karma anda yang belum lunas. Tetapi usaha anda untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik dalam penjelmaan berikutnya dengan melakukan berbagai subha karma dalam pelayanan bhakti kepada Tuhan dijamin berhasil. Karena itu, Veda menasehati agar kita sebagai manusia beragama hendaknya senantiasa tabah dan sabar menjalani penderitaan sambil terus berusaha keras menyibukkan diri dalam pelayanan bhakti kepada Beliau.
Sisya: Dapatkah anda menjelaskannya lebih jelas lagi?
Guru: Begini, jika kita memiliki uang sedikit diibaratkan takdir, maka nasib kita adalah naik kereta api kelas ekonomi untuk sampai tujuan. Kita tidak bisa merubah keadaan gerbong yang pengap dan duduk berdesakan menjadi suasana yang menyenangkan. Kita harus menjalaninya dengan sabar. Sementara duduk tidak nyaman seperti itu, kita masih punya kesempatan dan kebebasan memanfaatkan waktu. Kita bisa saja tidur, baca koran, atau ngobrol dengan penumpang lainnya. Jika kita duduk saja sambil tidur, berarti kita menyia-nyiakan waktu. Tetapi dengan membaca koran mencari lowongan pekerjaan dan membicarakannya dengan penumpang lain maka ada kemungkinan kita menemukan pekerjaan yang lebih baik yang membuat kehidupan kita menjadi lebih baik pula. Begitulah, hidup melarat sekarang adalah takdir bagi kita sehingga dikatakan kita bernasib malang. Tetapi sementara kita harus tabah hidup sengsara, kita punya waktu dan kesempatan melakukan berbagai subha karma agar dalam penjelmaan berikutnya kita bisa menikmati kehidupan yang lebih baik. Jika tidak berusaha berbuat kebaikan, itu artinya kita menyia-nyiakan hidup kita sebagai manusia.
Sisya: Jadi apakah itu artinya setiap orang yang memiliki sancita karma maka dia pasti mengalami punarbhava atu kelahiran kembali?
Guru: Ya, dikatakan oleh Veda, “deho’ pi daiva vasagah khalu karma yavat, badan jasmani yang bekerja di bawah kendali Tuhan, akan terus diperoleh (sang jiva) selama ia masih memiliki hutang karma (SB. 11.13.37). Dengan kata lain, selama kita masih memiliki hutang karma, kita harus berpunarbhava dalam berbagai jenis kehidupan di dunia fana. Jika semua hutang karma kita telah lunas, barulah kita bisa kembali pulang ke dunia rohani.
Sisya: Sancita karma atau hutang karma menyebabkan punarbhava. Bagaimana proses terjadinya punarbhava ini Guru?
Guru: Segala macam karma yang pahalanya belum terjadi dan disebut hutang karma, terekam dalam manah (pikiran) yang merupakan salah satu unsur badan jasmani halus mahluk hidup. Pada saat ajal, karma yang paling sering dilakukan dan paling disenangi membentuk suasana mental dalam pikiran. Suasana mental ini disebut paham kehidupan. Dan paham kehidupan ini adalah keinginan menikmati alam material dengan cara dan pola tertentu. Paham kehidupan ini menentukan jenis kehidupan atau badan jasmani yang akan diperoleh sang jiva ketika berpunarbhava atau lahir kembali ke dunia fana. Demikianlah proses terjadinya punarbhava ini.
Sisya: Jika memang demikian, bila seseorang selama hidupnya hanya sibuk dengan kegiatan memuaskan indriya jasmani sehingga mentalitas babi terbentuk dalam pikirannya. Apakah ini berarti dia akan menjelma menjadi babi?
Guru: Pasti. Oleh karena kegiatan pesta pora menyantap beraneka macam makanan dan minuman di berbagai tempat menyelimuti pikirannya pada saat ajal, maka mentalitas babi terbentuk dalam pikirannya. Dia ingat pada kegiatan pesta pora seperti itu pada saat ajal. Dan itu berarti dia ingin melakukannya lagi. Sri Krishna maha pemurah. Apapun yang diinginkan oleh mahluk hidup pada saat meninggalkan ajal pasti dikabulkan olehNya. Karena itu Beliau berkata, “yam yam vapi smaram bhavam tyajaty ante kalevaram tatm tam evaiti kaunteya sada tad bhava bhavitah, keadaaan apapun yang diingat oleh seseorang ketika meninggalkan badan jasmaninya, pasti keadaan itu yang akan dia peroleh” (Bg. 8.6).
Sisya: Hukum karma phala adalah hukum sebab akibat, seperti misalnya jika kita menanam jagung, maka pasti akan menghasilkan jagung. Tetapi mengapa hanya karena ingat pada kegiatan pesta pora pada saat kematian menyebabkan orang bereinkarnasi menjadi babi? Bagaimana ini bisa terjadi?
Guru: Hukum karma phala tidaklah sesederhana seperti yang kita pikirkan. Ia amat rumit. Seseorang melakukan berjuta-juta karma selama hidup di dunia fana. Karena itu dia harus merasakan berjuta-juta pahala yang timbul dari karmanya itu. Ketika ajal, segala hutang karma yang amat banyak itu tersimpulkan dalam pikiran berupa suasana mental atau faham kehidupan. Dan faham kehidupan ini menentukan jenis badan jasmani dalam punarbhava berikutnya. Begitulah, ingatan pada kenikmatan pesta pora pada saat kematian melahirkan mentalitas babi dalam pikiran. Dan dari mentalitas babi ini kemudian sang mahluk hidup lahir sebagai babi.
Sisya: Jadi jutaan hutang karma beserta pahalanya melahirkan jutaan mentalitas atau faham kehidupan dalam pikiran. Dan jutaan faham kehidupan ini melahirkan jutaan jenis kehidupan atau badan jasmani. Apa demikian?
Guru: Betul. Menurut Veda, di alam semesta material kita ini terdapat 8.400.000 jenis badan jasmani yang disediakan oleh sang pencipta Brahma untuk menampung paham kehidupan atau mentalitas yang dikembangkan oleh setiap mahluk hidup. Jutaan jenis badan jasmani ini terinci sebagai berikut. 400.000 jenis humanoid, 3.000.000 jenis binatang dan reptil, 1.000.000 jenis burung, 100.000 jenis serangga, 2.000.000 jenis pohon dan tanaman dan 900.000 jenis kehidupan aquatik.
Sisya: Bagaimana anda menjelaskan berdasarkan hukum karma phala tentang suasana kehidupan manusia yang amat berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya di masyarakat?
Guru: Itu ditentukan oleh kualitas dan kuantitas hutang karma setiap orang. Seseorang hidup sebagai pengemis karena banyak memiliki hutang asubha karma. Seseorang hidup mewah sebagai raja karena memiliki banyak hutang subha karma. Seseorang hidup sebagai petani miskin karena memiliki sedkit hutang subha karma dan banyak hutang asubha karma. Dan sebagainya.
Sisya: Bagaimana peranan Tuhan dalam pelaksanaan hukum karma phala yang mengikat kehidupan segala mahluk di alam material ini?
Guru: Veda menjelaskan sebagai berikut. Tuhan dalam aspeknya sebagai Paramatma menjadi saksi (upadrasta) atas segala karma yang dilakukan oleh mahluk hidup dengan badan jasmani yang dihuninya. Kemudian Beliau sebagai Paramatma bertindak sebagai penentu (anumana) akibat atas perbuatan yang dilakukan oleh sang mahluk hidup (perhatikan Bg. 13.23). Perpindahan sang jiva dari badan lama ke badan baru sesuai dengan hutang karmanya dilaksanakan oleh para dewa pengendali urusan material dunia fana di bawah pengawasan Tuhan. Dikatakan, “Karmana daiva netrena jantur dehopapattaye stryah pravisto udaram pumso retah kanasrayah, di bawah pengawasan Tuhan Yang Maha Esa yang sesuai dengan perbuatannya, sang mahluk hidup dimasukkan ke dalam rahim si ibu melalui mani sang ayah untuk memperoleh badan jasmani baru tertentu” (SB. 3.31.1)
Sisya: Apakah pengetahuan tentang hukum karma phala dan punarbhava ini dapat dikatakan ilmiah Guru?
Guru: Pengetahun spiritual karma phala dan punarbhava ini dimengerti berdasarkan logika, rasional dan filsafat yang berpondasi pada sraddha, kepercayaan dan keyakinan teguh bahwa semua penjelasan Veda tentang kehidupan adalah kebenaran meskipun tidak semuanya bisa dilihat dengan mata. Jikalau ilmiah berarti bisa dibuktikan secara logika, rasional dan filosofis, maka pengetahuan karma phala dan punarbhava ini sangat ilmiah. Tetapi jika ilmiah semata-mata dimengerti bisa dilihat mata, dirasakan panca indria dan dibuktikan secara empiris, maka hukum karma phala dan punarbhava bukan pengetahuan ilmiah seperti yang dimengerti yang dimengerti oleh para sarjana duniawi yang berwatak materiastik.
Sisya: Mereka yang tidak mengakui hukum karma phala dan punarbhava mengatakan bahwa pengetahuan yang dikatakan spiritual ini hanyalah khayalan belaka.
Guru: Itu adalah pendapat orang-orang yang tidak mau berpikir dan berbicara berdasarkan logika, rasional dan filsafat. Mereka berpegang teguh pada pernyataan-pernyataan dogmatik ajaran rohani yang dianutnya. Dikatakan bahwa kodisi kehidupan yang berbeda-beda di masyarakat manusia adalah hasil pengaturan Tuhan Yang Maha Adil dan Bijak. Manusia tidak perlu mempermasalahkannya. Begitu mereka berkata. Tetapi pendapat dogmatik ini tidak mampu menjelaskan dengan memuaskan tentang kondisi kehidupan manusia yang berbeda-beda. Pengetahuan spiritual (jnana) Veda ini berbicara tentang roh (jiva), badan jasmani, perbuatan baik dan buruk beserta akibat-akibatnya dan alam dunia yang juga diajarkan dalam semua kitab suci selain Veda. Lalu mengapa pengetahuan tentang karma dan reinkarnasi ini dikatakan khayalan belaka?
Sisya: Karma-phala adalah hukum sebab-akibat, aksi-reaksi. Karena itu, tidakkah dapat dikatakan bahwa hukum ini secara langsung mengajarkan manusia untuk membenarkan perbuatan jahat, amoral dan tindak kekerasan balas-dendam yang dilakukan oleh setiap orang?
Guru: Tentu saja tidak dapat dikatakan bahwa karma-phala adalah hukum balas-dendam. Hanya orang yang mengkhayal secara tidak waras berkata bahwa dirinya membunuh si sahabat karena sahabatnya itulah membunuh dirinya dalam penjelamaan sebelumnya. Akibatnya adalah dia harus tinggal di penjara seumur hidup. Atau dia dihukum mati jikalau hukuman mati diberlakukan di negerinya. Hanya orang jahat berkata bahwa perbuatan korupsi yang dilakukannya adalah hasil (phala) dari subha-karma yang dilakukannya dalam penjelmaan sebelumnya, sehingga sekarang dirinya mendapat kesempatan bagus untuk mengumpulkan uang secara mudah. Jika selama hidupnya dia tidak terjerat oleh hukum, maka dalam penjelmaan berikutnya dia pasti akan merasakan pahalanya yang menyengsarakan. Veda mengajarkan bahwa hidup sebagai manusia adalah kesempatan bagus untk melakukan berbagai subha-karma agar hidup bahagia.
Sisya: Dikatakan oleh para penganut ajaran non-Vedik bahwa hukum karma-phala dan punarbhava (reinkarnasi) sesungguhnya tidak mencerminkan keadilan dan kebijaksanaan Tuhan. Sebab, kata mereka, bagaimana mungkin Tuhan Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang sampai hati menghukum anak kecil yang tidak tahu apapun tentang dirinya, dikatakan telah berbuat dosa dalam penjelmaan sebelumnya?
Guru: Veda mengajarkan agar saya dan anda mengerti kebenaran bukan dengan penglihatan berdasrakan pengetahuan spiritual Veda. Bila anda melihat dengan mata telanjang, lalu bagaimana anda harus menjelaskan bahwa Tuhan sungguh Maha Adil, Maha Bijak, dan Maha Benar dengan mentakdirkan si kecil Joseph lahir di satu keluarga amat miskin di gurun Ogaden Ethiopia dengan pakaian amat kotor compang-camping, tubuh amat kurus hanya tinggal tulang dibalut kulit akibat kekurangan makan selama bertahun-tahun. Sedangkan si kecil Johny lahir di Istana Buckingham dengan beraneka-macam kenyamanan dan kemewahan hidup. Mengapa Joseph harus hidup amat menderita seperti itu sedangkan Johny hidup amat nyaman dan senang?
Sisya: Jika seseorang dihukum, maka dia harus tahu sebab/ alasan dirinya dihukum. Oleh karena berdasarkan prinsip-prinsip karma dan punarbhava setiap orang tidak tahu pasti mengapa dirinya hidup menderita, lalu bagaimana dapat dikatakan bahwa hukum karma-phala adalah wujud keadilan dan kebijaksanaan Tuhan?
Guru: Bila seorang penganut ajaran Veda berkata bahwa dia tidak tahu sebab-musabab dirinya hidup sengsara, maka dia sesungguhnya bukan penganut ajaran Veda. Oleh karena tidak pernah membaca dan mempelajari Veda, maka dia tidak tahu sebab dirinya hidup menderita. Veda telh menjelaskan secara panjang lebar tentang beraneka macam perbuatan (karma) dan akibat (phala) nya yang harus dirasakan oleh Sang Jiva berjasmani manusia yang melakukannya. Manusia yang disebut makhluk paling tinggi, paling cerdas, dan paling beradab wajib mempelajari Vedan dan menjadikannya sebagai pedoman hidup. Karena itu, tidak adala alasan untuk berkata, “Saya tidak tahu kenapa hidup melarat seperti ini, dan hukum karma-phala bukanlah wujud keadilan dan kebijaksanaan Tuhan.”
Sisya: Bukankah tidak logis mengatakan bahwa orang yang sekarang hidup miskin dan melarat adalah penjahat dalam masa kehidupan/ penjelmaan yang telah lewat?
Guru: Jika kehidupan setiap orang dianggap bermula ketika lahir dan berakhir kelak ketika mati; atau jika kehidupan setiap orang dianggap hanya berlangsung sekali ini saja, tidak ada kehidupan material sebelum dan sesudah kehidupan sekarang, maka tidaklah logis mengatakan bahwa si Murad yang kini hidup sebagai pengemis, adalah seorang penjahat dalam kehidupan/ penjelmaan sebelumnya. Tetapi Veda menyatakan bahwa masa kehidupan setiap orag yang kini sedang berlangsung, adalah bagian kecil saja dari banyak kehidupan dalam masa pengembaraannya nan panjang dan lama di alam material untuk mencapai kesempurnaan hidup yaitu kembali pulang ke alam rohani Vikuntha-Loka nan kekal dan membahagiakan. Karena itu, bukanlah tidak logis mengatakan bahwa si Murad yang sekarang hidup sebagai pengemis, adalah seorang penjahat dalam masa kehidupan/ penjelmaan sebelumnya.
Sisya: Mereka yang menolak adanya hukum karma-phala dan punarbhava (reinkarnasi), berkata bahwa ingatan dan informasi tentang peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam masa penjelmaan sebelumnya hanyalah khayalan belaka. Dan dengan mengakui prinsip-prinsip karma dan reinkarnasi hanya menyebabkan pikiran dipenuhi khayalan. Apa komentar anda terhadap pernyataan ini?
Guru: Bila seseorang berpikir berdasarkan nalar pikiran materialnya sendiri dan ditopang oleh kecerdasannya yang terbatas dan tidak sempurna tentang peristiwa-peristiwa dalam masa kehidupan sebelumnya, maka itu disebut khayalan. Tetapi jika seseorang berpikiri berdasarkan logika, rasionalitas, dan filsafat yang berfondasikan sraddha kepada kitab suci Veda tentang kehidupan di mana-mana yang telah lewat, maka itu disebut jnana, pengetahuan spiritual yang sungguh bermanfaat sebagai pedoman hidup.
Sisya: Cacat fisik yang diderita bukanlah akibat (phala) dari perbuatan jahat (asubha-karma) yang dilakukan seseorang dalam masa penjelmaan sebelumnya, tetapi karya setan. Bagaimana tanggapan anda akan hal ini?
Guru: Tuan Pardi dan Nyonya Mira adalah suami-istri dermawan, baik budi, tidak pernah jahat terhadap orang lain. Jika putranya yang cacat fisik adalah karya setan, mengapa Tuhan membiarkan setan berbuat sewenang-wenang? Mengapa Tuhan menimpakan kemalangan kepada mereka yang tergolong bajik ini? Atau mengapa dan apa alasan tuhan mengijinkan setan membuat anak mereka cacat fisik seumur hidup? Dimana letak keadilan dan kebijaksanaan Tuhan? Bagi orang yang tidak suka merenung dan tidak langsung merasakan derita mental seperti yang dialami oleh Tuan Pardi dan Nyonya Mira, maka jawaban dogmatik, “Itu sudah menjadi kehendak Tuhan”, mungkin bisa memuaskan. Tetapi bagi Pardi dan Mira yang menanggung derita mental demikian, jawaban dogmatis ini tentu saja sangat tidak menyenangkan dan memuaskan.
Sisya: Lalu bagaimana pendapat anda tentang terapi hipnotis yang membuktikan bahwa punarbhava adalah fakta?
Guru: Itu adalah cara sederhana yang tidak sempurna. Sebab informasi tentang kehidupan sekarang, kerap kali terungkap secara campur aduk atau tidak sistematik. Sehingga informasi yang diperoleh dengan memundurkan ingatan seseorang jauh ke masa silam sering membingungan dan menjadi tidak masuk akal.
Oleh Ngurah Heka Wikana (Dengan sedikit perubahan)
Recent Comments