“Tingkah krama Bali sing luungan teken cicing”. Begitu kira-kira salah satu umpatan seorang rekan saat kami terlibat dalam diskusi mengenai watak dan karakter orang Bali. Pada awal diskusi kami mempertanyakan kenapa (dulu) di Bali relatif lebih aman dari pada di daerah lain di Indonesia. Jawaban yang paling mendasar tentu adalah karena dasar budaya yang berakar pada Hindu. Mereka sangat meyakini hukum karma dan sangat takut pada reaksi pahala dari tindakan-tindakan jahat yang mereka lakukan. Mereka umumnya tidak suka mencuri, merampok atau pun memperkosa seperti yang marak terjadi di daerah lain. Namun pertanyaannya, kenapa mereka suka berkelahi? Kenapa mereka suka menjatuhkan “nyama pedidi”? Apakah hukum karma yang mereka anut hanya berlaku parsial?
Bali dengan Hindunya sangat terkenal pada toleransinya. Di Indonesia, mungkin hanya di Bali orang bisa bebas mendirikan tempat ibadah dan melakukan keyakinannya sebebas-bebasnya tanpa takut digrebek dan diberhanguskan ormas setempat. Belum pernah kejadian Gereja dan Masjid dibom dan diporak-porandakan. Tidak juga ada berita yang mengatakan pembubaran paksa golongan minoritas tertentu pada saat melaksanakan ibadahnya. Umat Hindu sebagai mayoritas tetap hidup rukun berdampingan dengan umat minoritas apapun. Bahkan di salah satu wilayah di Nusa Dua terdapat komplek dimana lima tempat ibadah berdiri dengan harmonisnya. Sebuah pemandangan yang mungkin sulit dapat diwujudkan di sebagian besar wilayah Indonesia saat ini.
Dibalik toleransi yang luar biasa terhadap umat beragama lain ini, ternyata Bali menyimpan segudang intoleransi terhadap “krama”-nya sendiri. Tindakan meneror dengan cap sesat terhadap suatu bentuk lain dari Hindu sampai saat ini masih saja berkumandang. Pengucilan beberapa anggota masyarakat Hindu dan mempersulit mereka juga menjadi pemandangan yang biasa. Orang Bali hanya sibuk “mejugjag ajak nyama”.
Sebuah kasus lucu yang sepertinya menarik untuk kita cermati bersama adalah masalah penggunaan nama. Salah satunya adalah seperti yang pernah dialami oleh Bapak I Gusti Kompiang Gede Perean yang beralamat di Jl. Gunung Sari 18 Sanur Kauh, Denpasar Selatan. Pada tanggal 27 Juni 2003 silam beliau dikaruniai seorang putra. Purtranya tersebut beliau beri nama depan I Gusti Bagus. Sebuah nama yang sama dengan nama yang beliau sandang. Namun pada saat menghadap ke petugas Catatan Sipil di kota Denpasar, ternyata nama I Gusti Bagus untuk anaknya tersebut tidak bisa di proses karena ditengarai beliau bukan dari keturunan Gusti akibat kesalahan pengetikan di akte kelahiran yang tertulis “I Gusi”, bukan “I Gusti”. Petugas Catatan Sipil mengatakan bahwa sudah ada SK Gubernur yang mengatur tentang kebangsawanan sehingga ada aturan yang harus diikuti dalam penggunaan nama.
Untuk mempercepat proses penerbitan akte kelahiran, akhirnya beliau mengalah dengan menghilangkan kata I Gusti dari nama anaknya. Beliau mendaftarkan kembali nama anaknya ke Catatan Sipil pada tanggal 5 Juli 2003 dengan nama depan “Bagus”. Namun lagi-lagi nama depan “Bagus” tidak diijinkan dipakai karena dikatakan bahwa nama “Bagus” adalah termasuk dalam golongan ksatria.
Petugas yang Bapak Gusti Kompiang Gede Perean hadapi berargumen dengan menunjukkan SK MPLA/I/234/1994 yang mengatakan bahwa untuk mengubah nama, maka dia harus menghadap PHDI atau Lembaga Pengadilan Adat. Petugas menjelaskan bahwa aturan ini berlaku untuk semua orang Hindu di Bali. Namun hal ini tidak berlaku untuk orang Bali non-Hindu ataupun orang non-Hindu dari luar Bali. Orang non-Hindu bebas menggunakan nama-nama seperti “Ida Ratu”, “Cokorda”, “I Dewa”, “Pande” “I Gusti”, “I Gusti Bagus”, “Bagus” dan sebagainya.
Sebuah kasus yang sangat lucu bukan? Dari mana aturan dalam kitab suci Hindu yang melarang penggunaan nama-nama tertentu? Dari mana sloka-sloka Veda mengukuhkan bahwa Brahmana, Ksatria, Vaisya dan Sudra adalah keturunan dan sang anak wajib mengikuti gelar orang tuanya? Jangankan pelarangan masalah nama, pembenaran bahwa varna seseorang ditentukan berdasarkan kelahiran pun sama sekali tidak dibenarkan dalam Hindu. Sungguh sebuah aturan yang sangat memprihatinkan. Bukankah pada dasarnya aturan dibuat untuk mempermudah dan mengharmonisasi kehidupan? Lalu kenapa aturan ini dibuat mempersulit umat Hindu sendiri sementara di sisi lain mempermudah non-Hindu? Bayangkan jika ada orang luar Hindu memanfaatkan kejadian ini seperti yang dilakukan Uztadz Abdul Aziz yang mempropagandakan diri sebagai mantan pendeta Hindu dari kasta tertinggi dengan nama asli Ida Bagus Erit Budi Finarno. Apa yang akan terjadi dengan Hindu di Bali 10 tahun kedepan jika orang Bali masih tetap dungu seperti itu?
Berkaitan dengan psikologi serta “kebodohan” orang Hindu dan terutama sekali orang Hindu di Bali dikupas tuntas dalam sebuah buku baru yang akan segera terbit. Buku ini ditulis oleh seorang anak muda cerdas asal Lombok yang juga terkenal aktif berdiskusi di berbagai media di dunia maya. Dialah Rama Putra Iswara dengan bukunya “Psikologi Hindu”.
Semoga dengan banyaknya kritikan-kritikan, artikel dan juga buku-buku yang beredar dapat menyadarkan umat Hindu Bali sehingga segera bangkit dari keterlenaannya.
Jayalah Hindu…..
Om Swastiastu
@Rama
Saudaraku, apa arti/makna gambar yang ada di cover buku yang saudara bikin (gambar di atas).
Suksma
kalau dilihat sepintas, rasanya simbol ini mnginjak kesucian “Aum” Apa maksudnya??
Tapi analoginya bagus, memang masalah warna yg dimaksudkan dalam Weda masih mjadi hal yg fenomenal yg selalu dikonversi menjadi “kasta” ala org Bali. Sehingga muncul kesan dimasyarakat umum bahwa Hindu telah membuat aturan pengkotakan untuk pemeluknya..
yg pada akhirnya mansyarakat umum akan teerdoktrin untuk TIDAK mau masuk Hindu..
kalo boleh sy sarankan pada logo buku ini, baiknya tidak menempatkan “Kaki” pada simbol “Aum” bukankah itu Syimbol suci??
semoga kedepannya akan mncul banyak lagi buku2 Hindu yg Kritis, dan lebih Universal, yg mana selama ini juga sangat sulit saya temukan buku2 Hindu diluar bali, bahkan di toko2 buku yg terkemuka. Hmm mngkinkah ada kesengajaan?? atau kekurangan penulis??
by the way..
malah buku2 yg menjatuhkan Hindu itu pernah sy tmukan di Gramedia. Judulnya klo dak salah ttg Seorg nabi yg konon ada di kitab agama2 org kafir. siditu ada bbrpa simbol agama, termasuk simbol “AMUM” pada sampulnya, ironis sekali bro..
Thanks bro..
Mengenai gambar sampul buku tersebut dan penempatan simbol Om Kara sebenarnya tidak ada maksud merendahkan simbol suci Om.
Gambar patung yang duduk di atas kepala tersebut adalah gambar patung yang sangat terkenal di dunia, yaitu patung “Thinking”. Adapun gambar kepala di bawahnya yang terbelah dan di dalamnya terdapat simbol Om Kara menggambarkan psikologi orang tersebut yang masih menganut Hindu. Tetapi di satu sisi dengan simbol patung “Thinking” yang meletakkan simbol suci Om Kara di bawah menggambarkan bahwa secara psikologi orang itu ingin meletakkan kehinduannya. Dengan kata lain, orang itu bersiap meninggalkan Hindu.
Alasan penggunaan gambar seperti ini adalah karena dalam buku ini fenomena yang diangkat adalah berkisar masalah psikologi orang Hindu yang selama ini malah mendorong mereka untuk meninggalkan Hindu ketimbang mempertahankannya. Dan lewat buku ini, penulis pertama-tama akan memaparkan bagaimana sikap-sikap orang Hindu yang malah mengkerdilkan Hindu itu sendiri dan “memaksa” generasi muda meletakkan kehinduannya. Baru selanjutnya dibahas kiat-kiat agar orang Hindu merubah psikologinya sehingga memunculkan kebanggaan pada Hindu sehingga Hindu tetap ajeg..
Kurang lebih demikian teman-teman
Salam,-
dimana saya bisa beli bukunya bos?
kalau bisa beli secara online saya akan pesan online
terus terang bos ko kayaknya buku buku iscon dijual secara underground
yang saya lihat cuma Bhagawad Githa karya prabhupada yang ada di gramedia DENPASAR bahkan di Toko buku yang khusus menjual buku hindu seperti penerbit paramita di Denpasar 3 minggu yang lalu saya ke sana sama sekali tidak ada buku2 iscon.
pernah seorang hare krishna menawarkan saya buku buku iscon pas saya duduk di depan rumah lagi bengong
wah jujur saja saya merasa iba orang ini berjalan kaki, cuaca panas terik,dan saya yakin dia berjalan dari jarak yang lumayan jauh
kebetulan saat itu saya masih bekerja sebagai seorang pencari kerja alias pengangguran saya tidak punya uang untuk membeli Bhagawad githa yang tebal yang harganya lebih dari seratus ribu
sedangkan buku2 yang kecil yang harganya lebih murah saya sudah punya karena dulu ada seorang teman yang memberikan kepada saya
selain itu saya juga pernah melihat warung vegetarian yang menawarkan buku iscon sedangkan yang belanja ke warung itu saya lihat hanya orang2 iscon
wah kalau begini caranya siapa yang mau membeli buku2 iscon yang berkualitas?
auahhh………saya sedih sekali
Kalau buku hasil karya adik saya si Rama ini belum di cetak bli… saat ini sudah mendapat comment dan kata sambutan dari Rektor STAH Mataram, dosen, beberapa tokoh PHDI di Tangerang dan sebagainya… saya masih melakukan editing dan layout yang kayaknya masih perlu waktu cukup lama. Tar kalau sudah terbit pasti kita kabari. Dan perlu di garis bawahi kalau ini bukan buku ISKCON, tapi buku umum dan tar akan kita berikan sample bukunya sampai 1/2 isinya agar calon pembeli ga kecewa.
Masalah buku ISKCON, atau BBT, kita memang tidak bisa memasukkannya ke toko-toko buku dengan alasan memangkas harga. kalau masuk gramedia harganya bisa 50% lebih mahal dari pada kita jual langsung.. Maklum pendanaan percetakan kita seadanya bli..
Salam,-
Bli salam Dari Bali. Saya ingin sekali bertanya tentang buku Iskcon apakah boleh kita berteman di sosial media di Ig atau sosmed lainya ya bli?
itulah kenyataan, orang bali hanya wanen dg nyama pedidi, klo warga krama yang melanggar aturan adat, maka sanksinya luarbiasa sekala niskala ( katanya) , tapi bila warga bali (non hindu ) dan warga non bali melakukan pelanggaran maka mereka bisa bersiul-siul saja. Siapa yang mampu mengubah psikologi ini?
Semoga buku sederhana ini bisa menjadi angin yang menyegarkan pikiran mereka, setidaknya dimulai dari generasi mudanya. Harapannya buku ini dapat mengajak mereka untuk berdebat dengan diri mereka sendiri untuk menjadi lebih baik. Inilah debat kejiwaan.
sekedar informasi, bahwa I GUSI itu bukanlah karena salah pengetikan. Namun itu memang benar adanya I GUSI.
Ketika seorang keturunan GUSTI menikah dengan sesama keturunan GUSTI, ia berhak memberikan nama depan GUSTI pada keturunannya. Namun jika mengambil istri dari bukan keturunan GUSTI, maka anak hanya dapat menyandang nama GUSI.
Begitu informasi dari sumber yang dapat dipercaya.
Mohon dikoreksi…
Saya tumben dengar yang begitu. Saya rasa itu tidak benar, sebab di Bali bukan sistem parental, tapi sistem patrilineal. Walaupun si ibu bukan dari kasta yang sama, sang anak tetap memakai gelar si ayah.
Maaf Bli Pande, saya memang tidak begitu tahu, tapi akan saya luruskan sepengetahuan saya. Gusi dan Gusti itu berbeda. Dulunya di bedakan akan tatanan dalam pemerintahan kerajaan.
Halnya seperti Dewa dan Ngakan.
Suatu hal yg beda Bli Pande, bukan karena dia dilahirkan dari ibu yg sama kasta (saya lebih suka menyebutnya sama wangsa).
Maaf kalo salah saya salah.
YAH EMANG KAYAK GITU DIBALI, BUKAN HANYA MASALAH NAMA SAJA MASIH BANYAK MASALAH YANG TERJADI ANTARA SAUDARA, COBA LIHAT ADANYA PERANG ANTAR BANJAR, DESA HANYA DIPICU OLEH MASALAH SEPELE. COBA DENGAN ORANG DARI SUKU LAIN ATAU AGAMA LAIN, BIH POLOSNYA BUKAN MAEN,…………….
Ya begitulah. sebenarnya dalam hal ini pemuka agama dan pemerintah memiliki wewenang agar jangan sampai demikian. Saya setuju pemakaian gelar untk menghormati leluhur, tapi janganlah hal itu menjadikan seorang merasa lebih tinggi dari orang lainnya (kecuali beliau memeang sedang memegang jabatan tertentu dalam tatanan pemerintahan)
Adanya konflik karena salah persepsi menurut saya, yang ada adalah warna dan bukan kasta.
Bali akan bagus karena adanya kebersamaan (banjar), yg saling menghormati antar aggotanya.
Maaf kalau saya salah.