Murid: Jikalau prinsip-prinsip kehidupan materialistik ini terus mengotori kesadarannya sampai saat ajal, bagaimana nasib sang jiva selanjutnya?
Guru: Dia kembali terperangkap dalam mrtyu-samsara vartmani, jalur derita kelahiran dan kematian di dunia fana (perhatikan Bg. 9. 3). Dan dia (sang jiva) punas punah carvita carvananam, mengunyah lagi apa yang telah dikunyah sebelumnya (Bhag. 7. 5. 30). Maksudnya, dia mengulang lagi kegiatan-kegiatan yang telah pernah dilakukan dalam setiap penjelmaannya yang telah lewat.
Murid: Tetapi penjelasan Veda tentang kelahiran kembali atau punarbhava (reinkarnasi) ini tidak diperdulikan oleh kebanyakan orang yang mengaku penganut ajaran Veda. Mengapa demikian?
Guru: Sebab, seperti anda telah katakan bahwa kebanyakan sarjana duniawi yang dihormati sebagai orang-orang yang berpengetahuan, menyatakan tidak ada jiva (roh) spiritual-abadi yang menghidupkan badan jasmani, maka rakyat bodoh menjadi tidak perduli pada hukum punarbhava (reinkarnasi) ini. Sebab kedua adalah para pemuka ajaran Veda yang tidak sadar dirinya dikhayalkan oleh maya dengan sifat alam rajas (kenafsuan) dan tamas (kegelapan), mengajarkan kepada umatnya bahwa dengan melaksanakan ritual (yajna) tertentu pada saat kematian, sang jiva disucikan dari dosa-dosa sehingga, katanya, “Ia (sang jiva) tidak mengalami punarbhava lagi”.
Murid: Betulkah ritual (yajna) rumit kurban binatang mampu mensucikan sang jiva sehingga ia tidak mengalami punarbhava (reinkarnasi) lagi dan mencapai mukti?
Guru: Pertama, kita harus tahu bahwa dalam masa Kali-Yuga sekarang tidak ada brahmana yang betul-betul berkualifikasi sebagai yajnika-brahmana yakni brahmana ahli pelaksana ritual yang mengandung himsa-karma kurban binatang. Karena itu, yajna kurban binatang dilarang dilaksanakan oleh Veda pada jaman Kali sekarang (Brahma-vaivarta-Purana Krsna Kanda 115. 112-113).
Kedua, dari percakapan antara Devarishi Narada dengan Raja Pracinabarhi (Bhag. Skanda IV Bagian 4) kita diberitahu bahwa ritual kurban binatang amat riskan. Sedikit saja terjadi kesalahan, ritual ini menjadi tidak bermanfaat, dan malahan membebani si pelaksana dan pelaku ritual dengan reaksi dosa-dosa membunuh hewan-hewan yang dikurbankan.
Ketiga, nasib sang jiva setelah jasmaninya mati sesungguhnya ditentukan oleh macam kesadarannya pada saat ajal. Dikatakan, “Yam yam vapi smaran bhavam tyajaty ante kalevaram tam tam evaiti kaunteya sada tad-bhava-bhavitah, keadaan apapun yang seseorang ingat pada saat ajal, pasti keadaan itu yang dia akan capai” (Bg. 8. 6). Sekarang anda bisa simpulkan sendiri apakah yajna kurban binatang mempu mensucikan sang jiva dari dosa-dosa yang telah diperbuat.
Murid: Lalu, yajna yang bagaimana benar-benar mampu mesucikan sang jiva berjasmani manusia dalam masa Kali-Yuga sekarang?
Guru: Sankirtana yajna yakni yajna dengan mengucapkan nama-nama suci Sri Bhagavan, Kepribadian Tuhan Yang Maha Esa Sri Krishna. Banyak sekali sloka-sloka Veda yang menyatakan bahwa sankirtana ini adalah satu-satunya praktek spiritual yang sungguh-sungguh manjur dan mujarab untuk mensucikan para jiva berjasmani manusia Kali-Yuga dan menuntunnya menuju mukti, kelepasan dari kehidupan material dunia fana yang selalu menyengsarakan.
Murid: Bagaimana prosesnya sehingga hanya dengan mengucap nama-nama suci Tuhan Krishna jiva bisa disucikan?
Guru: Tuhan Krishna berhakekat mutlak (absolute) sehingga nama suci Beliau dengan diri pribadiNya tidak berbeda. Nama suci Beliau adalah bagaikan matahari meniadakan kegelapan dan bau busuk setiap tempat kotor. Begitu pula, dengan secara tekun dan teratur mengucapkan nama-nama suciNya setiap hari, segala sifat-sifat asurik (jahat) yang mengotori hati dan pikiran dengan beraneka-macam dosa, berangsur-angsur dilenyapkan. Demikianlah, pelan tetapi pasti sang jiva menjadi tersucikan.
Murid: Apakah kata “tersucikan” berarti sang jiva lepas dari jerat maya nan halus yaitu tri-guna yang mengkhayalkan?
Guru: Ya, sebab dikatakan, “Guna bhavyena karmanah, perbuatan (karma) baik ataupun buruk (yang reaksinya mengotori kesadaran) timbul dari interaksi tri-guna yang mengkhayalkan, sang jiva kembali insyaf diri, “Aku adalah jiva rohani-abadi pelayan kekal Tuhan Krishna, bukan badan jasmani ini yang dipanggil si Anu. Dan aku hidup sungguh bahagia dengan kembali melayani Beliau dalam hubungan cinta-kasih (bhakti) timbal-balik denganNya”.
Dan sebagaimana telah kita bicarakan sebelumnya, “tersucikan” juga berarti berada pada tingkat spiritual brahma-bhuta.
Murid: Bagaimanakah ciri-ciri sang jiva berjasmani manusia yang telah lepas dari tri-guna?
Guru: Dia tidak membenci pencerahan spiritual, ikatan material atau khayalan jika hal-hal itu datang, atau menginginkannya jika hal-hal itu lenyap. Dia tidak pernah gelisah atau goyah, tetap tabah dalam segala keadaan, merasakan kesusahan dan kesenangan sama saja, melihat segumpal tanah, sebiji batu dan sekerat emas dengan pandangan sama, bijaksana, bersikap sama terhadap cacian dan pujian, tidak terpengaruh oleh penghormatan ataupun penghinaan, memperlakukan kawan dan musuh dengan cara sama, dan tidak melakukan kegiatan pemerih apapun (Bg. 14. 22-25).
Murid: Dengan demikian, sang jiva yang bebas dari ikatan tri-guna telah mencapai mukti, meskipun masih hidup dengan jasmani manusia di alam material. Betulkah begitu?
Guru: Ya benar. Ia (sang jiva) mencapai mukti meskipun masih hidup di alam material dengan jasmani manusia. Dikatakan, “Iha yasya harer dasye karmana manasa gira nikhilesu apy avasthasu jivanmukta sa ucyate, orang yang menyibukkan diri dalam pelayanan kepada Tuhan Hari melalui kata-kata, pikiran dan perbuatan, telah bebas dari derita kehidupan material meskipun masih tinggal di alam fana, dan dia disebut jivan-mukta” (BRS. 1. 2. 187).
Murid: Saya ingin mendengar dari anda tentang orang bijak dan orang bodoh. Bagaimana Veda mendefinisikan jiva berjasmani manusia bijak atau bodoh?
Guru: Dikatakan, “Pandito bandha moksavat, orang bijak adalah dia yang mengerti proses melepaskan diri dari derita kehidupan material dunia fana (Bhag. 11. 19. 41). Dan, murkho dehady aham buddhih, orang bodoh adalah dia yang menganggap badan jasmaninya sebagai dirinya sejati (Bhag. 11. 19. 42)”.
Murid: Berdasarkan definisi tersebut, apakah para jiva berjasmani sarjana duniawi dengan bermacam-macam gelar akademik dapat disebut orang bijak?
Guru: Tidak! Mereka tergolong manusia bodoh karena tidak insyaf diri. Mereka terserap dalam paham jasmaniah, “Aku adalah badan jasmani dengan nama si Anu yang telah mencapai kesempurnaan hidup dengan memiliki gelar akademik”.
Murid: Lalu bagaimana pengetahuan yang mereka dapatkan dari Universitas atau Akademi?
Guru: Itu bukan pengetahuan, tetapi cara-cara memuaskan indriya jasmani. Dan cara-cara memuaskan indriya jasmani secara lebih cepat, lebih mudah, lebih canggih dan lebih efisien, mereka sebut sebagai pengetahuan.
Murid: Kalau begitu, menurut anda apakah pengetahuan itu?
Guru: Tuhan Krishna berkata, “Ksetra-ksetra jnayor jnanam yat taj jnanam matam mama, mengerti perbedaan antara badan jasmani yang material dan sementara (ksetra) dengan sang jiva (ksetra jna) yang rohani-abadi disebut pengetahuan. Itulah pendapatKu” (Bg. 13. 3).
Murid: Wah, saya baru mendengar definisi pengetahuan menurut Veda. Karena itu, saya baru bisa mengerti bahwa jika seseorang benar-benar berpengetahuan, maka dia pasti menekuni kegiatan spiritual dan disebut yogi, Bukankah begitu?
Guru: Ya, sebab jnana (pengetahuan spiritual) menuntun seseorang menuju vairagya, ketidak-melekatan pada hal-hal material. Dan vairagya ini adalah pondasi bagi sang yogi untuk mencapai mukti, kelepasan dari derita kehidupan material dunia fana.
Murid: Saya heran, mengapa kebanyakan sarjana duniawi yang tergolong orang-orang cerdas tidak perduli pada kegiatan spiritual. Malahan banyak dari mereka mencemooh para acarya (guru kerohanian) yang sibuk dalam kegiatan spiritual. Mengapa hal ini bisa terjadi?
Guru: Sebab, sebagaimana saya telah katakana, mereka bukan orang-orang yang sungguh-sungguh berpengetahuan. “Jnanavan mam prapadyante, orang yang sungguh berpengetahuan berserah diri kepadaKu”, kata Tuhan Krishna (Bg. 7. 19). Mereka tidak berminat pada hal-hal spiritual, apalagi berserah diri kepada Tuhan. Dan malahan mereka mencemooh para rohaniawan. Kenapa begitu? Sebab, menurut Veda, mereka adalah mayayapahrta-jnana, orang-orang intelektiual yang pengetahuannya telah dicuri oleh maya, khayalan (perhatikan Bg. 7. 15).
Oleh: Ngurah Heka Wikana
Trackbacks/Pingbacks