Srila Prabhupada lahir dengan nama Abhay Charan De pada tanggal 1 September 1896 di Calcutta, India. Ayahnya bernama Gour Mohan De, seorang pedagang kain, dan ibunya bernama Rajani. Sesuai dengan tradisi Benggali, orang tuanya meminta seorang ahli perbintangan/astrolog Veda untuk mengalkulasi horoskop sang anak. Sang astrolog membuat sebuah prediksi spesifik dengan mengatakan bahwa ketika anak tersebut mencapai usia tujuhpuluh tahun, ia akan menyeberangi samudera, menjadi seorang pengajar agama yang besar, dan mendirikan 108 kuil.
Ayah Abhay adalah seorang penganut Vaisnava strict. Dia membesarkan Abhay dalam lingkungan spiritual yang ketat. Karena itulah dari kecil Abhay tidak pernah menyentuh daging, ikan, telur, teh, atau kopi. Pada waktu kecil Abhay selalu menyaksikan ketulusan bhakti ayahnya dalam melakukan pemujaan kepada Krishna. Meski pulang larut malam dari tokonya, ayah Abhay selalu menyempatkan diri melakukan pemujaan di depan altar dan berjapa dengan khusuknya. Berlandaskan pada keteguhan sang ayah, Abhay dididik untuk menjadi seorang pengajar Bhagavatam. Abhay kecil selalu disibukkan dengan pelajaran bhakti dan berbagai alat musik tradisional. Berbeda dengan ayahnya, ibu Abhay ingin putranya menjadi pengacara bangsa Inggris. Yang artinya Abhay harus menempuh pendidikan di London. Namun ayahnya sama sekali tidak setuju. Menurutnya, jika Abhay pergi ke Inggris dia mungkin akan dipengaruhi oleh cara berpakaian dan sikap bangsa Eropa. “Dia akan belajar minum minuman keras dan mengejar wanita,” tolak ayahnya. “Saya tidak menginginkan uang darinya.”
Di seluruh India utara, Sri Krishna diterima sebagai aspek perwujudan Tuhan yang paling utama oleh mayoritas penduduk. Karena itu, secara alami Abhay menyerap kesadaran Krishna sejak kelahirannya. Lebih jauh lagi, ayahnya sangat religius, dan pada tahun-tahun belakangan Prabhupada menyebut ayahnya sebagai “seorang penyembah murni Krishna.” Gour Mohan seringkali membawa putranya ke kuil Radha Krishna dekat rumah, yang dikenal dengan nama Radha-Govinda Mandir, bahkan sebelum sang anak cukup usia untuk berjalan. Abhay juga gemar akan festival Ratha-yatra yang digelar setiap tahun di Calcutta. Ratha-yatra digelar di kota-kota di seluruh India, namun Ratha- yatra yang orisinil, dihadiri setiap tahun oleh jutaan peziarah, dilaksanakan di Jagannatha Puri, tiga ratus mil arah selatan Calcutta. Selama berabad-abad di Puri, tiga kereta kayu setinggi empatpuluh lima kaki ditarik oleh parade kerumunan orang sepanjang dua mil, dalam rangka memperingati salah satu lila Sri Krishna. Abhay mendengar tentang bagaimana empat ratus tahun lalu Sri Caitanya Sendiri menari dan memimpin kirtan Hare Krishna yang luar biasa di festival Ratha-yatra di Puri. Abhay kadangkala melihat-lihat jadwal kereta api atau bertanya tentang karcis ke Puri, memikirkan bagaimana caranya dia akan mengumpulkan uang dan pergi ke sana.
Ketika Abhay berusia sekitar enam tahun, dia meminta sebuah Arca kepada ayahnya untuk dipujanya sendiri. Sejak saat itu, apapun yang dimakan oleh Abhay kecil akan dipersembahkannya terlebih dahulu kepada Krishna dan dengan meniru ayahnya dan pendeta di Radha-Govinda, dia mempersembahkan lampu ghee kepada Arca.
Selama tahun-tahun kuliahnya, ayah Abhay mengatur pernikahannya, dengan memilihkan Radharani Datta, putri seorang keluarga pedagang yang diajak bekerjasama. Selama bertahun-tahun Abhay tinggal bersama keluarga, dan Radharani tinggal bersama keluarganya sendiri; jadi tangungjawab-tanggungjawab perkawinan berupa menghidupi sebuah keluarga tidak langsung dijalani Abhay sebelum dia menamatkan kuliahnya.
Hanya saja setelah tahun keempat kuliahnya Abhay mulai merasa enggan menerima gelar. Dia telah menjadi simpatisan gerakan nasionalis, yang memperjuangkan sekolah-sekolah nasional dan pemerintahan-sendiri.
Kakak kelas Abhay adalah seorang nasionalis yang menggebu, bernama Subhas Chandra Bose, yang belakangan menjadi pemimpin Tentara Nasional India, yang dibentuk untuk meruntuhkan pemerintahan Inggris di India. Ketika Subhas Candra Bose mendorong para mahasiswa untuk mendukung gerakan kemerdekaan India, Abhay setuju. Dia menyukai keyakinan Bose dalam spiritualitas, semangatnya dan ketetapan hatinya. Abhay tidak berminat pada aktivitas politik, namun idealisme gerakan kemerdekaan menarik minatnya. Ajakan untuk svaraj, kemerdekaan, walau terselubung, benar-benar memikat semua mahasiswa, dan Abhay ada di antara mereka yang terpikat.
Abhay terutama tertarik kepada Mohandas K. Gandhi. Gandhi senantiasa membawa Bhagavad-gita dan mengatakan dirinya dibimbing oleh Gita di atas semua buku lainnya. Gandhi suci dalam kebiasaan pribadinya, tidak mabuk-mabukan, tidak makan daging, dan tidak melakukan seks yang tidak sah. Dia hidup secara sederhana, seperti seorang sadhu, namun terlihat lebih memiliki integritas ketimbang sadhu-sadhu pengemis yang telah banyak dilihat Abhay. Abhay membaca pidato-pidato Ghandi dan mengikuti aktivitasnya. Mungkin Gandhi dapat membawa spiritualitas ke lapangan kegiatan, pikir Abhay.
Gandhi meminta para mahasiswa untuk meninggalkan studi pada sekolah-sekolah yang dijalankan oleh bangsa asing karena menurutnya sekolah tersebut menanamkan mentalitas perbudakan. Mereka membuat seseorang tidak lebih daripada sebuah boneka di tangan bangsa Inggris. Tetap saja, gelar universitas adalah dasar bagi karir hidup. Abhay mempertimbangkan pilihan-pilihan tersebut secara hati-hati dan pada tahun 1920, setelah menyelesaikan tahun keempat kuliahnya dan meliwati ujian, Abhay menolak gelar diplomanya. Dengan cara demikian, dia mengesahkan protesnya dan menunjukkan responnya atas ajakan Gandhi.
Setelah peristiwa pembunuhan di Jallianwalla Bagh, dimana para tentara Inggris menembak mati ratusan warga India tak bersenjata yang berkumpul untuk sebuah pertemuan damai, Gandhi mengajak untuk sepenuhnya menghentikan kerjasama dan memboikot segala hal yang berbau Inggris. Dengan menolak gelarnya, Abhay bergerak membawa dirinya lebih dekat dengan gerakan kemerdekaan Gandhi. Walau ayah Abhay merasa terganggu, dia tidak marah atas tindakan putranya. Dia lebih konsern dengan masa depan Abhay ketim-bang nasib politik India. Karena itu dia mengatur pekerjaan yang baik untuk Abhay melalui seorang kawan akrab keluarga, Dr. Kartick Chandra Bose. Dr. Bose, seorang ahli bedah terkenal dan industrialis bahan-bahan kimia, memiliki usaha sendiri, Laboratorium Bose, di Calcutta, dan dia dengan senang hati menerima Abhay sebagai manajer departemen dalam firmanya.
Srila Prabhupada bertemu pertama kali dengan guru spiritualnya, Bhaktisidhanta Sarasvati Thakura pada tahun 1922. Awalnya Abhay tidak ingin menemui beliau, karena pandangan skeptis pada para sadhu yang sering mengunjungi ayahnya. Namun seorang kawan Abhay berkeras, menyeretnya ke ruangan Gaudya Math, dimana mereka kemudian diantarkan ke balkon ke hadapan Bhaktisidhanta Sarasvati. Pada saat itulah Bhaktisidhanta Sarasvati mengatakan kepada Abhay dan teman-temannya untuk dapat menyebarkan ajaran Veda ke dunia barat. Untuk menguji Bhaktisidhanta, Abhay mengajukan beberapa pertanyaan kritis.
Abhay berpakaian kain khadi putih, yang di India pada waktu itu mempermaklumkan seseorang sebagai pendukung gerakan emansipasi politik Gandhi. Karena itu, dalam semangat nasionalisme India, Abhay bertanya, “Siapa yang akan mendengarkan ajaran kerohanian Anda? Kita adalah negara terjajah. Pertama India harus merdeka. Bagaimana kita bisa menyebarluaskan kultur Veda jika kita berada di bawah pemerintahan Inggris?”
Bhaktisiddhanta menjawab bahwa kesadaran Krishna tidak perlu menunggu perubahan keadaan politik India, kesadaran Krishna juga tidak bergantung pada siapa yang memegang pemerintahan. Kesadaran Krishna sedemikian pentingnya hingga tidak dapat menunggu.
Abhay tersentak akan ketegasan beliau. Seluruh India sedang dalam kekacauan dan tampaknya akan mendukung apa yang dikatakan Abhay. Banyak pemimpin terkenal Benggali, banyak orang-orang suci, bahkan Gandhi sendiri sosok yang berpendidikan dan berpikiran spiritual semuanya mungkin akan menanyakan pertanyaan yang sama, menantang relevansi dari pernyataan sadhu ini.
Namun Srila Bhaktisiddhanta menyatakan bahwa semua pemerintahan bersifat temporer; realitas yang kekal adalah kesadara Krishna, dan diri yang sejati adalah sang roh. Tidak ada sistem politik buatan-manusia yang bisa membantu umat manusia. Ini adalah kesimpulan literatur Veda dan garis guru-guru spiritual. Karya kesejahteraan publik yang sejati, kata beliau, harus melampaui perhatian-perhatian terhadap sesuatu yang temporer dan harus menyiapkan seseorang untuk kehidupan berikutnya dan hubungan kekalnya dengan Yang Mahakuasa.
Abhay telah menyimpulkan bahwa orang ini pasti bukan sadhu meragukan yang lain lagi, dan dia mendengarkan secara atentif argumen-argumen Bhaktisiddhanta dan merasakan dirinya pelan-pelan diyakinkan. Bhaktisiddhanta Sarasvati mengutip ayat-ayat Sanskerta dari Bhagavad Gita dimana Krishna menyatakan bahwa seseorang harus meninggalkan segala tugas-tugas dharma lainnya dan berserah diri kepada-Nya, Personalitas Tertinggi Tuhan Yang Maha Esa. Abhay belum pernah melupakan Krishna dan ajaran-ajaran-Nya yang dia dengar dari ayahnya. Namun dia kagum mendengar ajaran-ajaran tersebut disajikan dengan cara yang sangat ahli.
Abhay merasa dikalahkan dalam argumentasinya. Tapi dia senang. Ketika diskusi itu berhenti setelah dua jam, dia dan kawannya berjalan menuruni tangga dan keluar menuju jalan raya. Penjelasan Bhaktisiddhanta tentang gerakan kemerdekaan sebagai gerakan yang temporer dan tidak komplit meninggalkan kesan yang mendalam pada Abhay. Sekarang dia merasa dirinya lebih sebagai pengikut Bhaktisiddhanta Sarasvati ketimbang seorang nasionalis. Dia juga berpikir akan lebih baik seandainya dia belum menikah. Sosok agung ini memintanya untuk mengajarkan; dia bisa saja segera bergabung. Namun meninggalkan keluarga, menurut Abhay, akan merupakan suatu ketidakadilan.
Srila Prabhupada pernah mengatakan bahwa pada malam itu juga sebenarnya beliau telah menerima Bhaktisiddhanta Sarasvati sebagai guru spiritual yang meskipun belum secara resmi. Setelah Srila Prabhupada mulai banyak bergaul dengan Gaudya Math, belajar lebih giat dalam spiritual sampai akhirnya pada tahun 1932 Srila Prabhupada diterima secara resmi oleh Bhaktisidhanta sebagai muridnya.
Tiga puluh tahun berikutnya kehidupannya di India dia habisnya untuk menumbuhkan keinginan tunggal dan sekaligus mengikuti perintah gurunya untuk mengajarkan kesadaran Krishna ke seluruh dunia. Namun tanggung jawab keluarga dan kegiatan pengajarannya sering kali terasa bertentangan. Istrinya religius di rumah, namun tidak menyukai ide untuk bekerja menyebarkan kesadaran Krishna. Bahkan ketika Abhay berusaha mengadakan acara di rumah dan berceramah tentang Bhagavad Gita, istrinya lebih memilih tetap di lantai atas untuk minum teh. Meskipun istrinya keras kepala, Abhay tetap sabar dan berusaha mengajaknya.
Sebagai seorang penjual obat-obatan, Abhay melakukan banyak perjalanan dengan kereta api, khususnya di India utara. Dia berpikir jika bisa menjadi kaya, dia akan bisa menggunakan uangnya untuk mempropagandakan misi Bhaktisiddhanta Sarasvati. Pikiran inilah yang menyemangatkannya dalam berbisnis.
Abhay tidak berkesempatan bepergian bersama guru spiritualnya atau sering bertemu beliau. Selama empat tahun berikutnya, Abhay hanya berkesempatan bertemu dengan gurunya sekitar dua belas kali saja. Meskipun demikian Abhay sangat akrab dengan gurunya, bahkan disaat murid-murid yang lain segan dan takut berhadapan seperti itu. Prabhupada belakangan menceritakan, “Kadangkala saudara-saudara seguru saya mengkritik karena saya berbicara agak bebas dengan beliau, dan mereka mengutip pepatah Inggris yang mengatakan; “Orang bodoh berlari di tempat dimana para malaikat takut melangkah”. Namun saya berpikir, ‘Orang bodoh? Ya, mungkin saja. Tapi itulah saya.’ Guru Maharaja senantiasa sangat sayang kepada saya.”
Satu dari pertemuan terpenting Abhay dengan guru spiritualnya terjadi di Vrindavana pada tahun 1935. Abhay tidak lagi seorang pendatang baru saat itu, namun seorang murid yang bonafide, melakukan yang terbaik dalam konteks kehidupan berumah-tangga. Suatu hari saat Srila Bhaktisiddhanta berjalan-jalan di tepi telaga suci Radha-kusa bersama Abhay dan beberapa murid lainnya, beliau mulai berbisik secara rahasia kepada Abhay. Beliau mengatakan bahwa beberapa murid seniornya telah berselisih, dan hal ini membuat beliau sangat sedih. Para murid telah bertengkar memperebutkan siapa yang akan menggunakan berbagai ruangan dan fasilitas di pusat Gaudya Math di Calcutta. Jika mereka berselisih bahkan saat ini, apa yang akan mereka perbuat setelah guru spiritual mereka tiada? Abhay tidak ikut serta dalam masalah ini dan bahkan tidak mengetahui detail siapa-siapa yang terlibat. Namun sambil dia mendengarkan guru spiritualnya, dia juga menjadi sedih.
Dengan perhatian yang mendalam, Srila Bhaktisiddhanta berkata kepada Abhay, “Akan terjadi perpecahan.” Suatu hari akan terjadi perpecahan di dalam Gaudya Math Calcutta, dan perpecahan kepentingan tersebut akan menyebar dan menghancurkan segalanya. Abhay mendengarkan tapi tidak tahu apa yang harus diperbuat. Gurunya mengatakan; “Akan lebih baik mencopot marmer dari gedung-gedung kuil untuk mengamankan uang. Jika saya dapat melakukan hal ini dan mencetak buku-buku, itu akan lebih baik.”
Srila Bhaktisiddhanta Sarasvati kemudian secara langsung berkata kepada Abhay, “Saya berkeinginan untuk mencetak beberapa buku. Jika kamu punya uang, cetaklah buku.” Berdiri di tepi Radha-kusa dan menatap guru spiritualnya, Abhay merasakan kata-kata ini memasuki lubuk hatinya ”Jika kamu punya uang, cetaklah buku.”
Srila Bhaktisiddhanta berpulang dari dunia fana ini pada bulan Desember 1936. Sebulan sebelumnya, Abhay bersurat kepada beliau. Abhay berpikir bahwa sebagai seorang grhastha dia tidak mampu sepenuhnya melayani guru spiritualnya, dan dia ingin tahu apa lagi yang bisa dilakukannya. Dengan demikian dia bertanya, “Adakah pelayanan tertentu yang bisa saya lakukan?”
Berselang dua minggu akhirnya Abhay menerima jawabannya yang intinya menyatakan bahwa gurunya yakin suatu saat nanti Abhay mampu menjelaskan dan menyebarkan ajaran perguruannya dalam bahasa Inggris kepada semua orang yang tidak mampu berbahasa Benggali atau Hindi. Abhay segera mengenali hal ini sebagai instruksi yang sama yang telah diterimanya pada pertemuan pertamanya dengan Srila Bhaktisiddhanta pada tahun 1922. Dia menganggap hal ini sebagai sebuah penegasan. Sekarang dia tidak memiliki keraguan mengenai tujuan hidupnya.
Perpecahan Gaudya Math sesaat setelah berpulangnya Srila Bhaktisiddhanta dengan segera terjadi. Mereka berebut mendapatkan warisan aset perguruan. Abhay jarang ikut dalam aktivitas-aktivitas Gaudya Math, dan sekarang hal itu menjadi keuntungan baginya. Dia jauh dari perselisihan tersebut, namun menyesal bahwa perintah guru spiritualnya kepada murid-murid untuk bekerja secara bersama-sama sedang diabaikan dan kesatuan institusi beliau yang terdiri dari kuil-kuil dan percetakan sedang kolaps.
Pada saat terjadi perang dunia kedua, dari kamar depan apartemennya di Calcutta, Abhay membuat naskah untuk sebuah majalah. Dia memberi nama majalah itu Back to Godhead: “Diedit dan didirikan di bawah perintah langsung Srila Bhaktisiddhanta Sarasvati, oleh tuan Abhay Caran De.” Karena kondisi yang tidak kondusif, berkali-kali dia harus memohon kepada pegawai pemerintah untuk mendapatkan izin menggunakan kertas untuk mencetak majalahnya itu. Walau dia hanyalah satu suara di antara miliaran suara, yang tanpa dukungan atau pun uang, dia yakin kepada gurunya dan Sri Krishna. Dia memiliki keyakinan tentang pesan pentingnya; karena itu, bahkan selama perang, di tengah-tengah ledakan-ledakan bom dan kematian, dia merilis jilid pertama majalahnya, “karena ada suatu kebutuhan yang besar akan sebuah literatur seperti ini.”
Peristiwa-peristiwa besar nasional terus-menerus berlangsung sepanjang tahun 1940-an di India. Pada tahun 1947 India memperoleh kemerdekaannya dari Inggris yang telah lama diimpikan. Tetapi kegembiraan nasional itu segera disusul oleh kengerian ketika ratusan ribu orang meninggal dalam perang yang mengiringi pecahnya negara menjadi India dan Pakistan. Seperti yang belakangan diceritakan oleh Prabhupada, “Kami telah melihat pada tahun 1947, Hindu-Muslim berperang. Satu kelompok adalah Hindu, kelompok yang lain adalah Muslim. Mereka berperang, dan begitu banyak yang meninggal. Dan setelah mati tidak ada lagi perbedaan siapa Hindu atau siapa Muslim orang-orang pemerintah mengumpulkan mayat dalam tumpukan-tumpukan dan membuangnya entah ke mana.”
Abhay tidak menggantungkan harapan pada janji-janji perdamaian, dia juga tidak menganggap kemerdekaan India sebagai suatu solusi. Kecuali para pemimipin menjadi sadar akan Tuhan, perubahan apa yang bisa terjadi? Dalam majalah Back to Godhead, pada artikelnya yang berjudul “Pembicaraan Gandhi-Jinnah,” dia menulis, “Perang akan terus berlanjut antara Hindu dan Muslim, antara Kristen dan Kristen, antara Budha dan Budha sampai hari kiamat.” Poin Abhay: selama orang memiliki kepentingan-kepentingan egois dan keinginan untuk kepuasan indera, mereka akan terus berperang. Persatuan sejati hanya dimungkinkan di atas platform pemahaman spiritual dan pelayanan kepada Tuhan.
Bahkan ketika Abhay tidak mampu mengumpulkan cukup uang untuk mempublikasikan jilid-jilid reguler majalah Back to Godhead, dia terus menulis. Proyeknya yang paling ambisius adalah sebuah ulasan Bhagavad Gita, namun dia juga mengajarkan ajaran Sri Caitanya melalui surat-surat. Dia bersurat kepada banyak pemimpin pemerintahan, kenalan-kenalan orang terhormat, dan kepada penulis artikel-artikel yang telah dibacanya atau berita tentang orang yang melakukan aktivitas yang menarik perhatian matanya di surat kabar. Mempresentasikan dirinya sebagai seorang abdi rendahan, dia menjelaskan ide-idenya tentang cara untuk mengaplikasikan ajaran Veda yang asli sebagai solusi sukses bagi segala macam dilema. Kadangkala surat-suratnya mengundang jawaban dari petugas-petugas pemerintah dan para sekretaris mereka, namun kebanyakan surat-surat itu diabaikan.
Abhay tidak bisa menghindari pemikiran untuk melibatkan Mohandas Gandhi dalam pelayanan bhakti. Karena aktivitas-aktivitas moral, pertapaan dan dorongan semangatnya atas nama warga negara, Gandhi memiliki kekuatan yang besar untuk mempengaruhi warga India. Selain itu, Abhay memiliki perasaan khusus terhadapnya, karena pernah menjadi pengikutnya ketika muda. Pada tanggal 7 Desember 1947, Abhay menulis surat panjang kepada Gandhi di New Delhi. Dia sadar bahwa Gandhi sedang berselisih dengan banyak pengikut-pengikut lamanya, yang telah memegang kepe-mimpinan nasional namun mengabaikan doktrin-doktrinnya tentang persatuan Hindu-Muslim dan pertanahan. Orang-orang Hindu dan Muslim pun mengkritik Gandhi yang telah berumur 78 tahun.
Abhay tahu bahwa suratnya kemungkinan besar tidak akan pernah sampai ke tangan Gandhi, namun dia mengirimkannya juga. Memperkenalkan diri sebagai “kawan tak dikenal,” dia menulis, “Saya beritahu Anda sebagai kawan yang tulus bahwa Anda harus segera pensiun dari aktivitas politik jika tidak ingin meninggal dengan cara yang mengenaskan.” Walau sedikit mengakui kehormatan dan martabat Gandhi, Abhay mengatakan bahwa segalanya akan menjadi ilusi kecuali Gandhi pensiun dari politik dan tekun dalam memahami dan mengajarkan Bhagavad Gita. Terutama sekarang ketika Gandhi ada di penghujung kehidupan, Abhay memperingatkan, dia harus berhenti dari aktivitas politik dan mendekatkan diri kepada Kebenaran Mutlak. Setidaknya selama sebulan, pinta Abhay, Gandhi harus pensiun dan bergabung bersamanya dalam mendiskusikan Bhagavad Gita. Abhay tidak pernah menerima jawaban atas suratnya, dan sebulan kemudian, pada tanggal 30 Januari, Gandhi menemui ajalnya. Surat Abhay pada bulan sebelumnya tiba-tiba terbaca seperti sebuah ramalan.
Ketika keterlibatan Abhay semakin menggiat dalam menulis dan mengajarkan, bisnis dan urusan keluarganya terbengkalai. Dia merasa bahwa satu ayat khusus yang disabdakan oleh Sri Krishna di dalam Bhagavata Purana cocok untuk dirinya: “Ketika Aku merasa ingin memberi karunia khusus kepada seseorang, secara bertahap Aku mengambil semua kekayaan materialnya. Kawan-kawan dan kerabatnya kemudian menolak orang yang kelaparan dan paling hina itu” hanya menyisakan Krishna untuknya. Ketika bisnis Abhay di Allahabad tenggelam dalam hutang, dia berusaha membuka sebuah pabrik di Lucknow. Pada awalnya itu tampak menguntungkan, namun lambat-laun pabrik itu pun bangkrut dan harus ditutup.
Sambil terus menghidupi istri dan anak-anaknya di sebuah apartemen di Calcutta, Abhay lebih sering tinggal jauh dari mereka. Dia pindah kembali ke Allahabad, namun semakin mengurangi aktivitasnya dalam menjual produk-produk farmasi. Dia lebih tertarik dalam mengajarkan.
Ketika satu rumah sakit langganan di kota Jhansi mengundang Abhay untuk memberi ceramah, dengan senang hati dia menerimanya. Ceramahnya diterima dengan baik oleh para pendengar di Jhansi, yang kebanyakan terdiri dari mahasiswa-mahasiswa kedokteran dan para profesional. Namun apresiasi mereka lebih banyak dalam bidang sosial dan kultur. Mereka terbiasa mendengarkan ceramah dari berbagai pembicara, yang mereka undang dalam program-program ceramah, dan mereka tidak pernah menginginkan Abhay berupaya untuk mendirikan center yang permanen di Jhansi. Namun Abhay berpandangan luas dan ambisius. Dengan meninggalkan urusan di Allahabad di tangan putranya, dia berusaha menciptakan sebuah gerakan spiritual di Jhansi.
Abhay telah berusia 56 tahun, dan berpikir bahwa dia harus memulai sekarang dengan sangat serius mewujudkan perintah-perintah guru spiritualnya. Seperti yang dikatakannya kepada seorang laki-laki di Jhansi, “Seluruh dunia sedang menunggu, Tuan Mitra, untuk sebuah revolusi spiritual.” Karena institusi guru spiritualnya, Gaudya Math, telah menjadi tidak efektif akibat pertengkaran-pertengkaran dan perpecahan yang permanen, dia berjuang untuk memulai sebuah gerakan para penyembah dengan aktivitas yang mendunia. Walau dia hanya punya satu atau dua orang yang aktif membantu, dia diperkenankan menggunakan sebuah kuil yang tak terurus dan mulai bekerja menuju apa yang dicita-citakannya sebagai sebuah PBB spiritual. Dia menyiapkan sebuah piagam dan secara resmi mendaftarkan gerakannya dengan nama Liga Penyembah.
Namun ketika sibuk dalam urusan ini, suatu hari Abhay menerima sebuah telegram yang menyampaikan bahwa bisnisnya di Allahabad telah ambruk. Para pembantu telah mencuri uang, obat, dan semua barang berharga lainnya. Saat membaca berita tersebut, dia terdiam, namun kemudian tertawa dan mengucapkan ayat Bhagavatam: karunia Krishna adalah dengan menghancurkan kesuksesan material seorang penyembah yang tulus. Ketika salah satu kawan Abhay di Jhansi menyarankan agar kembali ke Allahabad, dia menjawab, “Tidak, ini baik untuk saya. Pertama saya sedih mendengarnya, tapi saya dapat melihat bahwa salah satu ikatan yang besar telah terlepas, dan sekarang kehidupan ini sepenuhnya saya serahkan dan dedikasikan kepada Sri Krishna.”
Dalam sebuah kunjungan ke keluarganya di Calcutta, Abhay mengakhiri sepenuhnya tanggungjawabnya terhadap keluarga. Dia masih memiliki sebuah bisnis kecil di sana, dan dia telah pergi untuk mengumpulkan dana bagi misinya di Jhansi. Namun tanpa dapat dielakkan dia kembali tenggelam dalam tanggungjawab keluarga: beberapa anaknya masih belum menikah, sewa dan tagihan harus dibayar. Bahkan jika dia mengembangkan toko obatnya yang ada di Calcutta, keluarganya akan meminta seluruh pendapatan yang dikumpulkannya, dan bahkan jika dia mengabulkan permintaan-permintaan keluarganya dan tinggal di rumah, kesulitan terbesar akan tetap ada: mereka tidak serius dalam pelayanan bhakti.
Apa gunanya, pikirnya, jika mereka tidak menjadi penyembah? Istri dan keluarganya tidak tertarik dengan kegiatan pengajarannya di Jhansi namun ingin dia menghabiskan lebih banyak waktu dalam bisnis dan urusan keluarga. Ayah mertuanya mengeluh, “Mengapa engkau selalu bicara tentang Tuhan?” Namun ketika kawan-kawannya datang berkunjung, Abhay terus mengajarkan dan berbicara tentang Bhagavad Gita, seperti yang telah dilakukannya di Jhansi. Dan seperti sebelumnya, istri dan keluarganya yang lain akan minum teh di ruangan lain. Prabhupada belakangan men-ceritakan, “Sejauh mungkin saya ingin mengajaknya bekerja sama menyebarkan kesadaran Krishna, untuk mendapatkan bantuan darinya. Namun dia sangat keras kepala. Jadi akhirnya, setelah tiga puluh tahun, saya bisa memahami dia tidak mau membantu saya sedikit pun.”
Abhay selalu menasihati istrinya untuk tidak minum teh: itu bukan praktik keluarga Vaisnava yang strik. Akhirnya dia berkata, “Kamu harus memilih antara saya dan teh. Tehnya yang pergi atau saya yang pergi.” Istri Abhay menjawab secara bercanda, “Yah, kalau begitu saya mesti melepaskan suami saya.” Kemudian suatu hari istrinya melakukan sebuah kesalahan yang fatal. Dia menjual salinan Bhagavata Purana suaminya untuk membeli biskuit dan teh. Ketika Abhay pulang dan mencari buku suci tersebut, istrinya menceritakan apa yang terjadi. Abhay kaget, dan insiden itu mendorongnya untuk meninggalkan keluarganya demi kebaikan. Dalam ketabahan hati yang mantap, dia meninggalkan keluarga dan bisnisnya.
Tahun 1950-an terbukti sebagai tahun-tahun yang sangat sulit bagi Abhay. Dia kembali ke Jhansi, namun harus meninggal-kan gedung yang telah dipakainya karena istri gubernur berkeras untuk menggunakannya sebagai sebuah klub perempuan dan bukan untuk Liga Penyembah. Tanpa tempat tinggal dan tanpa dukungan nyata, Abhay meninggalkan Jhansi tapi tidak meninggalkan rencananya untuk memulai sebuah perkumpulan para penyembah yang mendunia. Setelah pindah ke sebuah di Delhi dan tinggal selama beberapa waktu dengan saudara-saudara segurunya, Abhay sendiri lagi, seorang petualang, dari minggu ke minggu tinggal di berbagai kuil atau rumah orang-orang kaya dan saleh yang bersedia menerimanya. Dalam hal makanan, pakaian, dan tempat tinggal, inilah masa-masa tersulit yang pernah dijalaninya. Sejak kecil Abhay selalu punya makanan dan pakaian yang baik, dan tidak pernah ada masalah mengenai tempat tinggal. Abhay anak kesayangan ayahnya, dan dia telah menerima bimbingan dan kasih sayang khusus dari Srila Bhaktisiddhanta Sarasvati Namun selama tahun 1950-an Abhay sendirian.
Abhay menghabiskan waktunya untuk menulis dan mendekati donator-donatur, yang juga diajarkannya tentang Bhagavad Gita. Tujuannya bukan untuk mencari tempat tinggal yang permanen namun untuk mencetak literatur spiritualnya dan mendirikan sebuah gerakan yang kuat untuk menyebarkan kesadaran Krishna. Dan untuk tujuan ini Abhay perlu uang. Jadi dia menghubungi orang-orang kaya di kantor dan di rumah mereka, memperlihatkan naskah karyanya dan menjelaskan misinya. Namun hanya sedikit orang yang merespon. Dan ketika mereka merespon, sumbangan mereka biasanya hanya lima atau sepuluh rupee. Namun, lambat-laun Abhay mengumpulkan cukup uang untuk kembali mencetak Back to Godhead.
Karena kekurangan uang bahkan untuk membeli pakaian yang sepantasnya, Abhay berurusan ke sana-kemari tanpa mengenakan jaket pada saat musim dingin kota Delhi yang tak bersahabat. Abhay secara teratur berjalan kaki ke percetakan untuk memeriksa cetakan akhir majalah Back to Godhead. Ketika tukang cetak menanyakan mengapa dia bersungguh-sungguh untuk memproduksi majalahnya di bawah kesulitan seperti itu, Abhay menjawab, “Ini misi saya.” Abhay mengatur untuk membayar tukang cetak secara mencicil.
Setelah mengambil majalah dari percetakan, Abhay berjalan keliling kota untuk menjualnya. Dia akan duduk di sebuah kedai teh, dan ketika ada orang duduk di sebelahnya dia akan meminta orang itu untuk membeli majalahnya. Liwat artikel-artikel dan editorialnya, Abhay mengkritik kecenderungan-kecenderungan materialistik dan ateistik peradaban moderen. Abhay juga menghubungkan dengan pengalaman pribadinya. Untuk merespon sikap menentang (yang sopan maupun tidak) yang dihadapi ketika menjual Back to Godhead, Abhay menulis sebuah artikel, “Tidak Ada Waktu, Penyakit Kronis Orang Kebanyakan.” Tulisannya tidak pernah menyakitkan, atau fanatik, walau ada kesulitan pribadi yang parah dan urgensi pesan yang disampaikannya. Abhay menulis sambil berharap para pembacanya siap mendengar filosofinya dan berniat menerima kebenaran, khususnya ketika disajikan secara logis, relevan, dan otoritatif.
Selain menjual Back to Godhead di kedai-kedai teh dan mengantarkan kepada para donatur, Abhay juga mengirimkan majalahnya secara gratis lewat pos baik di dalam India maupun ke luar negeri. Selama bertahun-tahun, para pembaca berbahasa Inggris yang besar jumlahnya di luar India telah menarik perhatiannya, dan Abhay ingin mencapai mereka. Setelah mengumpulkan alamat perpustakaan-perpustakaan, universitas, dan kantor-kantor pemerintahan dan kantor budaya di luar India, Abhay mengirimkan Back to Godhead sebanyak yang dia mampu. Abhay menyiapkan sebuah selebaran untuk pembaca-pembaca Baratnya, menyatakan bahwa mereka bahkan seharusnya lebih mau menerima ketimbang warga senegaranya.
Pada kalangan atas, Abhay mengirimkan Back to Godhead kepada presiden India, Dr. Rajendra Prasad, dilampiri sebuah surat yang memperingatkannya akan ancaman takdir yang menunggu sebuah masyarakat yang dipimpin oleh orang yang tak berketuhanan ”Karena itu tolong selamatkan mereka dari kejatuhan yang besar.” Abhay meminta kepada Yang Mulia untuk setidaknya melirik kolom utama majalah Back to Godhead yang dilampirkannya dan mempertimbangkan memberi kesempatan wawancara kepada sang editor. “Saya menangis sendirian dalam kesulitan saat ini,” tulis Abhay. Yang Mulia tidak pernah menjawabnya.
Walau mesti meliwati membaranya musim panas New Delhi, ketika suhu naik mencapai 114 fahrenheit, Abhay tetap pergi setiap hari menjual majalah dwi-mingguannya. Suatu kali Abhay mengalami serangan hawa panas dan terhuyung-huyung di jalan, sampai seorang kawan menaikkan dia ke mobil dan mengantarkannya ke dokter. Kali lain Abhay diseruduk seekor sapi dan terbaring beberapa saat terlantar di pinggir jalan. Pada saat-saat seperti ini, Abhay bertanya-tanya mengapa dia meninggalkan rumah dan bisnisnya, dan mengapa, karena sekarang dia telah berserah-diri kepada Krishna, segalanya menjadi demikian sulit. Namun pada tahun-tahun belakangan, ketika misi kesadaran Krishnanya telah mantap di banyak negara dan punya banyak murid, beliau berkata, “Pada saat itu saya belum mampu memahaminya. Tapi sekarang saya menyadari bahwa semua kesulitan itu adalah aset. Itu semua adalah karunia Krishna.”
Sambil terus melanjutkan perjuangannya mencetak dan menjual Back to Godhead di Delhi, Abhay memutuskan untuk tinggal di Vrindavana, delapan puluh mil sebelah selatan New Delhi. Para Gaudiya Vaisnava menganggap Vrindavana sebagai tempat yang paling suci di alam semesta, karena di sana Sri Krishna memperlihatkan permainan masa kecil-Nya selama inkarnasi-Nya lima ribu tahun silam. Para pengikut utama Sri Caitanya telah pergi ke Vrindavana lima ratus tahun silam, menulis buku-buku, mendirikan kuil-kuil, dan menggali kembali tempat lila-lila Krishna di hutan-hutan, padang rumput, dan sepanjang tepi sungai. Ide Abhay adalah menulis essay di atmosfir Vrindavana yang spiritual dan damai lalu naik kereta ke Delhi untuk mendistribusikan literaturnya dan mencari donasi dari kawan-kawan para orang terhormat. Abhay menyewa sebuah kamar murah yang sangat sederhana di kuil yang terletak di tepi Sungai Yamuna dan di sana Abhay meresapi kualitas kehidupan spesial di Vrindavana.
Abhay melihat Vrindavana tidak seperti penglihatan orang biasa. Sebagai seorang penyembah murni Krishna, Abhay merasakan kebahagiaan besar hanya dengan berjalan-jalan di sepanjang jalan tanah atau melihat wujud Arca Krishna di dalam ribuan kuil dan rumah, yang tampak dari setiap jalan. Dari balkon kecil kamarnya, Abhay bisa melihat Yamuna mengalir di hadapannya dan meluas menjadi sebuah kelokan yang lebar yang berkilau diterpa cahaya matahari senja. Pada malam hari, Abhay menikmati hembusan angin sejuk dari Yamuna dan mendengarkan para penyembah mengucapkan doa-doa malam di Kesi-ghata. Abhay juga mendengar dentang lonceng kuil di sepanjang kota, dan kadangkala dia akan berhenti menulis dan berjalan-jalan menuju area-area sibuk, di tengah-tengah para penduduk dan para peziarah yang datang berkunjung. Abhay mendengar pengucapan Hare Krishna di mana-mana, dan banyak pelintas jalan menyapanya dengan sapaan umum yaitu “Jaya Radhe!” dan “Hare Krishna.”
Seperti halnya Vrindavana adalah tempat tinggal Krishna, demikian pula Abhay adalah pelayan Krishna. Di Vrindavana Abhay merasa seperti berada di rumah. Secara wajar, dia terus memikirkan tentang pengajaran, ingin agar orang lain mengetahui tentang kedamaian intim dan kebahagiaan di Vrindavana. Krishna, Personalitas Tertinggi Tuhan Yang Maha Esa, mengundang semua jiwa untuk bersama Dia di tempat tinggal-Nya yang kekal; namun bahkan di India, hanya sedikit orang yang mengerti. Dan di luar India, orang tidak tahu apapun tentang Vrindavana atau tentang Yamuna atau pun tentang apa artinya menjadi bebas dari keinginan-keinginan material. Abhay berpikir, mengapa orang-orang di seluruh dunia mesti tidak mengetahui ini semua? Ini adalah tempat kedamaian, namun tak seorang pun tahu sesuatu apa pun tentang hal ini, dan juga orang tidak tertarik. Namun inilah sebenarnya apa yang mereka dambakan.
Diarahkan oleh keinginan untuk meyebarluaskan keagungan abadi Vrindavana, Abhay bekerja hampir non-stop di Vrindavana memproduksi masing-masing jilid majalah Back to Godhead. Namun, bolak-balik New Delhi menjadi sulit. Abhay naik kereta pagi ke Delhi dan, karena tidak punya tempat tinggal, mesti kembali ke Vrindavana malamnya. Itu tidak memberi banyak waktu di kota, dan biayanya mahal. Kadang seorang gentleman yang saleh akan memberinya tempat menginap, namun bahkan dengan biaya-biaya pribadi yang minimal, Abhay kesulitan mengumpulkan donasi yang cukup untuk menutupi ongkos perjalanan, mencetak, dan mengirimkan majalah. Setelah menerbitkan edisi dwi-mingguan Back to Godhead dua belas kali berturut-turut, Abhay kembali kehabisan uang. Tukang cetak mengatakan bahwa dia tidak bisa mencetakkan pesanan Abhay hanya berdasarkan rasa persahabatan. Kembali ke Vrindavana, Abhay melanjutkan menulis, namun tanpa rencana untuk menerbitkannya.
Suatu kali Abhay mengalami mimpi yang aneh, mimpi yang sama yang telah dialami beberapa kali sebelumnya, selama masa-masa sebagai orang yang berumah-tangga. Srila Bhaktisiddhanta Sarasvati muncul, seperti yang dikenal Abhay, seorang sannyasi terpelajar yang berperawakan tinggi, datang secara langsung dari dunia spiritual, rekan pribadi Krishna. Beliau memanggil-manggil Abhay dan memberi tanda bahwa Abhay harus ikut. Berulangkali beliau memanggil dan melambaikan tangan. Beliau meminta Abhay untuk menerima tingkatan sannyas. Ayo, beliau mengajak, jadilah sannyasi Abhay terbangun dalam keadaan keheranan. Abhay menggangap instruksi ini sebagai aspek lain dari instruksi awal yang telah Srila Bhaktisiddhanta Sarasvati berikan kepadanya pada pertemuan pertama mereka di Calcutta, instruksi yang sama yang belakangan telah dipertegas oleh guru spiritualnya itu dalam sebuah surat: menjadi seorang pengajar berbahasa Inggris dan menyebarkan kesadaran Krishna ke dunia Barat. Sanyasa adalah untuk tujuan tersebut; jika tidak, mengapa guru spiritualnya meminta dia untuk menerima tingkatan Sanyasa ? Dalam sistem sosial standar Veda, seorang laki-laki diharapkan meninggalkan keluarganya pada usia limapuluh tahun dan menjadi seorang biksu yang melepaskan ikatan, seorang sanny€s…, dan dengan demikian mendedikasikan masa-masa terakhir kehidupannya untuk berjapa, mendengar, dan mengajarkan tentang keagungan Tuhan. Abhay memper-kirakan bahwa guru spiritualnya sedang berkata, “sekarang ambil tingkatan Sanyasa dan engkau akan benar-benar mampu mewujudkan misi ini. Sebelum ini waktunya belum tepat.”
Abhay mempertimbangkan dengan serius. Dengan menerima tingkatan Sanyasa , seorang Vaisnava mendedikasikan badan, pikiran, dan kata-katanya secara total untuk pelayanan kepada Personalitas Tertinggi Tuhan Yang Maha Esa, me-ninggalkan segala kesibukkan lain. Abhay telah melakukan semua itu, namun dia merasa bahwa dengan menerima tingkatan Sanyasa dia bisa mempertegas posisinya dan bahkan memperoleh dorongan yang lebih besar untuk tugas besar yang masih terbengkalai. Standar Veda dan contoh yang ditetapkan oleh para Acharya terdahulu adalah bahwa jika seseorang ingin memimpin sebuah gerakan pengajaran, diperlukan tingkatan Sanyasa . Pada mulanya Abhay enggan, namun sekarang dia menimbang-nimbang kembali. Abhay mendatangi saudara segurunya, Kesava Maharaja, di Mathura, yang ternyata mendorong Abhay untuk segera mengambil tingkatan Sanyasa .
Pada tahun-tahun belakangan Prabhupada menceritakan, “Saya sedang duduk sendirian di Vrindavana, menulis. Saudara seguru saya menyemangatkan, ‘Bhaktivedanta Prabhu, engkau harus melakukannya. Tanpa menerima tingkat hidup pelepasan ikatan, tak seorang pun dapat menjadi pengajar.’ Guru spiritual sayalah yang berkeras melalui saudara seguru ini. Jadi, dengan enggan, saya menerimanya.”
Setelah sebuah acara diksa Sanyasa formal di Vrindavana, nama Abhay menjadi Abhay Caranavinda Bhaktivedanta Swami. Namun masalah dasar beliau masih tetap. Beliau ingin mengajarkan kesadaran Krishna, namun hanya sedikit orang yang mau mendengarkan. Hal tersebut tidak berubah setelah beliau menjadi seorang sannyasi.
Bagaimanapun juga satu perubahan terjadi: Bhaktivedanta Swami memutuskan untuk menulis buku. Ketika seorang pegawai perpustakaan menyarankan untuk menulis buku (buku bersifat permanen, sedangkan majalah dibaca sekali kemudian dibuang), Bhaktivedanta Swami menganggap guru spiritualnya sedang berbicara melalui orang ini. Kemudian seorang tentara yang menyukai Back to Godhead menyarankan hal yang sama. Dalam kedua kasus tersebut Bhaktivedanta Swami menganggap saran tersebut sebagai sabda dari guru spiritualnya.
Bhaktivedanta Swami mempertimbangkan untuk menulis Bhagavata Purana, karena Bhagavata Purana adalah kitab suci Vaisnava yang paling penting dan otoritatif. Walau Bhagavad Gita adalah esensi dari segala pengetahuan Veda, sementara itu Bhagavata Purana disajikan secara mendetail. Srila Bhaktisiddhanta Sarasvati dan Bhaktivinoda Takur keduanya telah menulis ulasan Bhagavata Purana berbahasa Benggali. Faktanya, hampir semua Acharya Vaisnava yang agung pada masa lalu telah mengulas Bhagavata Purana, “literatur Veda yang tanpa noda.” Sebuah terjemahan dan ulasan bahasa Inggris atas buku ini suatu hari akan mampu mengubah hati orang di seluruh dunia. Dan jika Bhaktivedanta Swami bisa mencetak bahkan beberapa jilid saja, pengajarannya akan terangkat; beliau bisa pergi ke luar negeri dengan rasa percaya diri dan muncul di sana tidak dengan tangan hampa.
Beliau merenungkan skala proyek yang sedang diupayakannya. Bhagavata Purana terdiri dari delapan belas ribu ayat, dalam dua belas Skanda, yang beliau perkirakan sedikitnya akan menjadi enam puluh jilid. Beliau berpikir mungkin mampu menyelesaikan dalam tempo lima atau tujuh tahun: “Jika Krishna menjaga saya tetap fit secara fisik,” tulisnya, “maka saya akan sanggup menyelesaikan karya ini dalam rangka memenuhi kehendak Srila Bhaktisiddhanta Sarasvati .”
Tindakan Bhaktivedanta Swami menerima tingkatan Sanyasa , idenya untuk menulis dan menerbitkan Bhagavata Purana, dan keinginannya untuk mengajarkan kesadaran Krishna di Barat semua saling bersangkut-paut. Untuk mengajarkan, beliau mesti punya buku, khususnya jika hendak pergi ke Barat. Ada jutaan buku di Barat, namun tidak ada buku seperti yang satu ini, tidak ada yang mengisi kekosongan spiritual dalam kehidupan orang-orang. Namun beliau bukan hanya akan menulis, tapi akan secara langsung membawa buku-buku itu ke Barat, memperkenalkannya, dan mengajarkan orang liwat buku dan secara personal bagaimana cara mengembangkan cinta yang murni kepada Tuhan.
Walau dikenal sebagai seorang pengajar berbahasa Inggris, Bhaktivedanta Swami tahu bahwa presentasinya dalam bahasa asing memiliki banyak kesalahan teknis; dan beliau tidak punya editor untuk memperbaikinya. Namun kesalahan-kesalahan teknis yang demikian tidak akan menjadi penghalang untuk mencetak Bhagavata Purana . Ini adalah suatu keperluan mendesak. “Ketika terjadi kebakaran di sebuah rumah,” tulisnya, “para penghuni rumah keluar untuk mencari bantuan dari para tetangga yang mungkin asing bagi orang itu namun tanpa bahasa yang pas para korban kebakaran meminta pertolongan, dan para tetangga memahami keperluan korban walau diekspresikan dalam bahasa yang kurang pas. Semangat kerjasama seperti itu diperlukan untuk menyebarluaskan ajaran transendental Bhagavata Purana ini ke seluruh dunia yang beratmosfir tercemar saat ini.”
Bhaktivedanta Swami menyajikan Bhagavata Purana tanpa perubahan, dengan penghormatan terbesar kepada Srila Vyasadeva, sang penyusun. Dan itulah jasa terpenting Bhakti-vedanta Swami. Tentu beliau menambahkan keinsafannya sendiri, namun bukan dengan semangat untuk berusaha melampaui guru-guru spiritual sebelumnya. Dalam hal yang terpenting, yaitu mempresentasikan pokok permasalahan secara tegas menurut parampara, Bhaktivedanta Swami mengalami kesulitan berupa “teknik-teknik yang salah dan kurang sempurna.” Beliau mengetahui bahwa tanpa tetap setia pada garis perguruan, penjelasan Bhagavata Purana tidak akan bernilai.
Di kamar kuil Chippiwada, beliau mengetik siang-malam di atas meja dengan lampu redup yang tergantung di tali dari langit-langit. Beliau duduk di lantai dengan beralaskan tikar tipis, mesin ketik ada di hadapannya di atas sebuah kopor. Halaman-halaman ketikan menumpuk, dan ditindihnya dengan batu. Makan dan tidur hanya bersifat insidental. Beliau yakin sepenuhnya bahwa Bhagavata Purana akan menciptakan revolusi dalam peradaban yang salah arah saat ini. Dengan demikian beliau menerjemahkan tiap kata dan menulis tiap penjelasan dengan perhatian dan konsentrasi penuh. Namun ini harus dikerjakan secepat mungkin.
Menulis hanyalah setengah perjuangan; setengah yang lain adalah menerbitkannya. Namun para penerbit tidak tertarik dengan seri enam puluh jilid Bhagavatam, sedangkan Bhaktivedanta Swami tidak tertarik pada apapun yang lain. Karena itu, untuk menerbitkan buku-bukunya, beliau mesti meminta donasi dan menerbitkan dengan biaya sendiri.
Disamping menyebarkan bukunya secara door to door, Bhaktivedanta Swami mengirimkan bukunya kepada tokoh-tokoh politik dan menerima review yang menguntungkan dari Sri Biswanath Das, gubernur Uttar Pradesh, dan Dr. Zakir Hussain, wakil presiden India. Beliau juga menerima kesem-patan interview langsung dengan Dr. Hussain, dan beberapa bulan kemudian memperoleh kesempatan bertemu dengan perdana menteri, Lal Bahadur Shastri.
Ini adalah kesempatan formal di wilayah Gedung Parlemen, dimana sang perdana menteri, dikelilingi oleh asisten-asistennya, menerima seorang sadhu tua. Bhaktivedanta Swami, kelihatan terpelajar di balik kacamatanya, melangkah maju dan memperkenalkan dirinya dan bukunya, Bhagavata Purana. Ketika beliau menyerahkan buku Jilid Satu, seorang fotografer mengambil foto sang penulis dan perdana menteri yang tersenyum memandangi buku.
Dengan menggunakan review yang menguntungkan ini sebagai media promosi, Bhaktivedanta Swami mengunjungi donator-donatur yang prospektif saat berusaha mengumpulkan dana untuk jilid berikutnya. Akhirnya, dengan naskah di tangan dan uang untuk mencetak, beliau kembali memasuki dunia percetakan membeli kertas, mengoreksi cetakan, dan menjaga jadwal percetakan agar masing-masing buku selesai tepat waktu. Dengan demikian, atas kegigihannya, beliau yang hampir tidak punya uang berhasil mencetak jilid ketiga karyanya dengan cover yang tebal dan lebar dalam tempo dua tahun lebih sedikit.
Pada tahap ini, dengan meningkatnya penghargaan dari dunia cendekiawan, Bhaktivedanta Swami mungkin segera akan menjadi figur yang diakui dikalangan warga negaranya. Namun beliau punya visi yang diarahkan ke Barat. Dan dengan dicetaknya jilid ketiga, beliau akhirnya merasa siap. Usianya telah enam puluh sembilan tahun, dan mesti memulainya segera. Telah lebih dari empatpuluh tahun sejak Srila Bhaktisiddhanta Sarasvati pertama kali meminta seorang pemuda berumah-tangga di Calcutta untuk mengajarkan kesadaran Krishna di Barat. Pada mulanya Abhay Charan muda menganggap hal itu tidak mungkin. Namun rintangan berupa tanggungjawab keluarga sekarang telah hilang. Dan beliau bebas untuk pergi ke Barat. Walau tak punya uang.
Dengan telah terliwatinya hampir sebagian besar kesulitan, biaya perjalanan dan hal-hal tertentu seperti izin dari pemerintah tetap sebagai hambatan-hambatan terakhir yang cukup serius. Kemudian, tiba-tiba pada tahun 1965, hambatan-hambatan terakhir ini mulai menghilang satu-persatu.
Di Vrindavana Bhaktivedanta Swami bertemu Tuan Agarwal, seorang pengusaha dari Mathura, dan menyampaikan kepadanya, yang juga beliau lakukan terhadap hampir semua orang yang ditemui, bahwa beliau ingin pergi ke Barat. Walau Tuan Agarwal mengenal Bhaktivedanta Swami hanya baru beberapa menit, dia bersedia mencarikan sponsor di Amerika dengan cara meminta Gopal putranya, seorang insinyur yang tinggal di Pennsylvania, untuk mengirimkan kembali sebuah blangko sponsorship. Ketika Tuan Agarwal bersedia membantu dengan cara ini, Bhaktivedanta Swami mendorong agar dia benar-benar melakukannya.
Bhaktivedanta Swami kembali ke Delhi, mencari-cari tempat penjualan buku, memburu kesempatan apapun yang mungkin muncul. Suatu hari, hal yang mengejutkan terjadi, beliau dihubungi oleh Menteri Urusan Luar Negeri dan diberitahu bahwa sertifikat “No Objection” untuk pergi ke A.S. telah siap. Mereka memperlihatkan Statutory Declaration Form yang ditandatangani oleh Tuan Gopal Agarwal dari Butler, Pennsylvania; Tuan Agarwal secara mantap menyatakan bahwa dia akan menanggung semua biaya Bhaktivedanta Swami selama berada di A.S.
Sekarang Bhaktivedanta Swami punya sponsor. Namun beliau masih memerlukan paspor, visa, P-form, dan ongkos perjalanan. Urusan paspor tidak sulit. Sekarang, dengan paspor dan sertifikat sponsorship, Bhaktivedanta Swami pergi ke Bombay, bukan untuk menjual buku atau mengumpulkan dana untuk mencetak buku, namun mencari bantuan untuk pergi ke Amerika. Beliau mendatangi Sumati Morarji, pemimpin perusahaan Scindia Steamship Line, yang telah membantu dengan donasi besar untuk mencetak Jilid Kedua Bhagavata Purana. Beliau memperlihatkan sertifikat sponsorship kepada sekretaris Nyonya Morarji, Tuan Choksi, yang terkesan dan pergi menghadap Nyonya Morarji atas nama beliau.
Meski pada saat menghadap Nyonya Morarji Srila Bhaktivedanta Swami melewati penolakan yang sangat keras, namun beliau berkeras dengan keinginannya. Beliau meminta Tuan Choksi untuk meyakinkan Nyonya Morarji dan bahkan mendikte apa yang harus dikatakannya: “Saya lihat orang ini sangat terinspirasi untuk pergi ke Amerika menyampaikan ajaran Sri Krishna kepada orang-orang di sana . . . ” Namun ketika Tuan Choksi menyampaikannya, Nyonya Morarji kembali mengatakan tidak; Swamiji tidak sehat. Selain itu, orang-orang di Amerika tidak kooperatif, dan mungkin mereka tidak akan mendengarkan ajaran beliau.
Kesal dengan ketidakefektifan Tuan Choksi, Bhaktivedanta Swami minta bertemu langsung. Beliau diizinkan, dan Bhaktivedanta Swami yang telah beruban namun berteguh hati mengajukan permintaan yang tulus: “Mohon berikan saya satu tiket.” Singkat cerita, melihat keinginan Srila prabhupada yang begitu keras, Sumati Morarji akhirnya mengabulkan sebuah tiket dan makanan gratis selama perjalanan ke Amerika. Bhaktivedanta Swami tersenyum cerah dan dengan gembira meninggalkan kantor Nyonya Morarji, meliwati para sekretaris yang skeptis dan keheranan.
Dengan menuruti instruksi Nyonya Morarji, para sekretarisnya melakukan persiapan akhir. Karena Bhaktivedanta Swami tidak memiliki pakaian hangat, Tuan Choksi mengantarkan beliau untuk membeli sebuah jaket wool dan pakaian lainnya yang berbahan wool. Atas permintaan Bhaktivedanta Swami, Tuan Choksi mencetak limaratus pamflet kecil yang mencantumkan delapan ayat yang ditulis oleh Sri Caitanya dan sebuah promosi Bhagavata Purana .
Nyonya Morarji menjadwalkan sebuah tempat untuk beliau di salah satu kapalnya, Jaladuta, yang akan berangkat dari Calcutta pada tanggal 13 Agustus. Nyonya Morarji memastikan agar beliau pergi dengan kapal yang kaptennya memahami kebutuhan seorang vegetarian dan brahmana, dan Nyonya Morarji memberitahu kapten Jaladuta, Arun Pandia, untuk membawa sayur-sayuran dan buah-buahan ekstra untuk Swamiji. Tuan Choksi menghabiskan dua hari menjelang keberangkatan bersama Bhaktivedanta Swami di Bombay mengambil pamflet dari percetakan, membelikan pakaian, dan mengantarkan beliau ke stasiun untuk mencari kereta ke Calcutta.
Beberapa hari sebelum keberangkatan kapal Jaladuta, Bhaktivedanta Swami tiba di Calcutta. Walau hidupnya lama dijalani di kota ini, sekarang beliau tidak tahu harus tingal di mana. Ini seperti yang telah ditulisnya dalam “Vrindavana Bhajana”: “Aku punya istri, putra, putri, cucu, segalanya, tapi aku tidak punya uang, jadi mereka adalah sebuah keagungan tak berbuah.” Walau di kota yang sama ini beliau telah diasuh dengan sangat baik ketika kecil, masa itu telah pergi selamanya. Sekarang beliau tinggal dengan seorang kenalan dan, sehari sebelum keberangkatan, pergi ke Mayapur yang tidak jauh untuk mengunjungi pusara samadhi Srila Bhaktisiddhanta.
Beliau hanya membawa satu kopor pakaian, satu payung, dan persediaan sereal kering. Beliau tidak tahu apa yang akan dimakan di Amerika; mungkin di sana hanya akan ada daging. Jika demikian, beliau siap hanya makan kentang rebus dan sereal yang dibawanya. Barang-barang utamanya, beberapa kopor buku, ditangani secara terpisah oleh Scindia Cargo. Dua ratus set tiga jilid memikirkan tentang buku itu memberinya rasa percaya diri.
Ketika tiba waktunya untuk berangkat, beliau memerlukan kepercayaan diri itu. Beliau sedang membuat momentum baru untuk kehidupannya, dan beliau sudah tua. Beliau pergi ke sebuah negara tak dikenal dan sangat mungkin tidak ber-sahabat. Miskin dan tidak dikenal di India adalah satu hal. Bahkan pada zaman Kali-yuga ini ketika pemimpin-pemimpin India menolak kultur India dan meniru Barat, ini masihlah India; ini masihlah sisa peradaban Veda. Beliau bisa menemui para jutawan, gubernur, perdana menteri hanya dengan memperlihatkan diri di depan pintu mereka dan menunggu. Di India, seorang sannyasi dihormati; Bhagavata Purana dihormati. Namun di Amerika akan berbeda. Beliau bukan siapa-siapa, orang asing. Dan di sana tidak ada tradisi sadhu, tidak ada kuil, dan tidak ada yang gratis. Namun ketika memikirkan buku yang dibawanya pengetahuan spiritual dalam bahasa Inggris beliau merasa percaya diri. Apabila beliau bertemu seseorang di Amerika, beliau akan memberinya sebuah selebaran: ‘Srimad Bhagavatam,’ Pesan Perdamaian dan Kebijaksanaan India.”
Hari itu tanggal 13 Agustus, hanya beberapa hari sebelum Janmstami, perayaan tahunan kemunculan Sri Krishna. Selama tahun-tahun belakangan beliau ada di Vrindavana saat Janmastami. Banyak penduduk Vrindavana tidak akan pernah mau pergi dari Vrindavana; mereka tua dan merasa damai di Vrindavana. Bhaktivedanta Swami juga mempertimbangkan kemungkinan meninggal dunia jauh dari Vrindavana. Itulah sebabnya semua sadhu Vaisnava dan para janda bersumpah untuk tidak pergi dari Vrindavana, bahkan ke Mathura karena meninggal di Vrindavana merupakan kesempurnaan hidup.
Beliau naik taksi menuju pelabuhan Calcutta, membawa tas, sebuah payung, dan sebuah salinan Caitanya-caritamrita berbahasa Benggali, yang hendak dibaca selama pelayaran. Entah bagaimana beliau akan mampu memasak makanan di kapal. Atau jika tidak, beliau akan kelaparan apapun yang Krishna inginkan. Beliau memeriksa barang-barang penting; tiket, paspor, visa, P-form, alamat sponsor. Akhirnya beliau berangkat.
Seperti yang belakangan diceritakan Prabhupada, “Dengan kesulitan besar saya meninggalkan negara saya! Dengan satu dan lain cara atas karunia Krishna, saya bisa keluar sehingga bisa menyebarkan gerakan kesadaran Krishna ke seluruh dunia. Jika tidak, tetap di India itu tidak mungkin. Saya ingin memulai sebuah perkumpulan di India, namun saya sama sekali tidak disemangatkan.”
Dalam pelayarannya ke Amerika, Sila Prabhupada mengalami dua kali serangan jantung dan berkali-kali mabuk laut. Namun hanya karena karunia Guru dan Krishna, akhirnya Prabhupada tiba di Amerika dengan selamat. Perjuangan beliau tidak berhenti di sini, namun atas kegigihannya dalam waktu singkat sejak beliau ada di Amerika sampai menjelang akhir hayatnya pada tanggal 14 November 1977, beliau bisa menggaet sangat banyak pengikut dan mendirikan 108 temple dan center. Beliaulah salah satu guru kerohanian yang paling berjasa membawa ajaran Veda ke dunia barat.
Disadur dengan penyesuaian dari buku berjudul “Prabhupada” karya Satsvarupa Dasa Goswami yang diterbitkan oleh Bhaktivendata Book Trust
namo om visnu – padaya krsna-preshtaya bhu-tale
srimate bhaktivedanta svamin iti namine
namas te sarasvate deve gaura vani pracarine
nirvisesa sunyavadi pascatya desa tarine
Mas saya pengen ikut hare krishna
@ Ngarayana
6 tahun yg lalu aku diberi buku oleh tetanggaku yang beragama Hindu yang terdiri dari 6 buku saku semuanya karya Srila Prabhupada. aku baca semua isinya luar biasa, penjelasannya tentang Ketuhanan Hindu beda dg buku-buku agama hindu lainnya. gaya tulisannya yg mudah difahamai serta filosofisnya yg dalam menambah enak untuk dibaca.
Walopun aku bukan Hindu tapi aku cinta Krisna, dan aku suka dg ajaran Hare krisna.
dimana caranya agar dapt buku-buku/ebook Srila Prabhupada lainnya.
Trims banyak sekali pd Mbah Ngarayana, telah menampilkan artikel tentang Srila Prabhupada
i have this book….
jalan hidup prabupada penuh dg liku2, tikungan, tanjakan, juga turunan, terkadang harus melalui jembatan sempit yg rapuh…
hanya segelitir orang yang sanggup menempuh jalan hidup nggetih nan berdarah-darah ini…
tak kuasa aku meneteskan air mata membaca riwayat hidup beliau
sujud bhaktiku pada prabupada
Jaya om vishnupada paramahamsa parivrajakacharya asttotara-sata Sri Srimad Bhaktivedanta Svami Maharaja Prabhupada Ki Jaya!
ISKCON guru Vrnda Ki Jay!
ISKCON pendiri acarya Srila Prabhupada ki Jaya!
aq sdh habis baca buku tebel itu.. hehe..
His Holiness Bhaktivedanta Svami Prabhupada ki Jay!!!!
saya bacanya loncat2, hehe….
wah ceritanya luar biasa, penuh dengan lika-liku. Terima kasih ngarayana infonya. Saya taunya hanya sampai prabhupada pergi ke barat. Cerita selanjutnya ada ga???
Jay Srila Prabhupada ki Jay!!!!
@ arya
Bibliografi lengkapnya sudah ada bukunya prabhu.. mending beli bukunya aja di BBT atau Gramedia… capek juga kalau mengetik ulang prabhu…he..he..he..