Oleh: Suryanto, M.Pd
“Seluruh hutan menjadi harum baunya, karena terdapat sebuah pohon yang berbunga indah dan harum semerbak. Demikian pula halnya bila dalam keluarga terdapat putra yang Suputra” (Canakya Nitisastra II.16).
”Seluruh hutan terbakar hangus karena satu pohon kering yang terbakar, begitu pula seorang anak yang kuputra (buruk karakternya), menghancurkan dan memberikan aib bagi seluruh keluarga” (Canakya Nitisastra II.15).
“Kegelapan malam dibuat terang benderang hanya oleh satu rembulan dan bukan oleh ribuan bintang, demikianlah seorang anak yang Suputra mengangkat martabat orang tua, bukan ratusan anak yang tidak mempunyai sifat-sifat yang baik”. (Nitisastra IV.6).
Kutipan-kutipan di atas yang diajarkan oleh Canakya Pandit, seorang perdana mentri dalam pemerintahan Raja Chandra Gupta di India ratusan tahun yang lalu, kiranya telah bisa menggambarkan betapa pentingnya kedudukan seorang anak dalam sebuah keluarga. Perilaku dan karakter yang dimiliki oleh anak-anak dalam keluarga, menentukan citra keluarga tersebut dalam masyarakat.
Menurut Titib (2003), kata yang digunakan kata ’anak’ dalam bahasa Sanskerta adalah “putra”. Kata “putra” pada mulanya berarti kecil atau yang disayang, kemudian kata ini dipakai menjelaskan mengapa pentingnya seorang anak lahir dalam keluarga: “Oleh karena seorang anak yang akan menyeberangkan orang tuanya dari neraka yang disebut Put (neraka lantaran tidak memiliki keturunan), oleh karena itu ia disebut Putra” (Manawadharmashastra IX.138).
Penjelasan yang sama juga dapat kita jumpai dalam Adiparva 74 dan 27, yang merupakan bagaian dari kitab Mahabharata. Juga dinyatakan sama dalam Ramayana II,107-112. Putra yang mulia disebut “putra-suputra”. Kelahiran “putra-suputra” ini merupakan tujuan ideal dari setiap perkawinan maupun dalam pendidikan Hindu.
Kata yang lain untuk putra adalah: “sunu, atmaja, atmasambhava, nandana, kumāra dan samtāna”. Kata yang terakhir ini di Bali menjadi kata “sentana” yang berarti keturunan. Pentingnya pendidikan anak dalam keluarga, kiranya tergambar dari berbagai ajaran yang terdapat dalam berbagai kitab Weda seperti kutipan-kutipan berikut:
“Seseorang dapat menundukkan dunia dengan lahirnya anak, ia memperoleh kesenangan yang abadi, memperoleh cucu-cucu dan kakek-kakek akan memperoleh kebahagiaan yang abadi dengan kelahiran cucu- cucunya” (Àdiparva,74,38).
”Seseorang yang memperoleh anak, yang merupakan anaknya sendiri, tetapi tidak memelihara anaknya dengan baik, tidak mencapai tingkatan hidup yang lebih tinggi. Para leluhur menyatakan seorang anak melanjutkan keturunan dan mendukung persahabatan, oleh karena itu melahirkan anak adalah yang terbaik dari segala jenis perbuatan mulia (Adiparva 74,61-63).
“Di dalam menghadapi penderitaan duniawi, tiga hal yang menyebabkan seseorang memperoleh kedamaian, yaitu : anak, istri dan pergaulan dengan orang-orang suci”(Adiparva IV.10).
Berdasarkan keterangan tersebut di atas maka pendidikan, utamanya pendidikan moral dan budi pekerti sangat penting ditanamkan bagi seorang anak. Budhi pekerti sebagai suatu pengertian berasal dari kosa kata bahasa Sanskerta yang terdiri dari dua kata, yaitu budhi dan pekerti. Katabudhi berasal dari urat kata budh yang berarti mengetahui, berubah menjadi kata benda budhi(bentuk tunggal) yang berarti pengetahuan. Dalam perkembangannya, kata budhi juga berarti kecerdasan (Titib, 2003).
Kata pekerti berasal dari kata Sanskerta prakriti atau pravriti yang berarti perilaku. Dalam bahasa Indonesia kata budhi dan pekerti disatukan dan memiliki satu pengertian yang tidak terpisahkan, yaitu sebagai perilaku yang baik. Kata budhi pekerti sangat erat maknanya dengan tata susila. Tata susila sangat dekat maknanya dengan kata etika dan moral
“Bagaikan bulan menerangi malam dengan cahayanya yang terang dan sejuk, demikianlah seorang anak yang suputra yang memiliki pengetahuan rohani, insyaf akan dirinya dan bijaksana. Anak suputra yang demikian itu memberi kebahagiaan kepada keluarga dan masyarakat”.( Nitisastra III.16).
“Kegelapan malam dibuat terang benderang hanya oleh satu rembulan dan bukan oleh ribuan bintang, demikianlah seorang anak yang Suputra mengangkat martabat orang tua, bukan ratusan anak yang tidak mempunyai sifat-sifat yang baik”. (Nitisastra IV.6).
“Lebih baik mempunyai anak begitu lahir langsung mati dibanding mempunyai anak berumur panjang tetapi bodoh. Karena anak yang begitu lahir langsung mati memberikan kesedihan sebentar saja. Sedangkan anak yang berumur panjang, bodoh dan durhaka, sepanjang hidupnya memberikan penderitaan”(IV.7).
“Saudara laki-laki seharusnya tidak irihati terhadap kakak dan adik-adiknya laki-laki dan perempuan dan melakukan tugas-tugas yang sama yang dibebankan kepadanya. Hendaknya berbicara mesra di antara mereka”(Atharvaveda: III,30.3).
Demikianlah dapat dinyatakan bahwa ajaran suci Veda dan susastra Hindu lainnya memandang anak atau putra sebagai pusat perhatian dan kegiatan yang berkaitan dengan pendidikan. Dalam hal ini, pada umat Hindu di Bali meyakini, bahwa karakter seorang anak sangat pula ditentukan oleh kedua orang tuanya, lingkungannya dan upacara-upacara yang berkaitan dengan proses kelahiran seorang anak.
Bagi umat Hindu, hidup adalah sebuah perjalanan yang dalam perjalanan itu melewati 16 kejadian penting (tonggak sejarah) yang dapat diidentifikasikan sebagai tangga menuju tahapan perkembangan jasmani dan emosional. Setiap tahapan yang dilalui dilaksanakan upacara suci, ritual yang disebut “samskara”. Kata “samskara” berarti membersihkan, menyucikan sesuatu objek, menjernihkannya untuk menuju tahapan yang lebih tinggi. Ketika kata ini ditujukan untuk menyucikan peribadi manusia, maka yang dimaksudkan adalah untuk menyucikan seseorang dengan memohon rakhmat dan karunia, dukungan dan bimbingan dari Tuhan Yang Maha Agung. Upacara samskara menyucikan seseorang dengan mengenyahkan kecenderungan-kecenderungan negatif. Semua umat Hindu melakukan 16 macam upacara Samskàra ini, yang terdiri dari:
<
p style=”text-align: justify;”>1. Garbhadhana (konsepsi)
2. Pumsavana (kehamilan berumur 3 bulan)
3. Simantonnayana (memberikan perlindungan ketika bayi berumur 4-6 bulan dalam kandungan
4. Jàtakarma (upacara saat kelahiran bayi)
5. Nàmakarana (upacara pemberian nama saat bayi berumur 11 hari atau pada hari yang baik setelah hari kelahiran)
6. Niskramana (membawa bayi ke luar rumah setelah berumur 4 bulan)
7. Annaprasana (upacara memberi makanan pada usia 6-7 bulan)
8. Chudakarma (upacara pemotongan rambut pertama setelah bayi berumur 1-3 tahun)
9. Karnavedha (upacara tindik daun telinga setelah bayi berumur 3 tahun)
10. Upanayana (upacara saat memasuki sekolah, umur 6-8 tahun).
11. Vedàrambha (upacara mulai belajar kitab suci Veda)
12. Samavartana (upacara menyelesaikan pendidikan, usia sekitar 24 tahun)
13. Vivàha (upacara perkawinan, sudah melepaskan diri sebagai Brahmacàri, kini memasuki masa Gåhastha)
14. Vanaprastha (upacara memasuki usia pensiun dan memandang dunia sebagai keluarga sendiri)
15. Sannyàsa (upacara penyucian diri untuk melepaskan diri dari ikatan duniawi)
16. Antyesti (upacara kematian/Bhupendra, 2001: 3, Rajbali, 1991: 23).
Tiga jenis “samskàra” pertama, yaitu: “Garbhadhana, Pumsavana dan Simanton-naya” adalah upacara prenatal sedangkan upacara lainnya dapat digolongkan sebagai upacara postnatal. Di Indonesia tidak semua upacara penyucian diri tersebut di atas dikenal atau dilaksanakan.
Pengaruh lingkungan dapat dibedakan menjadi lingkungan fisik (jasmani), psikologis (mental/rohani) dan sosial (masyarakat). Lingkungan fisik, seorang anak bersentuhan langsung dengan alam, yang juga akan mempengaruhi perkembangan intelektualnya. Kitab suci Veda mengamanatkan: “Kecerdasan seorang secara intelektual dibangkitkan di hamparan pegunungan (gunung-gunung) dan dipertemuan sungai-sungai (Rgveda V.8.14). Itulah sebabnya para rsi membangun pendidikan (formal) di masa yang silam di pangkuan alam. Demikianlah lembaga pendidikan dibangun di lereng-lereng atau puncak-puncak perbukitan, di tepi-tepi sungai-sungai yang mengalir dengan suaranya yang nyaring bagaikan musik. Dalam kondisi alam yang demikian, seorang anak dikembangkan fisiknya melalui kontak langsung dengan alam. Saat ini sangat sulit menemukan lembaga pendidikan seperti ashram-ashram yang dibangun oleh para rsi di masa yang silam seperti disebutkan di dalam kitab suci Rgveda. Di kota-kota dengan kebisingan serta atmospirnya yang tidak bagus, sangat sulit untuk melindungi seorang anak didik dari pengaruh buruk yang diterima karena lingkungannya yang demikian. Kitab suci Veda mengamanatkan pendidikan seorang anak (khususnya pengembangan fisik) dengan latihan-latihan dalam suasana yang kondusif (memberi pangaruh yang baik) hanya dapat dilakukan di lingkungan alam yang atmosfirnya menyehatkan.
Dalam sistem pendidikan Veda, ketika seorang anak kehilangan cinta kasih dari kedua orang tuanya, maka pendidikan di sekolah (dalam pengertian pendidikan Gurukula) menggantikan kasih sayang orang tua tersebut kepadanya. Dalam pendidikan Gurukula ini seorang anak dipisahkan dari keluarga. Kata “Kula” dalam kaitannya dengan Gurukula berimplikasi bahwa seorang anak tidak sepenuhnya dijauhkan dari atmosfir keluarga. Ia kini berubah dari kehidupan dalam keluarga kecil ke dalam keluarga besar. Dalam sistem pendidikan Veda, seorang anak tidak dipisahkan dengan susana keluarga, ia hanya ditransplatasikan dari keluarga kecil yakni orang tua ke keluarga besar, yakni keluarga Guru.
4. Apa yang harus diajarkan kepada anak?
Pendidikan budhi pekerti bagi anak-anak dalam keluarga kiranya dapat menjadikan ajaran moral Sri Krishna dalam Kitab Bhagavad-gita sebagai pedoman. Adapun sifat-sifat yang harus ditanamkan dan cara penanamannya adalah sebagai berikut:
- Abhyasa, mengandung arti melatih diri, membiasakan diri terhadap hal-hal yang baik (Bhagavad-gita 6.35; 8.8; 12.9-10; 17.36). Apa yang di abhyasa-kan? Semua perilaku yang baik harus dipraktekkan oleh orang tua dalam kehidupan sehari-hari. Orang tua harus mampu menjadi teladan yang baik bagi anak-anaknya. Anak harus sejak dini diajarkan untuk melakukan sembahyang, mengucapkan nama suci Tuhan secara teratur. Misalnya anak harus dibiasakan mengucapkan Mantram atau doa Gayatri. Gayatri mantra merupakan ibu dari semua mantra Weda. Disamping fungsi utamanya untuk menyucikan diri, mohon kejernihan pikiran dan keluhuran budhi pekerti, mantram tersebut juga dapat berfungsi sebagai kavaca (“baju sutra yang melindungi/menyelamatkan), maupun sebagai ”panjara” (benteng yang mencegah pengaruh negatif mempengaruhi diri dan lingkungan seseorang.
- Tyaga, mengandung arti tulus ikhlas (Bhagavad-gita 18.3-4, 10) yakni ikhlas tanpa beban ketika menghadapi sesuatu. Sikap abhyasa dan sikap tyaga keduanya dapat dibandingkan seperti “maarkata nyaya” yaitu sikap anak kera, dan dengan ”marjara nyaya”, sikap anak kucing. Yang pertama berpegang erat-erat (seperti anak kera memegang erat-erat induknya saat ia dibawa kemana saja) dan melaksanakan ajaran agama sebaik-baiknya (bhakti), sedangkan yang kedua adalah seperti kepasrahan seekor anak kucing yang dicengkeram oleh mulut induknya saat berpindah-pindah. Seperti itu pulalah hendaknya kita pasrah dan menyerahkan diri kepada Tuhan.
- Santosa, yang artinya puas menerima keadaan (santhusta), yakni dapat mensyukuri karunia-Nya. Seseorang tidak perlu terlalu menyesali diri, tetapi harus tetap optimis dalam menjalankan tugas kewajibannya. Kitab Weda menyatakan, tidak ada kegagalan bagi orang yang tekun berusaha.
- Sthitaprajnya, yakni teguh dalam menghadapi tantangan, gelombang suka dan duka (Bhagavad-gita 2.54) Dalam menghadapi berbagai cobaan, hendaknya orang tetap berpegang teguh pada dharma.
1. Bhupendra, Modi: The Hindu Samskaras-Refinent of Life, Modi Foundation, Delhi,2001
2. Mookerji, Radha Kumudh: Ancient Indian Education, Motilal banarsidass, Delhi, 1989
4. Rajabali, Pandey : Hindu Samskàras, Motilal banarsidass, Delhi,1991
5. Satyavrata Siddhantalankar: Exposition of Vedic Thought, Munshiram Manoharlal, Delhi, 1980
6. Sivananda Swami, All About Hinduism, A Divine Life Society, Himalaya, India 1988
7. Titib, I Made : Menumbuhkembangkan Pendidikan Budhi Pekerti pada Anak. Jakarta, Ganeca Exact, 2003.
Recent Comments