Oleh Thomas Reuter
Dikutip dari Blog Adhiwus dengan sedikit modifikasi
Hampir selama 1000 tahun, kerajaan-kerajaan Hindu tumbuh subur di pulau Jawa. Kejayaan Hindu mulai menyurut sejak runtuhnya kerajaan-kerajaan Hindu Nusantara akibat datangnya Islam pada abad ke 15. Hampir selama 500 tahun Hindu di Indonesia dapat dikatakan hampir punah, namun pada tahun 1970-an terjadi fenomena dimana Hindu tumbuh dengan pesatnya disaat Indonesia di landa kerisis politik dan ekonomi.
Risert etnografis yang dilakukan Thomas Reuter terhadap lima kelompok masyarakat pada beberapa daerah candi-candi Hindu besar di jawa diperolehlah telahan sejarah politik dan dinamika sosial yang mengarah kepada kesimpulan bangkitnya Hindu di Jawa.
Thomas Reuter menyatakan ketertarikannya pada pulau Jawa setelah 10 tahun melakukan penelitian di Bali. Menurutnya, kebanyakan masyarakat Bali menganggap diri mereka sebagai keturunan kaum ningrat kerajaan Hindu Jawa Majapahit yang menaklukkan Bali di abad ke 14. Jumlah orang Bali yang bertirtayatra ke candi-candi Hindu di Jawa semakin bertambah. Bahkan tidak jarang orang Bali terlibat dalam pembangunan dan pelaksanaan upacara di candi/pura baru di Jawa.
Dalam konteks sejarah dan politik, masih banyak orang Jawa mempertahankan kepercayaan warisan tradisi Hindu selama berabad-abad sambil juga memeluk Islam. Kepercayaan ini dikenal sebagai agama Jawa (kejawen) atau Islam Jawa (Islam abangan, nama yg dipakai Geertz 1960). Beberapa kelompok masyarakat terpencil masih tetap memeluk Hindu secara terbuka. Salah satu kelompok ini adalah masyarakat Hindu yang tinggal di dataran tinggi Tengger (Hefner 1985, 1990) di Jawa Timur. orang-orang ‘Hindu’ Jawa yang ditulis di laporan ini adalah mereka yang tadinya Muslim dan kemudian murtad untuk memeluk agama Hindu.
Laporan tahun 1999 yang tidak pernah diumumkan oleh Kantor Statistik Nasional Indonesia memperkirakan terdapat 100.000 orang Jawa yang secara resmi murtad atau ‘kembali lagi’ pindah dari Islam ke Hindu dalam waktu 20 tahun terakhir. Pada saat yang bersamaan, cabang organisasi Hindu (PHDI) Jawa Timur mengatakan bahwa umatnya bertambah sampai berjumlah 76.000 di tahun ini saja. Angka ini tidak sepenuhnya dapat dipercaya, dan tidak dapat pula menggambarkan besarnya kebangkitan agama Hindu di Jawa karena ini hanya berdasarkan nama agama yang tercantum di KTP dan hanya berdasarkan laporan agama resmi. Menurut pengamatan Thomas Reuter, banyak yang pindah agama tapi tidak melaporkan diri.
Meskipun demikian, perhitungan jumlah orang Hindu di Jawa ternyata lebih banyak daripada orang Hindu di Bali. Data yang dikumpulkan secara independen selama penelitiannya di Jawa Timur menunjukkan bahwa laju proses perpindahan agama melesat secara dramatis selama dan setelah jatuhnya Pemerintahan Rezim Suharto di tahun 1998.
Sebelum tahun 1962, agama Hindu tidak diakui secara nasional sehingga orang-orang Hindu tidak bisa mencantumkan agama mereka secara resmi. [1] Permohonan pengakuan Hindu sebagai agama resmi diajukan oleh organisasi agama dari Bali dan dikabulkan pada tahun 1962 demi kepentingan masyarakat Bali yang mayoritas adalah Hindu. Organisasi yang terbesar yakni Parisada Hindu Dharma Bali yang kemudian diubah menjadi PHD Indonesia (PHDI) di tahun 1964, berupaya untuk memperkenalkan Hindu secara nasional dan bukan hanya milik Bali saja (Ramstedt 1998).
Pada awal tahun 1970-an, orang-orang Toraja Sulawesi mengambil kesempatan ini dengan memeluk agama nenek moyang mereka yang banyak dipengaruhi oleh Hindu. Masyarakat Batak Karo dari Sumatra di tahun 1977 dan masyarakat Dayak Ngaju di Kalimantan di tahun 1980 juga melakukan hal yang sama (Bakker 1995).
Identitas agama menjadi masalah hidup-mati saat agama Hindu memperoleh status resminya, yakni di saat terjadinya kerusuhan anti komunis di tahun 1965-1966 (Beatty 1999). Orang-orang yang tidak dapat menyebutkan agamanya digolongkan sebagai orang atheis dan dituduh komunis. Terlepas alasan politis ini, kebanyakan orang menganut Hindu karena ingin mempertahankan agama nenek moyang dan bagi masyarakat di luar Jawa, Hindu merupakan pilihan terbaik dibandingkan Islam. Sebaliknya, kebanyakan orang Jawa tidaklah melihat Hindu sebagai agama pilihan di saat itu karena kurang adanya organisasi Hindu dan juga karena takut pembalasan organisasi-organisasi Islam besar seperti Nahdatul Ulama (NU). Anggota-anggota muda NU tidak hanya aktif membunuhi orang-orang komunis tapi juga unsur-unsur Jawa Kejawen atau anti Islam yang banyak dianut Partai Nasionalis Islam milik Sukarno selama tahap pertama pembunuhan masal di jaman itu (Hefner 1987). Demi keselamatan nyawanya, para pengikut Kejawen terpaksa mengumumkan diri mereka sebagai Islam.
Pada awal Orde Baru, Presiden Suharto tidak mengikuti paham agama apapun. Baru di tahun 1990-an, Suharto mulai mendekati organisasi-organisasi Islam. Awalnya Suharto adalah pembela aliran Kejawen yang gigih, tapi ia lalu mengajukan tawaran-tawaran kepada kelompok Islam di masa itu karena berkurangnya dukungan masyarakat dan militer terhadap rezimnya. Tindakannya yang paling jelas tampak pada dukungannya atas Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), yang anggotanya secara terbuka menginginkan negara dan masyarakat Islam Indonesia (Hefner 1997).
Kekawatiran mulai tumbuh tatkala ICMI menjadi organisasi yang mendominasi birokrasi nasional dan melaksanakan program-program pendidikan Islam besar-besaran dan pembangunan mesjid-mesjid melalui Departemen Agama dan sekali lagi menyerang aliran dan penganut Kejawen. Pada waktu yang sama, terjadi pembunuhan-pembunuhan oleh ekstrimis Muslim atas orang-orang yang dituduh sebagai dukun yang melakukan pengobatan tradisional Kejawen. (Ingat serentetan kasus pembunuhan dukun santet oleh ‘ninja’ yang terjadi di desa-desa terpencil di Jawa?)
Pengalaman-pengalaman pahit dan penindasan membuat para penganut Kejawen takut dan juga benci. Dalam wawancara yang dilakukan di tahun 1999, orang-orang yang baru saja murtad dan memeluk Hindu di Jawa Tengah dan Timur mengaku bahwa mereka sebenarnya tidak keberatan dengan identitas Islam. Tapi mereka sakit hati saat harus meninggalkan tradisi Hindu Jawa dengan tidak lagi melakukan upacara-upacara tertentu yang sudah menjadi bagian hidup mereka. Untuk menyalurkan hasrat politik, banyak penganut Kejawen dan pemeluk baru agama Hindu yang menjadi anggota partai politik Megawati Sukarnoputri. Keterangan dari kelompok ini menyatakan bahwa kembalinya mereka kepada agama Majapahit (Hindu) merupakan kebanggaan nasional dan ini diwujudkan melalui pandangan politik baru yang penuh rasa percaya diri..
Dalam konteks sosial dan ekonomi, cirri-ciri umum yang tampak di masyarakat baru Hindu di Jawa adalah kecenderungan untuk berkumpul di pura-pura yang baru saja dibangun atau candi-candi kuno yang dinyatakan kembali sebagai tempat ibadah masyarakat Hindu. Satu dari pura-pura Hindu yang baru dibangun di Jawa Timur adalah, pura Mandaragiri Semeru Agung, di bukit dekat Gunung Semeru. Ketika pura ini selesai dibangun pada bulan Juli 1992 dengan bantuan keuangan Bali, hanya segelintir keluarga setempat secara resmi memeluk agama Hindu. Penelitian di bulan Desember 1999 menunjukkan masyarakat Hindu lokal berkembang menjadi lebih dari 5.000 keluarga.
Perpindahan agama besar-besaran yang sama juga terjadi di daerah sekitar pura Agung Blambangan yang merupakan pura baru yang dibangun di daerah sisa-sisa kerajaan Blambangan, pusat kekuatan politik Hindu terakhir di Jawa. Yang tidak kalah pentingnya adalah Candi Loka Moksa Jayabaya (di desa Menang dekat Kediri), di mana raja dan petinggi Hindu, Jayabaya, dipercaya mencapai moksa.
Gerakan Hindu lain yang juga mulai tampak terjadi di daerah sekitar pura Pucak Raung (di Jawa Timur) yang baru saja dibangun. Daerah ini disebut dalam sastra Bali sebagai tempat di mana Maharishi Markandeya, mengumpulkan pengikutnya untuk melakukan perjalanan ke Bali dan membawa agama Hindu ke Bali di abad 5 M.
Kebangkitan agama Hindu juga tampak di daerah Candi Hindu kuno di Trowulan dekat Mojokerto. Daerah ini dikenal sebagai ibukota kerajaan Hindu Majapahit. Gerakan Hindu setempat berusaha untuk mendapatkan ijin menggunakan candi yang baru saja digali sebagai tempat ibadah agama Hindu. Candi ini akan dipersembahkan bagi Gajah Mada, perdana menteri Majapahit yang berhasil mengembangkan kerajaan Hindu kecil itu sampai meliput wilayah dari Sabang sampai Merauke.
Meskipun terdapat lebih banyak pertentangan dari kelompok Islam di Jawa Tengah daripada di Jawa Timur, masyarakat Hindu ternyata juga berkembang di Jawa Tengah (Lyon 1980). Contohnya adalah di Klaten di dekat Candi Prambanan.
Selain itu candi-candi besar Hindu juga dapat mendatangkan kemakmuran baru bagi masyarakat setempat. Selain sumber penghasilan bagi pekerja pelebaran dan perbaikan candi itu sendiri, mengalirnya peziarah Bali yang terus menerus ke candi-candi nasional itu menciptakan industri baru bagi penduduk setempat. Di sepanjang jalan utama menuju Candi Semeru terdapat sederetan hotel dan took-toko yang menawarkan sesajen siap pakai, angkutan, dan makanan bagi para pendatang. Pada hari-hari raya besar, puluhan ribu peziarah akan datang setiap hari. Peziarah yang memberi sumbangan dana besar bagi candi besar itu juga ternyata menarik perhatian penduduk setempat. Kemakmuran ekonomi orang-orang Bali juga membuat penduduk setempat berpendapat bahwa budaya Hindu ternyata lebih banyak mendatangkan keberhasilan pariwisata internasional dibandingkan budaya Islam.
Pihak pendukung atau penentang Hindu biasanya menghubungkan bangkitnya agama Hindu secara tiba-tiba di Jawa dengan ramalan terkenal Sabdapalon dan Jayabaya. Dalam ramalan itu dinyatakan beberapa ciri dan bencana alam dahsyat, meskipun pengertian akan ramalan ini berbeda antara kedua pihak. Harapan terpenuhinya ramalan itu merupakan cermin ketidakpuasan yang semakin membesar atas Pemerintahan Suharto yang korup dan tangan besi di tahun 1990-an sampai berakhir di tahun 1998, yang diikuti dengan demonstrasi mahasiswa di berbagai kota di Jawa sejalan dengan krisis ekonomi Asia. Krisis politik dan ekonomi yang lebih besar yang terus berlangsung di Indonesia saat ini juga semakin menumbuhkan harapan itu.
Abdurahman Wahid, presiden Indonesia pertama yang terpilih secara demokratis, ternyata mengundang banyak kritik karena pada masanya terjadi pertentangan agama, pemberontakan di Aceh dan Papua Barat dan skandal korupsi di Pemerintahan.[2] Masyarakat luas menduga ketidakstabilan politik di bawah Pemerintahan Megawati Sukarnoputri (sejak tanggal 23 Juli 2001) akan terus berlangsung. Selain itu dikhawatirkan penindasan seperti yang terjadi di jaman Suharto akan terulang lagi. Menurut penentang dan pendukung gerakan baru agama Hindu, keadaan politik yang tak menentu saat ini sesuai dengan ramalan Sabdapalon dan Jayabaya.
Menurut legenda, Sabdapalon adalah pendeta dan penasehat Brawijaya V, raja terakhir kerajaan Hindu Majapahit. Dikisahkan pula bahwa Sabdapalon mengutuk rajanya yang meninggalkan agama Hindu untuk memeluk agama Islam di tahun 1478. Sabdapalon lalu berjanji untuk kembali setelah waktu 500 tahun berlalu di masa merajalelanya korupsi politik dan bencana-bencana alam besar, untuk mengenyahkan Islam dari pulau Jawa dan membangkitkan kembali agama dan masyarakat Hindu Jawa.
Beberapa tempat suci Hindu baru yang pertama dibangun di Jawa memang selesai dibangun sekitar tahun 1978, misalnya Pura Blambangan di daerah Banyuwangi. Sesuai dengan ramalan, Gunung Semeru meledak di waktu itu pula. Semua ini dianggap sebagai bukti tepatnya ramalan Sabdapalon. Pihak penentang Hindu dari agama Islam menerima prinsip ramalan itu, meskipun menafsirkannya secara berbeda. Beberapa kalangan Islam menganggap murtadin yang memeluk Hindu disebabkan karena kelemahan sesaat dalam masyarakat Islam itu sendiri, dengan menyalahkan sifat materialisme di dunia modern dan turunnya nilai-nilai Islami atau karena penerapan Islam yang tak murni melalui tata cara ibadat Kejawen (Soewarno 1981). Menurut pendapat mereka, ‘kembalinya Sabdapalon’ berarti ujian bagi Islam dan perlunya memurnikan dan membangkitkan kembali iman Islam.
Ramalan yang lain yang juga terkenal di seluruh Jawa dan Indonesia adalah ramalan Jayabaya. Buku tentang ramalan ini yang ditulis oleh Soesetro & Arief (1999) telah jadi best seller nasional. Ramalan Jayabaya juga seringkali didiskusikan di Koran-koran. Ramalan-ramalan kuno ini memang bagian dari percakapan dan diskusi sehari-hari dalam masyarakat Indonesia.
Tokoh legendaris Sri Mapanji Jayabaya berkuasa di kerajaan Kediri di Jawa Timur dari tahun 1135 sampai 1157 Masehi (Buchari 1968:19). Dia terkenal atas usahanya menyatukan kembali Jawa setelah pecah karena kematian raja sebelumnya, Airlangga. Jayabaya juga terkenal karena keadilan dan kemakmuran kerajaannya dan karena pengabdiannya bagi kesejahteraan rakyatnya. Jayabaya dikenal sebagai titisan dewa Wishnu dan dianggap sebagai ‘ratu adil’ yakni raja yang bijaksana yang muncul di jaman edan di akhir putaran tatasurya untuk menegakkan kembali keadilan sosial, keteraturan dan keseimbangan di dunia. Banyak yang percaya waktu datangnya sang ratu adil yang baru telah dekat (seperti yang disebutkan dalam ramalan itu, “jika kendaraan-kendaraan besi bergerak sendiri tanpa kuda-kuda dan kapal-kapal berlayar menembus langit“), dan ia akan datang untuk menyelamatkan dan menyatukan nusantara kembali setelah krisis hebat yang mengantarkan kepada awal jaman keemasan yang baru.
Orang-orang Hindu Jawa mengenang Sabdapalon dan Jayabaya dengan penuh kebanggaan karena mewakili jaman keemasan sebelum Islam. Kalangan Islam sendiri sebaliknya percaya bahwa Jayabaya itu sebetulnya adalah seorang Muslim dan Sabdapalon tidak mau masuk Islam karena saat itu dia berhadapan dengan bentuk Islam yang salah dan tidak murni lagi (Soewarno 1981). Meskipun begitu, para penelaah ramalan dari pihak Muslim dan Hindu setuju bahwa sekaranglah masa terjadinya bencana hebat. Mungkin dalam bentuk reformasi politik besar-besaran dan mungkin pula sebuah revolusi. Kedua belah pihak juga setuju bahwa sistem pemerintahan demokrasi yang murni hanya dapat terlaksana dengan adanya pemimpin yang bermoral sangat tinggi yang mencampurkan kesadaran demokrasi modern dengan karisma kepemimpinan tradisional.
Pengaruh ramalan Jayabaya tampak nyata pada diri masyarakat Indonesia dari berbagai kalangan dan ini tampak pula dengan kunjungan-kunjungan rahasia yang dilakukan Presiden Abdurahman Wahid (sekali sebelum dia dicalonkan untuk jadi presiden dan sekali lagi sebelum dia terpilih) sewaktu menjabat ketua NU ke candi keramat Raja Jayabaya di Bali, Pura Pucak Penulisan. [3] Setelah kunjungan pribadi malam hari di pura Hindu kuno ini, demikian menurut pengakuan pendeta-pendeta Hindu setempat, Gus Dur berbicara dengan mereka untuk waktu lama tentang ramalan-ramalan Jayabaya dan kedatangan kembali ratu adil.
Catatan Kaki:
[1] The other four state-recognized religions (agama) are Islam, Catholicism, Protestantism, and Buddhism (mainly Indonesians of Chinese ethnicity). Unrecognized religions are categorized by the state as minor ‘streams of belief’ (aliran kepercayaan) or are simply treated as a part of different local ‘customs and traditions’ (adat).
[2] As I am writing this, parliamentary procedures have been set into motion so as to impeach President Abdurahman Wahid on allegations of his involvement in corruption scandals.
[3] Pura Pucak Penulisan is still an important regional temple, and was a state temple of Balinese kings from the eighth century AD (Reuter 1998). Many statues of Balinese kings are still found in its inner sanctum, including one depicting Airlangga’s younger brother Anak Wungsu. Literary sources suggest that intimate ties of kinship connected the royal families of Bali with the dynasties of Eastern Javanese kingdoms, including Kediri. Jayabaya’s predecessor Airlannga, for example, was a Balinese prince.
Referensi:
- Adorno, T. W. 1978. ‘Freudian Theory and the Pattern of Fascist Propaganda‘. In A. Arato & E. Gebhardt (eds), The Essential Frankfurt School Reader. Oxford: Basil Blackwell.
- Bakker, F. 1995. Bali in the Indonesian State in the 1990s: The religious aspect. Paper presented at the Third International Bali Studies Workshop, 3-7 July 1995.
- Beatty, A. 1999. Varieties of Javanese Religion. Cambridge: Cambridge University Press.
- Buchari 1968. ‘Sri Maharaja Mapanji Garasakan’. Madjalah Ilmu-Ilmu Sastra Indonesia, 1968(4):1-26.
- Ellingsen, P. 1999. ‘Silence on Campus: How academics are being gagged as universities toe the corporate line‘. Melbourne: The Age Magazine, 11.12.1999:26-32.
- Fox, J. & Sathers, C. (eds) 1996. Origins, Ancestry and Alliance: Explorations in Austronesian Ethnography. Canberra: Department of Anthropology, Research School of Pacific and Asian Studies, Australian National University.
- Geertz, C. 1960. The Religion of Java. Chicago: The University of Chicago Press.
- Hefner, R. 1985. Hindu Javanese: Tengger Tradition and Islam. Princeton: Princeton University Press.
- Hefner, R. 1987. ‘The Political Economy of Islamic Conversion in Modern East Java‘. In W. Roff (ed.), Islam and the Political Economy of Meaning. London: Croom Helm.
- Hefner, R. 1990. The Political Economy of Mountain Java. Berkeley: University of California Press.
- Hefner, R. 1997. ‘Islamization and Democratization in Indonesia’. In R. Hefner & P. Horvatich (eds), Islam in an Era of Nation States: Politics and Religious Renewal in Muslim Southeast Asia. Honolulu: University of Hawaii Press.
- Kaplan, M. 1995. Neither Cargo nor Cult: Ritual Politics and the Colonial Imagination in Fiji. Durham (NC): Duke University Press.
- Lee, K. 1999. A Fragile Nation: The Indonesian Crisis. River Edge (N.J.): World Scientific.
- Lindstrom, L. 1993. Cargo Cult: Strange Stories of Desire from Melanesia and Beyond. Honolulu: University of Hawaii Press.
- Lyon, M. 1980. ‘The Hindu Revival in Java”. In J. Fox (ed.), Indonesia: The making of a Culture. Canberra: Research School of Pacific and Asian Studies, Australian National University.
- Ramstedt, M. 1998. ‘Negotiating Identity: ‘Hinduism’ in Modern Indonesia‘. Leiden: IIAS Newsletter, 17:50.
- Reuter, T. 1998. ‘The Banua of CandiPucak Penulisan: A Ritual Domain in the Highlands of Bali’. Review of Indonesian and Malaysian Affairs, 32 (1):55-109.
- Schwartz, H. 1987. ‘Millenarianism: An overview’. In M. Eliade (ed.), The Encyclopedia of Religion, Vol. 9:521-532. New York: MacMillan.
- Smelser, J. 1962. Theory of Collective Behavior. London: Routledge and Kegan Paul.
- Soesetro, D. & Arief, Z. 1999. Ramalan Jayabaya di Era Reformasi. Yogyakarta: Media Pressindo.
- Soewarna, M. 1981. Ramalan Jayabaya Versi Sabda Palon. Jakarta: P.T Yudha Gama.
- Stewart, K. & Harding, S. 1999. ‘Bad Endings: American Apocalypsis‘. Annual Review of Anthropology 28:285-310.
- Stewart, P.J. 2000. ‘Introduction: Latencies and realizations in millennial practices‘. Ethnohistory 47(1):3-27. [Special Issue on Millenarian Movements.]
- Timmer, J. 2000. ‘The return of the kingdom: Agama and the millennium among the Imyan of Irian Jaya, Indonesia’. . Ethnohistory 47(1):29-65.
Catatan:
Dr Thomas Reuteradalah peneliti di Queen Elizabeth II, University of Melbourne’s School pada program studi Antropologi, lingkungan dan geografi. Artikel yang memuat hasil penelitian beliau yang dipublikasi oleh Australian Journal of Anthropology dapat di baca di link ini.
Saya jadi teringat saat membaca buku Jangka Jayabaya
ehmmm benarkah ini, tapi aniwei saya orang Hindu Jawa, yang terlahir dari orang jawa yang beragama Hindu….
Indonesia jaman Hindu Budha sangat besar n sekelas Eropa masa kini, n slh satu kerajaan yg itakuti negeri China pd saat itu… sekarang.. miskin, kekalutan dmana2, negeri asing mjd bos di negeri kita.. aq kangen Indonesia pd jaman majapahit, sriwijaya, dll… kutunggu kdatanganmu wahai Sabdo palon yg kucintai n kuhormati.. sang Maharsi agung…
Kemakmuran ekonomi orang-orang Bali juga membuat penduduk setempat berpendapat bahwa budaya Hindu ternyata lebih banyak mendatangkan keberhasilan pariwisata internasional dibandingkan budaya Islam.
ini adalah sebuah kebenaran
mantap artikel ny bli ngarayana,,,menambah wawasan ttg hindu
saya jd ingat gusdur pernah bilang,,,gempa jogja dulu tu karena nyi roro kidul yg dipaksa suruh pake jilbab…(mungkin ada hubngn ny sm hindu jawa)
pantes gusdur tu toleran bgt
saya pribadi sangat respek dgn orang2 yg toleransi ny tinggi
http://www.wahidinstitute.org/
http://islamlib.com/id/
Great blog! I cannot remember too clearly but I think I found your blog through a link someone shared on Twitter. . I truly love the stuff I have read on your website and plan to keep reading when I get more time.
sapurasun, cepatlah berganti kaliyuga ke jaman keemasan, Rampes
menurut sabdapalon, hal ini adalah hal yang tidak bisa dicegah karena memang alam dan sang pencipta menginginkannya
tapi jangan sampai orang-orang hindu bali mengacaukan hal ini dengan memaksakan adat bali ke orang-orang jawa
saya setuju dengan toshya… dalam hindu diberikan kebebasan dalam bakti. hindu di india dan dibali aja beda.. yang penting jangan keluar dali Weda
dewa yakin dgn ramalan jayabaya,sapi pasti kembali ke kandangnya
islam yang berasal dari 4 tuhan
1 allah
2 latta atau allat putri allah
3 uza atau all uza putri allah
4 manat atau all manat putri allah
nabi muhamad meralat al quran dalam surat al najm ayat 19 s/d 23.
kabah adalah peninggalan penyembahan allah dan 3 putrinya
yang dipelihara nabi muhamad itu sebabnya tiang kabah 3.
berhala yang dipelihara oleh nabi muhamad ialah batu berbentuk vagina bernama hajar aswat ia adalah dewi umma isteri syiwa.
disamping itu ada maqam ibrahim (brahmin/brahma hindu arab)semacam tapak kaki peninggalan hindu yang sama dengan di jawa.
pakaian ihram haji adalah pakaian brahma hindu.
sesungguhnya islam itu adalah hindu yang nyeleneh.
kabah dijaga karena funksi kuil yang sangat menguntungkan kuncennya yakni kaum qurais.
yang mau nanya atau debat silahkan tel:021-87902688.alhabib umar bin hasan alhadad atau syarifah nur.
artikel yang menarik,,
apa yang terjadi terjadilah,.,
Kemarin saya mengikuti dharma santi di Lumajang-Jatim…….uh rame bgt, aq terenyuh…..Byk orang jawa yg berpakaian hitam2 yg mengadakan bhakty kpd Hyang widhi… Bangkitlah Hindu Jawa….Biarpun Orang india tidak pernah masuk ke Indonesia/Jawa, Saya sangat yakin bahwa kebudayaan Jawa sdh bernafaskan Veda…. Jd Veda ya…….tidak bisa diketahui secara Scientifik dengan jelas, Karena Veda sdh menyebar ke semua alam secara gaib.
Saya tidak bermaksud mengecilkan peran orang Bali dalam mempertahankan agama Hindu dari gerusan agama lain selama beberapa abad dalam bentuk adat, tradisi maupun kesenian. Hanya saja untuk menampik kesan bahwa “Hindu adalah Bali” maka pernyataan Toshiya di atas adalah benar adanya. Berikan ruang yang lebih leluasa kepada saudara2 Hindu baik di jawa maupun daerah lain untuk melaksanakan tradisinya masing2 dalam menerapkan ajaran Weda. Jangan paksa mereka untuk “ngodalin” ala Bali walaupun sarana upacaranya dibawa dari Bali secara gratis, dan berikan kesempatan untuk tampil dalam forum maupun organisasi Hindu. Daripada mengirim bertruk-truk sarana upacara ke Jawa, lebih baik berikan mereka buku Bhagavad Gita maupun bacaan lainnya untuk menambah pengetahuan siritual mereka.
Untuk saudara Ngarayana, saya bukan orang dengan ilmu spiritual tinggi namun berniat untuk sekedar memberikan sumbangsih sekemampuan saya, mungkin dalam bentuk sedikit uang/materi yang saya yakin bisa saudara Ngarayana salurkan untuk kemajuan Dharma. Saya bisa dihubungi di email yang saya masukkan di kolom email. Terimakasih.
@ Riadi
Salam kenal mas Riadi. Saya sangat setuju dengan pendapat anda. Karena itulah selama kuliah di Jogja, saya selalu ke pura menggunakan pakaian adat jawa. Bali memang mayoritas Hindu, tetapi Hindu bukan hanya Bali.
Mari sama-sama bersumbangsih sesuai dengan kemampuan kita. Tentu yang kita bela bukanlah Tuhan atau Dharma atau Veda, karena Tuhan sudah terlalu Maha Kuasa untuk kita bela, tidak juga kita membela Dharma dan Veda karena Dharma sudah dipelihara oleh Tuhan sendiri, namun mari bantu saudara-saudara kita untuk semakin mengerti akan Dharma dengan saling sharing dan sama-sama belajar dan semoga kita tidak menyimpang dari jalan Dharma. Dan mari bantu juga saudara-saudara kita yang masih banyak mendapat tekanan fisik dan psikis karena KTP mereka Hindu. Tentunya bukan dengan kekerasan, tetapi dengan intelektual dan perhatian kepada mereka.
Saya sendiri jujur sampai saat ini belum bisa melakukan sumbangsih yang berarti, namun saya akan berusaha dan mari lakukan bersama-sama dan saya siap membantu semampu saya.
Salam,-
saya setuju sekali dengan saudara Riadi, Hindu bali memiliki sejarah yang membentuk karakteristiknya tersendiri, begitu pula hindu jawa dan hindu2 lainnya diseluruh dunia, mari kita hargai itu sebagai suatu keagungan dalam keanekaragaman yang dipersatukan oleh Weda.
Sumph Sabdapalon dh pasti, tdk ada yg bs mncgah krna itu adalh khndak Tuhan
hong wilaheng mangawigenam astu monosidham
atur bhakti kagem panguasane bawono
ugi rahayu nusuantoro deneng grembakanane weda eng sanubari ne poro titah sedoyo
salam kenal buat saudara sekalian yang masih berjuang membangun dan menggali spiritual weda (hindhu)
saya dari lampung ,perlu saudara ketahui populasi hindu jawa lampung juga mulai bagki di seluruh kabupaten lampung ,pura 2 udah mulai berdiri dengan megah , mohon doa dan dukungan saudara sekalian .
terutama daerah saya semua hindu jawa timur sekitar 22 kk
kami banyak kesulitan untuk media penerangan ,terutama bahan pengetahuan hindu jawa ,mohon jika jika poro sedulur punya buku 2, kitab ,buku kitab ramalan , kira nya ikhlas membantu saya untuk berjuang mendorong kemajuan didesa saya ( pura kerti buono ,desa patok 100,
sidolaras,sidoharjo,kec.way panji. lampung selatan lampung , pemangku bapak boge)jumlah kami kurang lebih 22 kk ,
atau mail saya ” utsukushi_hinode@yahoo.com”
mohon kemurahan dari umat sedarma untuk kemajuan hindu nusantara
shanti rahayuu??
mohon maaf pula saya pengen kenal juga sama yang punya blog ini
apakah saudara ngarayana ???
salam dan bhakti saya dari lampung mas ???
@ utsukushi
Om Swastiastu
Salam kenal mas utsukushi. Senang sekali dengar cerita anda dari lampung. Saya sering jalan-jalan ke Lampung seorang diri naik motor dari Jakarta. Say pernah lewat way halim, saputi raman, darma yoga, sidorejo, way kambas dsb. Wah kapan-kapan saya bisa berkunjung ke sana ya..
Salam,-
om swasti astu
waduh mas ngarayana temapat malah lebih deket kalo dari jakarta. dari kota kabupaten kalianda sekitar 12 km , setelah kota kalianda labas dikit kira-kira 5 km ada simpang lubuk kamal , dari simpang itu ada kira2 7km masuk , ada desa patok 100 , distu kami tinggal mas
dengan senang hati akn kami tunggu mas ????
oh ya mas punya ym ga biar lebih dekat komunikasinya .
kalo berkenan ini ym saya ( utsukushi_hinode)
tolng di add ya mas
hormat selalu dari kami hindu jawa lampung
dear all
sudah saatnya kita menunjukkan jati diri…..
mas utsukushi… neng lampung timur kec. marga tiga okeh sing jowo hindu. dolan mrene mas…
artikel yang menarik!!
suksma!!!
http://www.apakabar.ws/content/view/2825/88888889/
artikel yang sangat menarik massss…
Saya sangat setuju pendapat Sdr.Toshya dan Mas Riadi
Secara budaya dan ritual hindu tidak harus sama, seperti di bali, Ajegnya Hindu di bali saat ini memang sudah sesuai dengan alam dan budaya Bali, demikian juga di india sebagai sumbernya Hindu, tidak mungkin budaya india dipaksakan di Bali. Demikian juga Hindu jawa, Kaharingan, Karo dan lain-lain biarkan berkembang sesuai dengan Budaya dan tata cara adat setempat. Jadi Hindu adalah agama Universal, secara budaya boleh beda, tapi secara filsafat atau tatwa harus mencerminkan Filsafat Veda.
OSA
saya sependapat dengan teman diatas,apabila kita ingin Hindu di jawa tumbuh dengan subur, biarlah saudara kita memakai “cara” jawa. Kalau pura di jawa disamakan dgn bali,artinya kita menghilangkan budaya asli jawa. Jangan sampai saudara kita yang mau menyatakan dirinya hindu menjadi ragu-ragu,karena mereka menganggap pura itu hanya untuk orang bali.
Dimana bumi di pijak,di sana langit di junjung
saya sangat setuju dengan yg namanya Desa Kala Patra….
tiap daerah punya cara sendiri untuk melakukan persembahyangan..
semoga kita bisa selalu dilindungi oleh Hyang widhi Wasa
Itulah Hindu…Diamanpun Hindu berada, Hindu akan selalu jiwa dari tradisi setempat…Hidu tidak pernah mengekang umatnya dengan ajaran2 yg bersifat DOGMATIS…karena Hindu itu bersifat Universal. Salam kenal buat semua
KEMBALI MENJADI HINDU JAWA
Ir. R. Yogihardjo
A. PENDAHULUAN.
Kata “Jawa” untuk membatasi lingkup wilayah sesuai dengan ruang & waktu. Sehingga dalam hal ini tidak menyoroti Hindu Bali, karena yang diupayakan dengan tulisan ini adalah menyadarkan umat dari agama lain untuk kembali ke Hindu Jawa. Jadi yang sudah Hindu tidak perlu merasa terusik oleh gagasan ini, meskipun baik juga menjadi bahan renungan. Ada pemahaman yang mutlak benar sepanjang masa, ada pemahaman yang benar hanya untuk ruang & waktu tertentu. Maka dari itu pasti beda Hindu Jawa dengan Hindu Bali, termasuk dengan yang ada di India. Bahkan di India sendiri terdapat puluhan Sekte. Guruji S.A. Bhandarkar ketika ditanya apakah Hindu perlu diseragamkan, dengan tegas menjawab “ Tidak perlu, anda tidak perlu seperti saya, silahkan tampil seperti apa adanya”. Justru inilah kelebihan Hindu dibanding dengan agama lain yang mengetrapkan syariat yang kaku tanpa memperhatikan ruang & waktu, padahal ruang & waktu (jaman) adalah ciptaan Tuhan yang perlu diikuti (kata Swami Vivekananda). Jadi tidak perlu menyoroti Hindu yang ada di Bali, karena Bali sudah mayoritas Hindu apapun bentuknya & dibanding dengan propinsi lain sudah lebih maju dalam bidang agama, ekonomi, social, budaya & spiritual, bahkan bisa menjadi contoh sebagai propinsi yang konsisten menampilkan jatidirinya.
B. KEMBALI MENJADI HINDU.
1. Jatidiri bangsa.
Dr. Filino Harahap, dalam kuliah Studium Generale ITB th 74, mengungkapkan dokumen diperpustakaan Negara Washington yang disusun oleh 10 Doktor terkemuka didunia, menyimpulkan bahwa Indonesia akan menjadi Negara adidaya apabila kembali pada jatidirinya. Jatidiri mencakup Kebudayaan, Adat istiadat, Kemandirian, Spiritualisme, dll nilai luhur dalam praktek kehidupan sehari hari.
Kebenaran pernyataan para ahli tsb terbukti oleh fakta bahwa Negara maju, selalu tampil dengan jatidirinya. Seperti Cina, Jepang, Thailand, Saudi Arabia & Inggris. Mereka tetap mempertahankan kebudayaannya, diforum internasional tetap tampil dengan busana nasionalnya, produk exportnya dikemas dengan bahasa & huruf nasionalnya, dll kepribadian yang melekat dalam kehidupan sehari hariannya.
Dalam pada itu banyak para ahli yang memprediksi kejayaan Indonesia dimasa mendatang, salah satunya adalah Goldman Sach mengatakan tahun 2050 Indonesia menjadi Negara maju no 7 didunia setelah China, USA, Hindia, Brasil, Mexico & Rusia. Prediksi ini sepertinya cocok dengan yang dikatakan (disabdakan) Sang Prabu Jayabaya bahwa di tahun 2000 Saka (2078 M) Nusantara menjadi Negara Adidaya. Berarti dari tahun 2050 s/d 2078 tahap demi tahap peringkat Indonesia meningkat dari no 7 menjadi no 1. Namun atas dasar pendapat para ahli tsb diatas, mustahil apabila mayoritas bangsa ini masih beragama Islam, yang faktanya menggusur budaya & nilai nilai luhur bangsa, dapat mengantarkan kemajuan bangsa. Oleh karena itu bangsa ini harus kembali ke Hindu, sebagai satu satunya agama yang dapat memelihara & mengembangkan budaya bangsa, untuk menjadi Negara Adidaya.
2. Potret bangsa masa kini.
Rendahnya martabat bangsa karena telah kehilangan jatidiri. Pandangan hidup & kehidupan sehari hari telah dipengaruhi asing. Dapat dikiaskan sebagai Mr Ali Babah. Mr sebagai simbol pengaruh Barat, Ali sebagai tanda budaya Arab & Babah sebagai bukti kebanjiran produk Cina. Jadi kehidupan sehari hari diwarnai kebarat baratan, kearab araban & kebabah babahan. Demokrasi menggusur Gotong royong, syariat Islam menggusur Adat istiadat & import hasil bumi menggusur Lapangan kerja ratusan juta petani. Jadilah kita bangsa antek Barat, budak Arab & suapan Cina. Namun tidak disadari oleh para pemimpin bangsa, bahkan menjadi kebanggaan.
Yang dibanggakan kerjasama untuk mengatasi issue internasional dengan Negara Barat, faktanya SDA dikuasai mereka.
Yang dibanggakan TKW sebagai pahlawan devisa bagi Negara, faktanya sebagai budak Arab yang menurut Al Qur’an boleh digauli.
Yang dibanggakan telah mencapai ketahanan pangan, faktanya dibanjiri hasil bumi produk Cina.
Yang menyedihkan sekali, rakyat menerima kebanggaan semu tadi sebagai keberhasilan.
Inilah serangkaian kebodohan kehidupan berbangsa, yang menurut ajaran Hindu menduduki tingkat yang paling rendah, oleh karena itu pembodohan terstruktur tadi harus dicegah.
Jelas sudah bahwa untuk menjadi bangsa yang besar harus kembali pada jatidiri bangsa & Hindu adalah satu satunya agama yang dapat mengembalikan bangsa pada jatidirinya yang sejati.
3. Kejayaan bangsa dijaman Hindu.
Diabad ke 7, ketika dunia Arab masih mengalami zaman Jahiliyah dimana perempuan hanya sebagai komoditas sex, di Jawa sudah berdiri kerajaan besar yang dipimpin seorang perempuan, yang bernama Kanjeng Ratu Shima (Sahana). Ini sebagai bukti bahwa nilai peradaban kita sudah jauh lebih tinggi dengan menjunjung seorang perempuan menjadi raja & panutan.
Diabad ke 9, ketika dunia barat belum mampu membangun monument raksasa, kita sudah membuat candi Borobudur sebagai keajaiban dunia & lagi pula dibangun oleh seorang perempuan bernama ratu Pramodhawardani. Sementara itu, sang suami yang bernama Prabu Rakai Pikatan membangun candi Prambanan sebagai candi Hindu terindah didunia.
Diabad ke 13, ketika Ku Bilai Khan, raja diraja yang menguasai sepertiga dunia, mengirim utusan ke kerajaan Kediri agar tunduk dibawah Mongol, Raja Kertanegara justru menantang perang dengan memotong sendiri hidung & telinga utusan tadi serta disuruhnya pulang. Pasukan Mongol yang kemudian datang dihancurkan oleh menantu Kertanegara yaitu R. Wijaya.
Diabad 14, Majapahit dimasa raja Hayam Wuruk bersama patih (perdana menteri) Gajah Mada, berhasil menyatukan wilayah Nusantara bahkan hampir seluruh Asia Tenggara.
Sejak dahulu kala disepanjang abad; Mataram, Kahuripan, Sriwijaya, Kediri, Singosari & Majapahit telah mengexport hasil bumi & tambang kenegeri negeri Asia.
Itulah kejayaan bangsa dijaman Hindu yang menampilkan jatidiri dengan ciri ciri percaya diri, mandiri, berani, tegas & berpegang teguh pada kebudayaan sendiri.
Dari rangkaian sejarah diatas, dengan menggunakan penalaran/intelektual (sebagaimana Hindu mendorong penggunaan nalar, bukan membatasi/melarang), dapat diambil kesimpulan :
a. Sebagai bangsa yang mayoritas Hindu pernah mengalami kejayaan, yang berarti mendapat berkah Sang Hyang Widi, sudah selayaknya kembali kepada Hindu.
b. Sebagai bangsa Hindu selama 15 abad, yang telah berperan besar dalam membentuk Jatidiri bangsa, mutlak perlu kembali ke Hindu (agar kembali pula Jatidirinya), apabila ingin kembali menjadi Negara Adidaya.
C. ANALISA
. 1. Budaya Jawa Kuno.
Antropologi menemukan kerangka manusia kuno dilembah Bengawan Solo yang berusia ratusan ribu th yl & termasuk kerangka tertua didunia, dinamakan Homosapiens Soloensis, sebagai nenek moyang manusia Jawa.
Nabi Adam, yang oleh kaum agama Semawi dianggap manusia pertama didunia apabila ditelusuri hingga sekarang menurunkan tiga ratusan generasi, berarti baru hidup sekitar 12000 th yl.
Teori diatas diperkuat oleh Stephen Oppenheimer, peneliti dari Oxford, didalam bukunya “Eden in the East” (Okt 2010) yang menyebutkan bahwa asal mula peradaban berasal dari Indonesia yang dahulu disebut sebagai Sundaland. Ketika es mencair sepuluh ribuan tahun yl permukaan air laut naik hingga 150 meteran yang menenggelamkan Sundaland menjadi 70 ribuan pulau seperti sekarang ini. Penduduk menyebar ke Hindia, Mesopotamia, kepulauan Pasifik, Cina, Jepang & Amerika.
Johannda Nichols, ahli rekonstruksi linguistic menyebutkan Asia Tenggara, termasuk Indonesia, sebagai pusat penyebaran bahasa bahasa dunia, setelah akhir jaman es.
Masih banyak lagi peneliti peneliti dunia yang memperkuat teori teori diatas, seperti Arysio Nunes Dos Santos, Anthony Reid, Peter Belwood & Alexander Adelaar.
Kesimpulannya adalah manusia Indonesia & peradabannya sebenarnya jauh lebih maju dari bangsa bangsa lain didunia.
Peradaban itu dibangun oleh Kepercayaan yang dianut, termasuk peradaban Jawa, yang pasti sudah dimulai ribuan tahun sebelum Hindu datang. Ternyata diluar suku Jawa, banyak sekali kepercayaan yang sudah mengakar menjadi budaya daerah, seperti yang ada di Jawa Barat, Kalimantan, Sumatra Utara dan Sulawesi Selatan. Ketika Hindu masuk ke daerah daerah tsb, terjadilah perkawinan antara kepercayaan lokal dengan agama Hindu, yang kemudian menjadi Hindu Jawa, Hindu Sunda (Sunda Kawitan), Hindu Bali, Hindu Kalimantan (Kaharingan), Hindu Batak, Hindu Bugis (Toraja), dstnya yang pada gilirannya mengakar membentuk Budaya masing masing Daerah, yang kemudian dideklarasikan oleh Mpu Tantular (th 1365) sebagai : “Bhinneka Tunggal Ika”.
Jadi ketika Hindu datang ke Jawa, bukan masuk keruang hampa, tetapi ruang yang sudah sarat dengan nilai nilai berkeTuhanan. Faham “Manunggaling Kawula Gusti” sebagai contoh filsafat Jawa kuno yang ternyata memiliki makna yang sama dengan dasar ajaran Hindu.
2. Penggusuran Jatidiri.
Pengaruh Barat & Arab, yang menjadikan kebarat baratan dan kearab araban, adalah penyebab utama tergerusnya Jatidiri bangsa. Semua ajaran agama yang asli seperti yang diwahyukan Tuhan pasti benar, tetapi yang disebarkan oleh para pengikutnya, telah terkontiminasi oleh kepentingan politik, ekonomi dan budaya yang dianut oleh ybs.
Al’Quran dibukukan dan dibakukan pada zaman Khalifah Usman, belasan tahun setelah nabi wafat. Waktu itu diinstruksikan kepada seluruh komponen bangsa untuk mengumpulkan ayat ayat agar disusun menjadi kitab. Tersusunlah 7 versi kitab. Oleh Usman ditetapkanlah salah satu versi yang disusun oleh pemerintah sebagai Al’Quran yang hingga sekarang tak berubah. Timbul dugaan :
a. Adanya 7 versi yang disusun setelah nabi wafat, pasti masing masing tidak seluruhnya benar dan tidak lengkap.
b. Al’Quran yang terpilih, pasal demi pasal tidak tersusun berdasar waktu yang berurutan sehingga bila ada wahyu & peristiwa yang terlewat, tidak ketahuan.
c. Materi berdasar informasi dari ratusan pengikut nabi, sehingga bisa terjadi terkontiminasi oleh kepentingan pribadi dan golongan.
Contoh beberapa ayat yang kontroversial, a.l.:
1). Al Mu’minuun ayat 5 & 6 : Orang orang yang menjaga kehormatannya, kecuali terhadap isteri isteri mereka atau budak budaknya, maka sesungguhnya mereka tiadalah tercela.
An Nisaa ayat 24 : Diharamkan perempuan perempuan yang bersuami, kecuali budak budak yang menjadi milikmu.
Jelas ayat ini tidak sesuai dengan budaya Jawa dan merendahkan martabat perempuan Jawa. Tidak heran bila TKW digauli majikan Arab karena sudah dibeli layaknya budak.
2). Al Baqarah ayat 120 : Orang orang Yahudi & Nasrani tidak senang kepadamu sampai engkau mengikuti agama mereka ……
Betulkah Tuhan menyampaikan pengabaran ini? Pernyataan ini terlalu rendah untuk diwahyukan Tuhan. Ini memberi kesan bahwa Tuhan hanya berpihak pada umat Islam, sedang kenyataannya umat Nasrani jumlahnya hampir 2 X umat Islam. Kepribadian bangsa Indonesia, yang terbukti dalam sejarah, dapat menerima masuknya semua agama & dapat hidup rukun bersama dengan semua umat beragama, jelas tidak cocok dengan pernyataan diatas.
Dan seterusnya, masih banyak sekali yang kontroversial dan tak sesuai dengan budaya bangsa Indonesia.
Sering terdengar didalam dakwah dan terbaca didalam buku buku Islam, pernyataan bahwa “agama yang benar adalah hanya Islam dan semua nabi sejak Adam beragama Islam. Oleh karena itu hanya umat Islam yang masuk surga, yang bukan Islam adalah kafir karena Tuhan mereka bukan Allah dan masuk neraka”.
Bila pernyataan itu benar betapa salahnya Tuhan menciptakan umat manusia ini. Penduduk dunia sebanyak 7 M, yang beragama Islam 1,5 M berarti yang bukan Islam 5,5 M. Jadi Tuhan telah salah menciptakan 5,5 M (80%) umatNya yang dianggap kafir itu dan calon penghuni neraka?
Sadar tak sadar telah terjadi pembodohan umat melalui dogma yang dipercayai benar padahal tidak melalui akal sehat. Pembodohan yang terus menerus semacam ini pada gilirannya betul betul menjadi bangsa yang bodoh seperti telah terjadi sekarang ini. Sangat ironis banyak orang Jawa pintar menulis huruf Arab tetapi tidak mengenal huruf Jawa peninggalan leluhur. Lebih bodoh lagi masyarakat percaya pada Pemerintah yang menyuarakan bahwa perekonomian maju, export meningkat, kemiskinan menurun & swasembada beras. Padahal ternyata kondisi dilapangan sebaliknya.
Lagi lagi suatu praktek pembodohan untuk menjadi bangsa yang benar benar bodoh. Jelas bertentangan dengan ajaran Hindu yang mengutamakan dialog yang cerdas & bermuatan spiritual, seperti didalam Bhagavad Gita & Sri Yoga Vasishtha (karya Resi Walmiki); tiada lain agar umat terhindar dari kebodohan. Ajaran Hindu mengatakan bahwa orang orang bodoh pada akhirnya menjadi penghuni neraka.
Pembodohan sistemik seperti diuraikan diatas yang meliputi segala bidang (agama, budaya, ekonomi, politik, social & budaya), menjadikan bangsa ini sudah betul betul kehilangan Jatidiri. Oleh karena itu Jatidiri harus segera diketemukan kembali dengan satu satunya jalan kembali kepada Hindu.
3. Kembali menjadi Hindu Jawa.
Kembali menjadi Hindu, mengandung maksud mengajak & menyadarkan umat yang beragama lain untuk kembali beragama Hindu. Jadi tidak ditujukan kepada yang sudah Hindu yang ada di Bali, Jawa & pulau lain. Tetapi ditujukan kepada masyarakat yang beragama Islam KTP yang berjumlah puluhan juta penduduk. Mereka terdiri dari 2 golongan.
Golongan I : Penganut Islam sekedar untuk tidak disebut atheis.
Golongan II : Penganut Aliran Kepercayaan.
Kedua golongan ini pada umumnya memiliki keyakinan bahwa Tuhan ada didalam lubuk hati nuraninya & bercita cita untuk bertunggal dengan Tuhan (manunggaling kawula Gusti). Ini adalah prinsip Hindu yang tidak sama dengan Islam dimana pemahamannya adalah bahwa Tuhan Allah bersinggasana jauh di atas langit sap 7, tidak didalam hati setiap umatNya. Apabila meninggal diharapkan berada disisiNya, bukan manunggal seperti yang dicita citakan kebanyakan orang Jawa.
Untuk ini diperlukan langkah langkah, al :
a. Menyusun buku tuntunan Hindu Jawa.
b. Membuka website pokok pokok ajaran Hindu Jawa.
c. Koordinasi dengan komunitas Jawa yang sudah beragama Hindu.
d. Menyiapkan sarana & prasarana untuk penyebaran ajaran Hindu Jawa.
e. Menggelorakan gerakan kembali menjadi Hindu Jawa sebagai satu satunya langkah untuk mengantar Nusantara menjadi Negara Adidaya & pusat kebudayaan dunia.
Tentu saja nilai nilai dasar Hindu tetap menjadi keyakinan didalam ajaran Hindu Jawa, seperti :
• Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Tunggal, yang meliputi semesta alam & seisinya, yang bersinggasana didalam setiap kehidupan & tempat bertunggalnya kembali setiap jiwa (moksha / manunggaling kawula Gusti).
• Berlakunya hukum Karma (ngunduh wohing panggawe), sebagai perwujudan dari keadilan Tuhan Yang Maha Adil. Hukum Karma berlaku terus meskipun seseorang telah meninggal dunia yang kemudian mengalami reinkarnasi (tumimbal lahir).
Mengapa perlu label “Jawa” dibelakang kata “Hindu”? Jawabnya terangkum dibawah ini.
Jawa s/d abad 16 mayoritas beragama Hindu, ketika Islam datang berangsur angsur pindah agama. Dakwah yang disampaikan untuk menggusur Hindu, yang hingga sekarang menjadi penilaian umum adalah : Hindu bertuhan banyak & menyembah para dewa (berhala). Salah satu contoh didalam Ensiklopedi Indonesia ditulis : “Agama Hindu di Jawa terutama merupakan pemujaan Syiwa (Batara Guru & Surya), walaupun disampingnya juga terdapat penyembahan Wisynu”.
Satu penilaian ini saja sudah cukup membuat orang tidak akan kembali ke Hindu. Maka dari itu harus menyikapi secara bijaksana, sebagai kenyataan berada ditengah tengah mayoritas Islam, dengan menentukan pilihan yang disodorkan didalam Bhagavad Gita (7.23) :Orang yang menyembah para dewa akan menuju planet planet para dewa, tetapi para penyembahKu akhirnya mencapai tempat tinggalKu yang tertinggi.
Ditegaskan lagi oleh Resi Walmiki (th 150) didalam karyanya Sri Yoga Vasishtha :
Jiwa jiwa yang memuja hantu & iblis akan mencapai alam mahluk halus. Jiwa jiwa yang memuja para dewa akan mencapai alam dewa loka. Jiwa jiwa yang memuja Brahm (Sang Hyang Widhi) akan mencapai alam sejati (keba-hagiaan abadi yang tak tergantung duniawi).
Yang memuja gambaran (arca, lukisan, figure, dsb) akan menjalani kelahiran yang berulang ulang. Tuhan tidak boleh dipuja secara pemujaan kepada arca arca. Tuhan harus dipuja melalui pikiran, amalan & iman yang teguh.
Seseorang yang bersandar kepada keluarga, teman, harta benda, dewa dewi & makhluk makhluk suci, tidak akan mencapai Sang Atman (Tuhan yang hadir didalam setiap jiwa).
Jelas sekali bahwa Hindu Jawa harus memilih langsung menyembah Sang Hyang Widhi, sebagai Tuhan yang tidak berbentuk (konsep Nirguna Brahman). Sekali lagi untuk menghindari provokasi dari agama lain bahwa Hindu menyembah para Dewa.
Dalam hal ini Hindu Jawa sama sekali tidak mempersoalkan Dewa dewa sebagai personifikasi, penggambaran atau simbolisasi Tuhan, seperti Dewa Brahma sebagai Tuhan Sang Pencipta, Dewa Wisnu sebagai Tuhan Sang Pemelihara & Dewa Siwa sebagai Tuhan Sang Pemrelina. Apabila Hindu Bali menempuh dharma ini tidak perlu dipermasalahkan.
Juga tidak mempersoalkan cara penyembahan secara bertahap sesuai dengan tingkat spiritual masing masing umat Hindu, seperti : Awalnya memuja Arca Dewa untuk membantu konsentrasi kepada Tuhan, kemudian memuja Dewa sebagai simbolisasi Tuhan dan akhirnya memuja langsung Sang Hyang Widhi.
Menyalin pandangan Swami Vivekananda dalam buku “Hindu agama universal” tentang hal ini : Gambar, symbol & gantungan untuk menyandarkan gagasan spiritual, tidak harus diberikan kepada semua orang, tetapi kepada mereka yang memerlukannya. Namun mereka yang tidak memerlukannya, tidak punya hak untuk mengatakan bahwa hal itu salah.
Hindu Jawa termasuk yang tidak memerlukan patung & dewa, untuk menghindari provokasi dari agama lain yang telah “menguasai” masyarakat Jawa. Oleh karena itu memilih seperti yang dikatakan Swami Vivekananda : Agama sebagai ilmu harus didekati dengan pemikiran rasional (akal sehat) dan pengolahan jiwa.
Dalam kaitan ini, Ngakan Made Madrasuta didalam buku “Petunjuk untuk yang ragu”, mengatakan bahwa Hindu telah menyediakan jalan hidup melalui prinsip samaya dharma yaitu nilai nilai etika yang perlu ditempuh seseorang untuk menyesuaikan hidupnya agar selaras dengan masyarakat sekitarnya, seperti :
a. Ahimsa (non kekerasan).
b. Satya (berkata benar & memenuhi perkataannya).
c. Asteya (tidak mencuri & korupsi).
d. Daya (kasih sayang sesama hidup).
e. Titiksa (sabar).
f. Vinaya (rendah hati).
g. Indriyanigraha (pengendalian indriya).
h. Santi (menjaga pikiran damai).
i. Bhakti (pemujaan kepada Tuhan).
Sembilan butir ini yang perlu digarap melalui pengolahan hati dan pikiran untuk mencapai tujuan utama yaitu Moksha (manunggaling Kawula Gusti = bersatunya Atman dengan Brahman). Dengan demikian Hindu Jawa memilih Jnana Yoga yaitu mewujudkan Tuhan didalam kesadaran batinnya dan meningkatkan kemampuan untuk membedakan yang nyata dengan yang maya, yang abadi dengan yang berubah ubah, yang benar dengan yang salah (sudah berwatak wiweka)
Perjalanan hidup untuk menuju Moksha, digambarkan didalam Bhagavad Gita (6.34) sebagai perjalanan kereta berkuda dimana Sang Atman ibarat penumpang, badan ibarat kereta, kecerdasan sebagai kusir, pikiran sebagai tali kendali dan pancaindera sebagai kelima kuda. Spiritualis Jawa pak Merto, dalam bukunya “Bisikaning Suksma”, memerinci kereta berkuda sedikit berbeda yaitu pikiran sebagai kusir & 4 nafsu (Satwam, Rajas, Asmara & Tamas) sebagai 4 kuda. Jadi jelas sekali, apakah perjalanan mencapai tujuan atau tidak tergantung dari pada kemampuan kusir. Apabila kusir patuh dan selalu mendengarkan petunjuk dari Sang Atman (mendengarkan suara hati nurani) maka dengan mengendalikan nafsu akan sampai pada tujuan yaitu Moksha. Tetapi apabila kusir tidak patuh pada penumpang artinya tidak mendengarkan suara hati nurani, tetapi menuruti saja apa kemauan kuda kuda (nafsu nafsu) yang cenderung liar tak terkendali (menuju kepada pemuasan nafsu), maka tidak akan sampai pada tujuan utama melainkan sampai pada segala macam kerusakan.
Maka dari itu pentingnya kecerdasan & menghindari kebodohan (sebagaimana berkali kali diingatkan diatas), karena kebodohan (yang selalu kalah oleh pancaindera & nafsu nafsu) tidak akan mencapai Moksha.
D. RANGKUMAN.
1. Kembali menjadi Hindu adalah mutlak perlu bagi bangsa Indonesia apabila ingin menjadi Negara Adidaya kedepan, karena hanya Hindu satu satunya agama yang dapat memelihara & mengembangkan Jatidiri bangsa sebagai modal dasar untuk menjadi Negara maju.
2. Disisi lain potret bangsa Indonesia dimasa kini sudah kehilangan Jatidirinya yang dibidang agama ditandai dengan mayoritas Islam yang faktanya mengetrapkan budaya Arab yang menggusur budaya bangsa yang adiluhung.
3. Oleh karena itu langkah awal yang perlu ditempuh adalah menjadikan Jawa kembali Hindu dengan penyebaran ajaran yang bebas dari provokasi bahwa Hindu menyembah para Dewa.
4. Dengan tetap berpegang pada ajaran dasar Hindu tentang Tuhan yang meliputi semesta alam & tempat bertunggalnya kembali setiap jiwa (Moksha) serta berlakunya hukum Karma yang berlanjut hingga reinkarnasi, Hindu Jawa memilih ajaran yang mengutamakan pengolahan hati dan pikiran berdasarkan keTuhanan Yang Maha Tunggal. Jadi tidak mempersonifikasikan Tuhan dengan apapun & tidak melalui penyembahan kepada para dewa.
5. Inilah gagasan bagaimana menjadi Hindu (Jawa) yang sebenarnya & masa depan Hindu sebagai pemeluk agama mayoritas didalam Negara Adidaya Indonesia yang tidak ada lagi praktek pembodohan sistemik baik oleh ajaran agama sendiri maupun oleh pemerintah.
wow… penjelasan yg super dr pak Yogi… sesuai dg namanya… smoga kita umat sedharma diberi umur panjang utk dapat menyaksikan kejayaan Hindu nusantara… astungkara Hyang Widhi…