Setiap orang hendaklah melakukan tugas pekerjaannya (yang telah ditentukan dalam lembaga varna-asrama). Sebab, bekerja lebih baik dari pada tidak bekerja dan orang tidak mungkin memelihara jasmaninya tanpa bekerja (Bhagavad Gita 3.8, sarira yatrapi ca te na prasidhyed akarmanah).
Setiap kerja pasti ada cacatnya, seperti halnya api pasti ada asapnya. Karena itu, seseorang hendaklah tidak meninggalkan tugas pekerjaannya yang sesuai dengan watak pribadinya, meskipun pekerjaan itu ada cacatnya (Bhagavad Gita 18.48, sa ha jam karma sa dosam api no tyajet sarvarambha hi dosena dhumenagnir iva vrtah).
Cacat pada setiap pekerjaan dapat ditunjukkan sebagai berikut.
- Pekerjaan orang brahmana kadangkala melibatkan pembunuhan.
- Pekerjaan orang ksatriya pasti mencakup tindak kekerasan membunuh musuh dan penjahat.
- Pekerjaan orang vaisya pasti mengandung ucapan bohong agar bisa memperoleh untung. Dan
- Pekerjaan orang sudra mengharuskan dirinya kotor menggali sumur, mengobati orang sakit, dsb.
Bila pekerjaan dilakukan sesuai dengan tugas-kewajiban (dalam lembaga varna-asrama) tanpa memikirkan kesenangan atau kesusahan, untung atau rugi, kegagalan atau keberhasilan, tidak menimbulkan reaksi dosa bagi si pelaku (Bhagavad Gita 2.38, sukha duhkha sama krtva labhalabhau jayajayau …. nai vam papam avapsyasi).
KEBERHASILAN KERJA BUKAN DITENTUKAN OLEH SI PELAKU
Setiap orang punya tugas-pekerjaan yang wajib dilaksanakan, tetapi dia tidak berhak menuntut hasilnya. Seseorang hendaklah tidak pernah berpikir bahwa dirinyalah yang menjadi penyebab adanya hasil (phala) dari kerja (karma) yang dilakukan (Bhagavad Gita 2.47, karmany eva dhikaras te ma phalesu kadacana ma karma phala hetuh).
Orang yang berpikir bahwa dirinya adalah satu-satunya penentu keberhasilan kerjanya, adalah orang bodoh (Bhagavad Gita 18.16, tatrainam sati kartaram atmanam kevalam tu yah pasyaty akrta … na sa pasayty durmatih).
LIMA FAKTOR PENENTU KEBERHASILAN KERJA
Ada 5 (lima) faktor yang menentukan keberhasilan kerja (Bhagavad Gita 18.18) yaitu:
- Adhisthanam, tempat dimana kerja itu dilakukan.
- Karta, sang pelaku atau pelaksana kerja.
- Karanam, indriya-indriya jasmani si pelaku.
- Cestah, ikhtiar atau usaha, dan
- Paramatma, Tuhan yang bersemayan didalam hati sang pelaku kerja.
TIGA FAKTOR YANG MEMICU TIMBULNYA KERJA
Ada 3 (tiga) faktor yang memicu timbulnya kerja/kegiatan (Bhagavad Gita 18.18) yaitu:
- Jnanam, pengetahuan.
- Jneyam, obyek/tujuan pengetahuan, dan
- Parijnata, sang makhluk hidup (jiva).
TIGA BASIS KEGIATAN KERJA
Ada 3 (tiga) basis kegiatan kerja (Bhagavad Gita 18.18) yaitu:
- Karanam, indriya-indriya jasmani.
- Karma, pekerjaan itu sendiri, dan
- Karta, si Pelaku kerja.
KEGIATAN TIMBUL DARI INTERAKSI TRI GUNA DALAM BADAN JASMANI
Setiap orang tak berdaya dipaksa berbuat atau bekerja oleh dorongan sifat-sifat alam material (Tri-Guna yaitu sattvam, rajas dan tamas) yang menyelimuti badan jasmaninya. Maka tidak ada orang yang tahan untuk tidak bekerja meskipun hanya sebentar saja (Bhagavad Gita 3.5, … karyate hy avasah karma sarva prakrti jair gunaih).
KERJA DALAM HUBUNGANNYA DENGAN TRI GUNA (BHAGAVAD GITA 18.23)
Kerja (karma) dalam sifat sattvam (kebaikan) dilakukan sesuai dengan tugas-kewajiban, tanpa kemelekatan pada hasil (phala),tanpa rasa suka ataupun tidak suka dan tanpa rasa pamerih.
Kerja (karma) dalam sifat rajas (kenafsuan) dilakukan dengan ikhtiar keras berdasarkan rasa pamerih dan dilandasi ke-akuan palsu.
Kerja (karma) dalam sifat tamas (kegelapan/kebodohan) dilakukan dalam ketidaktahuan dan khayalan tanpa perduli pada akibat-akibatnya yang menyengsarakan dan tidak praktis.
BEKERJALAH SECARA PROFESSIONAL
Setiap orang hendaklah bekerja secara professional yaitu bekerja sesuai dengan bakat dan keakhlian, meskipun pekerjaan itu dilaksanakan secara tidak sempurna, sebab;
- Mati dalam melaksanakan tugas pekerjaan sendiri lebih baik dari pada melaksanakan tugas-pekerjaan orang lain.
- Melakukan pekerjaan orang lain adalah berbahaya. Dan
- Melaksanakan tugas pekerjaan sendiri tidak menimbulkan reaksi dosa (Bhagavad Gita 3.35, sreyan svadharma vigunah para dharmat svanusthitat sva-dharmah nidhanam sreyah para dharmo bhayavahah. Bhagavad Gita 18.47, ...svabhava niyatam karma kurvan napnoti kilbisam)
JANGAN BEKERJA PAMERIH TETAPI BEKERJA DALAM PENGABDIAN KEPADA TUHAN
Sri Krishna berkata,”Durena hy avaran karma, jangan bekerja secara pamerih. Krpana phala hetavah, dia yang selalu memikirkan hasil (phala) kerja (karma) untuk kesenangan sendiri, disebut krpana, orang pelit (Bhagavad Gita 2.49).
Bhuddhi yukto jahatika ubhe sukrta duskrta,bekerjalah dalam semangat pengabdian (kepada-Ku) tanpa memandang apakah hasil kerja itu memuaskan atau tidak (Bhagavad Gita 2.50)”.
BEKERJA DALAM PENGABDIAN KEPADA TUHAN MEMBEBASKAN ORANG DARI DOSA DAN SAMSARA
Dengan bekerja dalam pengabdian kepada Tuhan, orang-orang bijaksana mampu membebaskann diri dari janma bandhva, siklus kelahiran dan kematian dengan tidak melekat pada hasil kerja. Dengan demikian, mereka tidak kena kesengsaraan (samsara) material (Bhagavad Gita 2.51, karma jambuddhi yukta hi phalam tyaktva manisinah janma bandhva vinirmuktah padam gacchanty anamayam).
Orang yang bekerja tanpa kemelekatan pada ke-berhasilan dan menghaturkan hasil (phala) kerja (karma) nya kepada Tuhan, tidak terkena reaksi dosa apa pun, seperti halnya bunga padma tidak basah oleh air meskipun berada didalam air (Bhagavad Gita 5.10, brahmany adhaya karmani sangam tyaktva karoti yah lipyate na sa papena padma patram ivambhasa).
Orang yang mempersembahkan hasil kerjanya (sebagai yajna) kepada Tuhan, hidup tentram dan damai. Tetapi orang yang tidak perduli kepada Tuhan dan rakus pada hasil kerjanya, menjadi terbelenggu di dunia fana (Bhagavad Gita 5.12, yuktah karma phalam tyaktva santim apnoti naisthikim ayuktah kama karena phale sakto nibadhyate).
Tidak bekerja bukan berarti naiskarmya, bebas dari reaksi kerja (karma).Tidak melekat pada hasil kerja bukan berarti mencapai siddhi, kesempurnaan Hidup. (Bhagavad Gita 3.4, na karmanam anarambham naiskarmyam puruso’snute na ca sannya sanad eva siddhim sama digacchati).
BEKERJA BENAR DAN BEKERJA TIDAK BENAR
(Bhagavad Gita 3.9, yajnarthat karmano’nyatra loko yam karma bandhanah tad artham karma muktah sangah sama cara).
(Bhagavad Gita 3.9, yajnarthat karmano’nyatra loko yam karma bandhanah tad artham karma muktah sangah samacara. Bhagavad Gita 3.19, tasmad asaktah satatam karyam karma sama cara asakto hi acaran karma param apnoti purusah).
TUHAN MINTA AGAR SETIAP ORANG BEKERJA UNTUK KESENANGANNYASEMATA
Sri Krishna minta agar setiap orang bekerja untuk kesenangan diriaNya supaya bebas dari reaksi/akibat kerja (Bhagavad Gita 3.30, mayi sarvani karmani sannyasah … Bhagavad Gita 9.27, yat karosi yad asnasi … tad kurusva mad arpanam. Bhagavad Gita 9.28, subhasubha phalair eva moksyasye karma bandhanaih … vimukto mam upaisyasi. Bhagavad Gita 11.55, mat karma krn mat paramah. Bhagavad Gita 12.6, ye tu sarvani karmani mayi sannyasya mat parah. Bhagavad Gita 12.10, mad artham api karmani. Bhagavad Gita 18.57, cetasa sarva karmani mayi sannyasya mat parah).
KARMA, AKARMA DAN VIKARMA
Bahkan orang-orang bijaksana (kavi) pun bingung menentukan apakah yang disebut karma (bekerja) dan akarma (tidak bekerja) – Bhagavad Gita 4.16, kim karma kim akarmeti kavayo’pi atra mohitah).
Orang cerdas adalah dia yang bisa memahami/mengerti keadaan bekerja (karma) dalam keadaan tidak bekerja (akarma), dan keadaan tidak bekerja (akarma) dalam keadaan bekerja (karma) – Bhagavad Gita 4.18, karmany akarma yah pasyed akarmani ca karmanah sa buddhiman manusyesu. Dan orang cerdas juga mengerti pekerjaan haram (vikarma) – Bhagavad Gita 4.17, karmano hy api boddha vyam … vikarmanah.
Bekerja dalam kebhaktian kepada tuhan lebih baik dari pada meninggalkan kerja (tidak bekerja) – Bhagavad Gita 5.2, tayos tu karma sannyasat karma-yoga visisyate, Sebab;
- 1. Semata-mata meninggalkan kerja (tidak bekerja) tidak membahagiakan seseorang (Bhagavad Gita 5.6, sannyasas tu duhkham aptum ayogatah yoga-yukto munir brahma na cirenadigacchati).
- 2. Bekerja dalam pelayanan bhakti kepada Tuhan dengan pikiran dan indriya-indriya terkendali, me-nyenangkan semua orang dan sipelaku tidak terkena reaksi kerja yang meng-ikat-nya di dunia fana (Bhagavad Gita 5.7, yogayukto visuddhatma vijitatma jitendriyah sarva bhutatma bhutatma kurvan api na lipyate).
BHAKTI DAN NAISKARMYA
Bhakti didefinisikan sebagai,”Hrsikena hrsikesa sevanam bhaktir ucyate, melayani Hrsikesa sang Penguasa segala indriya disebut bhakti (Narada Pancaratra). Jadi melayani Sri Krishna dengan mempersembahkan segala hasil (phala) kerja (karma) sebagai yajna kepadaNya, seseorang bisa naiskarmya, bebas dari reaksi/akibat kerja yang dilakukan dan mengikatnya di dunia fana. Dengan kata lain, bhakti mensucikan diri setiap orang untuk bisa kembali pulang ke dunia rohani. Itulah sebabnya Sri Krishna minta supaya setiap orang bekerja untuk kesenangan-Nya saja.
CIRI-CIRI ORANG YANG NAISKARMYA
- Dia mengerti betul tentang karma, akarma dan vikarma.
- Pikiran dan kecerdasannya terkendali sempurna (yakni tidak melekat pada hasil kerja) serta bebas dari rasa pemilikan.
- Dia bekerja untuk sekedar memenuhi kebutuhan hidupnya paling pokok.
- Dia berpuas hati dengan hasil kerja yang datang dengan sendirinya (dilakukan secara jujur).
- Dia bebas dari dualitas dunia fana (seperti untung-rugi, suka-duka, cacian-pujian, dsb.) dan hidup mantap dalam keberhasilan maupun kegagalan.
- Keraguannya sirna oleh pengetahuan spiritual yang telah di-insyafinya.
- Dia sepenuhnya insyaf diri sebagai jiva spiritual kekal-abadi.
(Bhagavad Gita 4.21-22 dan 4.46).
OSA
banggalah menjadi Hindu….
semoga bermanfaat bagi kita semua
shanti
Katanya, yang menabur angin angin akan menuai badai 🙂
Very interesting and amusing subject. I read with great pleasure.
Om Swasti Astu
Bli ngara Yth,
Bli Saya mau nanya:
– Apakah Karma itu sama dengan Swadharma ?
– Jika dalam melakukan Swadharmanya itu seseorang terpaksa melakukan suatu perbuatan yang bertentangan dengan ajaran agama, demi swadharmanya sendiri, apakah hal itu merupakan suatu dosa? sebagai contoh Seorang tentara yang bertempur, satu sisi dia menajalankan swadharmanya, dari sisi agama dia melakukan pembunuhan, sedangkan sisi yang lain ada berbagai kepentingan atas pelaksanaan swadharmanya itu ( negara, jabatan ).
– Suatu contoh lagi saya pernah menonton sendratari yang mengisahkan swarga rohana parwa dimana saat yudistira sampai dineraka ternyata kakinya terperosok ” sepagelangan/sampai mata kaki”, ketika ditanyakan ternyata penyebabnya adalah pada saat Yudistira melaksanakan swadharmanya sebagai senapati perang saat berathayuda berbohong kepada gurunya,mengenai hal matinya Aswatama, sebenarnya yang dimaksud yudistira adalah gajah aswatama, sedangkan gurunya mengira sang aswatama ( anaknya )yang gugur. Bagaimana kita menyikapi hal ini? sementara kita sering berbohong kepada anak sendiri mengatakan obat ini manis ternyata pahit?
Tolong pencerahannya
Om Santih santih santih Om
@ Purnajaya
Om Swastiastu bli..
Saya akan coba jelaskan sebisa saya aja ya..
1. Karma dan Swadarma adalah 2 hal yang berbeda. Sebagaimana uraian di atas, Karma adalah Kerja/Tindakan/Kegiatan dimana seseorang hampir tidak bisa lepas dari kegiatan/karma. Dalam hal ini ada istilah Karma, Vikarma dan Akarma, yaitu perbuatan yang baik, berbuat jahat/tidak sesuai dengan dharma dan tidak berbuat (dalam konteknya dengan swadharma-nya). Sedangkan Swadharma adalah kewajiban/karma yang melekat pada seseorang sesuai dengan Varna-nya.
2. Apakah Swadharma bertentangan dengan dharma/Agama? Tidak akan pernah bertentangan, karena agama mengajarkan kita untuk melakukan dharma kita (Swadharma). Membicarakan swadharma tidak akan pernah lepas dari sistem Catur Varna dan Catur Asrama. Sebagaimana contoh tentara, maka dalam sistem Varna mereka termasuk kedalam Kesatria dan Swadharma-nya adalah bela negara dan membunuh musuh. Namun seorang Brahmana kewajibannya adalah mengajarkan kebajikan dan menyebarkan ajaran Dharma dan menghindari pembunuhan. lebih lanjut tentang ini mohon cermati artikel Varna Asrama Dharma
3. Dalam dharma yuda, atau peperangan dengan prinsip Dharma terdapat aturan dasar yang harus dilaksanakan oleh setiap prajurit/kesatria, antara lain, ertarungan hanya diperkenankan secara duel atau satu orang lawan satu, tidak diperkenankan untuk membunuh tentara yang sudah menyerah, tidak diperkenankan menyerang kusir, tentara tanpa senjata dan juga membunuh hewan-hewan dan termasuk berbohong. Waktu itu Yudistira melanggar aturan tadi dengan berbohong, sehingga dia harus menanggung karma-nya.
Bagaimana dengan sekarang? Saat ini tidak ada perang yang di dasarkan pada Dharma Yuda, sehingga prinsip2 tersebut sama sekali tidak dapat di jalankan. bagaimana kewajiban seorang kesatria/tentara menyikapi kondisi ini? Berperanglah dengan aturan yang ada dan hanya di dasarkan atas bela negara, bukan atas dasar mengikuti nafsu kekuasaan.
Bagaimana dengan berbohong dengan anak demi kebaikan si anak? Kewajiban kita (swadharma) kita adalah mendidik anak menjadi anak yang suputra, kalau dengan metode itu baik dan membentuk anak menjadi suputra, kenapa tidak?
Kalau ada yang kurang tepat, mohon di sanggah dan di diskusikan lagi ya.. 🙂
Om Santi santi santi Om
Om Swasti Astu,
Suksma Bli atas penjelasannya, saya belum punya kemampuan untuk menyanggah, kecuali hanya bertanya;
Bagaimana halnya dengan dosa yang ditimbulkan atas swadarmanya itu; seperti contoh yang saya utarakan mengenai kebohongan yudistira, dia mencoba menyanggah bahwa di dalam pertempuran boleh membohongi musuh, tetepi dijawab bahwa hal itu hanya dibenarkan di dunia tetapi di surga hal itu tidak berlaku. Dosa tetap dosa dan hukuman berlaku sesuai dengan karmanya.
Hal inilah yang sering membuat saya bertanya dalam hati, bagaimana cara meyakini hali ini?
Maaf jika ada salah kata
Suksma
om santi santi santi om
@ Purnajaya
Om Swastiastu
Veda mengajarkan Dharma kepada umat manusia tidak dengan dasar dan aturan yang sama. Melainkan berbeda-beda sesuai dengan Varna-nya dalam catur varna, kedudukannya (wanita dan pria), serta tingkatan hidupnya (catur asrama).
Jadi kewajiban dan hak seorang Brahmana, istri seorang Brahmana, prajurit, pedagang, petani dan seorang anak kecil adalah berbeda. Anggaplah kita ambil contoh kasus berbohong. Seorang brahmana tidak di ijinkan berbohong, tetapi seorang pedagang (waisya) boleh berbohong demi mendapatkan keuntungan. Bayangkan jika seorang pedagang dengan jujurnya mengatakan harga dasar suatu barang, bukankah akan sulit baginya mendapatkan keuntungan maksimal di tengah persaingan yang begitu ketat? Demikian juga dengan kasus pembunuhan. Seorang Brahmana tidak boleh membunuh, tapi prajurit wajib membunuh musuhnya dalam jalan dharma. Bahkan jika seorang prajurit menolak untuk membunuh musuh, bukan pahala baik yang akan dia dapat, tetapi hukuman karena tidak melakukan swadharma-nya sebagai seorang kesatria.
Jadi sekarang mari kita lihat diri kita, ke arah varna dan kedudukan apakah diri kita saat ini? Apa swadharma kita saat ini? dan lakukanlah swadharma tersebut dan jangan pernah takut akan dosa, karena lalai dari swadharma adalah dosa yang sebenarnya.
Bhagavad Gita 3.35: “Jauh lebih baik melaksanakan tugas-tugas kewajiban yang sudah ditetapkan untuk diri kita. Walaupun kita berbuat kesalahan dalam tugas-tugas itu, daripada melakukan tugas kewajiban orang lain secara sempurna. Kemusnahan sambil melaksanakan tugas kewajiban sendiri lebih baik daripada menekuni tugas kewajiban orang lain, sebab mengikuti jalan orang lain berbahaya“.
Kalau bli punya masukan atau sanggahan silahkan, mari kita belajar bersama-sama.
Suksma,-
Om Santi Santi santi Om
Beli,bagaimana dengan 6 kejahatan sehingga orang itu pantas dibunuh? Mohon dipaparkan 6 jenis kejahatan itu… Yang tiang ingat cuma mengambil istri orang lain dan mecuri barang orang lain…
@ Rama Ki Jay
Waduh saya belum pernah membaca prihal ini ram.. ada teman-teman yang lain yang bisa bantu?