Pada akhir abad ke – 15, kerajaan Majapahit mengalami keruntuhan. Selain disebabkan karena faktor dari dalam, yaitu perang saudara (Perang Paregreg) untuk menjadi penguasa di Majapahit, faktor dari luar juga menjadi penyebab keruntuhan salah satu kerajaan Hindu terbesar ini, yakni serangan dari Kerajaan Demak yang beragama Islam. Akibat dari hal tersebut, agama Hindu akhirnya surut oleh pengaruh agama Islam, dimana penduduk di Majapahit dan sekitarnya serta pulau Jawa pada umumnya akhirnya beralih keyakinan ke Agama Islam. Orang – orang Majapahit yang tidak mau beralih agama dari Hindu ke Islam akhirnya memilih meninggalkan Majapahit. Mereka memilih tinggal di daerah Pasuruan, Blambangan, Banyuwangi, dimana sebagian besar masyarakatnyamasih memeluk agama Hindu. Selain itu beberapa diantara mereka bahkan menetap di daerah pegunungan, seperti : Pegunungan Tengger, Bromo, Kelud, Gunung Raung (Semeru). Sedangkan beberapa dari mereka yang masih tergolong arya dan para rohaniawan memilih untuk prgi ke Bali, hal itu disebabkan karena saat itu di Bali pengaruh Agama Hindu masih sangat kuat. Oleh karena itu mereka mencari perlindungan di Bali, selain untuk melarikan diri dari Majapahit dan pengaruh Islam di Jawa. Salah seorang dari rohaniawan tersebut adalah Danghyang Nirartha atau Danghyang Dwijendra.
Danghyang Nirartha datang ke Bali pada tahun 1489 M, pada masa pemerintahan Raja Sri Dalem Waturenggong. Danghyang Nirartha datang ke Bali dalam rangka dharmayatra, akan tetapi dharmayatranya tidak akan pernah kembali lagi ke Jawa. Karena di Jawa (Majapahit) Agama Hindu sudah terdesak oleh Agama Islam. Namun kendatipun demikian, ternyata Danghyang Nirartha juga mempelajari agama Islam, bahkan Beliau menguasai Agama Islam, tetapi keislamannya tidak sempurna. Ini terbukti dari pengikut – pengikutnya, yaitu orang – orang Sasak di Pulau Lombok yang mempelajari Islam dengan sebutan Islam Telu (Islam Tiga). Ajaran Islam Tiga yang diajarkan di Lombok dapat dilihat pada geguritan Islam Telu (Tiga). Atas jasanya mengajarkan Islam (waktu telu) di Lombok, akhirnya Beliau diber gelar Haji Duta Semu, dimana konon Beliau pernah naik ke Mekkah dengan gelar Haji Gureh dan Islam yang Beliau ajarkan sekarang disebut Islam waktu telu (Islam sholat 3 waktu).
Terlepas dari hal tersebut, Danghyang Nirartha adalah penganut Agama Hindu yang sempurna. Seperti para leluhurnya, Danghyang Nirartha memeluk Agama Siwa, yang lebih condong ke Tantrayana. Agama Siwa yang diajarkan oleh Danghyang Nirartha adalah Siwa Sidhanta, dengan menempatkan Tri Purusa, yaitu Paramasiwa, Sadasiwa, dan Siwa. Dari tiga aspek ini Sadasiwalah yang diagungkannya. Untuk itu, dibuatkanlah pelinggih khusus yakni Padmasana, dari sinilah Sadasiwa atau Tuhan Yang Maha Esa,Yang Maha Kuasa, Yang Maha Ada, yang bersifat absolut, dan dipuja oleh semuanya. Oleh karena itu, setiap pura harus memiliki pelinggih Padmasana. Dengan demikian Danghyang Nirartha menjadi pembaharu Agama Hindu di Bali.
Di samping itu, Danghyang Nirartha adalah seorang pengawi, karangannya yang terkenal antara lain : Kidung Gegutuk Menur, Gita Sara Kusuma, Kidung Ampik, Kidung Legaran, Kidung Mahisa langit, Kidung Ewer, Kidung Mahisa Megatkung, Kekawin Dharma Putus, Kekawin Dharma Surya Keling (putus), Kekawin Danawantaka, dan Usana Bali, dan banyak sekali lontar – lontar yang memuat ajaran Agama Hindu yang dikaitkan dengan nama besar Danghyang Nirartha.
Sebelum sampai di Bali, Danghyang Nirartha mula – mula bertempat tinggal di Kediri, Jawa Timur. Di sini Beliau menurunkan dua orang putra yaitu Ida Ayu Swabhawa, dan Ida Kemenuh. Keturunan Ida Kemenuh menjadi Brahmana Kemenuh di Bali. Sedangkan Ida Ayu Swabhawa kemudian didharmakan di Pura Pulaki dengan nama Dewi Melanting.
Dari Kediri kemudian Danghyang Nirartha pindah ke Pasuruan, di sinipun menurunkan putra – putra yaitu Ida Kuluan, Ida Wetan Ida Ler, Ida Lor. Karena ibunya dari Manuaba, maka keturunannya disebut Brahmana Manuaba.
Dari Pasuruan, lalu Danghyang Nirartha pindah ke Blambangan, disinipun Danghyang Nirartha menikah dengan adik Dalem Blambangan, lalu menurunkan : Ida Istra Rai, Ida Sakti Telaga, da, Ida Kaniten. Semua keturunannya ini lalu disebut Brahmana Keniten. Setelah sampai di Bali, Danghyang Nirartha menetap di Desa Mas. Dari sinipun Danghyang Nirartha menikahi anak bendesa Mas. Dari pernikahan in Danghyang Nirartha memiliki putra : Ida Timbul, Ida Alngkajeng, Ida Penarukan, dan Ida Sigaran. Karena beribu Bendesa Manik Mas maka keturunan ini disebut Brahmana Mas, terakhir, Danghyang Nirartha juga menikahi pajroannya Putri Bendesa Mas, lalu menurunkan Ida Petapan.
Dengan demikian, putra – putra Danghyang Nirartha masing – masing melekatkan identitas sendiri : Brahmana Kemenuh, brahmana Manuaba, Brahman Kaniten, Brahmana Mas, dan Brahmana Patapan. Dalam upacara karya agung di Pura Besakih, Sri Dalem Waturenggong mengundang Danghyang Angsoka. Tapi karena sudah terlalu tua, maka diutuslah putranya ke Bali, yaitu Danghyang Astapaka. Kemudian Danghyang Astapaka mewakili unsur Pandita Budha, dan akhirnya menetap di Bali. Dalam perkembangan selanjutnya, Danghyang Nirartha diangkat menjadi Nabe, sekaligus sebagai pendeta utama kerajaan Gelgel.
Semenjak kedatangan dua pandita ini di Bali, maka kedudukan para empu yang tadinya sebagai purohito kerajaan mewakili unsur Siva – Budha dan Rsi Bhujangga yang mewakili unsur Waisnava diganti kedudukannya oleh mereka berdua. Dan unsur dari Bhujangga Waisnava tidak di ikut sertakan dalam hal kepanditaan dan kerohanian di dalam kerajaan. Bahkan dalam bidang kemasyarakatan Dang hyang Nirartha dengan restu Dalem membuat sturkturisasi pelapisan masyarakat di Bali. Pada mulanya masyarakat Bali menganut sistem varnasrma, lalu disusun berdasarkan wangsa, yang dalam istilah Barat (terutama Portugis) disebut kasta. Dimana keluarga dan keturunan Danghyang Nirartha dan Danghyang Astapaka menduduki pos sebagai Brahmana Wangsa. Kesatria Wangsa di isi oleh para keluarga Dalem dan para kerabat keluarga kerajaan. Para Arya didudukkan sebagai vaisya wangsa dan dari sudra adalah mereka di luar warga tadi, dengan tidak melihat asal-usul mereka di dalamnya termasuk warga Pasek dan Bhujangga. Dimana golongan ini dikenal dengan sebutan “Wang Jaba”.
Untuk meresmikan hal ini di masyarakat, struktur baru ini dimasukkan dalam lontar-lontar pedoman seperti Widhisastra Saking Nithi Danghyang Dwijendra. Namun warga Pasek yang digolongkan sudra diperkenankan menjadi pandita, hal ini karena antara keluarga Danghyang Nirartha dan keluarga Pasek masih memiliki hubungan keluarga. Kalau dilihat lagi dari asal usulnya Danghyang Nirarta adalah putra dari Danghyang Smaranatha, Danghyang Smaranatha adalah putra Mpu Tantular, Mpu Tantular adalah putra Mpu Bahula dengan Dyah Ratnamanggali, sedangkan orang tua dari Mpu Bahula adalah Mpu Bharadah dari pihak ayah. Sedangkan dari pihak ibu, Mpu Bahula adalah keturunan Mpu Kuturan. Baik Mpu Kuturan dan Mpu Bharadah adalah saudara dari Mpu Gnijaya yang tidak lain adalah leluhur para Warga Pasek, jadi dapat dikatakan mereka dalah sama-sama keturunan Bhatara Hyang Pasupati yang berparahyangan di gunung Mahameru India. Walaupun demikian, para Warga Pasek pada saat diksa (inisiasi) hanya menggunakan gelar Dukuh saja. Strukturisasi masyarakat seperti ini mulai diberlakukan di Bali, akhirnya sistem wangsa ini diterapkan dalam segala kehidupan bermasyarakat di Bali. Hal ini terbukti dari pelaksanaan upacara ngaben, pengarge tirtha pengentas, surat kajang dan atribut-atribut lainnya dalam upakara. Hal ini selalu di kaitkan dengan wangsa brahmana selaku pemegang kebijakan dalam pelaksanaannya di masyarakat. Selanjutnya, sebutan pandita untuk brahmana Siwa dan Budha dari keluarga Danghyang Nirartha tidak lagi memakai istilah Danghyang atau Mpu, melainkan menggunakan istilah Pedanda. Danda bisa berarti hukum dan bisa berarti tongkat. Jadi yang dimaksud pedanda adalah pemegang hukum atau pemegang tongkat. Demikianlah akhirnya putra-putra Danghyang Nirartha dan Danghyang Astapaka lalu disebut pedanda bagi yang telah di diksa (inisiasi). Hal lain, yang juga berlaku adalah rakyat biasa atau wang jaba/sudra tidak diperkenankan mempelajari veda, tanpa seijin dari wangsa brahmana, kalau sampai ada yang melanggar akan dikenakan hukuman berat.
Selanjutnya, putra-putra Danghyang Nirartha di Bali menurunkan keturunannya masing-masing. Ida Kuluan Brahmana Manuaba menurunkan Pedanda Penida di Wanasari dan Pedanda Temban di Tembau. Pedanda Temban adalah seorang pengawi kidung Wedari Smara dan kidung Brahmana Cangupati. Pedanda Weser dan Pedanda Batulumpang. Ida Wetan berputra Pedanda Panida, Pedanda Tegal Suci di Manuaba. Pedanda Lor berputra Pedanda Mambal yang beribu dari Pasuruan. Pedanda Ler berputra Pedanda Teges beribu dari Srijati. Ida Sakti Telaga (Brahmana Kaniten) berputra Pedanda Gusti dan Pedanda Alang kajeng yang berputra Pedanda Sangsi dan Pedanda Mas. Ida Patapan berputra Ida Ketut Tabanan, Ida Kukub di Tabanan dan Ida Ngenjuk di Lombok. Pedanda Lor juga beristri putri dari I Gusti Dauh Bale Agung yang menurunkan Pedanda Buruan yang bergelar Pedanda Manuaba yang berasrama di Manuaba, Gianyar. Pedanda Sakti Manuaba beristri dari Bajangan, lalu berputra pedanda Gde Taman di Sidawa, Taman Bali, Bangli yang berasrama di bukit Buwung di Sidawa. Pedanda Bajangan berasrama di bukit Bangli. Pedanda Abian di Telaga Tawang dan Pedanda Nengah Bajangan di Bukit. Pedanda Sakti Manuaba juga beristri putri Gajah Para dari Tianyar, lalu berputra pedanda wayahan Tianyar, Pedanda Nengah Tianyar, dan Pedanda Ketut Tianyar. Sedangkan Ida Kemenuh, putra Danghyang Nirartha yang tertua dengan keturunannya disebut Brahmana Kemenuh. Keturunan Ida Kemenuh disebut juga Brahmana Kediri. Sekianlah banyaknya keturunan Danghyang Nirartha di pulau Bali dan Lombok.
Pada waktu melakukan Dharmayatra ke Bali dari Daha, Jawa Timur. Danghyang Nirartha banyak mendirikan Pura – Pura terutama di daerah selatan pulau Bali, seperti Pura Rambut siwi, Pura Melanting, Pura Er Jeruk, Pura Petitenget dan lain-lain. Pura-pura yang didirikan oleh Danghyang Nirartha ini dikenal dengan Pura Dang Kahyangan. Selain di Bali, Danghyang nirartha juga melakukan dharmayatra ke Lombok dan Sumbawa. Bahkan di Sumbawa Danghyang Nirartha dikenal dengan sebutan Tuan Semeru. Sedangkan di Lombok dikenal dengan sebutan Haji Duta Semu, dan di Bali Danghyang Nirartha dikenal dengan sebutan Pedanda Sakti Wawu Rawuh.
Ada dua Bhisama dari danghyang nirarta kepada seluruh keturunannya, yaitu;
1. Seluruh keturunannya tidak diperkenankan menyembah pratima (arca – arca perwujudan).
2. Seluruh keturunanya tidak diperkenankan sembahyang di Pura yang tidak memakai atau tidak ada pelinggih Padmasana.
Akhirnya setelah mendiksa semua putra-putranya menjadi pedanda, lalu Danghyang Nirartha menuju Pura Luhur Uluwatu dan mencapai moksa di sana.
Hingga saat ini, peninggalan Danghyang Nirartha masih daat di lihat, seperti pura – pura di Bali yang dikenal dengan nama Pura Dang Kahyangan. Di dalam masyarakat Bali masih dapat di lihat strukturisasi masyarakat yang disebut wangsa dengan ciri-ciri nama sebagai berikut :
1. Wangsa Brahmana dikenal dengan sebutan Ida Bagus dan Ida Ayu.
2. Wangsa Kesatria dapat dikenali dengan sebutan Anak Agung dan Anak Agung Ayu.
3. Wangsa Vaisya dapat dikenali dengan sebutan I Dewa, I Gusti, I Dewa Ayu, Desak, I Gusti Ayu, Ngakan dan lain-lain,
4. Sedangkan mereka yang disebut sudra atau dalam istilah Balinya dikenal dengan “Wang Jaba” dapat dikenali dengan sebutan I Gede, I Wayan, I Putu, I Made, I Nyoman, I Ketut dan lain sebagainya.
Walaupun saat ini tidak seperti pada masa-masa kerajaan, namun pengaruhnya masih terasa sampai saat ini. Terutama pada saat upacara agama dan adat.
Dalam hal keyakinan (Agama Hindu) dapat dilihat peninggalannya berupa padmasana. Walaupun dalam Bhisamanya Danghyang nirarta melarang semua keturunanya menyembah pratima (arca – arca perwujudan), namun Danghyang Nirarhta mengagungkan Sadasiwa, sebagai manifestasi Tuhan Yang Maha Esa, yang Maha Segalanya dan hampir di semua pura di Bali saat ini terdapat pelinggih padmasana untuk mengagungkan Tuhan Yang Maha Esa.
Sumber: I Gede Agus Suprapto
Menurut teman-teman, penciptaan wangsa ini sesuai dengan ajaran hindu? pastinya di Bali saat itu juga banyak pendeta/pemuka agama, mereka ditempatkan dimana dalam struktur sosial itu? dari tulisan di atas kok sepertinya, itu untuk pendeta siwa saja. trus yang pendeta budha ama waisnawa dimana?
thanks
@ Dwi
Arah tulisan ini adalah untuk mengungkap misteri agama Hindu Bali yang ada saat ini dan planingnya saya postingkan secara terpisah-pisah untuk seanjutnya melihat tanggapan, sanggahan dan pelurusan jika ada yang keliru dari temen-temen dulu…
Tulisan di atas saya tulis bersama seorang teman dari jurusan sejarah di UNUD. Dia sangat berminta membuat buku dengan judul “Mengungkap Misteri Agama Bali”. Artikel ini saya palingkan sebagai salah satu sub-babnya… mudah-mudahan jalan ya bli.. he.he.
Untuk Dari Vaisnava, Buddha, Tantara tar ya bli… masih saya cerna…
salam,-
Pembagian wangsa itu dibuat untuk melanggengkan kekuasaan semata…Padahal sebelum datangnya Danghyang Nirartha tidak dikenal istilah wangsa, yang ada warna (sesuai profesinya masing-masing)
Om Swastyastu
Menurut pendapat saya adanya pembagian wangsa di Bali ini lebih kepada pengelompokan berdasarkan kesamaan leluhur/garis keturunan dan seharusnya tidak ada hubungannya dengan catur Varna.
http://www.iloveblue.com/bali_gaul_funky/artikel_bali/detail/2769.htm
http://www.babadbali.com/pura/plan/besakih/ped-pasek.htm
http://okanila.brinkster.net/mediaFull.asp?ID=710
Om Swasti Astu
Maaf Ya Bli, Pertama Tiang Mau komentar sedikit mengenai istilah “sudra”, dan “jaba”, kalau menurut tiang sebenarnya istilah itu ada pada jaman yang berbeda, pertama jaman sudra, kedua jaman jaba, dan ketiga jaman campuran kedua hal tersebut yaitu jaba dan sudra. Jaman Sudra adalah pembagian kelompok yang meminjam/pengaruh dari india bagi kaum “budak/abdi”. Sedangkan istilah “jaba” adalah suatu pembagian antara orang – orang yang ada di luar “Dalem”, dimana saat itu ada kelompok baru dibali yaitu dengan datangnya terah Dalem dari majapahit. jadi orang – orang yang bukan termasuk terah Dalem dan para arya pengikut Dalem, itu digolongkan ke dalam kelompok “Jaba”. Jadi kelompok jaba ini tidak hanya merupakan kelompok dari sudra tetapi sudah menjadi gabungan dari kelompok yang bukan Terah Dalem. Disamping itu ada banyak kelompok yang sebenarnya termasuk kelompok Dalem tetapi karena berbagai hal, bisa menjadi termasuk kelompok “jaba”, inilah yang sekarang menjadi kelompok jaman ketiga tadi.
Kalau hal ini sekarang dipelajari, diperdebatkan dan dikaji berdasarkan sejarah secara akademis itu bagus dan perlu untuk kepentingan ilmu pengetahuan. Tetapi kalau dipertentangkan dan diperdebatkan derdasarkan diluarkan hal itu, akan menjadikan kasta, warna, terah atau nama apapun itu akan menjadi semakin kusut, dan terakhir tidak akan ada gunanya sama sekali. Sementara sekarang masih dapat digunakan sebagai oragnisasi pasemetonan, paiketan, mahagotra, dan lainnya untuk kepentingan dukung mendukung seperti pemilu atau pilkada. Artinya menurut saya masalah warna atau kasta jangan diperdebatkan karena disini sudah pasti tidak akan ada yang mau dianggap lebih rendah, sedangkan disisi lain ada yang menganggap dirinya lebih tinggi dari yang lain. Kita warisi apa yang ada, jangan merasa tinggi hati atau minder.
Mohon maaf jka ada kata yang salah.
Om Santi Santi Santi Om
@ Purnajaya
Om Swastiastu
Suksma bli atas masukannya.. tentunya masukan yang konstruktif seperti yang bli sampaikan sangat saya harapkan agar saya bisa belajar dan pembaca yang lain juga bisa mendapatkan infomasi yang objektif..
Mohon masukan, kritik dan saran selanjutnya bli..
Om Santhi Santhi Santhi Om
@Prabu Ngarayana,
ini dari blog tetangga, mudah-mudahan menjadi refrensi tambahan
Sekilas Sejarah dan Perkembangan Hindu
Om Swastyastu. Sejarah dan Perkembangan Agama Hindu secara singkat dimulai sebagai berikut: Weda diperkirakan diwahyukan oleh Hyang Widhi sejak 2500 tahun sampai 1500 tahun Sebelum Masehi. Weda tidak diwahyukan sekaligus, tetapi bertahap melalui jarak waktu sekitar 1000 tahun dan diterima oleh tujuh Maha Rsi (Sapta Rsi), yaitu: Grtsamada, Wiswamitra, Wamadewa, Atri, Bharadwaja, Wasista, dan Kanwa.
Para Maha Rsi itu menurunkan wahyu dalam bentuk ajaran-ajaran kepada para pengikutnya. Salah seorang pengikut bernama Bhagawan Abyasa mengumpulkan dan menyusun wahyu-wahyu itu dan menjadilah empat kelompok Weda (Catur Weda), yaitu: Reg Weda, Yayur Weda, Sama Weda, dan Atharwa Weda.
Para pengikut ketujuh Maha Rsi itu masing-masing mengembangkan ajarannya kepada penduduk sehingga lama kelamaan terbentuklah sekte-sekte dalam penganut Hindu di India yang jumlahnya sampai ratusan. Sekte-sekte yang terbesar pengikutnya antara lain: Siwa Sidanta, Pasupata, Linggayat, Bhagawata, Waisnawa, Indra, Saura, dll.
Wahyu yang diterima sulit untuk diresapkan oleh orang awam maka dibuatkan tafsir-tafsirnya dalam bentuk: Brahmana, Upanisad, Wyakarana, Nirukta, Jyotisa, Kalpana, Itihasa, Ayur Weda, Gandarwa Weda, Danur Weda, dan Kama sutra.
Sekte Siwa Sidanta muncul di India Tengah, kemudian berkembang ke India Selatan di bawah pimpinan Maha Rsi Agastya. Salah seorang murid Maha Rsi Agastya mengembangkannya ke Indonesia pada abad ke-8 Masehi. Ajaran Hindu sekte Siwa Sidanta ini menekankan pada pemujaan Lingga dengan manifestasi Hyang Widhi dalam wujud Tri Murti: Brahma, Wisnu, Siwa, dan Tri Purusa: Siwa, Sada Siwa, Parama Siwa.
Perkataan Siwa Sidanta artinya “kesimpulan-kesimpulan ajaran Siwa”. Weda yang didalami disebut Weda Sirah, yaitu Weda yang memuat bagian-bagian penting saja; sirah artinya pokok-pokok.
Ajaran Siwa Sidanta dibawa dari Jawa ke Bali oleh para Maha Rsi generasi abad ke 10 M yaitu Mpu Kuturan dan Maha Rsi generasi abad ke 14 M yaitu Danghyang Nirarta. Mpu Kuturan menyebarkan paham Tri Murti, menulis lontar-lontar, antara lain: Kusumadewa, Ngaben, Dharma Kauripan, membangun Tri Kahyangan dan Sad Kahyangan. Danghyang Nirarta mengembangkan paham Tri Purusa, bangunan Padmasana, dan Panca Yadnya.
Beberapa lontar yang kini sudah banyak dibukukan yang perlu diketahui oleh penganut sekte Siwa Sidanta, antara lain: Wrhaspati Tattwa, Ganapati Tattwa, Bhuwanakosa, Bhagawadgita, Sarasamuscaya, Wedaparikrama, Manawa Dharmasastra, Parasara Dharmasastra, dan Eka Pratama. Selain itu uraian-uraian paham yang dianut oleh Mpu Kuturan dan Danghyang Nirarta seperti yang disebutkan di atas perlu juga didalami.
Di toko-toko buku kini banyak tersedia buku-buku Agama Hindu yang tidak jelas menyebutkan apakah penulisnya mengikuti paham sekte Siwa Sidanta atau sekte yang lain. Itulah sebabnya ada kemungkinan uraian dalam buku yng satu berbeda bahkan bertentangan dengan uraian dalam buku yang lain seperti yang anda jumpai. Itu pula sebabnya mereka yang belajar Agama Hindu perlu bimbingan seorang Nabe/ Guru agar dapat dipilihkan buku-buku mana yang cocok.
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah adanya Catur Marga dalam sujud bakti kita kepada Hyang Widhi. Catur marga itu adalah: Bhakti Marga, Karma Marga, Jnana Marga, dan Yoga Marga.
Keempat marga itu sebaiknya dilakukan secara bertahap dimulai dari Bhakti Marga, seperti anak-anak ketika masih kecil hanya mengikuti saja tata cara sembahyang dan mesaiban yang dilakukan ayah/ ibunya tanpa lebih jauh mengetahui Tattwa sembahyang dan mesaiban itu.
Karma Marga juga banyak ditempuh oleh mereka yang hanya menekuni kerja dalam bimbingan Hyang Widhi di kehidupannya. Makin meningkat usia dan meningkat pendidikannya keinginan tahu makin merebak, sehingga bhakti dan karma marga dirasa masih belum memuaskan, lalu menempuh Jnana Marga, yaitu belajar tentang tattwa, srada, upacara, dll.
Bilamana telah banyak mengetahui dan merasa sudah “dekat” pada-Nya, dapat melakukan Yoga Marga, walaupun pada tingkat ini marga-marga yang lain tetap dilaksanakan. Perasaan “dekat” dengan-Nya akan tumbuh sendiri berdasarkan pengalaman-pengalaman spiritual. Bila keadaan demikian dilaksanakan dengan terarah pada keyakinan mantap pada paham Siwa Sidanta tidak akan terjadi keyakinan yang mengambang.
Selanjutnya, kehidupan beragama sangat dipengaruhi oleh budaya. Budaya dalam konteks ini dipahami sebagai kesepakatan nilai-nilai diantara manusia sebagai mahluk sosial. Budaya Bali berbeda dengan budaya Jawa, demikian seterusnya. Pelaksanaan ritual Agama Hindu dari sekte Siwa Sidanta di Bali akan berbeda dengan ritual Agama Hindu dari sekte yang sama di Jawa, walaupun Tattwa dan Susila-nya sama.
Keragaman ritual lebih diramaikan lagi dengan adanya penafsiran-penafsiran yang berbeda, acuan lontar-lontar yang berbeda, desa-kala-patra, dresta (kuna dresta, loka dresta, dan desa dresta) dan lain-lain. Di sinilah peranan PHDI (Parisada Hindu Dharma Indonesia) sebagai Lembaga Tertinggi Umat Hindu mengeluarkan bisama-bisama untuk menengahi perbedaan-perbedaan ini
http://stitidharma.org
Damai selalu lebih baik
fendi
@ efendi
Thanks efendi masukannya…. hanya saja sepertinya artikel yang anda sampaikan mengikuti alur logika para sarjana barat dan terutama para Indologis Jerman… bukan dari guru parampara…
Coba perhatikan waktu kodifikasi veda yang disampaikan di atas… Jika kita mempelajari kitab Jyotisastra, sistem astronomi Veda, maka perhitungan pengkodifikasian Veda bukan pada tanggal tersebut, tetapi sekitar 6000-an tahun silam..
Dan jujur saja… saya secara pribadi, menentang semua buku-buku yang dibuat berdasarkan sumber para Indologis, karena tujuan para Indologis adalah Gospel, bukan murni menterjemahkan Veda. Jadi jika kita mengikuti mereka, bukan mengikuti Guru kerohanian, Sastra (Veda) dan Sadhu (pergaulan dari orang-orang suci), maka kita akan keblinger sendiri dan akhirnya dapat di convert ke dalam kepercayaan para Indologis tersebut..
Salam,-
Saya sepakat dengan Pak Purnajaya. Antara Warna dan wangsa memang harus dipilah-pilah. Jika diperdebatkan akan menjadi benang kusut. Masing-masing pihak akan selalu menonjolkan powernya dengan segala atributnya. Siapa yang mau dianggap sudra atau jaba? rata-rata semua ingin posisi diatas. karena persepsi banyak orang dengan istilah jaba atau sudra, kedudukan mereka adalah dibawah. Padahal belum tentu itu maksudnya. Banyak diskusi atau perdebatan menganai kasta, wangsa dan warna. Dengan paham, keyakinan dan sumber-sumber dari golongannya sendiri, mereka mencoba untuk menunjukan bahwa golongan mereka lebih unggul, lebih luhur dengan lebih dulu ada, lebih sakti, berdasarkan sastra, menjadi porohita kerajaan yang lebih tua, lontar bhisama-bhisama leluhurnya, dan lain sebagainya. Banyak dari kaum idealis manganggap negatif wangsa (kasta dalam portugis), bahwa itu tidak ada, yang ada adalah warna. Itu benar jika melihat dari catur warna. tapi jika dilihat dari wangsa, kita harus melihat dari sisi yang berbeda. Banyak yang menentang wangsa, tapi mereka membuat oragnisasi pasemetonan, paiketan, mahagotra, dan lainnya berdasarkan wangsanya untuk kepentingan tertentu, bukan hanya untuk kepentingan luhur Agama dan Budaya. Bukankah lebih baik kita saling menghormati, menghargai, dan selalu bhakti pada leluhur dan Tuhan YME. Dalam masa saat ini kita menggunakan istilah Catur Warna, karena kita bekerja berdasarkan profesi masing-masing. Tapi kita (Hindu Bali Khususnya) tidak akan terlepas dari soroh, wangsa, karena kita memiliki kawaitan dan pedharman masing-masing sebagai wujud syukur dan bhakti kita kepada Leluhur. Jadi memang sebaiknya menurut saya pribadi Wangsa dan warna jangan dicampu adukan.
Om Swastyastu
Dari komentar bli adi diatas ternyata ada benarnya juga, memang umat Hindu di bali pada umumnya mempunyai kawitan masing-masing, sehingga susah rasanya untuk lepas dari soroh/wangsanya, apabila soroh/wangsa tidak ada, dan kita disamakan semuanya, jangan-jangan pedarman yang ada di Pura Besakih juga tidak ada dan dirubah menjadi satu pedarman, kan soroh/wangsa kita sama,ngapain buat pedarman banyak, he…he…he…..pokoknya Bhinneka Tunggal Ika….biarkan soroh itu ada….biarkan wangsa itu ada….biarkan warna itu ada, biarkan I Wayan ada…., biarkan I Dewa ada……, biarkan I Gusti ada……, biarkan anak agung ada……, biarkan Ida Bagus ada……,tapi kita tetap sama, yaitu menjungjung keagungan IDA SANG HYANG WIDI WASA, setuju???
Om Shanthi, Shanti, Shanti, Om
tulisan diatas sempurna,saya kagum ma penulisnya,saya salah satu dari brahmana Kemenuh…….,trima kasih sudah mengenalkan saya pada leluhur saya……
@ Danghyang Nirarta
Jika Ratu Pedanda benar seperti yang ditulis itu, titiang panjak I Ratu, pacang metaken akedik:
1. Kenapa Ratu Pedanda meniadakan Pendeta dari Bujangga Vaishnava?
2. Kenapa Ratu Pedanda membeda-bedakan kebrahmanaan berdasarkan keturunan?
3. Kenapa Ratu Pedanda melarang pemujaan Arca? Apakah karena Ratu Pedanda terpengaruh dengan Islam yang melarang untuk pemujaan BERHALA?
4. Kenapa Ratu Pedanda mengajarkan Agama Islam? Kenapa bukan Hindu yang diajarkan?
5. Kenapa Ratu Pedanda, kenapa…..?
Titiang Panjak Ratu Pedanda
Ralat: Kenapa mengajarkan Islam di Lombok?
@ putratridharma
Karena Dang Hyang Nirarta juga tidak benar-benar mengerti Veda kali ya, atau dia juga terpengaruh sikap materialistis? atau malah dia pintar karena bisa menjaga masyarakat tetap kondusif dengan jalan seperti itu?
janganlah mempermasalahkan yang sudah ada buktinya dengan semua yang berjalan atau yang sudah ada di bali pada waktu lampau mampu membuat bali harmonis samapi sekarang. kita jangan mempermasahkan warna atau wangsa karna hal itulah yang membuat kita saling menghormati satu sama lain wangsa. oke ?? kenapa beginilah begitulah itu hanya akal akalan para misionaris kristen islam yang busuk aja.
Baru saja saya mendapat telp dari seorang teman saya di Bali. Dia curhat masalah pribadi yang menimpanya. Sekitar 3 tahun lalu saya sempat mengenalkan dia dengan seorang gadis Bali keturunan Anak Agung yang merupakan adik kelas saya di UGM. Pada awalnya pacaran mereka berlangsung sehat dan bahkan beberapa kali si gadis menghubungi saya dan menyampaikan rasa terimakasihnya karena telah mempertemukan dirinya dengan temen saya tersebut. Menurutnya temen saya tersebut sangat baik dan polos. Namun sampai pada suatu ketika, karena mereka memang ingin serius, akhirnya mereka saling berkenalan dengan keluarga masing-masing. Pada perkenalan dengan keluarga si cowok, keluarga cowok sangan menerima kehadiran sang calon menantunya. Namun sayangnya saat berkenalan dengan calon mertua dari pihak cewek, keluarga sang cewek langsung mereject si cowok setelah mengetahui kalau namanya tidak memiliki embel-embel “Anak Agung, Ida Bagus, i Gusti” dan sejenisnya. Sayang sekali dia hanya terlahir dengan nama “I Gede”. Sehingga sejak saat itu si orang tua cewek sangat melarang anaknya menjalin hubungan dengan pacarnya tersebut.
Ada lagi sebuah cerita yang diceritakan langsung oleh salah seorang teman ashram saya di Narayana Smrti Ashram dulu. Dia adalah seorang anak bungsu dari seorang pedanda. Dia memiliki beberapa orang kakak yang salah satunya adalah perempuan. Dia menceritakan dulu kakaknya tersebut pernah jatuh cinta pada seorang pemuda “sudra”. Namun oleh orang tuanya ditentang habis-habisan sampai akhirnya kakaknya tersebut memutuskan kabur dari rumah. Sampai pada suatu hari karena kebenciannya pada tradisi keluarganya akhirnya dia memutuskan menikah dengan seorang pemuda Muslim dan diapun ikut masuk Islam. Anehnya, pada saat berlangsungnya pernikahan beda agama ini, sang orang tua malah lebih memberi lampu kuning (kalau tidak dapat dikatakan sebagai lampu hijau). Tidak seperti saat dia memutuskan untuk menikah dengan pemuda “sudra” yang langsung memberikan lampu merah.
Saya yakin prmasalahan yang sama juga sangat sering terjadi dan mungkin pernah menimpa salah satu dari pembaca di sini. Kira-kira apa yang harus kita lakukan untuk menghidari kejadian yang sama terulang lagi pada generasi kita berikutnya?
@ Ngarayana
Tragis!
@Ngarayana
Ah ga juga, di bali kalau tak berkasta tapi punya perusahaan di luar negeri masih bisa dapet mantu berkasta kok.
Beda dengan di tempat saya, banyak keluarga berkasta yang menikahkan anak2nya dengan orang2 sudra daerah saya, kenapa? karena desa saya terkenal dengan perantau2 yang sekarang kaya raya. Yang dinikahkan itu adalah yang kaya2.
Maklum, tidak semua yang berkasta kaya di sekitaran daerah saya, ada yang jadi buruh ukir dsb. Disini katanya dulu memang rajanya bares2(dermawan red.) jadi ketika zaman feodal berakhir, tidak seperti daerah lain yang rajanya dan keturunannya menguasai banyak tanah, raja dan bangsawan disini tidak memiliki apa2 lagi kecuali tahta kosong.
Maka yang terjadi sekarang kebalikan dari kisah bli Ngara, justru orang sudra (tentunya yang kaya) yang milih2 pacar anaknya walau berkasta tapi ga bermodal ditolak juga.
Itu baru tragis!!
NB: @all. Apakah cuma saya, atau yang lain juga terus mengalami capcha error?
@ Sutha
Iya, ada juga kasus sebaliknya seperti itu dan ini lebih jelek lagi. Tapi yang mengalami seperti yang diposting saudara ngarayana di atas jauh lebih banyak.
Harus ada simpanan file supaya nggak hilang kalau captchanya error… Biasa kita salah ketik huruf atau angkanya…
memang sekarang ini, segala sesuatunya harus ada uang,..
ternyata banyak teman2 yang pintar, tahu akan sejarah, riwayat dan belajar agama, namun sayang masih kurang yang mengerti hakikat dari peruntukan dan keberadaanya
suksma,
kalau kita sudah tidak suka pada sesuatu dan sudah terlanjur me-‘mind set’ kan sesuatu dengan negative…. otomatis yang terlihat adalah semua hal yg buruk dari sesuatu itu, padahal sudah jelas di dunia material ini ada ‘rwa bhineda’. entah kenapa yg terlihat ‘bad side’ nya saja. menyalahkan, menyudutkan, menjelekkan merupakan sesuatu yang mudah dilakukan, yang susah dan yang jarang dilihat adalah, usaha untuk mencari ‘good side’ dan memberi solusi yg lebih baik dari suatu ‘bad side’ yg dilihat.
semoga pikiran yang baik datang dari segala penjuru arah
Satyam Shivam Sundaram
Saya ada beberapa renungan (bukan pertanyaan) yang melintas di benak saya :
1. Kenapa Dang Yang Nirarta dan orang-orangnya setelah tiba di Bali pada masa Raja Sri Dalem Waturenggong begitu mudahnya merubah/restrukturisasi sistem kehidupan Hindu Bali pada saat itu. Apa Raja Dalem Waturenggong ‘takut’ dengan Dang Yang Nirarta & kelompoknya yang notabene ‘pengungsian’ dari pusat kerajaannya (majapahit)…? Atau justru Raja tsb malah jadi muridnya, karena seolah-olah merasa dapat ajaran yang lebih sempurna…? Saya juga belum tau banyak cerita2 di balik itu.
2. Dengan perubahan struktur ini apa ada perlawanan dari beberapa lapisan masyarakat Bali waktu itu…? Jaman sekarang aja siapa mau orang dikategorikan kelas paling bawah, apalagi jaman dulu orang diem-diem mendadak langsung disebut kelas paling bawah. Apa juga ada perlawanan/perdebatan di kalangan ahli weda waktu itu, karena sistem warnasrama sudah pindah menjadi didasarkan pada keturunan…(tidak sesuai dgnweda dan mungkin sebelumnya tidak demikian) ? Apalagi sebuah aturan kalau hanya kaum tertentu yang boleh baca weda. Mungkin penulis Ngarayana sengaja tidak menyertakan cerita perlawanan2 ini terkait issue perpecahan intern nantinya.
3. Dang Yang Nirarta memeluk Siwa Sidhanta, apa ajaran tersebut sangat-sangat bertentangan dengan ajaran waisnawa/wisnu sehingga unsur dari Bhujangga Waisnava tidak diikut sertakan dalam kepanditaan menurut wacana ? Atau ini bukan salah ajarannya tapi penganutnya (klasik)
4. Satu sisi banyak orang menganggap Nirarta sebagai ‘pahlawan pembaharuan’ dan memperkuat Hindu di Bali, namun bila beliau tidak merestrukturisasi hidup kehinduan di Bali saat itu mungkin aja Bali skg justru lebih baik (lebih nge-Weda).
5. Secara keseluruhan (dari wacana) saya melihat restrukturisasi kehinduan di Bali yang dilakukan oleh Dang Yang NIrarta begitu ‘tergesa-gesa’, sampai2 banyak bangun pura dan punya keturunan (maaf), mungkin waktu itu agar Bali HIndunya semakin kuat akibat adanya pengaruh keras dari ajaran Islam yang mulai tersebar. Saya perlu dapat cerita2 lebih banyak.
6. Bagaimana keadaan kaum waisnawa bali waktu itu, apakah diam saja, berhubung pemeluk ajaran siwa sidanta adalah saudara2nya juga…? TIdak terlalu keliatan
7. Selain memisahkan perihal kasta dan warna dalam weda, perihal pengelompok leluhur pun juga perlu dipisahkan, karena pengelompokan leluhur tsb mgkn sudah ada sebelum sistem warnasrama dirubah menjadi berdasarkan keturunan. Jadi sebelumnya memang sudah kental ajaran ‘menghormati’ leluhur
8. Aneh juga. Kenapa hanya di Bali saja disebarkan ajaran hindu siwa. lalu kenapa di lombok ajaran islam….? Mungkin saja agar penyebar islam waktu itu dapat mengira kalau ajaran islamnya udah sampai lombok, sehingga bali dikira udah islam semua (menurut gw lho, mungkin aja hehe).
9. Begitu pentingnya derajat kasta di Bali (cerita ngarayana dan sutha) membuktikan begitu taat dan teguhnya masyarakat bali memegang ajaran kasta berdasarkan keturunan yang tidak sesuai dengan weda. Namun itu adalah ajaran leluhur…? leluhur yang mana…?
#Sutha
Salam kenal, capcha itu ada timingnya (utk menghindari spam), setelah ketik komentar disana pastikan refresh dulu dengan klik tanda seperti yinyang disamping kanan capcha dan ketik capcha yang baru. kalo aku gitu.
#Kidz
Salam kenal, saya setuju dengan anda untuk jaman spt skg.
Eve
Pertanyaan (renungan)Anda memang patut direnungkan… Saya kekurangan referensi tentang ini. Semoga Prabhu Laksmi Narayana Dasa (Ngarayana) ada waktu untuk mengomentari renungan Eve.
Atau ada pembaca lain yang punya bukti-bukti valid yang mau berkomentar? Silakan….
@eve
salam kenal juga saudara/i ?
saya pernah berdebat tentang judul artikel ini di tempat lain, sudah biasa kalau kita sebagai generasi yang kritis akan mengkaji lagi napak tilas perjalanan orang2 hebat, baik kita mencari sesuatu didalamnya atau mencari kebenaran sesungguhnya. dan muncul lah perdebatan yang pada akhirnya tidak akan mampu menghasilkan kesimpulan, intina akhirnya kembali lg pada asumsi masing2.
kalau saudara/i ? eve merenung, apakah renungan itu membutuhkan jawaban? menurut saya sih, pasti ga dapat jawaban yg valid.
yang saya agak sedikit sesalkan pada cendikiawan2….pasti memperdebatkan seorang tokoh besar setelah masanya, saya jg sempat bertanya2 kenapa perdebatan diskusi untuk menunjukkan pembenaran dilakukan pada masa tokoh itu berjaya ?? sama seperti renungan anda point : 1, 3, 6. ok ga usah lah terlalu jauh ke zaman Dang Hyang, cek Soeharto .. apakah dia tergolong pahlawan atau penjahat ? setau saya sampai sekarang tidak ada `conclusion` tentang statusnya itu. make it simple… kalau ajaran Dang Hyang tidak sesuai Veda kemana para Vaishnaism yg sangat menjunjung tinggi Veda dan otoritas ??apakah waktu itu vaishnaism tidak produktif (baca:kurang mampu) kenapa Raja lebih memilih Beliau ?? atau `mungkin` Dang Hyang pake guna2 mempengaruhi Raja (ehehehe….asli ngawur).
bagaimana ya? ini saya copas sedikit wacana teman debat saya yg pro dengan Dang Hyang : ” Dang Hyang Nirartha menyelamatkan Hindu di mana ketika masa itu derasnya pengaruh dan mobilisasi dari ajaran islam di nusantara”
saya jg bingung (kalau harus berfikir “double side”), di lombok beliau mengajarkan islam… ini bentuk ketidakkonsistenan? kepentingan politik? atau malah ini bentuk dari cara pandang beliau bahwa semua agama bermuara pada satu hal yg sama (so universal)
kalau seandainya benar Dang Hyang adalah pendeta yang `salah`, kenapa tidak kita boikot saja pura Dang Khayangan di Bali di ganti dengan Temple Vaishnaism dengan dasar Veda yg dianggap benar. (ehehe ini usul gila bukan provokasi) 😉
@Ngarayana
setelah saya baca2 artikel dan cerita anda pada komen terakhir, saya malah menjadi berfikir kalau anda menceritakan semesta dari satu sample yg terlihat. mungkin pepatah ini paling sesuai dari semua cerita anda “nila setitik merusak susu sebelanga”. dan teman2pun dengan yakin sekali menjudge semesta itu sesuai dengan sample yg anda ceritakan. bukankah dalam penelitian sample jg perlu dikaji?
Salam,-
sori ralat :
kalimat saya :
“saya jg sempat bertanya2 kenapa perdebatan diskusi untuk menunjukkan pembenaran dilakukan pada masa tokoh itu berjaya ??”
kurang kata “tidak” pada :
saya jg sempat bertanya2 kenapa perdebatan diskusi untuk menunjukkan pembenaran TIDAK dilakukan pada masa tokoh itu berjaya ??
🙂
Kidz
Pertanyaan Anda: saya jg sempat bertanya2 kenapa perdebatan diskusi untuk menunjukkan pembenaran TIDAK dilakukan pada masa tokoh itu berjaya?
Jawabnya: berani protes hadiahnya: hukuman. Para pemrotes dianggap pembangkang atau makar. Gak usah jauh-jauh juga, lihat juga era Soeharto. Tidak terhitung banyaknya orang yang dijebloskan ke penjara. Banyak yang di dor! Banyak juga yang dihilangkan sampai sekarang tidak diketahui di mana mayatnya.
Tentang Vaishnava. Perannya dikebiri oleh danghyang Nirartha dengan fatwa-fatwanya. Danghiang Nirartha lebih mendominasi istana dibandingkan Raja sendiri. Beliau seorang politisi hebat!
Kidz, walaupun Danghyang Nirartha berpaham Siva, apa ada ajaran Siva yang menggolongkan orang dengan konsep Tri wangsa? Apa di Sivaism ada pelarangan bagi orang yang “berwangsa (bukan bervarna) sudra untuk mempelajari Veda? Kalau tidak ada, Anda patut bertanya ajaran Danghyang Nirartha itu dari mana?
Salam
#Kids
Mudah-mudahan conclusion dari cerita Dang Yang Nirarta tidak seperti kebingungan sejarah Pak Harto yang Kids sebutkan. Terkait Suharto adalah pimpinan politik yang sangat tidak transparan dan sulit mencari bukti2, sedangkat nirarta adalah kisah perubahan tata cara keagamaan yang semoga lebih mudah dicari bukti dan conclusinya.
Mulai berangkat dari ajaran siwa sidharta sendiri, dimana tidak ada ajaran siwa asli manapun yang menurunkan derajat kaum waisnawa. Apalagi ajaran waisnawa mungkin memiliki ‘pantangan’ lebih banyak dari ajaran siwa. Yang membuat masyarakat Bali waktu itu lebih memilih ‘lebih enak/untungnya’ saja.
Disamping dari ajaran siwa sendiri, mungkin juga bisa berangkat dari ajaran menghormati leluhur. Apa ajaran leluhur di Bali lebih tua dari ajaran pembagian kasta oleh Nirarta …? Atau kasta itu hanya politik devide at impera belanda saja (http://stitidharma.org/sistem-kasta-di-hindu/) ?
Dalam wacana, sepertinya Penulis menceritakan perubahan hidup kehinduan di Bali disebabkan oleh Dang Hyang Nirarta tapi belum oleh pihak lain seperti Belanda, masuknya ajaran Kristen di Bali, dsb. Dalam wacana menceritakan sejarah seorang tokoh dengan perubahan masyarakat, padahal perubahan masyarakat belum tentu semuanya disebabkan oleh tokoh yang dimaksud.
Minimnya cerita/bukti sejarah tentang perlawanan kaum waisnawa waktu itu meyakinkan Nirartalah yang menegakkan weda di bali, bahkan skg mungkin saja orang bali pun tidak tau kalau dulu bali itu ada pemeluk waisnawanya. Apa waisnawa dulu tidak begitu kuat sehingga perlu juru penyelamat untuk hindu di bali…?
Skg dengan begitu banyak masuknya waisnawa di bali (saya dgr ada yoga, tapa, dan ciri waisnawa lainnya) malah mereka sebut dengan ‘indianisasi’ 🙂 . Tugas penganut waisnawalah skg wajib mencari bukti2/conclusi itu bukan…?
Terkait kasta, saya pernah tanya dengan orang hindu kebetulan dari bali juga. Sistem kasta apa susah dilepas dari kehidupan di Bali…? Susah, karena itu adat berdasarkan ajaran weda yang disebut catur warna (simplenya fungsi dlm masyarakat). Dalam ajaran catur warna apa memang berasal dari keturunan..? Tidak. Lalu kenapa faktor keturunan begitu dipentingkan dalam kasta…? hehe dia bingung jawab apa dan akhirnya yakin sistem kasta akan semakin hilang di bali :D.
Namun coba tengok umat hindu yang lain dengan semangat menghilangkan ajaran kasta (udah ngga jaman) mereka bahkan sudah tidak begitu menghormati kaum “Anak Agung, Ida Bagus, Ngakan, Ida Ayu dsb”. Seyogyanya ajaran kasta memang patut dihilangkan, tapi jangan sampai menghilangkan ajaran warna. Ya ngga…?
Di kampung saya, ada tukang ojek dari keturunan Ida Bagus. Motornya butut, tetapi orang-orang masih tetap berbahasa halus ke Ida Bagus itu. Padahal selain mengojek, dia juga suka berjudi. Sementara itu, ada temannya sesama tukang ojek yang motornya baru dan wajahnya lebih ganteng plus bukan penjudi tetapi mendapat perlakuan bahasa yang tidak sama dengan si Ida Bagus itu. Sisa-sisa dari power Wangsa….
manusia berbuat,tuhan yang menentukan hasilnya,,begitulah salah satu fungsi paramaatma dalam diri manusia,,..dan selain itu fungsi yg lainnya adalah membuat seseorang ingat,mengetahui dan melupakan,….mungkin inilah yg disebut “melupakan” dan dasyatnya pengaruh jerat maya nan halus yang membuat sang paramaatma pun tak bisa berkutik…ingatlah bahwa kita sebagai hindu dengan makhluk2 yang lain adalah bersaudara..kita kamu dan mereka bukanlah badan kasar ini,,namun kita berasal dari sumber energi yang sama,,yaitu Tuhan…sadarlah..
ke akuan palsu kita adalah awal kehancuran dan lenyapnya kesadaran..
RAHAYU _/\_
sebenarnya saya tidak berminat komen disini, tapi melihat semangat putratridharma dan eve jadi ingin sedikit komen jg.
putratridharma bilang kalau berani brontak pada jaman Dang Hyang berati mati hukumnya, itulah yg menyebabkan kaum Vaishnava seperti `tertidur`. apa benar seperti itu ya?
kalau saya hidup di zaman itu dan menjadi Vaishnava yg baik, melihat sesuatu yg janggal apalagi berkaitan dengan penyimpangan kebenaran Veda, meski disiksa dan mati secara material saya tidak takut akan brontak(debat) melawan arus(adharma)dharma defender, persis seperti yang anda lakukan sekarang. dan sederhana saja meski saya mati, dan dicemooh saya akan jauh dari kesalahan dan semakin dekat dengan kebenaran Tuhan…… kalau saya sih seperti itu.
dan eve juga menyampaikan seperti ini ;
“Skg dengan begitu banyak masuknya waisnawa di bali (saya dgr ada yoga, tapa, dan ciri waisnawa lainnya) malah mereka sebut dengan ‘indianisasi’ 🙂 . Tugas penganut waisnawalah skg wajib mencari bukti2/conclusi itu bukan…?”
ehe anda mungkin mendengar yoga, tapa, dll hanya ada di Vaishnava, sehingga mereka lah yang paling otoritas untuk semua conclusion kebenaran….?? boleh-boleh saja sih. karna mungkin banyak orang tidak tahan dengan perilaku PENGANUT ajaran tertentu sehingga apapun yg PENGANUT itu lakukan otomatis AJARAN nya juga sama. kebanyakan orang melakukan penilaian tertentu bukan didasarkan intelektualistas, melainkan dengan emosi dalam analogi
keripik singkong yang dibungkus plastik biasa, dijual di pasar, akan terlihat (baca:pasti) jelek dibandingkan dengan keripik singkong yang dibungkus rapih dengan merk dan dijual di swalayan. kebanyakan mereka g tidak pernah membahas tentang zat vit apa yg terkandung dalam keripik, bagaimana proses pembuatannya, dll terdahulu.
kebetulan saya komen ditemani kripik singkong neh ..enak 😉
berkaitan dengan kasta dan cerita-cerita yang disampaikan oleh Ngarayana dan Putratridharma sama seperti komen saya sebelumnya,
setelah saya baca2 artikel dan cerita anda pada komen terakhir, saya malah menjadi berfikir kalau anda menceritakan semesta dari satu sample yg terlihat. mungkin pepatah ini paling sesuai dari semua cerita anda “nila setitik merusak susu sebelanga”. dan teman2pun dengan yakin sekali menjudge semesta itu sesuai dengan sample yg anda ceritakan. bukankah dalam penelitian sample jg perlu dikaji, uji dan dibandingkan dengan sample yang lain sebelum dijadikan simpulan semesta?
Salam,-
Kidz
Saya tidak mengatakan kalau berontak pada zaman Dangyang Nirartha mati hukumannya. Saya hanya mengatakan hadiahnya: hukuman. Ini bukan tanpa dasar, jauh setelah Danghyang Nirartha pun itu masih terjadi. Walau saya masih sangat kecil waktu itu, saya ingat bagaimana perlakuan politik terhadap terhadap ISKCON Indonesia. Di Sulawesi Tenggara (tepatnya di kampung saya: Kolaka), dulu antusiasme orang Hindu untuk ikut diskusi-diskusi dan Kirtan/Bhajan Hare Krishna begitu besar. saya gerakan ISKCON dibubarkan oleh PHDI dengan alasan sesat. Buku-buku dibakar. Orang-orangnya diancam. Ini masih kecil.
Kalau saya mendengar cerita-cerita penyembah-penyembah senior, mereka ditangkapi. Ada yang mendapat pelecehan, ditelanjangi dll. Banyak kemudian yang terpaksa harus berhenti ikut Hare Krishna karena intimidasi atau tekanan-tekanan seperti itu. Kalau cerita sepihak mungkin Anda tidak percaya, coba baca profil Sri Jaya Sakti (gurunya saudara Sutha) di blognya Sutha. Beliau dulu pernah ikut Hare Krishna, tapi karena mendapat tekanan fisik dan psikis, akhirnya berhenti.
Tentang sampel dan populasi, wah anda lagi memberi pencerahan tentang metodologi nih… Trims…
@putratridharma
dari pernyataan anda diatas, bukankah semua yg anda kemukakan merupakan bentuk ujian dari mantap atau tidaknya kepercayaan dan pertahanan kita terhadap apa yg kita percayai?? kalau yakin, kenapa kita harus legowo pada lain hal ?? hukuman apapun itu, selama atas dasar dharma defender, kita harus tetap menghadapinya (tentu saja harus mengutamakan intelektualitas), bukankah begitu teorinya ??
jadi ini lah salah satu saya tidak tertarik membahas tentang kontroversi Dang Hyang Nirartha ini.
mengenai Sri Jaya Sakti gurunya saudara sutha yang anda sampaikan tadi, memang benar beliau adalah penyembah Hare Krishna, lalu saya tanya balik ke anda apakah beliau termasuk guru bonafide atau penipu menurut anda? berkaitan dengan artikel yang saudara sutha paparkan.
dan mengenai metodologi penelitian, saya tidak bermaksud untu memberikan pencerahan, sebab saya yakin seluruh teman2 disini sudah pakar dalam hal ini, cuman saya mengingatkan saja bahwa untuk membuat suatu simpulan harus mengalami beberapa uji sample2.
intinya jgn berat sebelah. sample anda yg negatif terus lalu apakah tidak ada sample yg positif ?? atau memang anda tidak perlu menarik sample lain karna dari sample yg anda dapatkan sudah dalam bentuk definitif suatu semesta ?? itu yg namanya penelitian dengan dasar emosi.
kalau ada salah kata, mohon diluruskan
Salam,-
Kidz
Kalau saya, masih takut disiksa. lain halnya kalau penyembah-penyembah yang sudah maju yang walaupun disiksa tetap melanjutkan pengajarannya sampai sekarang. Tanpa karunia Beliau-Beliau, mungkin saya tidak kenal dengan Hare Krishna.
Soal guru, sudah deh… Mari kita gunakan acuan masing-masing. Ini lebih bijaksana daripada berdebat kusir.
Salam
@putratridharma
pada akhirnya beralasan juga kan kenapa perdebatan tentang kontroversi Dang Hyang Nirartha, fatwah-fatwah palsu, menguasai kerajaan, pendeta politik, ajaran Saiva yg salah,kebijakan2 yg memberatkan, Vaishnava yang tidak ada komentar pada zaman itu, dll ini tidak akan pernah menemukan `conclusion` sehingga menjadi buang2 energi.
komentar anda mengenai guru… dengan adanya kata “sudah deh” menunjukkan kekhawatiran anda akan terjadi perdebatan kusir lagi, ehehe tenang it won’t happen here dude …..
tapi saya salut dengan anda…. for the first time saya lihat, komentar terakhir anda bijaksana. sehingga memperkuat perasaan saya bahwa sebenarnya debat tentang topik ini memang tidak menarik for the first time. Dang Hyang Nirartha kan juga seorang Guru besar dengan kalimat anda :
“Mari kita gunakan acuan masing-masing”
merupakan komentar yg membuat saya [murni]tersenyum, anda setuju ?
Salam,-
Perdebatan di sini bukannya tanpa manfaat sama sekali. Dengan berdiskusi setidaknya kita akan menjadi refleksi bagi kita semua. Di satu sisi mungkin ada hal-hal yang sudah dibuat oleh Danghyang Nirartha, mari kita apresiasi. Di sisi lain ada hal-hal yang tampaknya tidak sejalan dengan ajaran Veda, mari kita kritisi. Walaupun Beliau sudah moksa (katanya), tapi konsep serta orang-orang yang melestarikan konsepnya masih ada. Kepada merekalah kita patut melakukan kritik. Tri Wangsa jelas bertentangan dengan Veda, maka mari kita hapus ramai-ramai. Pedanda berpolitik adalah jelas melanggar keBrahmanaan, maka para sulinggih jangan ikut-ikutan berpolitik. Di Lombok Beliau mengajarkan agama Islam. Ini adalah kontroversial. Maka para sulinggih jangan ikut-ikutan membuat kontroversi. Selebihnya Beliau membangun Pura, maka yang ini layak kita teladani.
Yoga, tapa dsb memang tidak hanya menjadi ciri kas waisnawa tetapi juga ada dalam ajaran lainnya. Justru ke-intelektualan-lah yang diperlukan oleh masyarakat bali skg agar tidak selalu menilai dari sisi emosi, analogi, adat, budaya atau seni saja. Ini tidak hanya terjadi dlm hindu saja, umat lain juga kadang cuman pengen enak kripik singkongnya doang tanpa menghiraukan apa saja vitamin yang dikandungnya hehe.
Situasi sekarang, Bali dikatakan menganut ajaran weda. Weda yang mana…? sering saya baca Siwa sidanta (dengan nirarta sbg pionir), lantas apa dalam siwa sidanta ada ajaran Warna…? warna hanya ada dalam ajaran weda. Jika memang menganut ajaran warna….lantas mengapa mengutamakan faktor keturunan…? Lucu juga. Saya jadi punya anggapan begini, sewaktu era majapahit ajaran warna tidak berdasarkan keturunan dan murni melalui tingkatan spiritual seseorang. Dengan masuknya ajaran islam sehingga banyak brahmana yang juga dengan ‘gampang’ pindah agama atau bahkan ‘tersingkir’ oleh islam sehingga banyak penganut hindu budha yang tidak begitu ‘dekat’ dengan agamanya beralih agama atau bila tetap bersikukuh akan ‘tersingkirkan’. Nah faktor itulah yang menyebabkan kenapa Nirarta menggunakan keturunan sebagai alat untuk memperkuat ke-hindu-an dalam masyarakat yang waktu itu sangat mudah ‘dimanipulasi’ oleh pengaruh islam (dikonversi) meskipun tidak sesuai dengan weda (saja jadi punya banyak kemungkinan terkait kurangnya informasi). Nirarta mengalami masa-masa sulit itu.
Saya memperkirakan bahwa penganut waisnawa sewaktu itu adalah penganut yang belum 100% waisnawa murni (hanya beberapa saja yang murni). Bisa saja baru proses membangun kesadaran. Coba lihat sekarang mungkin dalam perkumpulan HK atau waisnawa lainnya hanya beberapa orang yang benar2 kuat akan kesadarannya (maaf). Namun waktu itu berhubung banyak waisnawa yang sedang ‘proses’ dan tidak sekuat waisnawa murni sehingga dapat dengan mudah dikonversi sesuai ajaran siwa sidanta oleh nirarta. Sehingga tak ada cerita waisnawa sedikitpun waktu itu.
Nah sekarang kenapa justru Nirarta banyak disalahkan…? kenapa tidak pengikut/penganutnya ? Dengan banyaknya bukti sejarah menunjukkan beliau hanya membangun struktur baru dengan tata kehinduan baru di bali termasuk ajaran dan pura-pura yang juga semuanya sangat berguna agar tidak terpengaruh oleh ajaran islam yang keras. Dan itupun juga bisa diubah dengan hal yang lebih mendekati weda. Kenapa tidak memperhatikan sistem kehinduan yang ada di bali sekarang, perihal sekolah yang minim ajaran weda (saja baca di blog ini begitu) atau permasalahan adat lainnya. Apakah karena begitu menghormati nirarta yang notabene dikatakan leluhur sehingga sulit rasanya mengubah ajaran meski sudah diketahui tidak sesuai kitab. You know you are right. Justru lebih baik Bali menentukan apakah hindunya yang menjiwai semua lapisan manusianya bahkan alamnya berdasarkan weda yang berbagai macam pemahaman itu atau hanya cukup siwa sidanta saja. Its Bali.
@eve
terima kasih atas komentarnya
meski saya melihat isinya penuh dengan `own perception`. kalau diharuskan dengan cara debat putratridharma dan yang lainnya, pasti akan menuntut sumber sastra yang menguatkan pendapat kita agar tidak menjadi bentuk khayalan dan angan2 kita sehingga mengarah pada spekulasi.
yang pada akhirnya akan kembali lagi pada kalimat :
“Mari kita gunakan acuan masing-masing.”
Salam,-
@eve
oh ya lupa, jadi menurut anda `pioneer` ajaran Siva Shidanta adalah Dang Hyang Nirartha ya ? saya masih belajar tentang ini, bisa anda referensikan buat saya ?
sebab sepenggal informasi yg saya tahu, Dang Hyang Nirartha lahir di lingkungan keluarga penganut ajaran Buddha,menekuni ajaran Siva, dan meluruskan ajaran Islam.
Salam,-
#Kidz
Spekulasi/hayalan memang disebabkan karena minimnya informasi, justru itu yang saya cari-cari. Setiap menerima wacana baru pasti kita memiliki pandangan atau bahkan hayalan, dan itu membuat kita bersemangat dalam mencari lagi. Apakah sesuai dengan yang telah dihayalkan. Sebab jika dikatakan pasti ini pasti itu memang butuh bukti yang jelas dimana kenyataannya juga susah dicari bukan..?
Sebelum nirarta kemungkinan bali juga sudah ada ajaran siwanya. Nirarta hanya sebagai salah satu pionir yang sebelumnya mungkin ada pelopor lain.
Apa dulu sebelum nirarta masuk sudah ada siwa dan waisnawa saya mulai baca disini
http://agus-aan.web.ugm.ac.id/2008/12/27/sejarah-kerajaan-bali-kuno-sebelum-kedatangan-majapahit/
http://sugilanus.com/2010/05/14/membesuk-kisah-kisah-mayadanawa/
Salam
Eve
Kalau tidak salah, di buku yang berjudul Kasta: Kesalahan Berabad-Abad yang ditulis oleh Ketut Wiana dan Raka Santeri ada penjelasan tentang itu.
Saya juga pernah dengar Siwa siddhanta itu sendiri tidak murni ajaran Siwa. Terdapat juga ajaran2 agama Buddha dll.(entah memang begitu atau terdistorsi) maka itulah disebut Siwa Siddhanta (“kesimpulan2” ajaran Siwa) itulah yang saya dengar. maka di tempat saya, memeuja Siwa, tetapi tidak menyatakan diri sebagai Siwa sidanta. (???)
sedikit penjelasan Siwa Sidhanta:
http://saradbali.com/edisi107/tatwa.htm
dijelaskan mengenai
“sekte-sekte yang pernah ada di Bali setelah abad IX adalah sekte Siwa Sidhanta, sekte Brahmana, sekte Resi, sekte Sora, sekte Pasupata, sekte Ganapati, sekte Bhairawa, sekte Waisnawa dan sekte Sogatha (Goris, 1974 : 10 – 12). Di antara sekte-sekte tersebut yang paling besar pengaruhnya di Bali adalah Siwa Sidhanta. Ajaran Siwa Sidhanta termuat dalam rontal Bhuanakosa.”
“Sekte Siwa memiliki cabang yang banyak. Antara lain Pasupata, Kalamukha, Bhairawa, Linggayat dan Siwa Sidhanta yang paling besar pengikutnya. Kata Sidhanta berarti inti atau kesimpulan. Jadi Siwa Sidhanta berarti kesimpulan atau inti dari ajaran Siwaisme”
Pemujaan lingga tidak diajarkan dalam Siwa Sidhanta
Siwa Sidhanta (Bali) berasal dari india tengah (Madyapradesh)
Ajaran/sekte Brahma(di bali) juga luluh menyatu dalam Siwa sidhanta
@putratridharma dan @eve
supaya tidak terlalu jauh OOT-nya sebelumnya terima kasih atas komentar2nya, kenapa saya bilang saya tidak tertarik dengan topik ini, coba kita cek lagi artikel2 yang di share oleh Putra dan komentar dari Purnayasa pada kolom komentar sebelumnya mengenai kasta diatas. karna itulah saya berfikir kalau membahas hal ini adalah usaha yang menghabiskan energi KECUALI membahas dengan tujuan untuk menjelekkan atau menjatuhkan pihak lain mungkin pembahasan ini menjadi amat menarik. seperti yang disampaikan oleh eve bahwa kita semua susah dalam mendapatkan sumber mengenai topik ini, pada akhirnya semua berakhir dengan opini dan pendapat spekulasi sepihak. ok go ahead….
@Sutha
dari penjelasan saudara diatas menunjukkan bahwa jika ada ajaran yang tidak mengajarkan umatnya untuk memuja Lingga Yoni, berarti ajaran itu adalah Siva Siddhanta (bali) ?? seperti yang saya pernah lihat, orang Bali justru diarahkan untuk memuja lingga yoni, namun lingga yoni ini wujudnya `dihias` dengan banten dewa-dewi yang diletakkan diatas sanggah surya yg posisinya bahkan lebih tinggi dari padmasana….. hal ini bagaimana menurut saudara mengenai ajaran yang dianut oleh orang Bali itu sendiri?? coba croscek dengan situs ini mengenai Siva Siddhanta dan mohon pencerahannya http://fantasticyantha.wordpress.com/2010/01/22/filsafat-saiva-siddhanta/ trims….
Salam,-
@Sutha
maaf saya ralat sedikit kalimat saya pada awal paragraf pertama :
siva siddhanta di bali adalah ajaran sivaism yang tidak mengajarkan pemujaan ??
Siva Siddhanta = kesimpulan dari semua ajaran ? / semua sekte diarahkan kesadaran Siva merupakan pemujaan tertinggi ??
Salam,-
Siva Sidhanta di bali tidak mengajarkan pemujaan terhadap Lingga Yoni ?? sori Sutha…komen sambil kerja…ga konsen ngetik….;)
Salam,-
Kidz
He he he… makanya jangan ngetik sambil ngemil keripik singkong….
Akan ada acara bedah buku Merekonstruksi Hindu di BI dengan menghadirkan Haladhara Prabhu. Siapa tahu bisa hadir…
@All
Tambahan informasi:
Bedah buku Merekonstruksi Hindu akan diadakan di:
Tempat : Bank Indonesia (BI) Jakarta
Hari : Jum’at, 28 Januari 2011
Waktu : 11.00 WIB – selesai
Keterangan: free of charge
Key Note : Ngurah Heka Wikana (Haladara Prabhu)
Pada tanggal 29-nya mungkin juga akan diadakan bedah buku di STAH Jakarta di Rawamangun. Saat ini masih dalam proses negosiasi.
Teman-teman yang ada waktu mohon hadir dalam bedah buku tersebut dan mari kita berdiskusi secara terbuka di sana.
Salam,-
putratridharma
kali ini ndak pake kripik singkong….ini asli nyambi kerja….. 🙂
waduh berharap bisa hadir pasti acara yang bagus
Di gedung apa y prabu???
biar g salah masuk. BI kan luas….
Suksma
@ Dino
Mengenai gedungnya, saya belum mendapatkan informasi pasti. Tar kalau sudah ada informasi akan saya kabarkan lagi prabhu. Atau mudah-mudahan temen-temen yang tahu mengenai posisi gedungnya yang juga kebetulan urun rembug di sini bisa memberikan info.
Salam,-
@Kidz
Silahkan baca link nya.
Pemujaan Lingga berasal dari sekte Pasupata.
MUNGKIN sivaism yang “sukla” (seperti istilah guru saya) adalah beberapa point penting yang tercecer dari sekte2 siva yg ada.
Seharusnya itu adalah Siva Sidhanta karena namanya cocok. tetapi (di Bali) Siva sidhanta hanya menjadi salah satu sekte saja, tidak menjadi “kesimpulan seluruh sekte2 siva”
Apakah ini distorsi? saya kurang tahu.
Berkunjung ke blog saya Bli..
Salut dari beberapa comments di atas. Janganlah kita saling menghujat apa yg sudah terjadi di masa lalu. Seperti ada yg menanyakan Dhang Hyang Niratha segala. Kalau masih percaya sama bisama lakukan sesuai dengan kepercayaan dan kalau tidak ikuti apa kata hati nurani karena hati nurani selalu jujur.Di masa itu Bali mencapai puncak kejayaannya dgn rajanya Dalem Waturenggong. Dan kalau Dhang Hyang Niratha bersalah nggak mungkin beliau moksa. Jadi masalah kepercayaan saja. Kok yg di permasalahkan Brahmana Wangsa saja, kenapa tidak ada yg memperdebatkan Ksatria Wangsa kan bisa jadi Raja???? Ada apa ini??? Klo semua mau jadi Brahmana khayaknya nggak ada yg report. Yg menilai khan masyarakat……….sampunang malih berdebat soal puniki pang ten ricuh irage ring Bali. Yan Ide dane sampun wikan tur mekayunan mediksa rarisang. Nike nak terserah ide dane.
terimakasi atas informasinya .
Om Swastyastu
Dalam menuliskan sejarah unsur subyektifitas memang tak dapat dihindarkan, apalagi kalau penulisan itu tidak didasarkan pada sumber tertulis yang lengkap hanya berdasarkan info semacam sejarah kontemporer, namun demikian jangan sampai salah menempatkan posisi suatu kelompok, seperti misalnya I Dewa, Dewa Ayu, Desak, Ngakan ini adalah bahagian dari Ksatria Wangsa, termasuk I Gusti, I Gusti Ayu saya belum berani menggolongkan dalam Vesya, karena di Bali kelompok Wesia dan Sudra tidak jelas, yang mana itu dan dari asal-usul mana, kami tahu I Gusti, I Gusti Ayu, adalah keturunan dari sapta Aryeng Kediri yang dulu memegang jabatan di kerajaan. Jika ada sumbernya tolong diberikan, justru penggolongan ksatria menjadi satria Dalem, Satria Pradewa, Prangakan, Pra sanghyang terjadi pada jaman Ida Dalem Di Made, sekian terimakasih. Mohon merujuk ke sumber!!!
Om Shantih, Shantih, Shantih, Om
Sejarah magaimanapun pahitnya harus di ungkap, untuk bahan introspeksi. Abad 15-19 saya nilai sebagai abad perebutan pengaruh Islam dan Kristen keseluruh dunia, termasuk Bali. abad ini ditandai dengan menyebarnya konsep-konsep Kasta dan Perbudakan yang merupakan cerminan tradisi Injil dan Al Quran ( Baca surat An nissa, Al Mukmunuum Injil imanat, efersus dll)
Di India Kasta-kasta juga terjadi pada abad-abad tersebut dengan tokoihnya Max Muller,Risley dan William Jones. Bahkan Thomas Trautman menyebut bahwa Max Muller dan Risley sebagai Arsitek Kasta-kasta di India yang di undangkan tahun 1901.
Di Bali Arsitek Kasta adalah Danghyang Nirarta yang tidak mengerti rencana jangka panjang misionaris Kristen, yaitu menerapkan Kasta-kasta yang dilanjutkan dengan Sistem Perbudakan.
Budak-budak umat Hindu (Bali) dijual sampai ke Fiji,Afrika dan Suriname. Para Raja saat itu atau Pewarisnnya, harus bertangung jawab terhadap keluarga Budak yang masih tertinggal di Bali, karena dengan menjadikan Umat Hindu sebagai budak mereka mendapatkan harta kekayaan.
Sekarang mereka mengaku Kesatrya yang leluhurnya pernah mencelakanan umat Hindu menjadi Budak. dan Keturunan Brahmana yang leluhurnya pernah menikahi jelmaan CACING KALUNG (Nyi Berit…ini ceritrera yang ditulis oleh Nirarta sendiri sebagai bentuk merendahkan rakyat Bali meski Nirarta kemudian tergoda dan beranak pianak dengan yang disebutnya sendiri sebagai Jelmaan Cacing Kalung).
Sejarah harus di ungkap bagaimanapun pahitnya itu.
Mereka yang merendahkan masyarakat bali dengan menyebut sebagai Jelmaan Cacing Kalung, ternyata di kemudian hari di nikahinya dan beranak pianak, dan menyebut sebagai Keturunan Brahmana apa pantas……ini hukum karma. Tuhan Maha adil….
Seorang Brahmana Sakti menikah dengan JELMAAN CACING KALUNG (Nyi Berit) dan beranak pianak dan mengaku berkasta BRAHMANA….tidak ngerti saya….
Sementara yang keturunan brahmana suci yang menikah dengan Bidadari di sebut kaum Sudra wah…wah..wah..
Sejarah magaimanapun pahitnya harus di ungkap, untuk bahan introspeksi. Abad 15-19 saya nilai sebagai abad perebutan pengaruh Islam dan Kristen keseluruh dunia, termasuk Bali. abad ini ditandai dengan menyebarnya konsep-konsep Kasta dan Perbudakan yang merupakan cerminan tradisi Injil dan Al Quran ( Baca surat An nissa, Al Mukmunuum Injil imanat, efersus dll)
Di India Kasta-kasta juga terjadi pada abad-abad tersebut dengan tokoihnya Max Muller,Risley dan William Jones. Bahkan Thomas Trautman menyebut bahwa Max Muller dan Risley sebagai Arsitek Kasta-kasta di India yang di undangkan tahun 1901.
Di Bali Arsitek Kasta adalah Danghyang Nirarta yang tidak mengerti rencana jangka panjang misionaris Kristen, yaitu menerapkan Kasta-kasta yang dilanjutkan dengan Sistem Perbudakan.
Budak-budak umat Hindu (Bali) dijual sampai ke Fiji,Afrika dan Suriname. Para Raja saat itu atau Pewarisnnya, harus bertangung jawab terhadap keluarga Budak yang masih tertinggal di Bali, karena dengan menjadikan Umat Hindu sebagai budak mereka mendapatkan harta kekayaan.
Sekarang mereka mengaku Kesatrya yang leluhurnya pernah mencelakanan umat Hindu menjadi Budak. dan Keturunan Brahmana yang leluhurnya pernah menikahi jelmaan CACING KALUNG (Nyi Berit…ini ceritrera yang ditulis oleh Nirarta sendiri sebagai bentuk merendahkan rakyat Bali meski Nirarta kemudian tergoda dan beranak pianak dengan yang disebutnya sendiri sebagai Jelmaan Cacing Kalung).
Sejarah harus di ungkap bagaimanapun pahitnya itu.
Mereka yang merendahkan masyarakat bali dengan menyebut sebagai Jelmaan Cacing Kalung, ternyata di kemudian hari di nikahinya dan beranak pianak, dan menyebut sebagai Keturunan Brahmana apa pantas……ini hukum karma. Tuhan Maha adil….
Seorang Brahmana Sakti menikah dengan JELMAAN CACING KALUNG (Nyi Berit) dan beranak pianak dan mengaku berkasta BRAHMANA….tidak ngerti saya….
Sementara keturunan brahmana suci yang menikah dengan Bidadari di sebut kaum Sudra wah…wah..wah..
suksma, menambah wawasan
Om Swastyastu,
Dari mana sumber data Ini ? Klo Mengacu pada Catur Warna / Catur Kasta sangat tidak cocok karna sbb :
1) Wangsa Brahmana : adalah wangsa yang bertugas sebagai pembuka agama yang berkaitan dengan upacara agama. Yang keturunannya klo yang cowok Ida Bagus Dan yang cewek Ida ayu
2) Wangsa Ksatria : adalah Wangsa yang ada dalam bangku pemerintahan kerajaan. Yang keturunannya Cokorde, Anak Agung,Gusti,Dewa
3) Wangsa Weisya : adalah wangsa pedagang / pemutar perekonomian. Yang Keturunannya memakai gellar Sang,Ngakan,Si,Kompyang
4) Wangsa Sudra. Wangsa atau masyarakat pekerja kasar yang sering di sebut Jaba.
Nama Dalem adalah Raja di Raja yang mana mereka juga mempunyai keturunan yang di jadikan Ksaria ataupun weisya. kenapa ? karna Wangsa ksatria bisa di Cabut atau di turunkan oleh Raja apabila melakukan suatu kesalahan. Begitu Pula Raja atau Dalem Juga mempunyai keturunan yang bernama Cokorda,Anak agung,I dewa dan juga Gusti
Mari kita berdiskusi memakai data rujukan BUKAN memakai bahasa KATA ORANG