Oleh: Bhagawan Dwija
Kadek Arianti gadis remaja asal Singaraja adalah seorang Sarjana Ekonomi lulusan Fakultas Ekonomi tahun 1971 di Universitas Brawijaya Malang Jawa Timur. Setelah tamat kuliah lalu Kadek bekerja di Hotel di Denpasar. Di tempat kerja Kadek berkenalan dengan seorang Tjokordo. Singkat cerita, berganti bulan dan tahun pekenalannya pun lanjut ke arah pasaran dan akhirnya memutuskan untuk menikah.
Awalnya, Ayah dan lbunya tidak setuju karena ada suatu perasaan tidak enak di hati kedua orang tua itu. Cara pernikahan Kadek juga kurang pas karena harus dengan jalan kawin lari yang di Buleleng disebut “merangkat”. Menjelang malam terdapat 4 orang utusan membawa surat tulisan tangan Kadek yang isinya bahwa ia memang kawin lari atas kemauannya sendiri yang didasari cinta pada TJokorda. Selang seminggu kemudian ada lagi 2 orang utusan dari Tjokorda datang mengundang kedua orang tuanya Kadek untuk menghadiri upacara perkawinan di Puri.
Orang tua dan hampir semua sanak keluarga Kadek akhirnya datang beramai-ramai ke Puri untuk menyaksikan upacara perkawinan dan sekaligus melepas kerinduan pada Kadek serta mengenal sosok Tjokorda karena selama ini mereka belum pernah bertemu. Mereka pun disambut baik dan didudukkan di serambi di samping gedong utama tempat upacara berlangsung. Sedangkan di sebelah Utara dan Timur duduk beberapa keluarga Puri. Suasana “pawiwahan” ternyata sangat sederhana. Tidak ada gamelan, kidung, Pedanda, apalagi makanan pesta. Suasananya dingin, tidak ada tegur sapa yang patut dari keluarga Tjokorda. Kondisi yang sangat bertolak belakang dengan apa yang dipikirkan oleh sanak keluarga Kadek sebelumnya. Kondisi ini membuat Keluarga dari Buleleng menyangka ada sesuatu yang salah dan satu sama lain saling berbisik, bergumam, bertanya kepada saudara disebelahnya. Yang ditanya juga tidak tahu, sehingga bisik-bisik itu semakin gaduh ditambah dengan raut wajah yang semakin asam. Pan Tamba, kakek Kadek Arianti yang menjadi orang tertua dalam rombongan Buleleng menghentikan kasa-kusuk itu sambil menunjuk ke arah Utara. Semua pandangan mengikuti jari telunjuk Bapa Tamba. Tampak Kadek Arianti keluar dari pintu gedong dengan pakaian sederhana sambil membawa sebilah keris. Pan Tamba mengernyitkan dahinya sambil memeras otak bertanya dalam hati, apa yang terjadi, ada apa ini? Di mana Tjokorda, suami Kadek? Keluarga Buleleng hening dalam kebingungan dengan mulut menganga. Tenyata Kadek “natab banten beya kala” bersama keris yang dibawanya. Sedangkan Tjokorda hanya berdiri di luar arena menonton prosesi itu. Upacara itu dipimpin seorang Mangku dan hanya berlangsung singkat. Setelah upacara itu selesai, keluarga besar Kadek dijamu hanya dengan ala kadarnya. Kejadian ini membuat mereka sulit menelan nasi yang terasa seakan-akan mengganjal di tenggorokan. Apa lagi menyaksikan pemandangan dimana Kadek Aryanti tidak pernah duduk bersebelahan dengan suaminya, Tjokordo. Dia hanya duduk menjauh dari Tjokordo. Pemandangan yang sangat ganjil dilihat dari kaca mata pernikahan pada umumnya.
Setelah selesai makan, seorang Ibu yang mengaku sebagai Ibu tiri Tjokorda datang menghampiri rombongan Buleleng. Setelah menyapa ala kadarnya dia menjelaskan bahwa Kadek sekarang sudah berganti nama menjadi Jero Jempiring. Katanya itu suatu penghargaan dan kenaikan tingkat angsa (baca: kasta) sedikit lebih tinggi dari orang-orang sudra karena diambil menjadi istri seorang Triwangsa. Semua orang Buleleng sekarang tidak boleh lagi memanggil Kadek dengan nama gadisnya karena sudah diupacarai sebagai “pangayah” (pelayan) Tjokorda. Mereka harus memanggil “Jero” kepadanya sekalipun orang tua dan kakek neneknya sendiri. Pan Tamba ingin bertanya setengah protes, tetapi cepat-cepat dicegah karena itu adalah pesan khusus dari Tjokorda Lingsir. Dia hanya menyambung lidah dan tidak berhak menjawab pertanyaan. Dengan penuh kebingungan rombongan Buleleng pulang mengelus dada. Pembicaraan di dalam mobil menuju Singaraja semakin panas. Nyoman Suardana, adik Kadek Arianti paling tidak puas. Dia bergumam berkata; “Tahu begtu mendingan tidak datang, kita dihina, dilecehkan, direndahkan”. Ayah Kadek Aryanti hanya bisa mengatakan sudah dan memperlihatkan kebingungannya. Sedangkan Pan Tamba hanya bisa menengahi dan mengingatkan sesuai pesan tadi, kalau sudah tidak boleh lagi memanggil Kadek Aryanti seenaknya karena dia sudah menjadi Jero Jempiring, jadi panggilannya harus “Jero” kalau tidak kamu kualat. Tentu saja hal ini menulai protes dari Ibu si Kadek dengan berteriak: “Jero-Jero ain cicing (kotoran anjing), memangnya dia itu lahir dari mana? Bukankah dari perutku ini?” seraya menunjuk bagian bawah perutnya. “Lalu aku harus menyembah nyembah anakku itu?” Percekcokan tiada habisnya sampai mereka turun di Singaraja dan kembali ke rumah masing-masing. Tetangga pada berkunjung ke rumah Gede Mandra, Ayah Kadek Arianti seraya menanyakan kemeriahan upacara di Puri. Lalu spontan Ibu si Kadek Aryanti menyahut dari dapur dengan berkata: “da Suba tuturango ento ngae lek dogen” (Jangan lagi diceriterakan masalah itu, bikin malu saja).
Singkat cerita, tahun demi tahun kehidupan Jero Jempiring di Puri sangatlah berbeda dengan yang dibayangkannya semula. Statusnya hanyalah sebagai “pangayah” atau pembantu, bukan istri dalam artian kehidupan rumah tangga sebagaimana pada umumnya dan yang tertulis dalam pustaka suci Veda. Dia membahasakan dirinya “titiang pangayah Tjokorda” dan menyebut Tjokorda sebagai “gustin titiang” dan bukan sebagai “suami saya”. Sekalipun demikian Jero Jempiring mendapat tiga anak dari perkawinannya dengan Tjokorda. Dua anak perempuan dan satu anak laki-laki, semua anaknya memanggil Jero Jempiring sebagai “embok” (dalam bahasa Bali berarti kakak), bukan Ibu atau “mama” sebagaimana umumnya seorang anak memanggil ibunya. Jero Jempiring memanggil anaknya yang laki-laki sebagai Tjokorda Bagus dan anak-anak perempuannya sebagai Tjokorda Istri. Ia tidak boleh sembarangan memegang kepala anak anaknya. Ketika bayi dan anak-anak, ia harus minta ijin dulu untuk menyisir rambut anak-anaknya. Setelah besar, sangat tabu bagi Jero Jempiring memegang kepala anak-anaknya. Harus ada jarak antara ibu dan anak-anaknya.
Sampai pada suatu ketika, tibalah mala petaka yang tidak kalah hebatnya bagi Jero Jempiring. Ketika itu sang Tjokorda, “gustinya” harus menikah lagi dengan wanita yang sederajat wangsanya untuk menjaga keajegan darah biru Tjokorda. Kali ini pesta “pawiwahan” sangat mewah dan luar biasa. Undangan dari keluarga besar Puri-Puri di seluruh Bali memenuhi Puri dan bahasa canggah-ungguh menebar dimana mana. Pesta berlangsung hampir seminggu penuh. Dengan istri mudanya, Tjokorda tampak sebagaimana layaknya suami-istri, saling memanggil “raka” (kakak) dan “rai’ (adik). Sungguh pemandangan yang sangat berbeda jika dibandingkan saat dulu menikah dengan Jero Jempiring. Jero Jempiring “matur” (berkata) kepada madunya “Dewa Agung Ibu”. Selain itu ia harus merelakan kasih sayang Tjokorda berpindah kepada “madunya” yang muda itu. Ia tidak mempunyai hak apa pun sebagai istri. Kenapa? Karena Jero Jempiring hanyalah seorang “pengayah”. Tangis tak akan menolong, sesal pun sudah tidak berguna. Begitulah nasib tragis Jero Jempiring.
Bertahun tahun penderitaan itu dijalaninya sehingga sampailah suatu hari ia tak tahan lagi sehingga ia mohon ‘mapamit’ dari Tjokorda kembali ke rumah orang tuanya dan berhenti “ngayah” di Puri. Dalam bahasa yang tegas ia minta cerai. Di kala itu usianya sudah mencapai 48 tahun, badannya sudah kurus kering dibelenggu tradisi. Roman mukanya sudah tua. Jauh berbeda dengan penampilannya saat dia belum menikah dulu. Dulu dia adalah gadis cantik jelita yang dikejar-kejar banyak pemuda dimanapun dia berada.
Inilah salah satu contoh kasus pelecehan terhadap orang yang dicap Sudra. Bagaimana perasaan anda jika memiliki anak gadis cantik berpendidikan tinggi diperlakukan seperti Jero Jempiring? Karena itu, bangkitlah wahai para pemuda-pemudi Bali. Kembalikan Bali sebagaimana tattva yang tertuang dalam kitab suci Veda. Hapus tradisi feodal yang tercipta hanya karena muatan politis dan ekonomi dari kalangan tertentu. Sudah saatnya Anda sebagai orang Bali menjadi orang cerdas yang tahu mana baik dan buruk.
Dikutip dengan perubahan dari Majalah Raditya No.83 Juni 2004.
Recent Comments