Pernahkah terlintas dalam benak anda kenapa ada sosok yang disebut Yang Maha Kuasa, Yang Maha Agung, Yang Maha segalanya yang kita sebut Tuhan? Lalu kenapa kita tidak seperti Tuhan? Kenapa kita harus takluk dan mengabdi kepada-Nya? Katanya Tuhan Maha Adil, lalu dimana letak keadilan Tuhan sehingga harus membenarkan “perbudakan ini”? Ini adalah permasalahan dasar yang mungkin tidak disadari dan tidak diketahui oleh sebagaian orang. Tidak juga mereka mencoba mempertanyakan dan mencari jawabannya. Permasalahan yang rumit tetapi cukup menggelitik bagi mereka yang tergolong sebagai seorang pemikir atau berjiwa filsuf.
Hakekat kita sebagai mahluk hidup yang selalu bertindak sebagai pelayan Tuhan dijelaskan dalam beberapa sumber kitab suci Veda. Dalam Bhagavad Gita 7.5 dikatakan: “apareyam itas tv anyāḿ prakṛtiḿ viddhi me parām jīva-bhūtāḿ mahā-bāho yayedaḿ dhāryate jagat, Wahai Arjuna yang berlengan perkasa, di samping tenaga-tenaga tersebut, ada pula tenaga-Ku yang lain yang bersifat utama, terdiri dari para makhluk hidup yang menggunakan sumber-sumber alam material yang rendah tersebut”. Di sini ditegaskan bahwa kita sebagai mahluk hidup yang disebut sebagai jīva-bhūtāḿ adalah bagian-bagian kecil dari tak terhingga tenaga-tenaga Tuhan. Dengan kata lain kita tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan Tuhan. Yang lebih menyakitkan lagi bagi mereka yang mempertanyakan keadilan Tuhan adalah pernyataan bahwa hakekat Tuhan dan Mahluk hidup pada dasarnya adalah kekal. “Mamaivāḿśo jīva-loke jīva-bhūtaḥ sanātanaḥ, para jīva yang jatuh dan terbelenggu di dunia fana adalah percikan kecil nan kekal yang terpisah dari-Ku” (Bhagavad Gita 15.7). Sifat kekal yang “menyakitkan” para pencari keadilan ini juga berkali-kali ditegaskan dalam sloka-sloka yang lain seperti pada sloka Bhagavad Gita 2.17 – 23, 13.20,Brhad-Aranyaka Upanisad 1.4.10, Katha Upanisad 1.2.18 dan masih banyak lagi sloka-sloka yang lainnya. Kalau memang diri kita sejati sebagai Atman/Jiva adalah abadi, bukankah itu artinya untuk selamanya kita hanya akan menjadi jīva-bhūtāḿ dari Tuhan? Lalu kapan kita bisa menjadi Tuhan? Kapan kita bisa menjadi yang paling berkuasa dan Tuhan yang berkuasa sekarang dilengserkan sehingga Dia bisa marasakan kehidupan sebagai pelayan seperti kita?
Ada beberapa kalangan mengatakan Atman sama dengan Tuhan. Dikatakan bahwa Atman adalah percikan atau pecahan Tuhan yang suatu saat bergabung dan menyatu kembali menjadi Tuhan. Aspek tertinggi dari Tuhan dikatakan sebagai Brahman yang tidak berwujud, yang berupa kesunyatan atau satyam. Sehingga kesunyatan itulah yang mereka sebut sebagai alam rohani, yaitu Brahman sebagai aspek Tuhan Impersonal itu sendiri. Tentunya dengan pandangan dasar yang berbeda ini, pertanyaan “keadilan Tuhan” dapat dieliminir mengingat Atman suatu saat juga akan menjadi Tuhan. Mereka yang berpandangan seperti ini biasanya mendasarkan logikanya pada kitab-kitab Upanisad yang memang lebih banyak membahas aspek Tuhan Impersonal. Sloka-sloka seperti;tat tvam asi, Aham brahmasmi, ayam atma brahma, so’ham dan sarva khalu idam Brahman menjadi kutipan favorit pendukung filsafat kesamaan Atman dengan Tuhan ini.
Untuk istilah tat-tvam-asi, kata tat umumnya diterjemahkan sebagai Brahman (Tuhan), sehingga umumnya orang menterjemahkan tat-tvam-asi menjadi “Anda adalah Aku atau “Anda adalah Brahman”. Dengan pengertian ini, banyak orang memakai ungkapan tat-tvam-asi sebagai salah satu bukti pembenaran bahwa Atman sama dengan Tuhan. Hanya saja sebenarnya tat-tvam-asi merupakan pernyataan Veda yang memperingatkan setiap orang bahwa dirinya sejati adalah jéva spiritual abadi, bukan badan jasmani material ini. Sehingga tat-tvam-asi berarti “Anda adalah jéva rohani abadi”, bukan “Anda adalah Tuhan”.
Begitu juga dengan pernyataan “Aham brahmasmi”, Aku adalah Brahman (Brhad Aranyaka Upaniñad 1.4.10). “Ayam ätmä Brahman”, sang Ätmä adalahBrahman itu juga (Mandukya Upaniñad sloka 2). “So’ ham asmi, diriku adalah Ia (Brahman) itu” (Isa Upaniñad sloka 16). Sehingga berdasarkan sloka-sloka tersebut disimpulkan,”Ätman brahman aikya’m, Ätman adalah sama dengan Brahman. Atau sang makhluk hidup (jéva) adalah sama dengan Tuhan (Brahman). Hanya saja jika dicermati lebih dalam lagi, ternyata dalam tata bahasa Sansekerta, ada beberapa istilah yang sama tetapi diperuntukkan untuk entitas yang berbeda. Dalam hal ini adalah penyebutan kita sebagai Atman dengan Tuhan. Seperti contoh, jika kita disebut Atman, maka Tuhan disebut Paramatman. Jika kita disebut Purusa maka Tuhan Purusotama. jika kita disebut Brahman, maka Tuhan Parambrahman. Jika kita Isvara, maka Tuhan Parameswara, dan sebagainya. Intinya, beberapa kalangan khususnya para penganut Visnava menentang pernyataan Atman sama dengan Tuhan dengan alasan pemahaman mereka yang beranggapan seperti itu keliru. Mereka keliru menempatkan terjemahan sehingga otomatis terjadi distorsi pemahaman. Lebih lanjut para penganut Vaisnava akan mengatakan bahwasanya sloka-sloka di atas bukanlah penyamaan Atman dengan Brahman, tetapi hampir sama dengan istilah tat-tvam-asi. Sloka-sloka ini adalah pernyataan bahwa Atman adalah sama secara kualitatif dengan Tuhan, tetapi berbeda secara kuantitatif (Bhagavad Gita 2.17-25). Filsafat yang menyatakan Atman sama secara kualitatif dengan Tuhan tetapi berbeda secara kuantitatif disebarluaskan oleh Sri Chaitanya Maha Prabhu dari garis perguruan Brahma Gaudya Vaisnava dan dikenal dengan filsafat Acintya Bheda Abheda Tattva.
Disamping itu, mereka yang menentang filsafat kesamaan Atman dengan Brahman mendasarkan pandangannya pada sloka-sloka seperti pada Bhagavata Purana 11.12.22-23 yang dengan jelas membedakan Atman dengan Tuhan dengan cara mengibaratkannya seperti dua ekor burung yang hinggap di pohon yang sama. Pernyataan analogi dua burung ini juga diungkapkan dalam Svetasvatara Upanisad 4.7 dan Mundaka Upaniñad 3.1.1-2, “Dvasuparna säyujya sakhaya samanam vrksah ….., Walaupun dua ekor burung berada di sebatang pohon yang sama, di mana salah seekor hanya sibuk memakan buah-buahan pada pohon itu tetapi penuh kecemasan serta kemurungan namun dia sambil mencoba menikmati buah-buahan yang ada pada pohon tersebut, sedangkan yang satunya hanya menunggu dengan tenang sekali. Tetapi jika dengan suatu cara burung yang murung tersebut memalingkan mukanya kepada kawannya, yaitu kepada Tuhan dan mengerti kebesaran Beliau, maka segera si burung yang menderita tersebut dibebaskan dari segala kecemasan”. Dari sloka ini, memang sangat nyata diperlihatkan bahwa Tuhan dalam aspeknya sebagai Paramatman adalah berbeda dari Atman. Dan jika Paramatman dan Atman itu berbeda, itu artinya kita tidak bisa mengatakan suatu saat Paramatman (Tuhan) dan Atman akan bersatu karena seperti sloka-sloka yang sudah dikutip sebelumnya dikatakan bahwa baik Atman dan Tuhan adalah kekal abadi selamanya. Jika Atman menjadi Tuhan, bukankah itu artinya menentang sifat kekekalan ini?
Jika kita lanjutkan pembahasan dua pandangan dasar ini, saya rasa akan memerlukan space yang sangat banyak. Karena itu, untuk mempersingkat pemecahan masalah judul artikel ini, sekarang mari kita asumsikan terlebih dahulu bahwa pernyataan Veda yang benar adalah bahwasanya Atman berbeda dari Tuhan dan selamanya Atman tidak akan pernah menjadi Tuhan. Tentu saja dasar filosofi ini menyisahkan sebuah “celah keamanan” bagi mereka yang “nakal” mendebat Tuhan sebagaimana sudah disampaikan pada awal artikel di atas.
Seorang teman pernah berkata; “pokoknya kalau Tuhan dan alam ini memang adil, maka suatu saat saya akan menuntut Tuhan agar dia lengser dan saya atau mahluk yang lain bisa menggantikanNya sebagai Tuhan. Saya tidak rela menjadi hamba terus”. Pernyataan lucu, tetapi memang sangat masuk akal bukan?
Untunglah secara tidak terduga pada saat pulang menyusuri jalan tol Puncak Bogor menuju Jakarta setelah mengikuti sebuah acara di ashram, seorang teman baik yang sudah banyak melahap buku dan kitab suci yang tidak terbatas pada Veda menceritakan mengenai “pikiran nakalnya” yang serupa dengan pernyataan di atas. Dia mengatakan bahwasanya dia juga sering kali komplain dengan Tuhan karena dia hanya dijadikan sebagai mahluk hidup yang harus menghamba pada Tuhan dan Dia asyik-asyik dilayani oleh sekian banyak mahlukNya. Namun setelah perenungan yang mendalam, dia mengatakan bahwa dia telah menemukan sebuah jawaban yang sangat masuk di akal dia. Tuhan memang dilayani oleh sangat banyak mahluk hidup, tetapi Tuhan juga punya kewajiban melayani seluruh mahluk hidup itu. Sementara mahluk hidup secara kodrati hanya perlu melayani Tuhan. Bukankah kondisi ini cukup adil?
Kewajiban Tuhan dalam melayani semua mahluk hidup disampaikan dalam beberapa sloka Veda. Dalam Katha Upaniñad 2.2.13 dan juga dalam Svetastara Upanisad disebutkan: “Nityo nityanam cetanas cetananam eko bahunam yo vidadhati kaman, Ia yang maha kekal di antara yang kekal, Ia Yang Maha Sadar diantara yang sadar, Ia yang satu ini memelihara (mahluk hidup) yang amat banyak itu”. Dalam Īśopaniṣad (mantra 15) disebutkan: “hiraṇmayena pātreṇa satyasyāpihitaḿ mukham tat tvaḿ pūṣann apāvṛṇu satya-dharmāya dṛṣṭaye, O Tuhan yang hamba cintai, Anda memelihara seluruh jagat, dan bhakti kepada Anda adalah prinsip dharma tertinggi. Karena itu, hamba berdoa kiranya Anda juga memelihara diri hamba. Bentuk rohani Anda ditutupi oleh yoga-maya……………………”. Sementara itu dalam Bhagavad Gita seperti contohnya pada sloka 13.17, 15.17, 15.23 dan banyak lagi sloka yang lain juga menegaskan bagaimana Tuhan punya kewajiban melayani semua mahluk hidup.
Bahkan sebagaimana disampaikan dalam Bhagavad Gita 3.24 mensyaratkan bahwa Tugas dan kewajiban Tuhan sangatlah berat. Tuhan tidak boleh lalai sedikitpun dalam melaksanakan pelayananNya kepada seluruh mahluk hidup. Karena itu disebutkan, “utsīdeyur ime lokā na kuryāḿ karma ced ahamsańkarasya ca kartā syām upahanyām imāḥ prajāḥ, Kalau Aku tidak melakukan tugas-tugas kewajiban yang sudah ditetapkan, maka semua dunia ini akan hancur. Kalau Aku berbuat demikian, berarti Aku menyebabkan penduduk yang tidak diinginkan diciptakan, dan dengan demikian Aku menghancurkan kedamaian semua makhluk hidup.
Jadi dari pemaparan sloka-sloka ini, sangatlah jelas bahwasanya kita semua dan bahkan Tuhan sendiri adalah pelayan. Tuhan memang maha segalanya. Beliau Maha Kuasa, tetapi Beliau juga Maha Melayani. Dengan menyadari kenyataan ini kita sudah memahami makna dasar filsafat Achintya Bheda Abheda Tattva yang didengungkan Sri Chaitanya Maha Prabhu. Secara kuantitas kita sangat jauh berbeda dari Tuhan, tetapi secara kualitas kita dan Tuhan adalah sama. Tuhan tidak akan pernah segan-segan menjadi pelayan pribadi kita selama kita juga memberikan pelayanan cinta kasih bhakti timbal balik kepada Beliau.
Kitab Vedanta Sutra memaparkan hubungan timbal balik saling melayani antara Tuhan dengan mahluk hidup dengan sangat indah. Dua bab pertama Vedanta Sutra menyajikan sambandha jnana, yaitu pengetahuan tentang hubungan makhluk hidup dengan Tuhan (Brahman) yang terdiri dari lima bagian, yaitu; Santa rasa (hubungan netral dengan Tuhan), Dasya rasa (hubungan sebagai pelayan Tuhan), Sakhya rasa (hubungan sebagai sahabat Tuhan), Vatsalya rasa (hubungan sebagai orang tua Tuhan) dan Madhurya rasa (hubungan sebagai kekasih Tuhan). Dan selanjutnya dalam Bab ketiga disajikan mengenai abhideya jnana, pengetahuan tentang cara membina kembali hubungan itu dengan Tuhan. Jika kita cermati pemaparan kitab ini, maka dengan sangat jelas kita melihat bagaimana Tuhan dapat memposisikan diriNya sebagai “babu” penyembahNya yang murni.
Kitab-kitab lain seperti purana-purana juga berkali-kali menegaskan bahwa Tuhan adalah pelayan bagi penyembahNya. Bahkan Tuhan lebih mencintai mereka yang melayani penyembahNya dan mahluk-mahluk ciptaannya dari pada mereka yang mengaku menyembah Tuhan, tetapi tidak punya rasa cinta kasih dan hormat kepada mahluk-mahlukNya. Dalam Padma Purana dan Siva Purana (sebagaimana dikutip dalam Laghu Bhagavatamrta 2.4 dan CC Madhya-Leila 11.31) disebutkan bahwa Parvati bertanya kepada suaminya, Siva, “Dari segala macam persembahyangan, persembahyangan kepada siapakah yang paling sempurna? Dan siapakah kepribadian tertinggi yang paling pantas dipuja?” Siva menjawab, “Aradhananam sarvesam visnor aradhanam param, dari segala macam persembahyangan, persembahyangan kepada Visnu adalah yang paling tinggi tingkatannya. Tasmat parataram devi tadiyanam samarcanam, tetapi O dewi, ada lagi persembahyangan yang lebih utama dari ini yaitu memuja para penyembah Visnu (Tuhan)”. Jawaban Siva ini sama dengan pernyataan Sri Krishna kepada Arjuna dalam Adi Purana, “Ye me bhakta janah partha na me bhaktas ca te janah, wahai Partha, orang yang berkata dirinya adalah bhakta-Ku, sesungguhnya bukan bhakta-Ku. Mad bhaktanam ca ye bhakta te me bhaktata mamatah, tetapi orang yang berkata bahwa dirinya adalah bhakta dari bhaktaKu, dialah bhaktaKu yang sebenarnya”.
Jadi dengan kualitas pelayanan dan reward yang sama ini, tidak ada alasan bagi kita menuntut Tuhan lengser dan kita berusaha menggantikannya kecuali suatu saat kita bisa menjadi “Maha Pelayan”, yang mampu melayani seluruh entitas yang ada di dunia material maupun dunia spiritual ini.
Om Tat Sat
Special Thanks to Agung Prabhu yang sudah memberikan inspirasi penulisan artikel ini.
Recent Comments