Istilah “Tar Twam Asi” dan “Tri Hita Karana” sudah sejak lama kita dengar, tetapi hal itu masih berputar putar di dalam wacana saja, sedangkan pengamalannya masih minim sekali. Mengapa kita masih berputar-putar di wilayah wacana dan belum bersungguh-sungguh melaksanakannya? Tentu karena ada faktor X yang mengganjalnya. Diantara faktor X itu, faktor keturunan yang diramu dalam istilah “kasta” adalah salah satunya. Meski istilah kasta kini sudah berubah berganti baju menjadi istilah “soroh” atau “wangsa”, namun pelaksanaannya di masyarakat masih saja terjadi diskriminasi.
Terdapat 2 soroh yang saling berbeda pendapat, sebut saja “soroh jaba” yaitu soroh di luar Puri (di jaba) dan “soroh menak’ yang berada di “jeroan” (di dalam). “Soroh jaba” merasa dirugikan oleh praktek diskriminasi dari “soroh menak” sehingga mereka menuntut kesetaraan di dalam pergaulan di masyarakat tetapi soroh menak merasa tidak ada merugikan siapa-siapa karena mereka menganggap bahwa hal itu sudah merupakan warisan tradisi secara turun-temurun dan given karena faktor kelahiran.
“Soroh jaba” menuntut kesetaraan dengan mendasarkan pada tradisi Veda (Aham Brahma Asmi) yang lumrah juga dikenal dengan istilah “Tat Tvam Asi”. Filsafat Tri Hita Karana, UUD 1945 dan hukum positif lainnya dengan tegas mengatakan bahwa semua warga Negara Republik [ndonesia mempunyai hak dan kewajiban yang sama. Awig-awig di Banjar pun mengatakan bahwa semua Krama Banjar mempunyai hak dan kewajiban yang sarna. Walaupun demikian, tetapi tetap saja “soroh menak” berkeberatan dan menuntut mendapatkan keistimewaan.
Selama akar permasalahan ini belum terungkap, selama itu pula akan terus terjadi tarik menarik di antara kedua soroh itu yang berpengaruh terhadap kehidupan bermasyarakat di Desa Pakraman.
Istilah soroh menak dan jabal sudah ada sejak lama di Bali. Hal ini menjadi perangkap maut yang mematikan dan dimanfaatkan oleh segelintir orang. Sebagaimana disebutkan dalam karya tulis I Made Kembar Kepun yang terdiri dari 15 Bab, dikatakan bahwa sejak tahun 1343 orang-orang yang cerdik pandai sudah menciptakan “perangkap maut” untuk menjebak orang-orang Bali yang bodoh yang akan dijadikan kuda beban secara turun-temurun. Perangkap itu dirakit sedemikian rupa rapinya yang terdiri dari 6 butir ketentuan berikut:
- Larangan amada-mada Ratu (dilarang meniru-niru Raja dalam berbagai hal).
- Larangan asisia-sisia / nyambuka (dilarang berguru dan meniru Pendeta dalam hal muput upacara dan memberikan tirta pangentas).
- Keharusan masor singgih (kaum Sudra harus di bawah kaum Triwangsa dalam berbagai aspek kehidupan di masyarakat)
- Ketaatan dan ketakutan pada “ajawera” (dilarang mempelajari Agama dengan ancaman akan gila).
- Ketakutan pada paham Raja-Dewa (Raja dipersamakan dengan Betara yang harus dituruti segala kehendaknya).
- Ketakutan terhadap rekayasa “titah Dewa”. Dikatakan oleh para cendekiawan bahwa jika titah Dewa dilanggar akan menimbulkan bencana besar. Padahal hal itu adalah akal-akalan saja. Nama beberapa Dewa dicatut dipakai meneror pikiran rakyat agar rakyat selalu ketakutan terhadap datangnya bencana, wabah penyakit, kelaparan dan lain-lain.
Itulah bentuk “makhluk perangkap maut” yang dirancang oleh para cerdik pandai jaman kerajaan untuk melanggengkan kekuasaannya secara turun-temurun dari abad ke-14 yang menyebabkan rakyat di luar lingkungan kerajaan yang selanjutnya disebut kaum Sudra tidak bisa berkutik. Barang siapa berani melanggarnya pasti dijatuhi hukuman berat, berupa denda yang besar, dipenjarakan, dibuang keluar daerah (diselong), dijual sebagai budak kepada orang asing, bahkan dibunuh dengan kejam. Hukuman mati bisa berupa ditikam dengan keris, dibakar hidup-hidup atau dicemplungkan ke dalam laut dengan memakai pemberat batu yang diikatkan pada kaki terhukum. Kaum Sudra yang terhukum beserta keluarganya tidak berdaya melakukan pembelaan diri, hanya bisa menangis menjerit-jerit meratapi nasibnya. Begitulah “perangkap maut” itu memakan korban yang tidak terhitung banyaknya.
Larangan amada-mada Ratu/Raja dalam hal berbagai sendi-sendi kehidupan seperti dalam hal nama, perkawinan, pakaian, rumah, pekarangan, sikap badan bahkan sampai melahirkan anak kembar buncing pun bisa dihukum. Kaum Sudra dibebani banyak sekali kewajiban, tetapi hampir tidak punya hak apa pun dibandingkan dengan yang dimiliki oleh kaum Triwangsa.
Larangan asisia-sisia atau nyambuka untuk Warga Pande, Pasek dan Bujangga Waisnawa walaupun sudah punya Sulinggih (Empu, Rsi) namun tidak dibolehkan “muput” upacara dan memberikan “tirta pangentas”. Walau pun untuk di keluarganya sendiri. Mereka diharuskan mendatangkan Pedanda untuk muput dan memberikan “tirta pangentas”. Oleh karena larangan ini bertentangan dengan bisama yang tercantum di asing-masing warga itu, maka warga Pande dan Bujangga Waisnawa tidak mau menurutinya. Hal ini menimbulkan perkara berlarut-larut selama 17 tahun dari tahun 1911 – 1928 yang akhirnya dimenangkan oleh warga Pande dan warga Bujangga Waisnawa.
Keharusan “masor-singgih”, kaum Sudra harus berbahasa halus kepada Triwangsa, tetapi Triwangsa boleh berbahasa kasar kepada kaum Sudra. Bila kaum Sudra berbahasa kasar kepada Triwangsa bisa dihukum. Begitu pula masalah pakaian, tempat duduk, sikap badan bentuk dan luas rumah dan lain sebagainya, kaum Sudra harus lebih rendah dari Triwangsa.
Ketaatan dan ketakutan pada “ajawera”, menyebabkan kaum Sudra tidak berani mempelajari Agama, karena takut menjadi gila. Hal ini merupakan obat bius yang sangat ampuh untuk melumpuhkan secara psikologi keberanian kaum Sudra agar mereka selamanya bodoh dan ketakutan.
Ketakutan pada paham Raja-Dewa, kaum Sudra yang bodoh percaya 100% bahwa Rajanya adalah memang titisan Dewa sehingga mereka menyebut Rajanya dengan sebutan lda Betara, Dewa Agung. Kaum Sudra tidak tahu sama sekali caranya membedakan antara Raja Dewa dengan Raja Raksasa. Walaupun perilaku Rajanya sewenang wenang dan tidak berperikemanusiaan, tetapi kaum Sudra tetap taat karena pikirannya sudah dibius dengan paham Raja Dewa yang harus dipujanya. Paham inilah yang melahirkan “Golpar” yaitu golongan parekan yang secara membabibuta membela Rajanya mati matian. Golpar ini merasa sangat bangga jika disayang oleh Rajanya yang dipercaya sebagai “Betera sekala” di dunia. Tetapi kaum Sudra yang cerdik tidak mau menjadi Golpar, sebab dia tahu sifat Dewa adalah penolong, pelindung dan melimpahkan kesejahteraan kepada rakyat sedangkan sifat Rajanya bertolak belakang dengan sifat Dewa.
Ketakutan terhadap rekayasa “Titah Dewa”, untuk menekan kaum Sudra agar takut melanggar keinginan Triwangsa maka pada lontar-lontar tertentu dicantumkan bahwa jika hal itu dilanggar akan menimbulkan bencana, hama merajalela yang menyebabkan gagal panen, gering (wabah penyakit), gerubug (banyak orang mati) dan sejenisnya.
Untuk lebih memperkuat perangkap maut ini, maka disusunlah lontar Hukum Agama, Adigama, Kutaragama dan lain-lain. Pada Hukum Agama ketentuannya tidak adil yaitu bila kaum Sudra yang bersalah maka hukumannya sangat berat. Tetapi bila Triwangsa yang bersalah maka hukumannya ringan. Dalam hal ini nama Bhagawan Manu dipakai kedok menetapkan demikian agar rakyat ketakutan dan taat terhadap ketentuan itu. Padahal jika kembali ke kitab suci Hindu, Veda, yang namanya hak dan kewajiban adalah seimbang. Jika raja dan punggawanya punya hak yang besar, maka jika bersalah maka hukumannya juga akan jauh lebih berat dari rakyat biasa karena dia mengetahui hukum tersebut.
Pada lontar Adigama tercantum tentang jual beli manusia. Dari sinilah timbulnya perdagangan manusia Bali kepada orang asing yang disebut dengan perdagangan budak. Perdagangan budak memberi keuntungan yang luar biasa bagi Raja Raja di Bali karena perdagangan ini tidak memerlukan modal. Raja yang berkuasa penuh dengan mudah menjual orang Bali sebagai budak kepada orang asing yang memerlukannya. Untuk memperlancar bisnis itu maka Raja bekerja sama dengan orang Cina dan orang Bugis sebagai perantaranya. Dari Bali budak (rowang) itu dikirim ke Betawi (Jakarta) kemudian melalui VOC atau pedagang Belanda, budak Bali itu di ekspor ke luar Negeri antara lain ke Mauritius Afrika Selatan, di sana dipekerjakan pada perkebunan tebu. Menurut catatan VOC pada tahun l673 penduduk Betawi pada waktu itu sebanyak 32.068 orang yang terdiri dari 13.278 orang budak dari Bali dan 18.790 orang adalah orang Betawi. Menjelang tahun 1778 budak dari Bali di Betawi berjumlah 13.000 orang, tahun 1815 menjadi 14.249 orang. Pada tahun itu Pemerintah Inggris yang berkuasa di Indonesia melarang jual beli budak. Tetapi setelah Pemerintah Kolonial Belanda berkuasa lagi di Indonesia maka perbudakan marak lagi. Diperkirakan setiap tahunnya lebih dari 1.000 orang budak dijual sehingga antara tahun 1650 – 1883 lebih kurang ada 150.000 orang budak dari Bali (laki- perempuan) diekspor ke luar Negeri oleh Raja. Pada tahun 1633 pegawai VOC yang bernama Oosterwijck menawarkan bedil kepada Raja Klungkung (Dalem Sagening?) di Gelgel. Bunyi ledakan bedil itu sangat menarik minat Raja untuk memilikinya, lalu Raja menukar bedil itu dengan rowang (budak).
Raja Buleleng Gusti Panji Sakti terkenal dengan bisnis perbudakannya bekerja sama dengan pedagang kelahiran Ambon yang bernama Jan Troet. Tidak berbeda dengan Raja Raja yang lainnya keuntungan dari perdagangan budak dipakai mengimpor candu, uang kepeng, senjata, barang barang keramik, sandang yang mahal-mahal. Budak perempuan dari Bali jauh lebih mahal harganya dibandingkan dengan budak laki, karena perempuan Bali disukai oleh orang Cina dan orang Eropa karena dianggap eksotik dan pintar melayani laki laki. Budak perempuan banyak dijadikan “nyai” (penghibur) tuannya. Mereka disenangi karena pintar memasak daging babi, pandai menari dan menenun. Budak laki-laki harganya antara 70 – 80 dolar Spanyol per orang. Budak perempuan 130 dolar Spanyol, yang terampil 150 dolar Spanyol per orang.
Dari mana budak sebanyak itu didapat?
- Dari tawanan perang. Seorang Patih dari Kerajaan Karangaasem mengakui hal itu dan memaparkannya tanpa beban moral sebagai berikut: “kami mengadakan perang dengan tetangga bila kami kekurangan uang. Pada saat itulah kami menyerang tetangga kami yang paling lemah, kemudian semua tahanan dan seluruh keluarganya kami jual sebagai budak sehingga kami…………… punya uang untuk dipakai membeli candu”. (Henk Schulte Nordholt halaman 41).
- Dari orang yang tidak mampu melunasi hutangnya. Mereka ini pada umumnya para penjudi yang kalah. Raja sengaja mengadakan sabung ayam di depan Puri (bencingah) berhari-hari lamanya. Rakyat diharuskan mengadu ayam (uraan). Bila rakyat kalah dan tidak sanggup membayarnya maka mereka dan keluarganya dijadikan budak untuk dijual. Raia-Raja di Bali terkenal penjudi besar dan pemadat berat.
- Budak yang berasal dari tahanan/narapidana. Bila ada pesakitan diadili di Raad Kerta biasanya pesakitan itu dijatuhi hukuman denda yang banyak sehingga tidak mampu membayarnya. Setelah mereka tidak mampu membayar denda maka dijadikan budak bersama keluarganya untuk dijual kepada orang asing. Kesalahan kecil seperti salah memecahkan barang pecah belah yang tidak seberapa harganya, salah dalam bertutur kata atau salah dalam sikap menyembah sering dijadikan alasan oleh Raja untuk menjatuhkan hukuman atau dijual sebagai budak.
Pada tanggal 17 Agustus 1824 Raja Buleleng menjual seorang ibu dan 2 orang anaknya kepada kapten kapal orang Prancis. Sang ibu berumur 40 tahun, anaknya yang perempuan berumur 9 tahun dan anaknya yang laki-laki 6 tahun. Sang kapten tidak mau membeli ibunya karena sudah tua, dia hanya ingin membeli kedua anaknya. Ketika ibu dan kedua anaknya sampai di pantai Buleleng, kedua anaknya menolak untuk dijual lalu memeluk ibunya erat-erat. Mereka bertiga berpeluk-pelukan sambil menangis meraung-raung. Kapten kapal marah lalu memerintahkan 2 orang anak buahnya untuk memisahkan kedua anak itu dari ibunya. Yang seorang memegang ibunya yang satu lagi memisahkan anaknya dari ibunya lalu dinaikkan ke sekoci untuk dimasukkan ke dalam kapal. Ibunya lalu pingsan, setelah siuman pada malam harinya terus menangis berteriak-teriak meratapi kedua anaknya, demikian ibu itu menangis beberapa hari lamanya menanggung rasa perih kehilangan anaknya.
Tahun 1849 Belanda melarang Raja Raja Bali mengekspor budak. Dan pada tahun 1908 semua Raja di Bali ditaklukkan oleh Belanda. Semua Raja menghamba kepada Pemerintah Belanda. Sejak saat itulah para Sudra yang cerdas tahu betul bahwa Rajanya yang disebut lda Betara Dewa Agung bukanlah titisan Dewa melainkan manusia biasa sebab bila betul titisan Dewa semestinya tidak bisa dikalahkan oleh Belanda. Ditinjau dari lontar Widhi Papincatan bahwa sejak Raja Raja Bali menghamba (memarekan) kepada Pemerintah Belanda dan Raja Bali menyebut Ratu Belanda dengan sebutan lda Sri Maharaja Wolanda, sejak itulah tidak ada lagi Triwangsa di Bali. Triwangsa yang sudah menghamba kepada orang lain otomatis jatuh derajatnya menjadi Sudra (kepatita). Agar mantan Raja tidak kehilangan pamornya dihadapan rakyatnya, maka beliau bernaung di bawah Pemerintah Belanda dan Belanda pun mempergunakan mereka sebagai kaki tangannya untuk menekan rakyat Bali agar roda pemerintahan Belanda lancar dan aman. Kaum Triwangsa sangat dimanjakan oleh Belanda dan pada tahun 1910 sistem kasta dihidupkan kembali oleh Belanda untuk dipakai museum hidup sebagai obyek pariwisata yang akan dijual kepada wisatawan asing. Sejak tahun 1911 setelah kaum Triwangsa mendapat perlindungan dari penjajah Belanda maka Adat dan Desa adat sering disalahgunakan dipakai tameng untuk melindungi kepentingan Triwangsa. Karena kaum Triwangsa sudah merasa enak dimanjakan oleh Belanda, maka mereka berharap agar Pemerintah Kolonial Belanda langgeng memerintah di Bali. Pada waktu pergolakan perjuangan kemerdekaan RI 1945 para pejuang kita berhadapan dengan para mantan Raja karena mantan Raja memihak kepada Belanda.
Pada waktu warga Pande Mengwi ngaben tahun 1925 mempergunakan Sri Empu dari Beng Gianyar dilarang oleh Desa Adat Mengwi. Warga Pande diharuskan agar memakai Pedanda untuk muput upacaranya, tetapi warga Pande tidak mau dengan alasan bahwa bisama pada Babad Pande mengharuskan memakai Empu miliknya sendiri. Dengan demikian terjaditah perkara antara warga Pande dengan pihak Desa Adat Mengwi. Begitu pula warga Pande Beng dituduh belanggar Adat asisia sisia oleh Regen Ginyar (pewa Manggis VIII) sehingga terjadi perkara juga yang ahirnya dimenangkan oleh pihak warga Pande. Pande Beng berjuang melawan ketidakadilan sejak tahun 1911 – 1928. Sebenarnya pergerakan perjuangan dari warga Pande, Pasek dan Bujangga Waisnawa untuk menentang ketidakadilan sudah dimuali sejak tahun 1900.
Dikutip dari “Kiat Pan Lagas: Bagian II” Karya Jero mangku Wayan Suwena
Dengan Sedikit perubahan.
artikel yang menarik, tapi sayang nara sumber tidak jelas tercantum
juga sayang sekali disini hanya melihat dari satu sisi saja. dimana tugas tugas dari masing2 kasta itu ada tetapi tidak dicantumkan disini.
Tulisan yang menarik untuk dibaca. Tetapi apakah anda sebagai penulis sempat berpikir, jika sistem kemasyarakatan kami di Bali ini sudah tertata rapi dan apik serta dibakukan semenjak jaman Ida Dalem Waturenggong dengan didampingi Ida Danghyang Nirartha? Ibaratnya saja sebagai rumah. Jika anda tidak menghendaki adanya pembagian fungsi dan peran sebuah ruangan, ya skalian buat ruangan hanya satu saja. Mau tidur disana, mau makan juga disana, MCK pun sekalian di tempat yang sama. Soroh Pande, sudah punya fungsi sebagai armory dan alat pertukangan. Soroh brahmana ditata soal spiritual keagamaan. Soroh ratu (cok, dewa, agung, gusti) urusan pemerintahan, soroh sudra sbg pelaksana lapangan. Salah satu saja dari mereka yang gagal menjalankan fungsi, negara bisa lumpuh. Semua saling menghormati fungsi dan peran masing2. Tyg di Griya saja, kalau braya semua tidak ada, jadinya lumpuh. Mereka pun, tidak ada kami di griya, jadi buta. Seorang ksatriya tanpa adanya pande pembuat senjata,, mau perang pakai apa? Lap handuk?
Masalah berbahasa anda ributkan? Jika anda sebagai pesuruh, berbicara kepada gubernur, apakah akan menggunakan bahasa yg biasa digunakan di warung? Kasar dan halus itu nilai rasa bos! Yang ada itu bahasa alus dan bahasa kepara. Kepara itu artinya bahasa sekular. Jangan dihasut berlebihan lah masyarakat dengan tulisan macam ini.
Masalah tirta pengentas hanya dimonopoli kaum tertentu? Kami di griya ten taen memaksa masyarakat supaya nunas tirta ke griya koq. Kami sudah mendapati sistem seperti ini, bahkan sejak jaman leluhur anda (jika anda orang bali). Jadi jika ini salah, mohon konsultasikan kepada leluhur anda juga mengapa mngambil jalan seperti itu dulu. Sesuai dengan tugas pokok dan fungsi,, jika anda ingin mengajukan proposal pendanaan, mintanya kemana? Bendahara bukan? Apa langsung saja minta uang kepada ketua? Sama dengan kami di griya. Fungsi kami sebagai penuntun masyarakat secara spiritual.. Masyarakat cerdas ya pasti minta tuntunan ke pihak yang kompeten. Jika anda keberatan, silakan minta tuntunan ke pihak lain..
Soroh sudra tidak boleh belajar agama? Hahahaha… Inilah fungsi siwa-sisya di Bali. Siwa sebagai guru spiritual ( di griya ), selalu memberikan pencerahan spiritual kepada sisya nya. Penjabaran ajaran agama dalam kehidupan sehari2.. Tata cara pelaksanaan upacara, dsb. Mungkin anda lelah dengan pekerjaan anda sehingga tidak sempat menilai hal2 ini.
Kalau saya lanjut menanggapi, mungkin tidak cukup halaman ini u tuk komen saya. Jadi sekian dulu, semoga misi anda baik menulis ini. Semoga masyarakat cerdas mengamati dan tidak ada yang terhasut. Saya hanya bersifat meluruskan menurut pandangan saya. Sekian.. Maaf bila menyinggung.
Intinya semua manusia sama.yg mengkotak2an manusia juga manusia yaitu penjajah..
Ngring duenang sareng2 Bali.nki hanya dunia maya Yg tak jls penulisny.tiang usul sareng2 penulis nki mngde ngwentenang paruman terbuka.tiang jgi nyarengin. Mangde wenten narasumber,, bukti,,,,sane otentik. Suksma,,,,, Bali Santhi
Setuju dengan ibg surya.
Dhyang nirata membuat susunan kasta ini agar umat hindu bisa ajeg.tiap hri menjalankan kewajibanya masing2.dan terbukti smpe skrang kita umat hindu di bali masih eksis.apa mau kya sodara kita dijawa tanpa strata dan akhirnya hmpr 100% dimuslimkan..ngoahahaha..mikir dikitlah.. bos.. tatanan inilah yg membuat kita kuat smpe skrang .menurut saya lho
menurut sy ulasan artikel dan respon coment artikel semua ad benarnya jg, tp sepertinya yg inti ulasan disini adalah extrimis dogma2 ala sistem kita jaman dulu’ kya nuansa film saursepuh era thun 90-an,- rajanya naik kuda dn bawa pedang rakyatnya jalan kaki,-
dahyang nirata emang dah buat sistem dan peranan2 kt masing tp ketika sistem sudah berjalan, terjadi over dan divensive ego di antara kelompok yg sudah dibagi oleh dahyang nirata, masa salah bicara aj harus dihukum, kan arogansisasi, hehehe,- mo pakai baju aja diatur ma pak raja, ribet bro…,-
jd mungkin artikel diatas menekankan kesetaraan”! dilain hal sekarang kloning/penggandaan gender sdah ditemukan, dikedepan kloning ini akan dijual dan dijadikan proteksi asuransi, jd bagamina jk nanti kt beli kloning raja aja, gagah, cantik-tampan, dan pintar agama”-hehee
well ini warisan leluhur kt, Semoga kt bisa tetap melestarikan dengan cerdas”-
Dalam tradisi hindu tidak mengenal kasta, warisan leluhur yang nomaden dan tidak sesuai perkembangan jaman akan tenggelam, hal ini sama seperti apa yang dikatakan Krisna kepada Bisma, yang selalu berpegang teguh pada tradisi yang kaku. Saya tetap respek pada catur warna, namun urusan wangsa no way
Isi artikel.a bagus…memang semua kasta memiliki kedudukan dan tugas.a masing”..tpi disini lebih d tekankn pada tat twam asi…jadi jngn baru anda berkasta bisa semena-mena pada yg tdk berkasta karna kita semua sma” ciptaan tuhan..itu inti.a dari artikel ini
Semua soroh membangun dan menjadi pilar untuk kekuatan bali, tulisan ini sungguh sangat bijak apabila disertakan sebuah referensi penyeimbang antara keterlibatan tanggung jawab atas nya. Keberadaan kasta jika diartikan sebagai kelas kewilayahan produk manusia tentu kurang bijak untuk saat ini. Namun keberadaannya adalah sebagai bagian yang mengintegrasikan seluruh kepentingan. Keberagaman bali sampai sekarang sungguh merupakan. Perjuangan atas penyelamatan simbol simbol budaya yang salah satunya adalah “kasta” . Kasta tidak kejam, dia dalam praktiknya saling melengkapi. Dan tentu dalam batasannya masing masing. Jadi kasta jangan dipikir sebagai klasifikasi klas produk tetapi mesti ditempatkan pada ranah bhineka. Semangat untuk Bali.
Menurut tiyang ne yg nulis bukan orang bali maupun orang hindu, yg nulis ini orang dari luar,
Sudah biasa menghasut kita dng cara2 sprti ini.
Kita sudah hidup damai dibali mereka sengaja “mengungkit2” masa lalu untuk menanamkan kebencian diantara kita!!
Kasta urusan individu,jadi apapun jenisnya kita tetap sama,brahmana dan apalah istilah juga manusia, manusia harus bersifat manusia, bertindak sebagai manusia, dan melaksanakan tugas manusia, jangan kita mengagungkan dan membanggakan hal yg seperti ini dan melupakan tugas dan kewajiban sebagai manusia. Konsep bali sudah sangat bagus, manusia dgn manusia, manusia dgn lingkungan, dan manusia dgn yg pencipta,to gen tekekang niscaya hidup kita bahagia.
Maaf sy kurang setuju dg pendapat IBG Surya, krn dalam hindu (veda) tidak pernah disebutkan ada kasta dan wangsa, yang ada hanyalah warna (kedudukan seseorang sesuai dg pekerjaannya). Sy sendiri adalah keturunan Dalem (ksatria), tp sy tidak pernah terlalu mengagung2kan hal tersebut, krn sy hanyalah “warih Dalem” bukan Dalem. Begitu pula bila ada wangsa brahmana yg melenceng dari tugasnya sbg brahmana, maka secara otomatis dia bukanlah brahmana. Sbg contoh, apabila ada seorang wangsa brahmana tetapi prilakunya sama sekali tidak mencerminkan bhwa dia adl seorang brahmana, setiap hari berjudi dan mabuk2an, apakah itu masih layak disebut sebagai brahmana? Sangat tidak layak bukan?! Sebaliknya apabila ada seseorang yg sering kita kenal skrg dg wangsa jaba tetapi melaksanakan dharmaning kapanditan, itulah brahmana yg sesungguhnya. Karena brahmana, ksatria, wesia dan sudra itu bukanlah keturunan/ wangsa, tetapi adalah WARNA. Penggolongan seseorang sesuai dg pekerjaannya. Suksma
Tulisan yang menarik, apalagi jika memeng ada Narasumbernya dan dapat kita teliti dengan pasti dan jangan hanya melihat dari satu sisi saja. setidaknya kita bisa jadikan ini sebagai seminar untuk kita diskusikan bersama
Saya setuju dengan pendapat Gus Ogie, memang terlepas dari soroh/ wangsa atau disebut-sebut sebagai kasta itu tidak ada dalam weda,yang ada adalah warna/ swadharma/pekerjaan yang digeluti. diambil contoh seseorang yang berprofesi sebagai dokter tidak langsung anak atau keturunannya menjadi seorang dokter, tetapi jika anak ini menjalani disiplin belajar sehingga memiliki knowledge, skill dan attitude serta diakui kemampuannya sebagai seorang dokter baru bisa dia disebut Dokter. Jadi bisa saja dia jadi Pemulung misalnya.
Sya pribadi ingin di bangunnya suatu wadah yang bisa menjembatani kondisi ini. Dilingkungan tempat tinggal saya ada keturunan Brahmana, kelakukannya sangat sombong seakan akan mereka memiliki posisi yang dianggap istimewa, padahal sering bikin onar, bicara-bicara kotor dan kasar tidak mencerminkan kebrahmanaan. yang seperti yang perlu di berikan pemahaman jika dia bukan seorang brahmana.
sepakat dengan IBG Surya
http://www.kulkulbali.co/post.php?a=65&t=orang_bali_mengenal_kasta_benarkah__orang_bali_diskriminatif#.VUrsIW6wrMI
Bro… kalau bicara jaman abad 14,, kondisi Bali saat itu masuk masa sulit (kondisi Bali sulit itu tercantum di Purana). Dulu Demak menyerang Majapahit, akhirnya keturunan majapahit semuanya mengamankan Bali sebagai banteng terakhir. Termasuk kedatangan Dang hyang nirartha juga untuk amankan Bali dari serangan Demak yang notabene beraliran Arab.
Dibuatnya tatanan seperti itu untuk memperkuat Bali. Sehingga Bali tetap ada dan menjadi seperti sekarang. Ini sudah masuk tatatan. Kalau sejak jaman abad 14 itu tidak ditata apik, mungkin Bali tak disebut pura seribu pura lagi oleh turis.
Sekarang memang jaman kemerdekaan, reformasi, atau jaman modrn. Banyak yang protes dengan nasib ini. LLU, Kenapa dulu di jaman abad itu tidak berbuat. Sekarang baru protes tidak jelas. Pintar celoteh sedikit sudah menyalahkan orang lain.
Coba lihat kerajaan Inggris, Thailand, tetap eksis. Malah lebih maju dari Indonesia yang diselimuti ke-arab-araban. Sekarang yang mesti dilakukan saling asah-asih asuh. Jangan saling salahkan dan memecahkan. Sampai detik ini, upaya peng-araban baghi Bali masih terus dilakukan, Kalau orang-orangnya masih saling singguk, ape dadine Bali?
Trima kasih..
sepakat dengan Gus Ogie
Setuju dengan gus Ogie
nama tyang ida bgs surya dari griya banjar.! tyang lahir dari seorang ayah dg nama ida putu oka (alm),.dan tmn2 di kampus its_sby umumnya tau tyang ida bgs stlh tyang kirim undgn resepsi pernikahan tyang, krn sblmny tyang perkenalkan nama tyang adl surya.,ida bagus adlh identitas dari ayah tyang yg ida bgs jg. tyang blm merasa sbg brahmana,.krn brahmana adlh sebuah profesi yg suci nan agung yg mengarah vertikal dan pada struktur tingkatan hidup ajaran hindu ada pd tingkatan akhir (bikshuka: terlepas dg ikatan duniawi/materi). oleh krnya bijaksanalah memandang sstu,..berbeda bukan berarti yg satu lebih baik dibanding yg lain. perbedaan adalah sesuatu indah dan kekal,..krn yg menciptakannyapun kekal adanya.! adl org2 yg sempit berpikirnya yg merasa perbedaan itu mrpkan masalah. ingat bali terkenal krn kaya dg budaya yg berbeda2 tanpa harus ada yg mrsa lebih/kurang dg keaadan yg ada. krn cara berpikir kitalah yg salah/keliru menafsirkan indahnya perbedaan itu.!! tlg jgn sekali2 anda menyalahkan keadaan ataupun pendahulu kita yg mungkin dg kesombongan(merasa pintar,.padahal blm tentu) anda mengatakan pendahulu kita itu bodoh. lihat warisan yg mereka wujudkan utk kita,..budaya dan tatanan yg harmoni dlm hidup bermsyrakat di bali adlh warisan yg sebenarnya tdk ternilai dg materi. hyn oleh anda2 yg skrg mrsa pintar dan rakus yg hny mengukur sesstu dg materi yg mengambil keuntungan dari indahnya budaya hindu di bali dg cara menggadaikan,.menjual bahkan yg jadi lebih miris adl anda sendiri yg merendahkan/merusak indahnya budaya tsb.! anda baru bisa berdebat soal benar_salah, baik_buruk, sedih_bahagia,..anda lupa bhw diantara dua hal tsbt ada satu kata kunci yg hrs anda ketahui, pelajari dan aplikasikan. hal tsb adl KEIKHLASAN…!!! tyang bangga jadi anak hindu bali yg berbudaya,.karena budaya jauh lebih bernilai jika dibandingkan dg materi kalau anda jujur ingin membandingkannya. sdr2 kita dari berbagai belahan negara/benoa berdatangan berlibur,.tinggal menetap dan bahkan bny yg ingin meninggal dan dikubur di bali karena mereka bahagia dan bangga berada di (pulau dan masyrkat) bali yg memiliki dan menjungjung tinggi nilai2 budaya yg diwariskan lelulur kita yg tdk mereka punyai di negaranya.!! oleh krn itu hrpan tyang mari kita pandang perbedaan itu sbg harta warisan budaya yg indah tanpa harus diperdebatkan benar_salah atau baik_buruknya.!!! yg salah bukan perbedaan itu sendiri,..tp org yg membedakannya krn kita lahir dari sebuah perbedaan..!!! suksma
Menurut saya semua pendapat yang disampaikan itu bemar.
perbedaan itu sungguhlah sangat baik.
kalau kita cinta Bali, mari kita duduk sama sama
mencari jalan keluar.
Rahajeng semeton bali sareng sinamian.
Menurut saya untuk hal ini tidak akan ad titik temunya semasih kita selalu mempunyai pembenaran masing-masing, saya percaya bahwa leluhur kita terdahulu pasti sudah mempersiapkan hal yg terbaik untuk generasi penerusnya. Yg penting kita bisa menjaga moral etika kita untuk tidak menyinggung dan menyakiti orang lain,sy yakin tidak akan ad yg menanyakan kasta kita apa atau agama kita apa. Tradisi adalah sebuah bentuk warisan para leluhur kita yg patut kita jaga bersama. Sama halnya dengan oknum orang yang ingin menyamakan semua agama di indonesia menjadi agamanya. Seperti itulah juga sedikit makna yg tersirat. Kita hidup dalam wilayah NKRI dengan gaya hidup modern dan sangat disayangkan kalau kita sendiri mempunyai pemikiran untuk mengkikis adat dan tradisi yg di sepakati oleh para leluhur kita. Ingat kita orng yg terlahir dibali dan hidup dengan percaya akan adanya karmaphala sekala niskala.
Ampura minab prade wenten kaiwangan tiyang matur, kirang langkung antuk tiyang nunas gengsinampura
Yang jelas saya suka fotonya…masalah Kasta, biarlah orang Bali sendiri yang menyelesaikan
yg buat artikel terlalu dueg,dan ririh,,cb saja baca tulisan2 lainya.. apa yg menonjol disana?? Siwa atau Wisnu? artikel ini hanya pemecah belah Hindu di BALI.
Masalah kasta memang menarik tp bukankah justru hal tsb yang mengajegkan bali sampai menjadi skrg ini?Mau atau tdk, secara tidak sadar pengkotakan masyarakat hingga kini masih ada, contoh pegawai dan bos nya. Apakah seorang pegawai dpt berbicara kasar kpd bos nya? Nah kalau di bali dulu memang sperti itu, tp skrg tdk. Skrg masyarakat sdh lbh paham dan cerdas shg sudra pun tdk mau dilecehkan dan memiliki kelas sosialnya tersendiri. Tp mengapa banyak kaum sudra hingga kini msh hormat thd keturunan brahmana atau ksatria? Banyak sy temui sejarah bahwa dlu kaum brahmana/ksatria yg menjadikan kaum sudra sebagai anak angkat/parekan di griya/puri hingga menjadi sukses spt skrg. Dan disanalah letak hormatnya hingga saat ini. Jd apabila kaum sudra menuntut apa itu tat twam asi, menurut sy hal itu sdh berjalan, sy lahir di keluarga brahmana,menikah jg di lingkungan brahmana, ketika sy terjun ke masyarakat(banjar) sy tidak pernah merasa istimewa atau diistimewakan. Disana sy biasa melakukan ‘ngayah’ namun dari yg sy amati memang keturunan kaum brahmana lbh terampil dlm hal banten. cobalah melihat sisi positif dr segala hal yg terjadi. Kasta memang kesalahan yg besar tp sadarkah kita, justru kasta yg membuat bali ajeg seperti skrg ini.
Tiang dados metaken sareng Gus Ogie?.Dengan kalimat “dalam hindu (veda) tidak pernah disebutkan ada kasta dan wangsa, yang ada hanyalah warna (kedudukan seseorang sesuai dg pekerjaannya)” dan “bg contoh, apabila ada seorang wangsa brahmana tetapi prilakunya sama sekali tidak mencerminkan bhwa dia adl seorang brahmana, setiap hari berjudi dan mabuk2an, apakah itu masih layak disebut sebagai brahmana? Sangat tidak layak bukan?! Sebaliknya apabila ada seseorang yg sering kita kenal skrg dg wangsa jaba tetapi melaksanakan dharmaning kapanditan, itulah brahmana yg sesungguhnya.”. dalam MAHABARATA dalam agama hindu, dados sang karna tidak diakui sebagai kesatria walaupun sudah menjalani kehidupan dan kewajiban kesatria?. tiang mohon penjelasannya sedikit nggih. Suksma.
Di satu sisi ada benar nya juga,
Bpk IBG Surya saya kurang setuju dengan Komentar bpk.
Yang sebenarnya terjadi susunan KASTA dari Ida Danghyang Nirartha itu sendiri di persalah gunakan oleh Raja-raja rakus yg berkuasa saat itu.
Memang patut kita banggakan susunan kasta di Bali ini.
tapi kita sebagai pemegang kasta juga harus bisa saling menghormati.
jangan hanya kaum Sudra saja yg harus hormat dan sopan.
kembali lagi ke ajaran ” Tri Hita Karana ”
Kita sesama manusia harus saling hormat menghormati jangan bangga dengan apa Drajat kita saat ini, karena pola pikir itulah yang mungkin Penulis Artikel ini maksud sama dengan pola pikir Para pemimpin dan pemegang kekuasaan di Bali pada saat itu.
Artikel yang menarik. Terlepas dari pro kontra atau bagus tidaknya kualitas tulisan, hal ini bisa jadi semacam pemantik buat mempertanyakan kembali persoalan tradisi, budaya, adat, dan warisan nenek moyang Bali lainnya terdahulu. Jika melihat komen2 yang telah dituliskan, terlihat sekali pemahaman kebanyakan orang Bali masa kini tentang “Bali” hanya sebatas wacana. Kebanyakan komen hanya mengkritik didasarkan pada pribadi, emosi, dan apa yang dialami di sekitarnya masing-masing, tanpa dibarengi dengan pengkajian kritis tentang sejarah budaya Bali itu sendiri. Kita mesti ingat, Bali bukan dibangun hanya berdasar pada istilah “nak mule keto”. Semua ada sebab musababnya. Bentuk tradisi, budaya,dan adat Bali misalnya dari masa ke masa tidaklah “Ajeg” seperti apa yang digembar-gemborkan orang. Ini dapat dilihat dari beberapa peristiwa yang menjadi titik tolak bali seperti, sejarah kedatangan Rsi Markandya, Kedatangan Catur Sanak Panca Tirtha, Mpu Kuturan yang melahirkan Pura Samuan Tiga, dan perjalanan Dang Hyang Nirarta di Bali. Dalam peristiwa-peristiwa ini, Bali terus mengalami perubahan dari masa ke masa. Apakah proses ini berlangsung damai? Tidak. Selalu saja ada pergolakan. Sistem Kasta dalam hal ini, pula tak hanya bisa dibaca dari sisi “Ajeg Bali” atau “Nak Mule Keto” saja. Bali dalam sejarahnya sebenarnya selalu terjajah. Kekuasaan di Bali selalu dipegang oleh kaum pendatang, dari kedatangan Rsi Markandya, Majapahahit, Belanda, sampai sekarang. Salah satu praktik kekuasaan adalah sistem Kasta. Sebagaimana yang disebutkan dalam teori kekuasaan Facoult, saat mana terjadi diskrimnasi kekuasaan, di situlah ada pergolakan. Pergolakan sistem kasta sebenarnya sudah terjadi sejak dulu. Yang paling menarik adalah gerakan kelompok Surya Kanta golongan pelajar sudra di Buleleng sekitar tahun 1925. Inipun diimbangi dengan kelompok Adnyana dari golongan triwangsa. Dapat dilihat betapa intelek orang-orang bali zaman dulu berperang dengan pemikiran-pemikiran. Jika kita baca dan bandingkan dengan apa yang terjadi sekarang, miris rasanya melihat orang-orang Bali yang hanya bisa komentar, “Ajeg Bali”, “Nak Mule Keto”, dan komentar kosong sebagainya. Semoga komentar ini membuat anda-anda merasa tersinggung sehingga jadi lebih belajar memahami Bali, sedang mereka yang tidak merasa tersinggung bisa menumbuhkan, memelihara, dan mengembangkan pertanyaan dan pernyataan pandangannya tentang Bali yang pada akhirnya tak terjebak begitu saja dengan kata “Ajeg Bali” dan “Nak Mule Keto”. Mari sama-sama diskusi. Mari sama-sama berbagi. Salam.
Soroh,wangse,apapun sebutanya hanyalah sebuah pembagian tugas dan tanggung jawab. aebagai iluatrasi Kl Ida bagus bekerja di hotel,jadi petani disawah atau pekerjaan yg masih menghambakan atasan ya gelarnya sudra!begitu pula sebaliknya!pada saat seorang mampu dan diakui dlm hal keagamaan baik itu eka jati maupun dwi jati barulah beliau bergelar brahmana…!pada saat seseorang berjuang atau bertempur demi kepentingan orang banyak pada saat itulah beliau bergelar seorang kesatriya….!
Marilah bita bertukar keweruhan dgn menyampingkan rasa feodalisma,rasa keakuan.maknai artikel ini untuk menuntun kita agak kita tidak merendahkan orang lain dgn pembenar kasta….! Sekarang zamanya “cermin” apapun yg anda lakukan didepan cermin seperti itu pula pantulan gambarnya di cermin! Bila anda hormat dan santun pada orang lain niscaya orang lain pun akan hormat dan santu kepada anda….!
Saya dari Buleleng dan dari lahir sampai SMA saya hidup di sana. Masalah kasta adalah masalah yang membosankan untuk dibicarakan, terlalu rumit dan benar-benar tak tahu ujungnya di mana. Sesuai pengalaman, di Buleleng kami biasa saling berkata kasar sesama teman tanpa memandang kastanya, mau dia Ida Bagus, Gusti, Dewa atau yang lainnya. “Kar kije cai? Ije cicinge ne adi tumben ngenah? Mai mantet malu cing” Kalau dikatakan kasar, tidak. Karena itu kebiasaan walaupun artinya kasar tapi maksudnya bukan kasar tapi lebih mengacu keakraban tanpa sedikitpun ada yang merasa tersinggung. Mungkin mereka yang katanya berasal dari triwangsa di rumahnya dengan orangtua harus berbahasa halus, tapi ada juga yang tidak. Nah setelah lulus SMA saya merantau ke Denpasar, benar-benar terlihat sekali bedanya. Di Denpasar saya kaget melihat betapa kentalnya perbedaan antar “kasta” (entah di daerah lain begini atau tidak saya tidak tahu). Harus berbahasa halus dengan yang triwangsa, bahkan sampai “ratu,ratu”. Saya tidak tahu mengapa dipanggil ratu. Karena kebiasaan berbahasa kasar dengan teman sebaya, saya cuma bisa meboye. Ini bukan karena saya tidak menghormati di budaya yang ada di Bali, tapi lebih kepada kebiasaan saya di daerah asal. Bahkan ada yang berpikir mungkin saya tidak memiliki etika karena harus beradaptasi di daerah yang saya tinggali dan mengikuti aturannya. Tidak. Etika saya hanya berlaku pada orang yang juga menghormati orang lain tanpa memikir kastanya. Dia memberi saya 100, saya berikan dia 1000. Apabila ada yang tersinggung dengan kata-kata saya, silahkan.
setiap hal selalu ada sisi positif dan negatifnya…kasta memang memilki perananya masing-masing. Memang tidak semua raja atau orang-orang dari tri wangsa memiliki sikap cakap akan tetapi kastalah salah satu alat yang menjaga adat dibali yang menerapkan sistem leluhur,suka-tidak suka inilah salah satu cara kita untuk mengetahui jati diri kita siapa dan leluhur kita. Hanya saja beberapa oknum menggunakan hal ini untuk kepentingan pribadinya sehingga merugikan yang lain sehingga menimbulkan perdebatan dan rasa tidak terima dari orang-orang yang dirugikan
Sangat setuju dgn pendapat Basma. Kasta, soroh, wangsa, warna, atau apapun istilah tatanan trsebut adalah sebuah pembagian tugas. Raja yg tega menjual rakyatnya sbg budak itu sudah jauh mlanggar tugasnya sebagai pelindung. Sama saja dengab oknum pejabat saat ini yg korup. Artikel ini dimaksudkan agar kita bercermin, mulat sarira. Kalau bukan kita yg merubah sikap dan cara pandang ke arah yg lbh baik, siapa lagi yg akan kita serahkan tanggung jawab untuk memajukan Bali? Suksma
Om swastyastu semeton sinamian
Tiang i putu agus samiarta, kuliah ring ITS Surabaya
Nunas ampura dumun kalau ty salah nantinya dalam maksud dan penulisan komentar ty.
Ty sependapat dengan bli ari , dalam bahasa dan pergaulan sehari2 simple nya tak ada yang dibedakan antara sesama manusia itu baik disebut oleh masyarakat banyak adalah jaba dan menak. Maupun kalo tiyang kutip pernyataan bli IBG Surya sebenarnya kita sudah sadar bahwa ada nya rasa dan rasa tak bisa dipaksakan. Seperti memuput upakara atau mimpin upakara, ada wangsa A harus dipuput dengan pandita dari A dan tak bisa dipaksakan dengan pandita lain. Akan tetapi jika kita benturkan kepada manusia dimata tuhan yang dipandang sama tak ada bedanya , baik dari segi memuja beliau, ketulusan ikhlas lah dilihat tuhan , bukan besar atau kecil atau banyak. Nah menurut tyang seharusnya siapaun harus dihormati terlepas dia kaya atau miskin dsb. Tak ada pembeda! Begitu pula seperti contoh tadi siapapun layak muput atau mimpin karya dalam hal ini sudah medwi atau ekajati baik dari soroh apapun dan memuput atau mimpin karya disoroh apapun.
Niki sedikit terkait catur warna
Di weda disebutkan warna nika kalo tiang baca2 dari artikel bahwa membedakan manusia berdasarkan pekerjaan saja tapi tak mengkotakan.
Semisal dia seorang wesya dia berdagang mencari uang dan ketika dia mampu dia berpolitik dan menjadi seorang pemimpin ya disebut seorang kesatria kemudian dan begitu seterusnya. Jadi tidak ada pengkotakan itu sebenarnya.akan tetapi niki sempat tiang baca tapi ampura dumun tiyang lupa nyatet sumber nya, seandainya salah mohon dikoreksi semeton sinamian, bahwa saat datang nya dang hyang nirartha ke bali saat itulah mulai ada pembagian catur warna tersebut. Saya tidak mengerti tujuan nya saat itu lebih kepada pembagian tugas dimasyarakat agar tertib atau sebagaimana, tapi dari yang saya baca disitus tersebut bahwa dhang hyang nirarta membagi :
kaum brahmana adalah keturunan keturunan nya dan keturunan dhang hyang astapaka(saudara dhang hyang nirarta)
Kaum ksatria adalah keturunan raja (kebetulan saat itu raja bali dalem waturenggong) dan para patih
Sisanya adalah wesya sudra
Tidak berani menyimpulkan terlalu jauh tapi mungkin karena pembagian ini munculnya pengkotakan di bali dalam hal kasta itu. Mohon maaf sebelumnya untuk link nya coba saya cari lagi kebetulan karena itu penting kemarin saat membaca saya capture dan saya save sebagai referensi
Mungkin sekian pendapat saya, tidak ada maksud lain dan tujuan apa2
Hanya ingin belajar dan berbagi info kepada semeton semua.
Apabila ty ada salah mohon maaf sebesarnya, yening wenten koreksi mohon dikoreksi
Ainggih kirang langkung tiang nunas pangampura , suksma
Om shanti shanti shanti om
Kasta atau wangsa sebaiknya dimaknai sebagai tugas dalam masyarakat, jgn terlalu sibuk dgn gelar/nama dr keturunan. Saling menghormati yg paling penting. Sangat parlu diingat, penjajah selalu berupaya memecah belah dgn berbagai cara, Hindu Bali dg konflik “Kasta”, Islam Jawa dg konflik pengikut “Wali Sanga vs Syech Siti Jenar” terlepas dr kebenaran keberadaan Syech Siti Jenar. Pilihan ada ditangan kita mau “Merdeka” atau terus “Terjajah”.
…Atau mungkin Sadripu sedang menguasai pikiran penulis kala itu.
Salahnya dimana ya? saya sebagai orang sudra..gak ada masalah sama sekali dgn kasta. Lagian kasta di Bali beda dengan sistem kasta di India. Sebagai orang sudra..tiang diajarkan untuk berbahasa halus ke orang menak. Gak masalah..karena tiang jadinya bisa bahasa halus. Dan bahasanyapun tidak akan punah kalau sistem ini diteruskan. Sebagai orang sudra..tiang diajarkan menumbuhkan rasa hormat dan saling menghargai, diajari sopan santun. Ah..banyak lagi dan semuanya baik menurut tiang. Gak ada yang salah. Gak ada yang perlu diperdebatkan.