Bali dengan luas hanya 5.632 km2 merupakan sebuah pulau kecil diantara 17.778 pulau lainnya di Indonesia, yang secara geografis tidaklah begitu berarti. Meskipun Bali dapat digolongkan sebagai salah satu pulau terpadat dengan jumlah penduduk 3,3 juta jiwa, namun populasi orang Bali yang tinggal di Bali menurut konsensus penduduk tahun lalu hanya sekitar 60 %-nya saja. Dari total orang Bali yang tinggal di Bali saat ini, sudah 10 % diantaranya meningalkan agama leluhurnya, Hindu.
Bali pada dasarnya adalah pulau miskin yang tidak memiliki kekayaan alam kecuali hasil pertanian dan perikanan yang juga tidak terlalu besar. Dari segi politik, Bali juga tidak memiliki peran yang berarti di kancah nasional karena wakil rakyat Bali yang duduk di DPR/MPR hanya sekitar 5 orang dari total 1000 orang anggota DPR/MPR. Dari segi pertahanan dan keamanan juga sangat tidak mendukung. Sejak runtuhnya kerajaan Majapahit, Bali diserang dan dihimpit dari arah Banyuwangi dan dari Lombok oleh kerajaan-kerajaan Islam waktu itu. Mungkin karena faktor keberuntungan akibat datangnya Portugal dan Belanda yang mengakibatkan gempuran kerajaan Islam pada waktu itu melemah dan Belanda membuat undang-undang khusus untuk melesarikan budaya Bali yang memang sangat endemik, sehingga baik kaum dakwah dan misionaris tidak diijinkan mengkonversi agama orang-orang Bali.
Faktor pendukung yang menguatkan posisi Bali hanyalah kebudayaan dan alamnya yang sangat mempesona serta masyarakatkan yang sangat ramah dan terkenal jujur sehingga tidak salah kalau “dulu” pulau Bali dijuluki “The paradise island”, “The island with thousand temple”, “God island”, “The morning of the world” dan lain sebagainya. Namun, masihkan Bali layak mendapat julukan seperti itu?
Bali tidak seperti dulu lagi. Kemanakah tempat-tempat suci yang penuh keheningan? Kemanakah kejujuran dan keramahan orang Bali saat ini? Kemana keindahan alam pulau Bali?
Bangunan-bangunan pura nan megah sudah disulap menjadi tempat pariwisata yang mengesampingkan “taksu”/roh dari pura itu sendiri. Kehikmatan umat dalam bersembahyang harus dikesampingkan demi kepentingan para turis asing. Upacara keagamaan semakin marak dan semakin marak, tetapi kemanakah makna dari upacara tersebut? Ceramah dan propaganda agama semakin marak menyerang Bali, tetapi sudahkah hal tersebut menghasilkan output yang positif bagi moralitas dan keajegan Bali jati mula?
Saat ini kafe remang-remang menjamur bak musim hujan. Kriminalitas, narkoba, mabuk-mabukan, kenakalan remaja dan sex bebas sudah merambah ke desa-desa. Betapa tidak, saat terakhir saya pulang ke Bali, 1 bulan yang lalu saya menyaksikan beberapa orang teman saya yang dulu saya kenal sangat pendiam dan baik ternyata harus segera dinikahkan karena pasangannya “beling malu”/hamil pra nikah. Bahkan istilah ‘ngecharge HP ke kafe” sudah merupakan istilah yang tidak asing lagi bagi sebagian besar pemuda Bali. Yaitu sebuah istilah yang digunakan untuk mencari wanita penghibur di kafe-kafe yang memang sangat marak saat ini.
Artinya, saat ini orang Bali sudah tergerus dalam efek negatif pariwisata, mengalami kegamangan, kebingungan dan kehilangan pondasi dasar dalam menghadapi perubahan yang demikian cepatnya. Akankah “legenda manusia Bali” akan menjadi sejarah?
Kenapa Bali bisa menjadi seperti saat ini?
Dimana ada gula, disana pasti semut akan berkerumun. Demikian juga dengan Bali, meski tidak memiliki kekayaan alam yang melimpah, tetapi legenda pulau Bali sebagai pulau surga yang mampu menggaet jutaan pariwisata asing dan domestik setiap tahunnya juga memancing gelombang pendatang yang memasuki pulau Bali, sehingga tidaklah mengherankan jika saat ini jumlah pendatang di Bali sudah mencapai 40% dari seluruh penduduk pulau Bali. Parahnya, orang Bali ternyata tidak mampu bersaing dengan para pendatang. Meskipun SDM orang-orang Bali berada di atas rata-rata, namun sering kali kepentok oleh adat dan lingkungan yang tidak memungkinkannya berkembang. Para investor dan pemilik usaha sering kali lebih memilih SDM yang bukan orang Bali karena mereka lebih fleksibel dan tidak menuntut waktu libur yang banyak.
Orang Bali jangan bangga kalau Bali merupakan penghasil devisa terbesar di Indonesia, jangan bangga bahwa Bali adalah pulau kaya dan megah. Tidakkah orang Bali tahu bahwa hotel-hotel nan megah, kafe-kafe dan bahkan alam tempat wisata yang indah sudah dikuasai oleh orang asing? Orang Bali hanya pembantu di rumah mereka sendiri. Mereka bangga dijadikan tontonan yang tidak ubahnya seperti topeng monyet dimana sebenarnya penikmat utama dari duit yang masuk ke Bali adalah investor.
Sikap feodal yang membawa orang Bali menjadi manja dan tidak mau bekerja keras juga merupakan hal utama dalam memukul mundur Bali itu sendiri. Semua sektor informal yang dipandang “rendah” tetapi merupakan sektor yang paling mampu mengeruk kekayaan Bali dikuasai oleh pendatang. Pedagang sate, bakso, martabak dan pedagang kaki lima lainnya rata-rata dikuasai pendatang. Pasar senggol dipenuhi oleh pedagang pendatang. Dan bahkan tidak jarang kita temukan penjual banten adalah warga pendatang yang bukan orang Bali dan bukan juga orang Hindu. Sehingga tidaklah salah kalau orang mengejek orang Bali dengan mengatakan; “Orang Bali menjual tanah untuk membeli bakso dan pendatang menjual bakso untuk membeli tanah di Bali”. Karena sikap manja dan tidak mau bekerja kasar ini jugalah yang menyebabkan banyaknya buruh di sektor pertanian yang diisi oleh pendatang dan orang Bali sendiri dapat dikatakan sebagai “pengangguran terselubung”.
Sikap senang melihat saudara susah dan susah melihat saudara senang juga merupakan penyakit kronis yang sudah menghinggapi orang Bali. Tidak jarang sikap iri dan dengki ini dilampiaskan melalui aji ugig/pengiwa/ilmu hitam. Jika ada seorang warga banjar yang nampak sukses dan karena kesibukannya tidak mampu secara rutin mengikuti kegiatan banjar, maka dengan gampangnya orang tersebut dipersalahkan, dipergunjingkan bahkan tidak jarang yang “kutang banjar”. Namun anehnya di balik iri dan dengkinya terhadap saudara sendiri, dia menerima pendatang dengan sangat welcome. Mendirikan pasraman / ashram dan sejenisnya sulitnya minta ampun, padahal sama-sama orang Hindu dan juga Bali. Tetapi membangun tempat suci agama lain difasilitasi dengan baik karena alasan tolerasi. Apakah tolerasi hanya berlaku bagi pendatang dan tidak berlaku bagi warga lokal?
Institusi lokal yang seharusnya menaungi dan melindungi Bali tidak mampu berperan, bahkan kesannya cenderung menekan dan menghancurkan. Awig-awig desa adat sering kali menjadi self destruction. Banyak masyarakat Bali yang harus keluar dari adat dan meninggalkan Hindu karena konflik dengan adat dan dengan upacara-upacara adatnya. Parisada yang seharusnya menjadi pengayom dan pembimbing umat sudah mandul. Berbagai macam kasus yang seharusnya ditindak secara proaktif oleh parisada tidak juga kunjung dilakukan. Kasus penghancuran pura di Sanur oleh investor, pembuatan “pura tipuan” oleh para misionaris Kristen, penistaan simbol-simbol Hindu dan permasalahan sosial lainnya tidak mampu dipecahkan oleh parisada. Tidakkah yang duduk di dalam parisada adalah orang-orang intelek yang mampu menyetir Hindu dan Bali pada khususnya kearah yang benar?
Bapak Satya Narada juga sudah dengan giatnya mengumandangkan “Ajeg Bali” lewat media miliknya, Bali TV. Tetapi dalam perkembangannya Ajeg Bali ternyata hanya sebuah wacana yang tidak lebih dari pada sebuah bahasa para dewa yang tidak applicable di masyarakat. Bahkan tidak jarang moto Ajeg Bali berujung pada ajang bisnis semata.
Suatu kondisi labil seperti ini menghantarkan orang Bali kepada keinginan untuk berubah. Namun, perubahan kearah mana yang akan dituju? Setiap kondisi kesusahan dan penyakit selalu dikait-kaitkan dengan hal-hal yang diluar nalar. Pergi ke orang pintar untuk “meluasan” dan melakukan upacara-upacara besar yang tidak diiringi oleh keiklasan, filsafat dan sikap untuk memperbaiki tingkah pola diri sendiri pada akhirnya membuat orang Bali tambah miskin, miskin harta, miskin rasa dan miskin filsafat.
Beramai-ramai mencari trah dan kawitan dengan harapan masuk kedalam golongan Tri Wangsa juga merupakan tren yang sedang hangat-hangatnya saat ini. Tidakkah mereka sadar bahwa Tri Wangsa yang merupakan bentuk lain dari sistem Kasta sangat bertentangan dengan hukum dalam Agama Hindu? Bangga akan leluhur dan dapat menjadikan kebanggaan tersebut sebagai modal untuk menyongsong masa depan yang lebih baik adalah hal yang sangat positif, tapi bagaimana jika kebanggaan tersebut membangkitkan egoism sempit dan menghancurkan diri sendiri?
Dengan kehidupan yang selalu di jejali upacara untuk menyupat buana agung (alam ini) yang nilainya tidak dapat dikatakan murah, tetapi tidak dibarengi dengan filsafat demi mengendalikan buana alit (diri sendiri) membuat manusia Bali semakin miskin moral. Sehingga dengan kondisi seperti ini tidaklah mengherankan jika orang-orang Bali yang sedikit lebih intelek berusaha lari mencari pencerahan. Yang beruntung mungkin menemukan warna yang berbeda dari Hindu yang ada di Bali, namun yang kurang beruntung akhirnya hijrah ke agama yang lain.
Bagaimana mengembalikan Jiwa Bali seperti sedia kala? Mari kita kembalikan jati diri kita sebagai orang Bali. Jati diri atau sifat khas orang Bali adalah sifat-sifat dasar, norma-norma, kepercayaan dan tuntunan hidup mendasar yang seharusnya melekat pada setiap orang Bali. Kita tidak boleh lupa bahwasanya budaya Bali dibangun dengan spirit Hindu, jika spirit ini hilang, pulau Bali dan orang-orang Bali tidak ubahnya seperti perangkat keras yang tidak memiliki software yang tepat.
Agama Hindu dimana saja diseluruh dunia bersumber dari kitab suci Veda. Dan dalam perkembangannya ajaran Hindu pecah menjadi dua kelompok utama, yaitu :
- Kelompok Mimamsa atau kelompok Brahmana. Ajarannya adalah tentang Upacara (Yadnya). Sehingga tidak heran dalam kelompok ini terdapat banyak Yadnya, yang selanjutnya di Bali menjadi banyak banten dan binatang yang dikorbankannya, mulai dari Banten Saiban, Mesegeh, Caru dan puncaknya adalah Tawur, dalam tingkatan Kanista, Madya dan Utama. Pada awalnya ajaran ini merupakan perpaduan antara ajaran Veda yang otentik dengan peradaban lembah sungai Sindhu. Dari ajaran ini lahir bentuk – bentuk upakara dan turunannya.
- kelompok Vedanta adalah kelompok yang dalam prakteknya tidak mengunakan banyak upacara, tetapi lebih pada Meditasi, filsafat dan Bhakti dan sering pula dikenal dengan kegiatan Kirtanam, Smaranam, pudja dan sedikit agni hotra.
Pada abad ke X, dibawah pemerintahan Raja Dharmawangsa Teguh, aliran-aliran yang berkembang di nusantara bersatu menjadi Agama Saiwa Sidhanta atau yang populer disebut “Pengider – ider” (Dewata Nawa Sangga) artinya, semua dewa – dewa dipuja menjadi satu kesatuan dalam Upacara – Upakara, puja dan tata letak yang kita kenal Tiga Kerangka Agama yaitu, Tattwa, Susila dan Acara, wujudnya dalam ruang lingkup Panca Yadnya.
Ajaran Saiwa Sidhanta inilah yang berkembang di Bali menjadi Agama Hindu Bali dengan segala peraturan pelaksanaannya yang melahirkan Budaya Bali yang membedakan corak dan wajah agama Hindu di India, di Jawa, Sumatera, Kalimantan Sulawesi, dan lain-lain.
Yang dimaksud Agama Hindu Bali disini adalah Agama Hindu yang dilaksanakan dalam koridor Kebudayaan Bali, yang seluruh aktivitasnya berada di Desa Adat / Pekraman. Dengan demikian bagaimana cara mengembalikan kebudayaan Bali kedalam identitasnya yang sejati?
Mau tidak mau, suka tidak suka, masyarakat Bali harus kembali membolak-balik kitab suci Veda yang merupakan dasar yang paling mendasar dari seluruh kerangka dan pondasi budaya Bali. Kembali menerapkan ajaran Veda dengan baik dan dengan tegas memberhanguskan tindakan dan kebiasaan yang tidak sesuai dengan prinsip-perinsip Veda.
Pelaksanaan upacara dan seluruh ritual adat harus dikembalikan kedalam koridor ajaran Veda. Para kaum brahmana tidak boleh melakukan upacara-upacara besar demi bisnis “banten” semata. Awig-awig (hukum) adat juga harus selalu bersandar pada prinsip-prinsip Veda. Jangan sampai pembuatan awig-awig ditunggangi oleh kepentingan sesaat yang bersifat pribadi.
Tempat-tempat suci dan juga pura keluarga tidak hanya dijadikan sebagai media upacara, tetapi dikembalikan ke fungsinya yang lebih luas, yaitu sebagai tempat bermasyarakat dan belajar filsafat sehingga antara upacara dan filsafat dapat berjalan secara balance. Sehingga pada akhirnya filsafat Hindu yang menelurkan etika Hindu harus diterapkan oleh masyrakat Bali dan diimplementasikan secara menyeluruh kedalam semua sisi adat dan budaya di Bali.
Ingatlah, Bali yang tanpa Hindu, Bali yang tanpa filsafat, tempat suci, masyarakat desa pakraman, yang hilang keramahtamahannya adalah Bali yang telah lenyap. Adalah kewajiban kita semua sebagai masyarakat Bali untuk mengembalikan Bali menjadi lebih baik.
Sumber:
Ditulis atas inspirasi yang disampaikan oleh Prof, Dr. Ida Bagus Gunadha, Msi
ikut prihatin dengan keadaan bali sekarang bli,,banyak investor yang menyalahi aturan, sudah melanggar batas radius kesucian pura yang telah ditetapkan,contoh nyata resto yang di pura uluwatu…biarpun tyang orang pariwisata,,tpi tetap tidak setuju dengan para investor,,cukuplah sampai segini saja,,bali sudah semakin sempit…tyang juga heran kenapa pemerintah tdak mengambil tindakan, padahal sudah jelas2 melanggar,,,tp sebaliknya malah membiarkannya….yach maklum juga sich bli,,Bali kini sudah mulai termakan jaman kali yuga, arus globalisasi amat gencarnya memporandakan ketahanan bali,,so kita yang muda-muda sebaiknya bgaimana mnurut bli ngara???
OSA
artikel yang bagus…gambaran bali sekarang…
tyg sebagai pemuda bali yang kebetulan mencari rejeki di tanah jawa melihat bali sekarang merasa perihatin sekali… bagaimana tidak apa yang diceritakan diweb ini kalo kita telusuri dengan kedalaman kontemplasi tertentu semuanya benar 100%. kita yang tadinya bangga sama bali berbuah 360 drajat prihatin. bagaimana tidak masyarakat bali yang dikenal baik berbudaya kehilangan keiklasannya karena memperdagangkan adatnya dan pulaunya melebihi dari perinspip ajeg bali.
terlebih lagi terhadap pemahaman makna agama yg sering disalah artikan hanya dengan ron busung…tanpa tahu makna filsapat ( kitab suci Weda) yang terkandung didalamnya.
saya setuju dengan yadnya tetapi jangan sampai salah transpormasi. terlebih lagi masalah bebantenan yang semakin besar… apakah ini ada dasarnya di kitab suci Weda. mempelajari bebantenan sampai menghabiskan waktu dan uang yang besar dan mempertipis iman. kita kembalikan sejarah kalo seandainnya kita mempelajari kedalam diri (filsapat Weda) seperti halnya kerja keras mepelajari bebantenan tyang yakin bali bisa ajeg lagi.
contoh sakit karena berbuat dosa (kelakuan sendiri) saya amati di bali cukup bikin guru pituka minta pengampunan di merajan atau pura lainnya tanpa mengetahui makna yang terkandung didalamnya.
saya sebagai pemuda bali..mengajak teman2 mari kurangi bebantenan dan perbanyak mempelajari kedalem diri karena apapun yang ada diluar ada didalam diri… tentunnya sesuai dengan ajaran kitab suci Weda.
bukankah begitu saudaraku ngarayana….
shanti
minta info… t4 memperdalam meditasi/yoga (khusus rohaninya bukan olah ragannya )dijakarta dimana ya
tiang sebagai pemuda Bali,yg lahir dan besar di Bali, melihat kondisi yg memang demikian seperti Saudara Ngarayana katakan.
saya prihatin, melihat nilai2 agama yg mulai memudar, masyarakatnya yg cenderung mengesampingkan filsafatdan terkadang berorientasi pada kepentingan pribadi/golongan, kebutuhan jasmani semata, apalagi di tengah himpitan perekonomian seperti sekarang.
investor merajalela, menari di atas tanah2 suci kita, yg bebas menjajah lahan lokal, dengan rayuan segepol uang kertas..
Belum lagi masalah berkurangnya kesadaran diri dan rasa toleransi antarumat, dimana makin semarak pertengkaran antar desa, antarumat, dan bahkan masalah pemuda-pemudi Bali yg Saudara paparkan tadi, meringis hati melihat fenomena yg begitu drastis perubahannya, apalagi saya yg melihatnya dari dekat, di sekitar..
saya berpikir, apa yg saya telah dan yg dapat saya lakukan?
dan saya memulai dari diri sendiri. menanamkan nilai2 budaya Bali, dan mulai belajar Agama.
astungkara mendapat pencerahan dan dapat melestarikan Hindu, dan Bali yang seperti sedia kala..
Masih ada harapan untuk itu.
masih ada semangat untuk itu..
pasti!
kita generasi muda harus mmbuat perubahan… tdk perlu malu n takut….
buat Bali mjd pulau yang suci n brmartabat!
junjung jg Hindu non Bali.. buat mereka utk tdk malu mmbuat Pura dg corak bdya masing2 n baju adat mereka.. dan juga mnybrkan ajaran besar kita yg lbh lngkp n benar pada mereka.. !!!
Budaya tdk hilang.. ajaran murni Veda masuk….
Kebenaran pada akhirnya akan menang!!!!!
OSSSO
@ Love_Peace and all of my brothers & sisters
Om Swastiastu
Mari kita mulai dari kita masing-masing.. tanamkan dan terapkan filsafat Veda yang benar dan mari berusaha tularkan ke lingkungan kita melalui bidang keahlian kita masing-masing. Saya yakin pada suatu waktu saat generasi kita yang sadar akan filsafat Veda duduk sebagai pemimpin-pemimpin baik di Bali atau di manapun akan mampu sebagai panglima perubahan dan sekaligus defender.
@ srid
Yang bli minta tempat perguruan filsafat spiritual, atau kesaktian dan kanuragan? Karena antara spiritual dan kesaktian sangat jauh berbeda. Orang yang belajar meditasi, tenaga dalam dan olah kanuragan lainnya yang tujuannya adalah mencapai tingkat siddhi/kesaktian tertentu pada dasarnya tidak dapat disebut sebagai orang spiritual. Spiritual adalah ilmu yang ditujukan untuk mengetahui hakikat Atman/Jiva dan Tuhan Yang Maha Kuasa yang dilakukan baik dengan jalam Bhakti dan belajar filsafat Veda, meditasi dan kontemplasi atau dengan cara-cara lainnya.
kalau bli berminat belajar di garis perguruan gaudya Vaisnava yang lebih menitikberatkan pada Vedanta, silahkan datang ke ashrama di dekat apotik cisarwa, puncak bogor, atau di pasar baru juga ada.
Seperti juga yang ditulis pada topik : Politik Pencitraan, memang media masa audio video visual sangat menguasai dalam segala aspek kehidupan saat ini. Bagi yang meguasai sarana itu (berduit) maka dengan mudah melakukan perluasan pemahaman keinginan pribadi.
Kalau kita perhatikan keseluruhan program pada salah satu stasiun TV ngetop di Bali, semakin hari semakin tidak menarik (dalam konteks: Ajeg Hindu – Ajeg Bali). Bahkan kalau boleh tyang urun saran kepada para Dang Acarya yang sering tampil di TV, dari sekian Dharma Wacana yang dituturkan, hampir 90 % mengulas soal “kehidupan materialis”, sangat-sangat sedikit menyentuh topik : “Bagaimana Menjajaki Alam Rohani” bahkan hampir tidak ada. Beberapa minggu lalu, tyang menonton Dharma Wacana dari Ida Pedanda Made Gunung, disitu Beliau menjelaskan : bahwa Beliau bertanya-tanya / memohon agar Tuhan berkenan memperlihatkan diri, dan usaha Beliau itu baru dilaksanakan baru dari 7 bulan yang lalu. Karena penasaran, Belaiu berusaha bertanya kepada semua pihak, Sungsungan, dll, akan tetapi konon tidak mendapat jawaban. Sampai akhirnya Beliau bermeditasi dan mendapat pawisik bahwa Tuhan itu adalah apa yang engkau lihat.
Saat itu dalam hati tyang bertanya, Dang Acharya yang kita hormati setara Beliau saja baru mencari hakekat Tuhan baru dari 7 bulan yang lalu, apalagi kita orang awam. Jadi selama ini, Beliau lebih memikirkan apa, dibandingkan memikirkan Tuhan sebagai pencipta kita. Dan kesimpulan dari Beliau itupun masih sangat kita pertanyakan (banyak pertanyaan akan muncul dari kesimpulan itu) karena dari sudut pandang kita, kita memakai acuan Veda.
Disini yang tyang berusaha tekankan adalah, bagaimana Bali ini kedepan. Bisakah pihak “penguasa pencitraan” ini berperan aktif melestarikan / mengajegkan secara murni Pulau Bali yang notabene sudah hampir punah. Karena seperti yang kita tau, hanya media itulah yang paling cepat memberikan efek kepada masyarakat.
Suksma,
OSA
kalau bli berminat belajar di garis perguruan gaudya Vaisnava yang lebih menitikberatkan pada Vedanta, silahkan datang ke ashrama di dekat apotik cisarwa, puncak bogor, atau di pasar baru
enak juga tuh dipasar baru dekat ada ga no telp ato alamat lengkapnya ya…
suksma
@ srid
Om Swastiastu
pokoknya sekitar 100 meter di sebelah timur pintu pasar baru bli… lupa alamatnya.. yang jelas disana ada papan bertuliskan “Hare Krishna” di sebelah kiri jalan
Om Swastiastu
Memang fakta yang menyedihkan, namun itulah relita yang sekarang terjadi. Namun jangan lah kita perburuk lagi dengan segala keegoan dan sifat feodal masing-masing. Marilah mulai berbenah dan memajukan Bali yang dimulai dari diri sendiri,keluarga dan ke masyarakat. Isu kasta yang di hembuskan beberapa kalangan juga telah “menusuk” Bali itu sendiri, ada yang berusaha keras “memposisikan” ulang “diri”nya, ada yang tidak mengakui “posisi” orang lain dan ada juga yang “mengklaim” dirinya sebagai sesuatu yang “lebih” dari orang lain,namun penilaian dikembalikan ke masyarakat “CEN DADI, CEN NE PANTES”. Adapula yang lebih parah,dimana ada sekelompok orang yang berusaha menciptakan jurang pemisah antara Orang Bali asli (mula)dan orang Bali yang merupakan “pelarian” majapahit ratusan tahun yang lalu, dimana hal ini menjadi potensi perpecahan diantara orang Bali itu sendiri, tak ayal ada juga anekdot yang mengatakan “nak bali cuma bani uyut jak nyame pedidi”. Jika paham ini terus di kobarkan,bayangkan apa jadinya Bali, hal ini juga tak lebih dari analisa yang posisisnya sama dengan teori bahwa nenek moyang manusia adalah evolusi dari”bojog”. Sungguh menyedihkan dan memalukan, dan hal ini dilihat menjadi suatu kesempatan emas bagi “orang luar” untuk masuk dan mengeruk segala keuntungan secara ekonomi maupun secara agama. Disaat bersamaan orang Bali lupa untuk menggali dan meningkatkan potensi dirinya yang sekarang kian hari makin tenggelam di “tanahnya” sendiri, tak ayal pula jika banyak orang Bali yang mau bekerja sebagai “jongos” dari pada mencangkul dan mengelola tanahnya sendiri. Tanah habis dijual untuk beli hal hal yang bersifat konsumtif, tanpa ada keprihatinan pemerintah yang malah justru memupuk para promotor “PASAR KAGET” dengan segala LASER CUACA nya dan dagang kaki lima yang berlabel agama bertebaran di seluruh Bali, tanpa disadari uang “nak bali” lari “keluar” tanpa sempat berputar di Bali. Anekdot yang tak kalah menyedihkan juga adalah “walaupun sing megae yang penting rajin ngangon bebek”, tentu bebek disini tidak berbulu namun berkenalpot. Apapun dilakukan untuk bisa membawa pulang bebek jenis satu ini,yang sekarang hanya dengan 250 ribu bisa bawa pulang bebek,padahal statusnya pengangguran. Dari awal saya kurang setuju dengan istilah “ajeg Bali” dimana pemenggalan kata Rajeg sebenarnya tidak dapat dilakukan seperti kata-kata dalam bahasa Indonesia, bagi saya akan lebih tepat adalah “Rajeg Hindu Bali”. Sangat disayangkan pada akhirnya “ajeg Bali” ini tidak lebih dari suatu kiasan yang dibalur “BISNIS” semata oleh “pemilik berita”.Belum lagi penyederhanaan-penyederhanaan agama Hindu Bali yang dilakukan beberapa kalangan di Bali yang meninggalkan TATWA,SUSILA DAN UPAKARA dan masi banyak lagi fenomena lainnya di tengah masyarakat yang bekecamuk.Semoga Hyang Widhi selalu menunjukan jalan yang terbaik bagi kita semua di Bali. Om Asthungkara, Om Shanti,Shanti,Shanti Om
Phrabu Ngarayana.
Nyambung tentang Ashram di Bogor dan kota baru. saya sangat ingin mempelajari Weda, tapi saya sering bimbang untuk datang ke ashram / ato apalah dimana saya tidak mengenal seorangpun disana. Bisakah Phrabu mengenalkan/ memberikan nama yang bisa saya hubungi dari Ashram tersebut?
btw Boleh saya menyimpan nomor telpon Ki Gaura? mungkin saya akan menghubungi beliau. terima kasih
@ Dwi
Om Swastiastu…
Iya, sebaiknya hubungi beliau saja, saya kira karena beliau sudah sangat senior, beliau akan bisa memberikan penjelasan yang jauh lebih tepat dari pada harus bertanya dari junior-junior seperti saya… he..he..
Namun saat ini P. gaura sedang ada di jogja.
Terima kasih.
Manusia tidak bisa menolak arus perubahan, namun jika selalu terlena akan terhempas dengan sendirinya. Itu adalah hukum alam yang mutlak, namun adakah hati yang lebih teguh dari batu karang, sehingga arus tak mampu menghanyutnya pun mengikisnya 🙂
kita tidak bisa melawan arus zaman, bukan hanya bali yg berubah, di seluruh dunia dan pulau di Indonesia jg prilaku masyarakatnya telah berubah,itu semua adalah akibat perkembangan tehnolagi masa kini, orang dengan gampang bepergian,orang dengan gampang tuk tinggal dimana aja sesuai dgn keinginannya, kt mgkin ingat jakarta hampir pendudk aslinya gak ada, singapur, itu semua adalah perkembangan Zaman.
Artikel bagus gann..ijin copas 🙂
Terkait bebantenan yang membutuhkan banyak ornamen & biaya tentunya saya jadi penasaran dengan keadaan Bali masa lampau? Apakah Bali di masa lampau telah menggunakan bebantenan yang sedemikian rupa? Tentunya berbeda dengan umat Hindu diluar Bali, mereka terkesan flexibel selain karena bahannya tidak ada, namun apakah pahala atau bhakti yang mereka (luar bali agama hindu) tidak sebesar umat hindu di Bali? Ya itulah yang susah diungkapkan, walau pada dasarnya ISHWW tahu mana umatnya yang benar2 memujanya..
selalu berharap yg terbaik untuk bali..
dan tidak menjadi slogan semata