Sampradaya adalah bahasa sansekerta yang berarti “perintah sejati yang diterima melalui guru-parampara atau garis perguruan”, guru paramparagatu sad upadesasya. Dalam Bhagavad Gita bab 4, Sri Krishna menguraikan bahwa Beliau adalah sumber utama dari ilmu pengetahuan rohani Yoga dan menyatakan bahwa seseorang dapat menerima ajaran ini hanya melalui guru-parampara. evaà paramparä-präptam imaà räjarñayo viduù sa käleneha mahatä yogo nañöaù parantapa.
Sehingga dengan sistem guru-parampara yang ketat ini keotentikan ajaran Veda dapat dijaga meski dalam waktu yang sangat panjang. Hal ini jugalah yang menyebabkan ajaran Veda/Hindu yang telah dimulai dari jaman purba masih dapat eksis sampai jaman modern saat ini.
Penerimaan pengetahuan agama/rohani seperti dalam tradisi Veda sangat jarang dapat anda temukan dalam agama-agama Abrahamik. Hanya kaum ortodox saja yang menerapkan sistem ini, dan itupun tidak seketat sistem guru-parampara dalam penyampaian ajaran Veda. Sehingga tidaklah mengherankan jika masab-masab dalam ajaran Abrahamik sangatlah banyak dimana satu dengan yang lainnya sering kali sangat bertolak belakang dan bahkan perseteruan fisik acap kali terjadi di antara mereka.
Dalam Bhagavad Gita 4.19 dinyatakan; “yasya sarve samärambhäù käma-saìkalpa-varjitäù jïänägni-dagdha-karmäëaà tam ähuù paëòitaà budhäù, Dimengerti bahwa seseorang memiliki pengetahuan kalau setiap usahanya bebas dari keinginan untuk kepuasan indria-indria. Para resi mengatakan bahwa reaksi pekerjaan orang yang bekerja seperti itu sudah dibakar oleh api pengetahuan yang sempurna. Jadi baik acharya (guru kerohanian) dan shishya (murid) dalam suatu sistem parampara tidak memiliki ego yang bersifat material, mereka harus benar-benar melaksanakan aturan hidup menuntut ilmu dengan ketat untuk menjamin duplikasi ajaran Veda secara utuh sebagaimana pernah saya tuliskan dalam artikel yang lain tentang Gurukula.
Menurut Srimad-Bhagavatam 6.3.21, terdapat empat sampradaya yang paling utama, yaitu Brahma Sampradaya, Sri (Laksmi) Sampradaya, Ludra (Siva) sampradaya dan Catur Kumara (Sanaka) sampradaya. Dalam Padma Purana disebutkan, “sampradaya-vihina ye mantras te nisphala matah, Seseorang harus berlindung dan menerima pengetahuan rohani melalui salah satu empat sampradaya tersebut, jika tidak mantra atau inisiasinya tidak akan berguna.
Dari keempat sampradaya utama tersebut selanjutnya menurunkan banyak perguruan-perguruan Veda. Jika keempat sampradaya ini kita analogikan sebagai empat buah pohon besar, maka ke empat pohon itu berikutnya memiliki batang, cabang dan ranting yang jumlahnya sangat banyak dan kita sebagai salah satu penerima ajaran Veda haruslah berada pada salah satu ranting-ranting itu.
Sebagaimana ditekankan dalam penjelasan Bhagavata Purana 6.3.21, setiap sampradaya yang muncul dan tidak ada hubungannya dengan keempat sampradaya utama, yaitu Brahma, Sri/Laksmi, Siva/Ludra dan Kumara sampradaya disebut sebagai Apasampradaya, yaitu sampradaya yang tidak bona-fide. Mengikuti dan menerima ajaran Veda dari apasampradaya adalah kesia-sian belaka dan hanya akan membuang-buang waktu. Seseorang tidak dapat menerima pengetahuan Veda yang murni dan mengerti prinsip-prinsip spiritual jika dia mengikuti apasampradaya.
Seorang guru kerohanian dari Brahma-Madava-Gaudya-Sampradaya, Srila Bhaktivinoda Thakur mengidentifikasi bahwa terdapat tiga belas Apasampradaya yang seolah-olah berasal dari garis perguruan beliau (Brahma Sampradaya) setelah berpulangnya Chaitanya Maha Prabhu 500 tahun lalu. Apasampradaya tersebut yaitu; Aula, Baula, Kartabhaja, Neda, Daravesa, Sani, Sahajiya, Sakhibheki, Smarta, Jatagosani, Ativadi, Cudadhari dan Gauranga-nagari. Lebih lanjut dijelaskan oleh Guru kerohanian Srila Bhaktisiddhanta Sarasvati bahwa secara garis besar parampara yang termasuk apasampradaya adalah mereka yang menerapkan anitya-vaibhava (ritual materialistik), kaminira-kama (kegiatan seksual sebagai jalan pembebasan dan/atau menganut paham mayavada (ajaran yang didasarkan pada angan-angan filsafat dan membatasi kemahakuasaan Tuhan dengan mengatakan Tuhan tidak berwujud).
Apasampradaya dapat mucul dari seseorang yang mengaku sebagai guru kerohanian dan mendirikan parampara baru yang padahal dia sendiri tidak mampu mengendalikan dirinya sebagaimana syarat seorang guru kerohanian yang dijelaskan dalam Sri Upadesamrta 1; “ vaco vegam manasah krodha-vegam jihva-vegam udaropastha-vegam etan vegan yo visaheta dhirah sarvam apimam prthivim sa sisyat, Seseorang yang mampu mengendalikan keinginan bicara, kehendak, kemarahan dan lidah, perut dan kemaluan dapat menerima murid dari segala penjuru dunia. Sehingga penyampaian ajaran Veda ke muridnya tidak murni, tetapi sudah ditunggangi oleh egoismenya.
Asampradaya juga dapat muncul dari seseorang yang mengangkat diri sebagai guru, padahal dia sendiri tidak pernah berguru pada guru-guru yang bona-fide yang berada dalam garis perguruan yang benar. Apalagi jika posisi guru dijadikan profesi untuk mendapatkan penghasilan dan demi strata sosial. Dengan demikian sudah barang tentu apa yang diajarkan oleh orang yang bersangkutan mengalami distorsi dari ajaran Veda yang asli. Veda tidak hanya terdiri dari pengetahuan tertulis yang dapat di baca seorang diri, tetapi juga pengetahuan tidak tertulis yang harus diterima dari seorang guru kerohanian. Hal ini sejalan dengan apa yang dituliskan dalam Narada Pancaratra; “na ca mantra upajivi syanna capya arco upajirikah na aniredita bhogas ca na ca nirdyah niredika, Jangan pernah menerima inisiasi/guru spiritual dari mereka yang menjadikan guru spiritual sebagai profesi, Jangan memakan makanan yang tidak dipersembahkan pada Tuhan, dan jangan mempersembahkan apa yang tidak direkomendasikan oleh kitab suci”.
Veda memiliki banyak garis perguruan /parampara yang berbeda, namun bukan berarti apa yang diajarkan dalam parampara yang satu dengan yang lainnya bertolakbelakang sepanjang parampara tersebut bukanlah yang tergolong apaparampara. Untuk menjaga kridibelitas masing-masing garis perguruan, sering kali satu perguruan dengan yang lainnya mengadakan debat terbuka mengenai filsafat Veda, tetapi hampir tidak pernah ada kasus yang menimbulkan bentrok fisik sebagaimana sering kita saksikan dalam aliran-aliran agama-agama Abrahamik.
Jadi jika anda ingin mempelajari Veda secara benar melalui seorang guru kerohanian, cari dan urutkanlah silsilah garis perguruan calon guru tersebut, apakah pada akhirnya bersumber dari empat sampradaya utama tersebut atau tidak. Lihatlah motif dari sang guru, apakah murni karena motif spiritual dan beliau mampu mengendalikan dirinya dari hal-hal material ataukah tidak.
bro, liat website ini sedikit demi sedikit kegelapan saya mulai terbuka, meskipun kayaknya perlu intens biar bersih ditambah mencari seorang guru yang tepat…mudah2an direstui…
masalah sampradaya ini bro, trus kalo saya kaitkan dengan agama hindu di bali jadi runyam kayaknya…..bisa ngasi tau sampradaya yang ada di bali bro yang jelas silsilah garisnya….
ada rekomendasi…maaf hindu ktp ni……
Teruslah belajar ttg kitab Veda. Pelan2 dan suatu saat pasti akan paham. Dan ingat paling tidak Kita bisa tunjukkan dlm kehidupan sehari2 yaitu Tri kaya parisudha dan Tri Hita Karana…suksma…🙏🙏🙏
eh iyaya…kliatany Hindu d indonesia n bali itu Sivaisme kan?
tp aq liat2 Hindu indonesia jd agak bingung nih…
Trisandya yg dbuatny baru2 aj, bentuk arca/padmasana yg beda dr Veda,,
n lain2.. ap akibat dr penyatuan sekte2?
bingung.. 🙁
emng prlu pnjelasan dr prabhu.. hihihi
Teruslah belajar ttg kitab Veda. Pelan2 dan suatu saat pasti akan paham. Dan ingat paling tidak Kita bisa tunjukkan dlm kehidupan sehari2 yaitu Tri kaya parisudha dan Tri Hita Karana…suksma…🙏🙏
hindu di indonesia bali khususnya kebanyakan penganut siwa sidhanta…
gabungan dr beberapa sekte2 hindu termasuk ajaran budha…CMIIW
hindu mengajarkan berpikir universal tp berbuat lokal dan kontektual disesuaikan dengan keberadaan dunia dmn weda itu diturunkan
apapun jalannya..mau jalan arteri, jalan tol, jalan tikus, jalan pintas semuanya bertujuan sama..tiap org bisa memilih sesuai hatinya, n gk jadi masalah n gk jd problem..
coz hindu = org yang “non violence”…
emg yng di indonesia merupakan Siva-Buddha..siva n buddha yang dominan. tapi tetap dapat hidup rukun sejak jaman sriwijaya-mojopahit. karena ada prinsip dharma yang sama yang ditegakkan yaitu AHIMSA / non violence..
ingat juga katanya mpu tantular :
“bhineka tunggal ika tan hana dharma mangrwa” sebenarnya bukan dalam konteks agama seperti yang di pancasila itu..
berbeda tapi satu, tidak ada dharma yang mendua..
jadi ajaran siwa dan buddha bersumber dari dharma yng sama. SANATANA dharma
Mantaaaap betul…
Setuju…👍
@ Komang;
Konsep padmasana tertuang dalam Bhagavata Purana yaitu dari konsep pada saat usaha para dewa dan asura mencari tirtha amrta dengan cara mengaduk lautan garbodaka. Disana Kurma Avatara muncul sebagai alas gunung mahameru yang digunakan untuk mengaduk dan naga anantasesa sebagai “tali” yang satu sisi ditarik oleh para dewa dan sisi yang lain oleh para asura. Hanya saja saat ini terjadi penyimpangan bentuk bangunan padmasana. Seharusnya padmasana dibuat dengan alas kura-kura (kurma) dan dengan dililit 1 naga, BUKAN dengan dua naga seperti yang sering kita lihat saat ini.
Mungkin karena orang Bali itu adalah seniman, jadinya yang seharusnya menjadi ekor diukir menjadi kepala naga lagi, mungkin biar jadi simetris kali ya padmasananya… 🙂
OSA
tiang gede di bali dan merantau diluar bali hampir 13 tahun setelah mendapatkan pencerahaan dari sdr ngara terima kasi banyak hal tyang dapatkan. astungkara
dasar perhatian tiang terhadap perkembangan dibali masalah adat yang menutupi ajaran weda terutama masalah bebantenan. itu khan pelayanan makrokosmosnya sehingga kurang mendalami masalah mikronya terutama masalah kesadaran dan makna yang tepat dalam pelaksanaan ajaran weda.
kira2 masalah bebantenan itu tepat guna gak ya? ( kalo dari sudut pandang ajaran weda ) mohon pencerahaan bro…
kalo ada yang salah mohon dimaafkan dan dikoreksi. semata mata demi kepentingan hindu dibali
suksma
@ srid
Om Swastiastu bli gede
wah.. jangan membesar-besarkan bli.. mari sama-sama belajar, saya tidaklah lebih baik dari bli. Mungkin karena kebetulan saya lebih dulu mendapat informasi saja.
Kalau kita mau bicara jujur, apa yang kita lakukan di Bali sebagian besar sudah menyimpang. Bali saat ini sudah jauh berbeda dengan Bali yang dulu.
Veda secara jelas dan tegas tidak mengijinkan memotong dan mengorbankan sapi, tetapi sebagian orang bali sangat hobi makan daging sapi dan mendukung pembantaian terhadap sapi.
Veda tidak mendukung Kasta, tapi Veda menegaskan konsep Varna ashrama. Hanya saja masyarakat bali saat ini sibuk berlomba-lomba mencari “wangsa” dan trah yang mengarahkan mereka kepada feodalisme.
Veda menegaskan pola hidup “simple living high thinking”, tetapi sekarang kita terjerat dalam perjudian, mabuk-mabukan dan prostitusi. Bhakan istilah ‘beling malu” sudah lumrah di masyarakat kita saat ini. sungguh hal yang sangat menyimpang dari ajaran Veda.
dan yang paling mendasar adalah kita sibuk dengan berbagai kegiatan seperti yang anda katakan dan sementara itu kita tidak pernah tahu apa yang mendasarinya. Dengan kata lain kita menjadi Hindu yang kekeringan filsafat dan tidak care dengan kitab suci kita, yaitu Veda.
Mari kita benahi Bali mulai dari diri kita sendiri…….