Pepatah mengatakan, “Guru kencing berdiri, murid kecing berlari”. Ya, sepertinya pepatah ini sangat tepat digunakan untuk menggambarkan kondisi Hindu pada saat ini. Tidak dapat dipungkiri bahwasanya saat ini Hindu sudah terbonsai dengan sendirinya. Salah satu sebab pengkerdilan Hindu memang terjadi karena desakan dari agama-agama lain, namun ternyata yang mencukur habis generasi Hindu dimulai dari orang Hindu itu sendiri.
Pada Tilem tertanggal 30 Juli 2011, di sebuah pura besar di dekat ibu kota diadakan Dharma tula dengan topik “Kenapa Menjadi Hindu?”. Narasumbernya adalah seorang sepuh umat Hindu yang cukup disegani yang menurut penuturannya sendiri adalah seorang Hindu keturunan Bali yang sudah merantau ke ibu kota sejak SMP. Beliau juga mengaku sudah banyak makan asam-garam kehidupan spiritual. Mulai dari beberapa tahun menekuni Islam Kejawen, masuk Gereja dan belajar agama Kristen. Beliau juga mengatakan bahwa beliau pernah belajar Hare Krishna, Brahmakumaris dan juga Sai Baba. Tidak hanya pengalaman spiritual, beliau juga mengaku sempat bekerja selama 32 tahun di perusahaan minyak sekala Internasional yang membuatnya menjadi pribadi yang matang baik di dunia spiritual maupun di dunia material. Untuk menjaga privasi yang bersangkutan, dalam tulisan ini tempat dan nama yang bersangkutan tidak akan diungkap mengingat tujuan tulisan ini bukanlah untuk menyerang pribadi, melainkan bagaimana pengkerdilan hindu itu terjadi.
Setelah proses pembukaan yang berlangsung singkat yaitu dimulai sekitar jam 4 sore waktu setempat, slide show pun dimulai. Dengan tampilan yang cukup apik, sang narasumber menyampaikan materi yang memukau peserta yang jumlahnya tidak kurang dari 40 orang. Berbagai alasan kenapa menjadi Hindu beliau paparkan dengan baik. Seluk beluk pernikahan juga cukup mengundang perhatian peserta. Dan pemaparan mengenai leluhur dan upacara sepertinya salah satu topik yang menjadi top interest tersendiri baginya. Slide demi slide pun berlalu dan banyak materi-materi menggelitik yang memancing libido pendengar untuk segera mengajukan pertanyaan. Benar saja, mulai dari sesi tanya jawab baru dimulai sampai sampai akhir sesi yang kira-kira berakhir pada jam 7 malam, pertanyaan demi pertanyaan muncul silih berganti.
Pemaparan materi yang sangat bagus, tetapi tentu saja menyisahkan banyak pertanyaan bagi sebagian orang termasuk bagi saya sendiri. Banyak hal-hal baru yang pembicara sampaikan yang sangat menggugah pendengar. Namun sayangnya menjadi kontroversi disaat apa yang disampaikannya tidak memiliki dasar tattva yang kuat.
Pernyataan bahwasanya “semua orang pada dasarnya adalah Hindu sejak lahir” merupakan sebuah pernyataan yang sangat narsis. Darimanakah kita bisa mengatakan semua orang pada dasarnya adalah Hindu? Istilah Hindu sendiri masih debatable. Apakah memang dari awal adanya Veda, orang yang mengikuti Veda disebut Hindu? Atau malah disebut Sanatana Dharma? Pada jaman Majapahit pun kata Hindu belum dikenal. Tidak ada satu pun prasasti peninggalan kerajaan masa lalu yang menuliskan kata Hindu. Yang banyak ada adalah kata-kata Dharma, Vaisnava, Bhairava, Buddha, Siva dan sekte-sekte lainnya. Hal tersebut tidak mengherankan mengingat memang disinyalir kata Hindu baru muncul pertama kali pada abad ke-15 sejak penjajahan bangsa Mogul Islam di India dan berikutnya dipopulerkan oleh akademisi Barat pada masa penjajahan Inggris. Andaipun katakanlah sejak awal sebutan untuk para penganut Veda adalah Hindu, lalu bagaimana dengan pernyataan kitab suci Veda sendiri yang tertuang dalam Bhagavad Gita 16.6 dan Padma-Purana sebagaimana dikutip dalam CC Adi lila 3.91 yang menyatakan bahwa sejak awal, di dunia material yang “rwa bhineda” ini selalu ada 2 golongan mahluk hidup, yaitu Sura yang merupakan mahluk hidup yang tergolong bajik, tunduk pada aturan kitab suci Veda dan Tuhan yang ada pada jalan Dharma, serta Asura yang merupakan mahluk hidup yang bertingkah laku tidak bajik, hidup tanpa menuruti aturan Veda dan Tuhan alias Adharma? Meskipun pada awalnya hanya ada Veda dengan Sanatana Dharma atau Dharma yang abadi, namun tetap saja ada jiva-jiva yang jatuh dan membangkang sehingga mereka menolak mengikuti aturan-aturan kitab suci dan melakukan perbuatan jahat. Buah dari perbuatan jahat mereka ini akan berpengaruh pada karma wasana yang menghantarkan mereka terperosok dalam kelahiran kembali pada tingkatan mahluk hidup yang lebih rendah. Dan karena karma wesananya yang dipenuhi oleh dosa pula lah ada kemungkinan mereka terlahir menjadi mahluk kotor dan jahat. Sementra itu, seseorang hanya bisa dikatakan penganut Hindu atau Sanatana Dharma hanya jika dia mengikuti prinsip-prinsip yang ada dalam kitab suci Veda. Dengan demikian, maka orang-orang jahat tidak bermoral di dunia ini yang nyata-nyata melanggar aturan Veda sudah pasti tidak dapat dikatakan sebagai Hindu bukan?
Poin pembahasan pembicara yang cukup mengundang segudang pertanyaan adalah prihal leluhur dan kelahiran kembali. Pembicara mengatakan bahwasanya kebahagiaan dan pembebasan hanya bisa dicapai dengan bantuan leluhur. Karena itulah semua umat Hindu wajib menstanakan leluhur di rong tiga sanggah merajannya. Dalam pembahasannya yang panjang lebar, pembicara juga menyatakan bahwa seseorang yang sudah meninggal dan menjadi leluhur dapat lahir kembali tidak hanya ke satu badan manusia, tetapi dapat 2 atau lebih. Beliau juga mengatakan bahwa 2 atau lebih roh yang sebelumnya adalah individu terpisah juga bisa terlahir kembali hanya menjadi satu individu. Dua pernyataan kontroversi ini mengelitik seorang pemudi cerdas mengutarakan pertanyaannya. Pemudi Hindu tersebut menanyakan dua jenis pertanyaan, yaitu; “Yang pertama, Apakah dengan distanakannya leluhur di rong tiga menjamin mereka tidak bereinkarnasi kembali? Bukankah itu artinya mengungkung leluhur di sanggah? Seandainya mereka ternyata bereinkarnasi kembali, lalu siapa yang dipuja di sanggah rong tiga? Yang kedua, Bhagavad Gita 2.17-15 dikatakan bahwa kita adalah jiva rohani yang bersifat kekal (nityam), tidak bisa dipecah-pecah (acedyah), selamanya sama (sanatanah) dan tidak pernah berubah (avikaryah). Kalau memang kita sebagai roh adalah kekal, lalu bagaimana bisa satu roh menghidupi banyak badan dan juga dengan kesadaran yang berbeda? Beda halnya kalau banyak roh yang terlahir dalam 1 badan yang dimaksud adalah termasuk roh-roh, cacing, bakteri atau virus yang hidup di dalam inang 1 mahluk utama. Setelah beberapa saat, sang narasumber memberikan penjelasan bahwasanya rong tiga hanya sebagai “tempat lewat” sang roh leluhur. Sehingga dengan demikian yang dipuja di sana bukanlah roh leluhur yang sama, melainkan roh leluhur yang selalu berbeda silih berganti. Namun dalam satu kalimatnya, beliau menjelaskan bahwa jika keturunannya memanggil dan memujanya, meski leluhur sedang ada di China, dia akan segera datang. Sayangnya kalimat ini tidak dilanjutkan dengan penjelasan apakah leluhur yang ada di China dimaksud adalah yang masih dalam bentuk “pitara” atau yang sudah terlahir kembali. Pertanyaan kedua beliau jawab dengan mengatakan bahwa sebenarnya yang terlahir kembali adalah “karma wasana” yang beliau umpamakan sebagai sebuah lilin. Jika kita mengambil api dari lilin yang hidup tadi, maka dijadikan berapa lilin pun, api pada lilin yang pertama tidak berubah. Kembali lagi sangat disayangkan karena dengan terburu-buru beliau mengalihkan topik untuk menjawab pertanyaan yang lain. Padahal jawaban beliau tentang kelahiran menjadi beberapa individu ini belum bisa menjawab siapa sebenarnya diri kita dan jika yang bereinkarnasi adalah karma wesana, lalu bagaimana kedudukan sang roh itu sendiri. Andaikan sang narasumber memberikan jawaban dengan mendasarinya pada sloka juga, mungkin akan lebih bisa diterima.
Masih berkenaan dengan kelahiran kembali dan hubungannya dengan leluhur, ada seorang ibu-ibu muda bertanya tentang masalah kemandulan. Jika dipandang dari sisi agama, apa sebenarnya penyebab kemandulan itu? Sang narasumber menjawab bahwasanya kemandulan disebabkan karena leluhur terdahulu mengalami kemanduluan. Saya sendiri tersentak ketawa mendengar jawaban ini karena bagaimana mungkin jika leluhur terdahulu mandul bisa menghasilkan keturunan lagi? Kalaupun dikatakan keturunan yang sekarang adalah anak angkat yang meneruskan keturunan secara niskala, lalu apa hubungannya dosa-dosa atau karma wesana leluhur terdahulu dengan anak angkatnya? Bukankah setiap individu memiliki karma masing-masing? Apakah karma wesana bisa diturunkan? Tentu tidak bukan? Meski pun karena kemiripan karma, ada kemungkinan orang akan dipertemukan dalam 1 keluarga, 1 komunitas dan bahkan 1 negara sehingga memungkinkan mereka menerima suka-duka yang serupa.
Lalu secara mengejutkan, seorang bapak-bapak mengajukan pertanyaan tentang nasib orang-orang Hindu di Indonesia dan terutama orang Bali khusunya yang mengikuti ajaran Hindu Sampradaya yang sepertinya keindia-indiaan. Apakah mereka bisa mencapai pembebasan? Meskipun waktu itu hampir semua peserta datang dengan baju kaos santai dan celana panjang, namun saya satu-satunya yang mengenakan baju kaos dengan gambar Sri Rama yang disablon dengan gaya India. Apa mungkin pertanyaan ini diajukan karena melihat baju saya? Harusnya nggak sih, karena kaos seperti itu cukup populer. But what ever-lah.. yang penting saya tetap duduk tenang mencatat dan merekam jalan diskusi. Pertanyaan inilah yang saya kira salah satu pemicu pembicara semakin narsis tidak terkendali yang juga menyulut saya membuat tulisan ini. Awalnya pembicara memberikan penjelasan global yang menyatakan bahwa India, Jawa dan Bali memiliki karakteristik yang berbeda. India, dimana di sana terdapat gunung Mahameru sangat kental dengan filsafatnya. Jawa dengan Semerunya sangat kental dengan Susilanya. Dan Bali dengan Merunya memiliki ciri khas Upacara. Sehingga sebagai orang Bali seharusnya Hindu di Bali menyibukkan diri dalam Upacara. Semua masalah dapat dipecahkan dengan upacara. Orang Bali tidak perlu seperti orang India, tidak perlu banyak berfilsafat karena filsafat seperti itu belum tentu bisa menolong mereka. Bahkan Bapak narasumber menyebutkan bahwa dia sudah sangat sering menangani kasus orang India yang rohnya gentayangan dan hanya bisa dibantu dengan upacara gaya Bali. Pertanyaannya apa iya seperti itu? Bukankah filsafat, susila dan upakara harusnya berjalan beriringan? Upacara tanpa filsafat itu kering, berfilsafat tanpa susila yang benar adalah bulshit.
Sampai di sini, saya secara pribadi belum begitu terusik karena saya juga bangga sebagai pemuda yang lahir dari bapak ibu asli Bali dan memiliki budaya yang sangat adi luhur yang masih terpelihara di keluarga saya sampai detik ini. Namun pernyatan beliau berikutnya yang menyatakan bahwa diri beliau sudah banyak mendalami berbagai macam laku spiritual seperti Islam Kejawen, Kristen, Brahmakumaris, Sai Baba dan cukup lama menekuni ajaran Hare Krishna-lah yang membuat saya geleng-geleng kepala. Beliau mengatakan bahwa ajaran Hare Krishna yang ada sekarang adalah ajaran yang menyimpang. Ajaran yang sangat minim penghormatan kepada leluhur dan sangat keindia-indiaan. Beliau menyebutkan bahwa waktu beliau mendalami ajaran Hare Krishna, beliau sempat menduduki posisi pembina Hare Krishna. Sayangnya beliau tidak menjelaskan apakah beliau pembina dalam struktur organisasi Hare Krishna itu sendiri atau hanya sekedar menduduki jabatan pembina di Parisada. Lebih lanjut beliau menjelaskan bahwasanya Hare Krishna sekarang sudah pecah. Di Indonesia ada dua Hare Krishna, yaitu ISKCON Indonesia dan SAKKHI. Lebih lanjut beliau mengatakan bahwa ISKCON Indonesia adalah Hare Krishna yang benar yang berkiblat pada ISKCON Internasional. Sedangkan SAKKHI adalah ajaran Hare Krishna yang melenceng yang berkiblat pada GBC. Meski saya baru mengenal apa itu Hare Krishna sejam tahun 2003 dan hanya sekedar simpatisan yang mengakui Krishna sebagai Tuhan, namun saya sangat menyadari bahwasanya Bapak narasumber ini sudah melakukan kebohongan publik dengan memutarbalikkan fakta. Hal inilah yang membuat saya semakin kritis mendengarkan semua pemaparan beliau dan mencoba membaca lagi literatur yang sangat mudah dicari di internet. Menurut informasi yang saya dapat, grup Hare Krishna di Indonesia memang pecah menjadi 2, yaitu yang menamakan diri ISKCON Indonesia yang berpusat di temple Krishna Balaram di daerah Padang Galak dan SAKKHI yang diharapkan mengayomi seluruh temple yang lainnya yang ada di Indonesia. Di tingkat Internasional, ISKCON tetap hanya satu. Adapun GBC adalah Governing Body Commission yang merupakan inti dari ISKCON yang terutama terdiri dari para guru kerohanian (sannyasi). ISKCON memiliki anggaran dasar dan anggaran rumah tangga (ADRT) yang harus diikuti oleh seluruh temple dan center di seluruh dunia. Sebuah temple atau center hanya akan diakui dan diayomi oleh ISKCON jika dia masih dalam koridor ADRT tersebut. Untuk di Indonesia sendiri, yang diayomi oleh ISKCON Internasional adalah SAKKHI, bukan ISKCON Indonesia. Prihal Bapak narasumber pernah menjabat sebagai pembina Hare Krishna, saya sudah melakukan pengecekan dengan menghubungi anggota ISKCON senior-senior yang merupakan generasi-generasi pertama keberadaan Hare Krishna di Indonesia. Mereka mengatakan bahwa sang narasumber tidak pernah ada menduduki posisi pembina dan senior dalam Hare Krishna. Kalaupun ada, paling banter Bapak narasumber mungkin pernah sebagai pembina di Parisada yang sama sekali tidak mengetahuai seluk beluk ajaran setiap sampradaya dan kelompok spiritual yang diayominya. Sehingga dengan dua fakta yang diputarbalikkan ini saya melihat bahwa beliau tidak benar-benar pernah belajar ajaran kerohanian seperti yang beliau sebutkan. Beliau juga tidak mengerti bagaimana organisasi dan ajaran sampradaya sehingga beliau memiliki pemahaman keliru dan menyebarkan informasi palsu ke masyarakat luas.
Menjelang akhir diskusi, ternyata masih banyak terdapat pertanyaan kritis yang masuk. Pertanyaan-pertanyaan tersebut memancing pembicara mengutip sebuah sloka tentang penyembahan leluhur. Beliau mengatakan bahwa ajaran Hare Krishna menolak pemujaan leluhur dengan mengutip sloka Bhagavad Gita 3.25. Sontak saya tertawa dalam hati karena sloka 3.25 bukanlah sloka yang menyinggung tentang leluhur, tetapi sloka yang menyinggung tentang karma, pekerjaan yang tidak mengharapkan hasil. Sloka tentang penyembahan leluhur sendiri ada pada Bhagavad Gita 1.41 dan 9.25. Bhagavad Gita 1.41 menyebutkan pendapat Arjuna tentang keturunan yang merosot karena tidak menjalankan prinsip dharma dan membinasahkan tradisi keluarga sehingga menyebabkan leluhur keluarga-keluarga yang merosot seperti itu jatuh karena upacara-upacara mempersembahkan makanan dan air kepada leluhur terhenti sama sekali. Dan sloka 9.25 menyatakan bahwa orang yang menyembah leluhur akan kembali ke planet para leluhur, orang yang menyembah hantu dan roh halus akan dilahirkan di tengah-tengah makhluk-makhluk seperti itu, dan orang yang menyembah Tuhan Yang Maha Esa, Sri Krishna akan hidup bersama Beliau. Sejauh yang saya tahu, ajaran Hare Krishna sendiri tidak pernah menolak penghormatan kepada leluhur. Pada saat anggota keluarga meninggal, maka pengikut ajaran Hare Krishna pada umumnya melaksanakan upacara Bhagavata Saptaha dengan membacakan Bhagavata Purana non-stop setelah prosesi pengabenan atau pembakaran mayat dilakukan. Foto leluhur bersangkutan juga dapat diletakkan di altar pribadi di rumah dan diberi persembahan prasadam atau sisa persembahan yang ditujukan kepada Tuhan. Pada hari-hari tertentu juga dilakukan upacara Vyasa Pudja yang disamping ditujukan kepada guru spiritual dan barisan guru-guru lainnya juga dapat ditujukan kepada leluhur. Dengan demikian, sangat terlihat bahwasanya sang narasumber sama sekali tidak memiliki kredibelitas dalam menyampaikan informasi yang valid. Beliau juga sangat jarang bisa mengutip sumber-sumber sloka Veda atau lontar yang dijadikan acuan pembenaran pendapatnya. Sekali beliau mengutip sloka, ternyata beliau mengutip sloka yang salah. Tentu hal ini sangat memalukan jika ternyata diantara pendengar banyak terdapat orang-orang intelek yang cukup menguasai kitab suci. Dan yang paling menyedihkan lagi, dengan penyampaikan ajaran-ajaran yang keliru dan fakta yang diputarbalik, hanya akan meracuni generasi muda dan mungkin juga menggoyahkan sradha mereka.
Pada akhir diskusi, kembali narasumber menyampaikan bahwa dalam Bhagavad Gita dikatakan bahwa ada banyak jalan menuju Tuhan. Setiap umat bebas memilih jalan apapun karena pada akhirnya ujungnya adalah sama-sama mencapai Tuhan. Menurut saya, pernyataan yang terakhir ini adalah sebuah ambiguitas yang malah menggoyahkan umat Hindu itu sendiri. Materi yang beliau sampaikan “Kenapa menjadi Hindu?” ternodai dengan kutipan sloka keliru ini. Bayangkan saja jika memang Bhagavad Gita menyatakan bahwa semua jalan adalah sama dan pada akhirnya akan mencapai Tuhan yang sama, lalu apakah salah jika pemuda-pemudi Hindu pindah agama dan menjalankan jalan mereka yang berbeda dengan Hindu? Toh juga ujung-ujunngnya mencapai Tuhan? Toh juga bagi sebagian orang muda Hindu ajaran agama lain jauh lebih simpel dibandingkan dengan Hindu, dan terutama sekali Hindu di Bali yang terkenal dengan upacaranya yang ribet dan menelan banyak dana. Pantaskah Dharma tula yang sejatinya bertujuan meningkatkan kebanggaan dan keyakinan akan Hindu ditutup dengan cara membuka jalan lebar bahwa semua jalan atau agama adalah sama saja?
Bhagavad Gita tidak pernah mengatakan bahwa semua jalan itu sama. Bhagavad Gita 4.11 mengatakan, “ye yathā māḿ prapadyante tāḿs tathaiva bhajāmy aham mama vartmānuvartante manuṣyāḥ pārtha sarvaśaḥ, Sejauh mana semua orang menyerahkan diri kepada-Ku, Aku menganugerahi mereka sesuai dengan penyerahan dirinya itu. Semua orang menempuh jalan-Ku dalam segala hal, wahai putera Pārtha. Dengan demikian, mengikuti satu jalan kerohanian atau mengikuti suatu agama, tidaklah sama dengan mengikuti agama yang lainnya. Veda sendiri menyebutkan bahwa pada jaman Kali atau Kali Yuga, akan muncul berbagai macam kepercayaan yang menyimpang dari ajaran Veda karena kuatnya pengaruh tri guna, tiga sifat alam material. Manusia yang terpengaruh oleh tiga sifat alam mengembangkan kepercayaan tertentu tergantung dari sifat alam yang mempengaruhinya (Bg. 17.3). Setiap orang akan dengan sendirinya tergiring pada suatu kepercayaan sesuai dengan guna (watak) dan karma orang bersangkutan.
Demikianlah, Hindu mengalami degradasi baik dari segi kuantitas maupun kualitas umatnya karena orang-orang dan para pemimpin yang ada dalam Hindu itu sendiri. Jika kualitas pemimpin-pemimpin dan penceramah Hindu hanya sekelas narasumber dalam Dharma tula ini, sudah pasti Hindu akan semakin terpuruk dan terpecah-belah. Prinsip-prinsip Hindu Dharma, yaitu satyam (kejujuran), saucam (kesucian diri), ksama (kesabaran) dan daya (kasih-sayang) – (Bhagavata Purana 12.2.1) hanya bisa ditegakkan dengan prinsip Dharma juga. Hindu tidak bisa ditegakkan dengan memberikan informasi bohong dan tafsir kitab suci keliru yang tanpa dasar.
Om Tat Sat
Ada begitu banyak ayat-ayat di dalam Veda dengan gamblang menyatakan tentang kemerosotan kualitas kehidupan manusia secara umumn akibat pengaruh Kali-yuga, termasuk sifat suka menipu dan ditipu yg sangat menonjol. Tidak heran jika banyak kita temukan orang-orang yang hanya bermodal muka tebal bisa menipu dan siap menyesatkan banyak orang yang memang juga suka ditipu. Memang akan sangat disayangkan jika anak-anak muda yang serius ingin mengetahui dan menjalani kehidupan rohani yang lebih serius disesatkan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab seperti itu. Ini lah tugas dan sekaligus tantangan yang menanti dan menghadang para penyembah Krsna yang sungguh-sungguh mengabdikan diri dalam Bhakti kepada misi Tuhan Sri Krsna dijaman ini. Haribolo….