Dua orang anak kecil sedang bergumam di sebuah taman. Mereka asyik membicarakan pola hidup mereka yang sangat berbeda. Sebut saja salah satunya adalah si Hendra yang merupakan anak Bapak Mangku Anom.
Hendra adalah keturunan Bali berdarah Jawa dari Ibunya. Kesehariannya Hendra dididik dengan budaya campuran Jawa dan Bali. Dan karena Bapaknya adalah seorang pemangku Hindu Bali turun-temurun, Hendra dididik dengan ajaran “nak mulo keto”, terbiasa dengan upacara adat Bali dan juga tidak tahu seluk-beluk kitab suci Veda yang dianutnya. Namun demikian, Hendra adalah anak yang taat, rajin sembahyang dan tingkah lakunya patut dipuji.
Berbeda dengan temannya, Nanda yang lahir di Australia dari keluarga modern. Ayahnya adalah orang Bali yang sangat berpendidikan dan menjadi pebisnis hebat di Australia. Sementara Ibunya keturunan India-Australia. Ayahnya Nanda sudah sejak lama menjadi pengikut ajaran Srila Prabhupada dalam garis perguruan Brahma Gaudiya Vaisnava. Apa lagi setelah menikah dengan istrinya yang keturunan India-Australia, mereka sepakat mengikuti ajaran Hindu yang tampak berbeda dengan ajaran Hindu di Bali. Mereka sangat taat dalam melaksanakan ajaran-ajaran Gaudiya Vaisnava. Nanda yang lahir dalam lingkungan keluarga Vaisnava dididik sejak kecil membaca kitab suci Veda, melaksanakan pola hidup vegetarian dan pantangan-pantangan lain yang sangat strict. Namun pada kenyataannya, meski dididik dengan sangat taat seperti itu, Nanda ternyata hanya bisa mengikuti secuil ajaran orang tuanya itu. Nanda tampak religius, namun kesehariannya tidaklah mencerminkan apa yang diajarkan orang tuanya.
Entah kenapa pada saat mereka asyik bergurau, Nanda bergumam: “Ah… kamu orang Karmi tahu apa sih?”. Akhirnya Hendra menyaut: “Ya Nanda, aku memang hanya seorang Karmi. Tidak seperti kamu yang sudah menjadi Penyembah sejak kecil, aku memang tidak bisa mengerti filsafat tinggi yang kamu sampaikan ke aku”. Demikianlah percakapan mereka berlanjut yang intinya mengarah kepada dikotomi istilah “Karmi” dan “Penyembah”. Kisah fiktif ini adalah secuil contoh kasus dikotomi yang sering terjadi baik disebabkan oleh mereka yang mengaku pengikut Srila Prabhupada, maupun mereka yang sudah terlanjur anti pati dengan ajaran Prabhupada.
Kekeliruan penggunaan istilah “Penyembah” dan “Karmi”
Sering kali mereka yang sudah merasa mengikuti ajaran Vaisnava mengatakan semua orang diluar pengikut ajaran mereka adalah orang-orang Karmi yang posisinya lebih rendah dari mereka. Dan sering juga ada yang beranggapan bahwa orang yang sudah masuk dan tinggal di ashram atau temple adalah penyembah. Sudah tepatkah pengunaan kata “Karmi” dan “Penyembah” di sini? Tidakkah hal ini merupakan dikotomi yang tidak tahu malu?
Istilah “Penyembah” mulai menjadi trend di Indonesia setidaknya setelah menyebarnya ajaran Srila Prabhupada baik melalui buku-buku beliau maupun preaching center yang didirikan oleh murid-murid beliau. Istilah Penyembah ini diadopsi dari bahasa Inggris, “devotee”. Di luar negeri, istilah devotee biasa digunakan hampir oleh semua orang untuk menyebutkan mereka yang percaya dan taat pada Tuhan, baik itu dari pihak Kristen, Katolik, Yahudi maupun kelompok Theis lainnya. Sehingga sangatlah lazim jika istilah devotee ini juga digunakan oleh Srila Prabhupada beserta pengikut beliau untuk menyebut sesama mereka. Namun sepertinya beberapa orang di Indonesia menerjemahkan istilah devotee secara lebih sempit sebagai “Penyembah” dalam artian khusus, yaitu mereka yang menjadi murid-murid dan pengikut Srila Prabhupada.
“Karmi”, sebagai lawan dari kata “Penyembah” yang sangat sering ditujukan untuk mereka yang beroposisi memang sangat banyak dapat kita temukan dalam buku-buku Srila Prabhupada. Namun benarkah istilah ini ditujukan untuk menunjuk orang-orang yang diluar kelompok barisan perguruan Srila Prabhupada? Istilah Karmi muncul berdasarkan pada pemahaman bahwasanya Catur Yoga adalah empat jalan kerohanian bertingkat (tangga yoga) yang harus dilalui oleh seorang penekun spiritual mulai dari tingkatan Karma, Jnana, Dhyana dan Bhakti Yoga. Dalam pemahaman ini, dikatakan mereka yang baru dalam tingkat Karma Yoga baru melakukan segala petunjuk ajaran Veda sampai pada tingkat sensual dan mental dengan melakukan kerja keras demi mengharapkan hasil dan kepuasan baik di dunia ini maupun harapan pahala di planet-planet Sorga setelah meninggal. Sementara mereka yang sudah lebih maju, ada pada tingkatan Jnana Yoga. Mereka dikatakan ada pada posisi intelektual, berusaha mengerti kebenaran mutlak dengan berbagai kemampuan diskusi dan debat filsafatnya. Sehingga mereka dikatakan melakukan kegiatan sebagaimana dalam Karma Yoga, namun juga dilengkapi dengan kesadaran akan keberadaan Sang Mutlak. Sedangkan pada tingkatan di atasnya lagi, disebut Dhyana Yoga. Pada tingkatan Dhyana Yoga, dikatakan bahwasanya mereka memiliki semua kualifikasi Karma dan Jnana Yoga. Menyadari hakekatnya sebagai Atman yang kekal abadi, namun masih tersimpan rasa ego. Dan lewat meditasinya kepada Tuhan, mereka bertujuan mencapai siddha (kesaktian) Yoga. Sementara itu pada tingkatan yang terakhir, yaitu pada saat seseorang benar-benar menyerahkan dirinya dalam cinta kasih bhakti kepada Tuhan baik dengan bekerja, berfilsafat maupun meditasi disebut mencapai Bhakti Yoga. Mereka yang baru menapak Karma Yoga disebut Karmi, mereka yang sudah mencapai Jnana Yoga disebut Jnani, mereka yang sudah mencapai Dhyana Yoga disebut Yogi dan mereka yang sudah menyerahkan diri sepenuhnya kepada Tuhan disebut Bhakta. Jadi dengan konsep tangga Yoga ini, istilah Karmi pada dasarnya ditujukan kepada mereka yang seluruh aktifitas kegiatannya hanya diperuntukkan demi kesenangannya sendiri di dunia ini maupun demi pahala di sorga saja tanpa memperdulikan rasa cinta kasih bhakti kepada Tuhan.
Masuk Ashram, tidak otomatis menjadi “Penyembah”
Istilah Penyembah dalam hubungannya dengan istilah Karmi, tidak dapat ditafsirkan dengan cara sempit. Istilah penyembah di sini berkaitan erat dengan mereka yang sudah mencapai posisi Bhakta, penyembah Tuhan yang telah menyerahkan diri dalam cinta kasih bhakti yang tulus. Srila Prabhupada menjabarkan istilah “Penyembah” sebagai berikut: “Para “penyembah” (Bhakta) sesungguhnya adalah orang-orang suci, atau sadhu. Kualifikasi pertama seorang sadhu adalah ahimsa, atau tidak melakukan kekerasan. Orang yang tertarik pada jalan bhakti, atau pada jalan pulang kembali kepada Tuhan, pertama-tama harus mempraktekan ahimsa, atau tidak melakukan kekerasan. Seorang sadhu dijelaskan sebagai titiksavah karunikah (SB 3.25.21). Seorang penyembah hendaknya penuh toleransi dan hendaknya sangat berbelas kasih kepada orang lain. Sebagai contoh, jika dia sendiri yang menderita luka, ia hendaknya menoleransinya, namun jika ada orang lain yang menderita luka, penyembah tidak boleh membiarkannya. Seluruh dunia penuh dengan kekerasan, dan urusan pertama seorang penyembah adalah menghentikan kekerasan ini, termasuk penjagalan binatang secara tidak perlu. Seorang penyembah adalah kawan bukan hanya bagi masyarakat manusia melainkan juga bagi semua makhluk hidup, sebab ia melihat semua makhluk hidup sebagai anak-anak dari Personalitas Tuhan Yang Maha Esa. Ia tidak mengklaim dirinya sebagai satu-satunya putra Tuhan dan membiarkan yang lainnya dibantai, dengan menganggap mereka tidak memiliki roh. Filsafat semacam ini tidak pernah dikemukakan oleh seorang penyembah Tuhan yang murni. Suhrdah sarva dehinam: seorang penyembah yang sejati adalah kawan bagi semua makhluk hidup. Krishna menyatakan di dalam Bhagavad-gita sebagai ayah bagi semua jenis makhluk hidup; karena itu penyembah Tuhan Yang Maha Esa, Sri Krishna selalu merupakan kawan bagi semuanya. Ini disebut ahimsa. Tindakan tidak melakukan kekerasan seperti itu dapat dipraktikan hanya jika kita mengikuti langkah para acarya agung. Karena itu, menurut filsafat Vaisnava, kita harus harus mengikuti para acarya agung yang berasal dari salah satu dari empat sampradaya, atau garis perguruan yang diakui Veda.
Dalam posisi sebagai penyembah Tuhan, mereka juga disebut sebagai Vaisnava. Seorang Vaisnava sudah pasti seorang yang berkualifikasi Brahmana, yaitu mereka yang memiliki kedamaian hati (samah), kendali diri (damah), kesederhanaan (täpah), kesucian (saucam), toleransi (ksantir), kejujuran (arjavam), berpengetahuan rohani (jïänam), bijaksana. (vijïänam), agamis (astikyam), berpuas hati (santosah), pengampun (ksanthih), bhakti kepada Tuhan (bhakti), dan kasih sayang (daya) – (Bg. 18.42 dan Bhag.11.17.16).
Jadi, secara singkat dapat dikatakan bahwasanya persyaratan untuk dapat dipanggil sebagai seorang penyembah sangat-sangat berat. Masuk ke asrama, memulai belajar kitab suci Veda, mendekati seorang guru kerohanian dan bergaul dengan para penekun jalan Bhakti barulah langkah yang sangat awal. Masih terdapat jalan yang sangat panjang dengan berbagai rintangannya yang membentang di depan kita yang harus kita hadapi untuk dapat memenuhi kualifikasi seorang penyembah. Sehingga kita yang baru dalam tahap awal dan belum bisa memenuhi semua kualifikasi di atas, baru dapat dikatakan sebagai “orang yang belajar menjadi penyembah”, bukan penyembah. Hal ini juga berlaku pada cerita fiktif di awal, meskipun Nanda lahir dengan orang tua yang sangat tekun dalam bhakti, tetapi kalau dia sendiri tidak memiliki kualifikasi itu, tetap saja Nanda tidak dapat dikatakan sebagai penyembah. Nanda dan kita yang sudah mulai belajar Veda, menemukan guru kerohanian dan sadhu yang memberi kita pergaulan sudah beruntung, tetapi sekali lagi harus diingat, kita baru ada dalam posisi belajar menjadi penyembah.
Tidak semua orang yang berada di luar garis perguruan Srila Prabhupada adalah “Karmi”
Sebagaimana disebutkan dalam Bhagavata Purana 6.3.21, ajaran Veda memiliki empat garis perguruan pokok, yaitu dari Brahma Sampradaya, Sri (Laksmi) Sampradaya, Ludra (Siva) Sampradaya dan Catur Kumara (Sanaka) Sampradaya. Dari keempat gari perguruan awal ini, seiring berjalannya waktu akhirnya membentuk cabang-cabang perguruan baru bagaikan sebuah batang pohon dengan ratusan dahan dan ribuan rantingnya. Garis perguruan Srila Prabhupada sendiri yang tergabung dalam organisasi ISKCON hanyalah salah satu dari ranting-ranting yang sangat banyak itu. Karena itulah kita harus menyadari bahwasanya di luar sana, masih terdapat banyak garis perguruan bonafide dengan guru-guru dan sadhu yang sangat bonafide yang harus kita hormati dan sama sekali tidak dapat dikatakan sebagai “Karmi”.
Bahkan mereka yang dalam hidupnya kurang beruntung karena belum menemukan guru yang bonafide pun tidak serta merta bisa dikatakan sebagai Karmi. Jika orang itu melaksanakan segala kegiatan dengan penuh cinta bhakti yang tulus ikhlas kepada Tuhan, maka Tuhan sendiri dalam aspeknya sebagai Paramatman yang akan menuntun mereka (Bhagavad Gita 18.61-62).
Karena itu, mari kita lebih hati-hati memanggil orang lain dengan sebutan Karmi dan mengatakan diri sebagai Penyembah. Mari kita posisikan hati kita lebih rendah dari rumput di jalanan, lebih toleransi dari sebatang pohon, tidak mengharapkan penghormatan pribadi dan selalu siap memberi hormat kepada orang lain. Semoga dengan sikap seperti ini, kita mampu mengarungi jalan panjang jalan Bhakti dan suatu saat bisa mencapai kualifikasi Uttama Adikari (Bhakta Tuhan yang utama).
Om Tat Sat
Recent Comments