Kata “kasta” berasal dari bahasa Portugis “caste” yang berarti pemisah, tembok, atau batas. Sejarah kasta yang dituduhkan pada masyarakat Hindu berawal dari kedatangan Bangsa Portugis yang melakukan pengarungan samudra ke dunia timur yang didasari atas semangat Gold (memperoleh kekayaan) Glory (memperoleh kejayaan) dan Gospel (penyebaran agama/penginjilan). Caste yang dalam sejarah portugis sudah berlangsung lama akibat proses Feodalisme. Bahkan feodalisme ini terjadi pada semua sejarah masyarakat dunia. Di Inggris muncul penggolongan masyarakat secara vertikal dengan membedakan namanya seperti Sir, Lord, Duke, dll. Gelar-gelar kebangsawanan Teuku dan Cut masih diterapkan secara kental di Aceh, di Jawa sendiri juga diterapkan dalam pemberian nama raden.
Feodalisme di masyarakat Hindu sendiri muncul dengan menyalah artikan konsep Catur Varna yang diungkapkan dalam Veda. Veda sama sekali tidak mengenal sistem kasta dan tidak ada satu kalimatpun dalam Veda yang menulis kata “kasta”. Catur Varna sebagaimana disebutkan oleh Sri Krishna dalam Bhagavad Gita 4.13
catur-varnyam maya srstam
guna-karma-vibhagasah
tasya kartaram api mam
viddhy akartaram avyayam
“Catur varna adalah ciptaan-Ku, menurut pembagian kualitas dan kerja, tetapi ketahuilah bahwa walaupun Aku penciptanya, Aku tak berbuat dan merubah diri-Ku”
Sloka ini sudah dengan sangat jelas dan gamblang menyatakan bahwa Catur Varna diciptakan oleh Tuhan sendiri pada seluruh tataran kehidupan manusia. Catur Varna hanya didasarkan oleh kerja dan kualitas seseorang, bukan berdasarkan kelahiran sebagaimana produk kasta yang selama ini dilontarkan.
Catur Varna membagi manusia kedalam 4 bagian, yaitu;
a. Brahmana
Adalah mereka yang memiliki kecerdasan tinggi, mengerti tentang kitab suci, ketuhanan dan ilmupengetahuan. Para Brahmana memiliki kewajiban mengajarkan ajaran ketuhanan dan ilmupengetahuan ke masyarakat. Brahmana juga memiliki kewajiban sebagai penasehat pada kaum kesatria dalam melaksanakan roda pemerintahan. Rsi, Pedanda, Pendeta, Pastur, Kyai dan pemuka-pemuka agama lainnya, Dokter, Ilmuwan, Guru dan profesi yang sejenis dapat digolongkan kedalam Varna Brahmana
b. Ksatria
Adalah mereka yang memiliki sikap pemberani, jujur, tangkas dan memiliki kemampuan managerial dalam dunia pemerintahan. Mereka yang masuk kedalam golongan Varna Ksatria antara lain; raja/pemimpin negara, aparatur negara, prajurit/angkatan bersenjata.
c. Vaisya
Adalah mereka yang memiliki keahlian berbisnis, bertani dan berbagai profesi lainnya yang bergerak dalam bidang ekonomi. Dalam varna ini termasuk pedagang, petani, nelayan, pengusaha, dan sejenisnya.
d. Sudra
Adalah mereka yang memiliki kecerdasan terbatas, sehingga mereka lebih cenderung bekerja dengan kekuatan fisik, bukan otak. Contoh profesi sudra adalah pembantu rumah tangga, buruh angkat barang, tukang becak dan sejenisnya.
Penggolongan ini akan tetap hidup di masyarakat manapun karena watak, karakter, kecerdasar yang menentukan profesi seseorang tidaklah sama. Harus ada bos dan harus ada pembantu. Harus ada raja/ pemimpin dan harus ada rakyat yang dipimpin. Keempat golongan masyarakat ini harus bekerjasama untuk menciptakan masyarakat dunia yang harmonis dan bahagia. Jika kaum Vaisya mogok kerja, maka roda perekonomian tidak akan jalan dan terjadi krisis ekonomi. Jika kaum brahmana tidak menjalankan tugasnya, masyarakat mungkin akan kacau karena moral, agama dan pengetahuan masyarakat menjadi kurang, jika para administrator negara tidak jalan, maka negara bersangkutan menjadi lemah dan mungkin akan terjadi chaos dalam masyarakat. Jika para sudra / kaum buruh mogok kerja maka perekonomian dan kehidupan 3 golongan yang lain juga menjadi timpang.
Hanya saja akibat proses feodalisme, egosime dan keinginan untut menancapkan kuku kekuasaan, manusia sebagai orang tua berusaha menancapkan dan mengibarkan bendera kekuasaan yang sama kepada anaknya meskipun sang anak tidak memiliki kualifikasi yang sama dengan orang tuanya.
Orang tua terpelajar yang berkedudukan sebagai pemuka agama dan masuk kedalam golongan brahmana ingin agar anaknya dihormati dengan menjadikannya sebagai seorang Brahmana meskipun si anak tidak memiliki pengetahuan yang memadai dalam filsafat ketuhanan maupun pengetahuan lainnya.
Demikian juga pemimpin negara / raja berkeinginan agar garis keturunan biologisnyalah yang tetap berkuasa dan dihormati masyarakat sehingga dia memberikan nama gelar kebangsawanan pada anaknya yang meskipun kecerdasan anak tersebut sangat rendah dan tidak layak menjadi pemimpin.
Jadi, konsep pembagian penduduk secara vertikal yang berdasarkan kelahiran / trah / keturunan yang selama ini diterapkan baik di masyarakat Hindu sendiri ataupun di luar masyarakat Hindu sangatlah bertentangan dengan konsep ajaran Veda / Hindu sehingga masalah ini merupakan tantangan kita bersama untuk menghilangkan salah kaprah ini dari sistem sosial masyarakat dunia.
narayanasmrti.com – da best. Keep it going!
Terima kasih atas informasinya. Saya juga mulai menyadari bahwa terjadi penyimpangan-penyimpangan ajaran Hindu mengenai Varna, yang akhirnya mengkotak-kotakkan masyarakat pada golongan-golongan. Tetapi menurut artikel lain yang saya baca, ada pula terjadi penjajahan oleh Majapahit dan kaum-kaum elit srampangan yang akhirnya menempatkan rakyat-rakyat bali asli pada kasta terendah (sudra), dan mereka sendiri menempatkan diri pada 3 kasta teratas. Saya disini melihat bahwa sebenarnya mungkin saja penyimpangan tersebut terjadi karena penjajahan tersebut, karena kaum elit srampangan mencoba mempertahankan eksistensi mereka di atas tanah Bali.
Pada novel yang saya baca, yaitu “Tarian Bumi” karya Oka Rusmini, terdapat masalah-masalah yang membahas tentang kaum wanita brahmana yang mengharuskan diri menjadi wanita sudra karena menikah dengan pria sudra, sedangkan pria tetap brahmana walaupun menikah dengan wanita sudra. Menurut anda, apakah hal tersebut disebabkan oleh budaya patriarki? Jika tidak, penyimpangan apakah yang terjadi? Bagaimana pengaruh sistem kasta terhadap kalangan perempuan?
Jujur, hal ini adalah masalah pelik di Bali. Orang Bali sedang rame-ramenya mencari siapa leluhur mereka, dan tentunya mungkin dengan harapan agar mereka mendapatkan gelar tambahan dalam nama mereka. Mereka ingin agar namanya tidak hanya nama biasa seperti nama “I Wayan” yang saya pakai, tetapi ada unsur nama kerajaan atau orang suci seperti “I Gusti, I Dewa, Ida Bagus atau Cokorda” yang oleh orang tua-orang tua di Bali masih dipandang.
Padalah kalau dilihat dari sejarah Bali sendiri, yang mendiami Bali saat ini sebagaian besar adalah keturunan Majapahit yang notabena adalah kaum Prajurit, keluarga kerajaan dan juga pemuka agama. Sementara penduduk asli Bali asli yang tersisa hanya di beberapa desa seperti di desa Trunyan, Tenganan, Pegringsingan dan beberapa desa kecil.
Pertanyaannya, apakah orang Bali yang mengaku Hindu telah menerapkan ajaran Catur Varna dengan benar? Sementara mereka mengejar gelar-gelar feodalistis dengan harapan mendapatkan “hak” dihormati tetapi tidak melakukan kewajibannya?
Sebenarnya tidaklah masalah jika mereka menggunakan nama “I Gusti” tetapi tetap melakukan tugas kewajiban dan keahliannya dalam hal keprajuritan, militer dan tatanegara. Menggunakan nama “Cokordo” untuk raja-raja yang memiliki kekuasaan seperti halnya di Jogjakarta atau menggunakan nama “Ida Bagus / Ida Ayu” jika mereka menjalankan kewajibannya menyebarkan agama, kebajikan dan ilmu pengetahuan dan memiliki kualifikasi untuk itu. Hanya saja semuanya akan menjadi masalah disaat Kewajiban tidak dijalankan.
Inilah produk egosime dan feodalisme yang masih kuat mengakar di Bali yang harus kita hapuskan dan mari kita mulai dari diri kita sendiri.
Mengenai seorang pria dari keluarga sudra yang menikah dengan wanita dari keluarga brahmana dan si wanita harus menjadi sudra dan demikian pula sebaliknya mungkin dapat kita pandang dari akar masalah awalnya dulu. Dari hal yang mendasari ini sudah salah jika dipandang dari konsep Catur Varna. Catur Varna mengatakan bahwa seseorang dapat disebut Brahmana, Ksatria, Vaisya atau Sudra tergantung dari sifat, karakter dan peran mereka dalam kehidupan sosial. Seseorang tidak sertamerta dapat dikatakan sebagai brahmana atau sudra hanya karena orang tua mereka brahmana atau sudra, tetapi hanya dapat dilihat dari karakter, sifat dan perannya (profesinya).
Jika terdapat pernikahan antar Varna ini, yaitu jika seorang wanita yang berkarakter dan berprofesi sebagai Brahmana menikah dengan pria berkarakter dan berprofesi sudra, apakah otomatis karakter wanita brahmana ini akan menjadi sudra? atau apakah pria sudra ini otomatis dapat menajadi berkarakter brahmana? Tentunya sangat sulit kan? Mereka dapat membangun rumah tangga dengan membawa karakter dan profesi mereka masing-masing dan keturunannyapun akan membentuk warnanya sendiri. Anaknya belum tentu menjadi Brahmana dan belum tentu menjadi Sudra, mungkin saja anaknya akan memiliki karakter pengusaha (Vaisya) atau prajurit (Ksatria).
Jadi, kalau kita memandang pernikahan ini dari ajaran Hindu, yaitu sistem Varna, maka tidak ada kewajiban seseorang harus berpindah dari satu varna ke varna yang lain hanya karena perkawinan, mereka hanya bisa pindah jika terjadi perubahan profesi, watak dan karakter. Tetapi jika kita pandang dari sistem kasta seperti kasus yang anda sampaikan, maka tentu jawabannya berbeda. karena sistem kasta sangat-sangat tidak cocok diterapkan dimanapun di dunia ini dan tidak akan pernah memberikan keadilan.
Saya pribadi sangat menentang orang yang mengaku Hindu tetapi masih menerapkan praktek seperti kasus diatas.
Jujur, saya sedang menulis sebuah karya tulis yang menyangkut Bali. Terima kasih atas informasinya. Saya mau bertanya lebih lanjut, apa maksud upacara patiwangi guna menurunkan derajat wanita brahmana yang menikah dengan pria sudra? Apakah ini disangkutpautkan dengan sistem varna atau kasta?
Yang saya maksudkan disini adalah sistem kasta, bukan sistem varna. Karena menurut novel yang saya baca, seorang wanita brahmana harus menjadi sudra ketika menikah dengan pria sudra. Sedangkan pria brahmana tidak mengharuskan diri untuk menurunkan derajatnya. Apakah ini cerminan sistem KASTA yang terpadu lengkap dengan budaya PATRIARKI?
Intinya, segala hal yang menyangkut perpindahan status seseorang dari atau menjadi Brahmana, Ksatria, Vaisya dan Sudra yang tidak didasarkan atas profesi, sifat, watak dan prilaku yang bersangkutan dapat dikatakan sebagai sistem Kasta.
Mengenai upacara patiwangi, jujur saya kurang tahu, mungkin karena sejak lulus SMA saya sudah meninggalkan Bali. Tetapi waktu saya masih di bali, tetangga saya pernah melakukan upacara wiwaha/perkawinan memaling (mencuri) yang dilakukan karena pihak cowok dari wangsa ksatria dan mengambil wanita sudra untuk dijadikan istrinya. dan kasus ini mungkin bisa dikatakan budaya Patriarki, yaitu menginstitusionalkan kekuatannya lewat sistem legalnya. Sistem legal dalam hal ini adalah upacara-upacara yang dilegalkan walaupun jika mengacu pada sumber yang otentik adalah tidak benar.
Apakah kasus ini sistem kasta apa warna? jawabannya sudah jelas, ini Kasta, atau di Bali dikenal dengan sistem wangsa. Kenapa? Karena pada kenyataannya, meskipun si cowok ini menggunakan embel-embel nama “Anak Agung”, tapi sujatinya dia adalah Sudra, karena kemampuan pemikirannya, keberaniannya, kemampuan organisator dan profesinya tidak mendukung. Dia hanya bekerja sebagai buruh bangunan. Bahkan dia sering bekerja untuk orang tua saya membangun rumah. Dengan kata lain pekerjaan dia yang sujati adalah buruh.
Saya tertarik mendengar anda yang sedang menulis tentang hal ini, dan saya berharap tulisan anda sukses untuk menyadarkan masyarakat akan kesalahan sistem kasta, feodalisme dan budaya patriarki, khususnya di masyarakat Bali.
Sebagai bahan pertimbangan, mungkin anda perlu memperdalam sejarah masuknya pasukan dan warga majapahit akibat terdesak dan terusir oleh penyebaran islam di jawa dan bagaimana Rsi Markandeya membangun tatanan masyarakat Bali yang baru. Mungkin saja awalnya sistem wangsa diciptakan oleh Rsi Markandeya untuk melindungi masyarakat Hindu di Bali waktu itu dari gempuran dan himpitan Islam. Tetapi seiring dengan berkembangnya jaman, sistem wangsa ini saat ini seolah-olah menjadi bumerang bagi kehancuran Bali sendiri.
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu ialah orang yang paling bertaqwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS.Al-Hujuraat: 10-13)
Jadi disisi Allah, faktor kemuliaan adalah ketakwaan, walau seseorang itu cuma tukang batu, namun karena dia bertakwa, dia lebih mulia dari seorang pejabat yang korupsi, disisi Allah.
Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah, sabda Rasulullah saw,”Sesungguhnya Allah tidak memandang kepada rupa dan hartamu tetapi Ia memandang kepada hati dan perbuatanmu.”
Karena efek ketakwaan adalah perbuatan yang baik, bukan sekedar melihat hasil secara materi. Hasil materi adalah kedudukan, seperti brahwana, ksatria, vaisya dan syudra, dll.
Bandingkan dalam Bhagavad Gita 4.13 di atas :
“Catur varna adalah ciptaan-Ku, menurut pembagian kualitas dan kerja, tetapi ketahuilah bahwa walaupun Aku penciptanya, Aku tak berbuat dan merubah diri-Ku”
Aku penciptanya tapi aku tak berbuat???? Apakah Aku lepas tangan bli??
Bro, baca dulu lebih mendetail dan menyeluruh bab 4 dari Bhagavad Gita. Apa arti dari tidak berbuat dan tidak merubah diri-Ku? Tidak berbuat, artinya Tuhan tidak akan menghakimi seseorang harus menjadi Brahmana, Kesatria, Veisya atau Sudra, tapi tergantung dari dirinya sendiri, dari hasil perbuatannya sendiri yang pada akhirnya berakibat pada apa yang dia peroleh. “Tidak merubah diri-Ku” artinya Tuhan tidak berpengaruh pada apa yang Dia ciptakan.
Bagaimana kedudukan manusia di mata Tuhan? Iya, memang benar, yang paling agung dan paling dicintai Tuhan adalah mereka yang berbakti pedada Beliau, sebagaimana disebutkan dalam bahagavad gita sloka 18.65.
Berpikirlah tentang-Ku senantiasa, menjadi penyembah-Ku, bersembahyang
kepada-Ku dan bersujud kepada-Ku. Dengan demikian, pasti
engkau akan datang kepada-Ku. Aku berjanji demikian kepadamu
karena engkau kawan-Ku yang sangat Kucintai.
Jadi sangat jelas kan bahwa Sistem Varna tidak menentukan tinggi rendahnya kedudukan seseorang? 🙂
lebih lanjut, dikatakan dalam Bhagavad Gita bab 5 dan 6 tentang karma yoga dan dhyana yoga sebagai berikut:
BAB LIMA,
KARMA YOGA – PERBUATAN DALAM KESADARAN KRSNA
Sloka 5.1
Arjuna berkata: O Krsna, pertama-tama anda meminta supaya hamba melepaskan ikatan terhadap pekerjaan, kemudian sekali lagi Anda menganjurkan bekerja dengan bhakti. Sekarang mohon memberitahukan kepada hamba secara pasti mana yang diantara keduanya lebih bermanfaat.
Sloka 5.2
Kepribadian Tuhan Yang Maha Esa menjawab: Melepaskan ikatan terhadap pekerjaan dan bekerja dalam bhakti maka kedua-duanya bermafaat untuk mencapai pembebasan. Tetapi diantara keduanya pekerjaan dalam bhakti lebih baik daripada melepaskan ikatan terhadap pekerjaan.
Sloka 5.3
Orang yang tidak membenci atau pun menginginkan hasil atau pahala dari kegiatannya dikenal sebagai orang yang selalu melepaskan ikatan. Orang seperti itu, yang bebas dari segala hal yang relatif, dengan mudah mengatasi ikatan material dan mencapai pembebasan sepenuhnya, wahai Arjuna yang berlengan perkasa.
Sloka 5.4
Hanya orang yang bodoh membicarakan bhakti [Karma Yoga] sebagai hal yang berbeda dari mempelajari dunia material secara analisis [sankhya]. Orang yang benar-benar bijaksana mengatakan bahwa orang yang menekuni salah satu diantara kedua jalan tersebut dengan baik akan mencapai hasil dari kedua-duanya.
Sloka 5.5
Orang yang mengetahui bahwa kedudukan yang dicapai dengan cara belajar secara analisis juga dapat dicapai dengan bhakti, dan karena itu melihat bahwa pelajaran analisis dan bhakti sejajar, melihat hal-hal dengan sebenarnya.
Sloka 5.6
Kalau seseorang hanya melepaskan segala kegiatan namun tidak menekuni bhakti kepada Tuhan, itu tidak dapat membahagiakan dirinya. Tetapi orang yang banyak berpikir yang menekuni bhakti dapat mencapai kepada Yang Mahakuasa dengan segera, wahai yang berlengan perkasa.
Sloka 5.7
Orang yang bekerja dalam bhakti, yang menjadi roh yang murni, yang mengendalikan pikiran dan indria-indria, dicintai oleh semua orang, dan diapun mencintai semua orang. Walaupun dia selalu bekerja, dia tidak pernah terikat.
Sloka 5.8 – 9
Walaupun orang yang sadar secara rohani sibuk dapat melihat, mendengar, meraba, mencium, makan, bergerak kesana kemari, tidur dan tarik nafas, dia selalu menyadari didalam hatinya bahwa sesungguhnya dia sama sekali tidak berbuat apa-apa. Ia mengetahui bahwa berbicara, membuang hajat, menerima sesuatu, membuka atau memejamkan mata, ia selalu mengetahui bahwa hanyalah indria-indria material yang sibuk dengan obyek-obyeknya dan bahwa dirinya menyisih dari indria-indria material tersebut.
Sloka 5.10
Orang yang melakukan tugas kewajibannya tanpa ikatan, dengan menyerahkan hasil perbuatan kepada Tuhan Yang Maha Esa, tidak dipengaruhi oleh perbuatan yang berdosa, ibarat daun bunga padma yang tidak disentuh oleh air.
Sloka 5.11
Para yogi yang melepaskan ikatan, bertindak dengan badan, pikiran, kecerdasan dan bahkan dengan indria-indria pun hanya dimaksudkan untuk penyucian diri.
Sloka 5.12
Orang yang berbhakti secara mantap mencapai kedamaian yang murni karena dia mempersembahkan hasil segala kegiatan kepada-Ku; sedangkan orang yang tidak bergabung dengan yang Mahasuci, dan kelobaan untuk mendapatkan hasil dari pekerjaannya, menjadi terikat.
Sloka 5.13
Apabila makhluk hidup yang membadan mengendalikan sifatnya dan secara mental melepaskan ikatan terhadap segala perbuatan, ia akan tinggal dengan bahagia di kota yang mempunyai sembilan pintu gerbang [badanjasmani], dan ia tidak bekerja ataupun menyebabkan pekerjaan dilakukan.
Sloka 5.14
Sang roh didalam badan, penguasa kota badannya, tidak menciptakan kegiatan, tidak menyebabkan orang bertindak ataupun menciptakan hasil perbuatan. Segala hal tersebut dilaksanakan oleh sifat-sifat alam material.
Sloka 5.15
Tuhan Yang Maha Esa tidak mengambil kegiatan yang berdosa atau kegiatan saleh yang dilakukan oleh siapapun. Akan tetapi, makhluk hidup yang membadan dibingungkan karena kebodohan yang menutupi pengetahuan mereka yang sejati.
Sloka 5.16
Akan tetapi, apabila seseorang dibebaskan dari kebodohannya dengan pengetahuan yang membinasakan kebodohan, pengetahuannya mengungkapkan segala sesuatu, seperti matahari menerangi segala sesuatu pada waktu siang.
Sloka 5.17
Apabila kecerdasan, pikiran, maupun kepercayaan dan tempat berlindung seseorang semua mantap dalam Yang Mahakuasa, dia disucikan sepenuhnya dari keragu-raguan mengetahui pengetahuan yang lengkap dan dengan demikian dia maju lurus menempuh jalan pembebasan.
Sloka 5.18
Para resi yang rendah hati, berdasarkan pengetahuan yang sejati, melihat seorang brahmana yang bijaksana dan lemah lembut, seekor sapi, seekor gajah, seekor anjing dan orang yang makan anjing dengan penglihatan yang sama.
Sloka 5.19
Orang yang pikirannya telah mantap dalam persamaan dan kemerataan sikap, telah mengalahkan keadaan kelahiran dan kematian. Bagaikan Brahman mereka bebas dari kelemahan, dan karena itu mereka sudah mantap dalam Brahman.
Sloka 5.20
Seseorang sudah mantap dalam kerohanian jika ia tidak merasa riang bila mendapatkan sesuatu yang menyenangkan ataupun menyesal bila ia mendapatkan sesuatu yang tidak menyenangkan, paham tentang dirinya sendiri, tidak dibingungkan, dan menguasai ilmu pengetahuan tentang Tuhan.
Sloka 5.21
Orang yang sudah mencapai pembebasan seperti itu tidak tertarik kesenangan indria-indria material, melainkan dia selalu berada dalam semadi, dan menikmati kebahagiaan di dalam hatinya. Dengan cara demikian, orang yang sudah insaf akan dirinya menikmati kebahagiaan yang tidak terhingga, sebab ia memusatkan pikirannya kepada Yang Mahakuasa.
Sloka 5.22
Orang cerdas tidak ikut serta dalam sumber-sumber kesengsaraan, yang disebabkan oleh hubungan dengan indria-indria material. Wahai putera Kunti, kesenangan seperti itu berawal dan berakhir, karena itu, orang bijaksana tidak bersenang hati dengan hal-hal itu.
Sloka 5.23
Kalau seseorang dapat menahan dorongan indria-indria material dan menahan kekuatan keinginan dan amarah sebelum ia meninggalkan badan yang dimilikinya sekarang, maka kedudukannya baik dan ia berbahagia di dunia ini.
Sloka 5.24
Orang yang berbahagia di dalam dirinya, giat dan riang di dalam dirinya, dan tujuannya di dalam dirinya, sungguh-sungguh ahli kebatinan yang sempurna. Dia mencapai pembebasan dalam Yang Mahakuasa, dan akhirnya dia mencapai kepada Yang Mahakuasa.
Sloka 5.25
Orang yang berada di luar hal-hal yang relatif yang berasal dari keragu-raguan, dengan pikirannya tekun di dalam hati, selalu sibuk bekerja demi kesejahteraan semua makhluk hidup, dan bebas dari segala dosa, mencapai pembebasan dalam Yang Mahakuasa.
Sloka 5.26
Orang yang bebas dari amarah dan segala keinginan material, insaf akan diri, berdisiplin-diri dan senantiasa berusaha mencapai kesempurnaan, pasti akan mencapai pembebasan dalam Yang Mahakuasa dalam waktu yang dekat sekali.
Sloka 5.27-28
Dengan menutup indria terhadap segala obyek indria dari luar, menjaga mata dan penglihatan dipusatkan diantara kedua alis mata, menghentikan nafas keluar dan masuk didalam lobang hidung, dan dengan cara demikian mengendalikan pikiran, indria-indria dan kecerdasan, seorang rohaniawan yang bertujuan mencapai pembebasan menjadi bebas dari keinginan, rasa takut dan amarah. Orang yang selalu berada dalam keadaan demikian pasti mencapai pembebasan.
Sloka 5.29
Orang yang sadar kepada-Ku sepenuhnya, karena ia mengenal Aku sebagai Penerima utama segala korban suci dan pertapaan, Tuhan Yang Maha Esa penguasa semua planet dan dewa, dan penolong yang mengharapkan kesejahteraan semua makhluk hidup, akan mencapai kedamaian dari penderitaan kesengsaraan material.
BAB ENAM
DHYANA-YOGA
Sloka 6.1
Kepribadian Tuhan Yang Maha Esa bersabda: Orang yang tidak terikat pada hasil pekerjaannya dan bekerja menurut tugas kewajibannya berada pada tingkatan hidup untuk meninggalkan hal-hal duniawi. Dialah ahli kebatinan yang sejati, bukanlah orang yang tidak pernah menyalakan api dan tidak melakukan pekerjaan apapun yang menjadi sannyasi dan yogi yang sejati.
Sloka 6.2
Hendaknya engkau mengetahui bahwa apa yang disebut melepaskan ikatan sama dengan yoga atau mengadakan hubungan antara diri kita dengan Yang Mahakuasan wahai putera Pandu, sebab seseorang tidak akan pernah dapat menjadi yogi kecuali ia melepaskan keinginan untuk memuaskan indria-indria.
Sloka 6.3
Dikatakan bahwa pekerjaan adalah cara untuk orang yang baru mulai belajar sistem yoga yang terdiri dari delapan tahap, sedangkan menghentikan segala kegiatan material dikatakan sebagai cara untuk orang yang sudah maju dalam yoga.
Sloka 6.4
Dikatakan bahwa seseorang sudah maju dalam yoga apabila dia tidak bertindak untuk kepuasan indria-indria atau menjadi sibuk dalam kegiatan untuk membuahkan hasil setelah meninggalkan segala keinginan material.
Sloka 6.5
Seseorang harus menyelamatkan diri dengan bantuan pikirannya, dan tidak menyebabkan dirinya merosot. Pikiran adalah kawan bagi roh yang terikat, dan pikiran juga musuhnya.
Sloka 6.6
Pikiran adalah kawan yang paling baik bagi orang yang sudah menaklukkan pikiran; tetapi bagi orang yang gagal mengendalikan pikiran, maka pikirannya adalah tetap sebagai musuh yang paling besar.
Sloka 6.7
Orang yang sudah menaklukkan pikiran sudah mencapai kepada Roh Yang Utama, sebab dia sudah mencapai ketenangan. Bagi orang seperti itu, suka dan duka, panas dan dingin, penghormatan dan penghinaan semua sama.
Sloka 6.8
Dikatakan bahwa seseorang sudah mantap dalam keinsafan diri dan dia disebut seorang yogi (atau ahli kebatinan) apabila ia puas sepenuhnya atas dasar pengetahuan yang telah diperoleh dan keinsafan. Orang seperti itu mantap dalam kerohanian dan sudah mengendalikan diri. Dia melihat segala sesuatu – baik batu kerikirl, batu maupun emas – sebagai hal yang sama.
Sloka 6.9
Seseorang dianggap lebih maju lagi apabila dia memandang orang jujur yang mengharapkan kesejahteraan, penolong yang penuh kasih sayang, orang netral, perantara, orang iri, kawan dan musuh, orang saleh dan orang yang berdosa dengan sikap pikiran yang sama.
Sloka 6.10
Seorang rohaniwan seharusnya selalu menjadikan badannya, pikiran dan dirinya tekun dalam hubungan dengan Yang Mahakuasa. Hendaknya dia hidup sendirian di tempat yang sunyi dan selalu mengendalikan pikirannya dengan hati-hati. Seharusnya dia bebas dari keinginan dan rasa memiliki sesuatu.
Sloka 6.11 – 12
Untuk berlatih yoga, seseorang harus pergi ke tempat sunyi dan menaruh rumput kusa di atas tanah, kemudian menutupi rumput kusa itu dengan kulit rusa dan kain yang lunak. Tempat duduk itu hendaknya tidak terlalu tinggi ataupun terlalu rendah, dan sebaiknya terletak di tempat suci. Kemudian yogi harus duduk di atas tempat duduk itu dengan teguh sekali dan berlatih yoga untuk menyucikan hatinya dengan mengendalikan pikiran, indria-indria dan kegiatannya dan memusatkan pikiran pada satu titik.
Sloka 6.13 – 14
Seseorang harus menjaga badan, leher dan kepalanya tegak dalam garis lurus dan memandang ujung hidung dengan mantap. Seperti itu, dengan pikiran yang tidak goyah dan sudah ditaklukkan, bebas dari rasa takut, bebas sepenuhnya dari hubungan suami-isteri, hendaknya ia bersemadi kepada-Ku di dalam hati dan menjadikan Aku sebagai tujuan hidup yang tertinggi.
Sloka 6.15
Dengan berlatih mengendalikan badan, pikiran dan kegiatan senantiasa seperti itu, seorang ahli kebatinan yang melampaui keduniawian dengan pikiran yang teratur mencapai kerajaan Tuhan [atau tempat tinggal Krsna] dengan cara menghentikan kehidupan material.
Sloka 6.16
Wahai Arjuna, tidak mungkin seseorang menjadi yogi kalau dia makan terlalu banyak, makan terlalu sedikit, tidur terlalu banyak atau tidak tidur secukupnya.
Sloka 6.17
Orang yang teratur dalam kebiasaan makan, tidur, berekreasi dan bekerja dapat menghilangkan segala rasa sakit material dengan berlatih sistem yoga.
Sloka 6.18
Apabila seorang yogi mendisiplinkan kegiatan pikirannya dan menjadi mantap dalam kerohanian yang melampaui hal-hal duniawi-bebas dari segala keinginan material-dikatakan bahwa dia sudah mantap dengan baik dalam yoga.
Sloka 6.19
Ibarat lampu di tempat yang tidak ada angin tidak bergoyang, seorang rohaniwan yang pikirannya terkendalikan selalu mantap dalam semadinya pada sang diri yang rohani dan melampaui hal-hal duniawi.
Sloka 6.20-23
Pada tingkat kesempurnaan yang disebut semadi atau samadhi, pikiran seseorang terkekang sepenuhnya dari kegiatan pikiran yang bersifat material melalui latihan yoga. Ciri kesempurnaan itu ialah bahwa seseorang sanggup melihat sang diri dengan pikiran yang murni ia menikmati dan riang dalam sang diri. Dalam keadaan riang itu, seseorang berada dalam kebahagiaan rohani yang tidak terhingga, yang diinsafi melalui indria-indria rohani. Setelah menjadi mantap seperti itu, seseorang tidak pernah menyimpang dari kebenaran, dan setelah mencapai kedudukan ini, dia berpikir tidak ada keuntungan yang lebih besar lagi. Kalau ia sudah mantap dalam kedudukan seperti itu, ia tidak pernah tergoyahkan, bahkan di tengah-tengah kesulitan yang paling besar sekalipun. Ini memang kebebasan yang sejati dari segala kesengsaraan yang berasal dari hubungan material.
Sloka 6.24
Hendaknya seseorang menekuni latihan yoga dengan ketabahan hati dan keyakinan dan jangan disesatkan dari jalan itu. Hendaknya ia meninggalkan segala keinginan material yang dilahirkan dari angan-angan tanpa terkecuali, dan dengan demikian mengendalikan segala indria di segala sisi melalui pikiran.
Sloka 6.25
Berangsur-angsur, selangkah demi selangkah, seseorang harus mantap dalam semadi dengan menggunakan kecerdasan yang diperkokoh oleh keyakinan penuh, dan dengan demikian pikiran harus dipusatkan hanya kepada sang diri dan tidak memikirkan sesuatu selain itu.
Sloka 6.26
Dari manapun pikiran mengembara karena sifatnya yang berkedip-kedip dan tidak mantap, seseorang dengan pasti harus menarik pikirannya dan membawanya kemabli dibawah pengendalian sang diri.
Sloka 6.27
Seorang yogi yang pikirannya sudah dipusatkan pada-Ku pasti mencapai kesempurnaan tertinggi kebahagiaan rohani. Dia berada di atas pengaruh sifat nafsu, dia menginsafi persamaan sifat antara dirinya dan Yang Mahakuasa, dan dengan demikian dia dibebaskan dari segala reaksi perbuatan dari dahulu.
Sloka 6.28
Dengan demikian, seorang yogi yang sudah mengendalikan diri dan senantiasa menekuni latihan yoga dibebaskan dari segala pengaruh material dan mencapai tingkat tertinggi kebahagiaan yang sempurna dalam cinta-bhakti rohani kepada Tuhan.
Sloka 6.29
Seorang yogi yang sejati melihat Aku bersemayam di dalam semua makhluk hidup, dan dia juga melihat setiap makhluk hidup di dalam diri-Ku. Memang, orang yang sudah insaf akan dirinya melihat Aku, Tuhan Yang Maha Esa yang sama dimana-mana.
Sloka 6.30
Aku tidak pernah hilang bagi orang yang melihat Aku di mana-mana dan melihat segala sesuatu berada di dalam Diri-Ku, dan diapun tidak pernah hilang bagi-Ku.
Sloka 6.31
Seorang yogi seperti itu, yang menekuni pengabdian yang patut dihormati kepada Roh Yang Utama, dengan mengetahui bahwa Aku dan Roh Yang Utama adalah satu, selalu tetap di dalam Diri-Ku dalam segala keadaan.
Sloka 6.32
Orang yang melihat persamaan sejati semua makhluk hidup, baik yang dalam suka maupun dalam dukanya, menurut perbandingan dengan dirinya sendiri, adalah yogi yang sempurna, wahai Arjuna.
Panjang aja cuy….. basa jadi skrip siaran radia tuh…
awkwkwkwk
@Yudhis: Anda benar sekali. ini memang pernah jadi skrip radio. Sewaktu sloka-sloka ini diucapkan oleh Krishna sendiri, Widura menjadi penyiar radio bagi Dhrstarata. Ia menyiarkan semua ucapan dan apa yang terjadi di kurukshetra secara LIVE (kayak liga italia atau champion) kepada sang raja. Kok Anda bisa tahu ya? Anda benar-benar jenius.
Tentang sistem warna dalam Hindu atau yang disalah pahami menjadi sistem kasta pada zaman sekarang. Yang saya tahu, dulu memang perkawinan beda warna diupayakan sebisa mungkin tidak terjadi. Kenapa? Agar dihasilkan manusia yang berkualitas.
contoh:
laki-laki(brahmana) nikah dengan perempuan (brahmana)
anaknya otomatis akan mewarisi sifat-sifat brahmana (buah tidak jatuh jauh dari pohonnya) si ibu dan ayah pasti akan mewarisi ilmunya kepada sang anak. anak yang ilmunya diperoleh dari kedua orang tua + guru di sekolahan akan nikah dengan yang berwarna sama, brahmana. anaknya akan mendapat turunan ilmu yang lebih mendalam.
Jika hal ini dilakukan dengan konsisten maka akan dihasilkanlah sebuah bangsa yang brahmana, ksatria, vaishya dan sudra tulen. MUNGKIN inilah yang terjadi di SATYA YUGA. dimana bumi adalah tempat yang SEMPURNA bagi ras manusia. Tapi yang namanya manusia… ada aja yang tidak bisa melaksanakan ini. Perkawinan antar warna membuat percampuran watak sehingga bakat kita tak lagi tulen pada satu hal. Coba aja Anda tes DMI (yang sidik jari itu loh) kita semua sekarang punya semua bakat yang dipunyai semua manusia di dunia. bakat yang menonjol dengan yang kurang paling cuma selisih berapa persen.
saya hanya mencoba menimpali pembicaraan di atas, mohon ditanggapi secara kepala dingin.
pengkastaan manusia jelas telah melanggar HAM , apapun alasannya, demikian pula dengan pardigma atau pola pikir yang menempatkan status sosial sebagai nilai manusia itu sendiri ..
pernahkah kita membayangkan bahwa banyak di antara pimpinan tinggi di dunia justru berasal dari keluarga yang bukan bangsawan , Suharto umpamnya adalah hanya anak seorang petani, tetapi kemampuan beliau memimpin negara banyak diakui ( terlepas dari kelemahannya ) …
demikian pula penamaan minoritas terhadap suku atau ras tertentu telah banyak menimbulkan kesedihan, bukankah gara gara ini telah terjadi kerusuhan mei 98 ?
jadi demi alasan apapun sebaiknya pengkastaan dilenyapkan dari muka bumi ini baik untuk alasan agama sekalipun !!
Baca dulu dengan detail mbak… Hindu tidak pernah membenarkan sistem kasta, dan artikel ini untuk membantah tuduhan bahwa Hindu mengajarkan kasta.
Gitu lho mbak…. jadi jangan asal comment doang ya… he..he…he…
iyo..siph
memang kasta selama ini di adopt di bali merupakan kesalahan berabad-abad..
memang kasta ada dng sendirinya, tiap di suatu daerah misal SMG gak mungkin smuanya jadi BoS smua..harus ada Yang jadi Tukang Becak untuk nganter pak Bos ke kantor dan harus ada elemen2 lain menurut kerja dan skill masing2..nah tapi ANak tukang becak tidak selamanya jadi tukang becak, bisa aja anak tukang becak jadi BOS BECAk..
lha kasta memang secara hierarki selalu ada, tp gak usah dibuat pusing intinya emang berdasarkan profesi bukan berdasarkan keturunan..
aq se7 mas.
@hermi : “uedan kok isa sampe HAM dibawa2 sgala toh? gak mudeng y ni orang??, masalah simple jangan dibuar ribet dong Bu..”
Semoga pikiran yang baik datang dari segala penjuru. Yang terpenting adalah bagaimana cara mengembalikan persepsi dan implementasi Catur Warna ini di masyarakat yang sudah sangat membudaya, baik di Bali, jawa, sumatra, dan di berbagai daerah di Nusantara ini. Mungkin ada yang punya usulan?
Salam damai.
OSA,
Masalah kasta yang ada di Bali pelan2 akan cair. Saat ini sudah banyak yang kelahiranya dr keluarga sudra menurut catur wangsa sekarang sudah bisa menjadi sulingih (brahmana), ksatria, dll. Contoh real, Anda tahu Pak Putu Setia, Wartan senior Tempo saat ini telah mediksa dan mejadi sulingih. So, saat ini dari kalang manapun kalau sudah mampu dan mumpuni menjadi brahmana disilahkan tanpan memandang asal kelahirnanya. Rsi Walmiki sendiri kalau ngak salah adalah seorang pemburu awalnya.
Nah, dilingkungan kerja sy pun baik dr wangsa brahmna maunpun yang lain ngak masalah dan tidak menganggap seperti orang diluar bali bayangkan. Kedepannya, masalah kasta di bali akan semakin cair tinggal sebagai produk budaya saja.
salam peace, OSSO
@hermi:
anda krn diawali pngaruh prasaan merendahkan agama lain dan mnganggap agama anda plng benar,, anda tdk mmbaca dg bnar lalu marah2 n ngejek2 g jelas..
baca dulu.. cerna.. nah, g ad kasta d agma hindu…..
saya cm khawatir, jika anda brdebat dg cara otak yg trdoktrin keras, n ssh mncerna serta mngungkapkan.. anda akan mrasa malu d forum ini…..
SBU..
mungkin seharusnya banyak orang yang membaca postingan ini
Saya tertarik skali dgn tulisan ini. Kebetulan sekali saya sedang mengalami masalah krn kefanatikan & keegoisan tentang kasta(wangsa) di Bali. Saya sampai saat ini blm memperoleh restu dari ibu mertua saya krn anak gadisnya saya larikan dan terpaksa nyerod ke wangsa saya. Tapi saya tak pernah ambil pusing masalah ini.
Terlepas dari masalah itu, saya ingin bertanya tentang adanya pura-pura kawitan di bali yang mana menurut saya ini merupakan salah satu penguat kokohnya sistem wangsa/kasta di bali. Masyarakat bali pada umumnya (yg hindu) sepertinya tidak berani untuk meninggalkan kepercayaan dan penghormatan terhadap leluhur (kawitan) karena takut kena kutuk (sakit,hidup tidak tentram, dll). Pertanyaannya, bagaimana nanti persoalan kawitan ini jika menerapkan sistem warna tersebut? Mohon penjelasan dan pencerahnya bli..
OSA
DIBALI BANYAK MENYALAH ARTIKAN SISTEM CATUR WARNA. PADAHAL KALO DILIHAT DARI ARTIKEL DIATAS (KITAB SUCI WEDA) SIAPA SAJA BISA MENJADI BRAHMANA, KSATRIA, WESIA, ATAU SUDRA TERGANTUNG PROFESINYA/KERJANYA. KALO ORANGTUANYA SUDRA TERUS ANAKNNYA MAMPU MEMBERIKAN PENCERAHAAN PADA ORANG LAIN MAKA DIA DISEBUT BRAHMANA. KALO MENGEKU KETURUNAN BRAHMANA TETAPI HIDUPNYA BERJUDI, MERUGIKAN ORANG LAIN APA GAKMALU MASIH MENYANDANG BRAHMANA?
MASALAH KAWITAN/LELUHUR KITA WAJIB MENDOAKAN LELUHUR KITA AGAR DIAMPUNI DOSA-DOSANNYA DAN ANAK YANG SUPUTRA YANG DAPAT MEMOHONKAN AMPUN LELUHURNYA. KALO DIBALI BANYAK SALAH KAPRAH NAH… SEKARANGLAH SAATNYA HARUS MEMPUNYAI KEBERANIAN UNTUK MELURUSKAN APA YANG HARUSNNYA MANJADI KEBENARAN..DALAM HAL INI TENTUNYA ADA YANG MERASA DIRUGIKAN. TETAPI MENURUT PENDAPAT SAYA ITU LEBIH BAIK DARI PADA BERDOSA BERKEPANJANGAN KARENA BERTENTANGAN DENGAN AJARAN KITAB SUCI WEDA
SHANTI
pak mau nanya…apa konsep hindu tentang…
1. manusia pertama?
2. agama dari bangsa2 selain india?
3. bagaimana seorang yang masih bergelimang dosa dan mati pada saat kiamat, apakah akah kembali menjalani kehidupan selanjutnya (reinkarnasi)?
4. apa kelemahan agama hindu?
@anak manusia,,
saya sarankan, baca dari a-z web ini, nanti km akan tahu semua jawabannya,,
well,,
sy dr lahir menjadi seorang islam,, tp skrg bisa dibilang sy sedang mencari kepercayaan yang paling pas buat sy, krn sy merasa islam bukan buat sy,,
maaf ni bli” disini klo sy jadi curhat,, hehe,, cm mw blg,, sy menemukan ketenangan dalam hindu jauh drpd islam,,
@Brama
slmt brgbung kmbali di jalan dharma bro.. 😀
@all Hindu
Rahajeng Rahinan Sarasvati..semoga Hyang Aji Saraswati memberikan mencurahkan Ilmu Pengetahuan yg utama kpd qt smw,svaha.
OSA
Slmat hari raya sarasvati smoga kita slalu diberi ilmu pengetahuan & pencerahan..
OM EIM SARASVATI SVAHA..
Om canti canti canti Om..
saya harus memberitahu teman2 tentang artikel ini, semoga tman2 disklah smp mengerti akan hal ini……….
Anda semua tentu seorang hindu yg paham sekali tentang ajaran anda..
Mnurut saya sistem apapun yg mengatasnamakan pengkastaan adalah tidak benar.. Apapun!!
Truz, saya agk heran nech, hindu itu agama atau kepercayaan? Yg saya tau agama dan kepercayaan mempunyai makna yg berbeda.. Truz, kitabnya ngajarin apa??..
@Ngarayana
Jika memang bahwa catur warna dari Tuhan:
catur-varnyam maya srstam
guna-karma-vibhagasah
tasya kartaram api mam
viddhy akartaram avyayam
“Catur varna adalah ciptaan-Ku, menurut pembagian kualitas dan kerja, tetapi ketahuilah bahwa walaupun Aku penciptanya, Aku tak berbuat dan merubah diri-Ku”
Maka anda harus konsisten juga, sekarang bukankah catur warna juga telah di hapus oleh Tuhan?
anda lupa ya…..?
Yaitu ketika Tuhan turun ke bumi dengan berwujud Sang Buddha beliau mengajarkan penghapusan kasta.
lalu mengapa anda (orang Hindu0 tidak konsisten dengan peraturan Tuhan anda…?
@ Marxix
Mohon dimengerti dulu perbedaan catur varna dengan kasta ya saudara Marxix… Varna tidak pernah dihapuskan oleh siapapun dan kapanpun. di negara sekuler atau komunis sekalipun harus ada orang-orang yang bertindak sebagai tentara dan pemerintahan (kesatria), sebagai pedagang (vaisya), sebagai pelayan (Sudra) dan orang arif bijaksana (Brahmana). Beda varna dengan kasta adalah pada penurunannya. Sistem Varna ada karena guna dan karma seseorang, tetapi sistem kasta ada karena feodalisme yang menjadikan keturunannya memiliki kedudukan yang sama dengan leluhurnya. 😉
salam,-
Lalu apa golongan bagi seorang ahli agama yang memimpin negara, menjadi panglima di medan perang, mencari nafkah dengan berdagang dan menjadi buruh?
om swastiastu, maaf sebelumnya,,utk mendapakan klarifikasi yg jlas mending kita berkonsultasi dengan orang ygrelevan dan berkompeten dalam bidang keagaamaan seperti pedande dan sulinggih lainnya, agar tidak terjadi ketimpang tindihan pemahaman, karena kalau konsep yg didiskusikan disini sudah tidak jelas malah akan menambah keruh situasi, jadi bagi yg tidak tahu dan tidak berkompeten mhon agar tidak ikut2an berkomentar yang nantinya akan berujung pada pencemaran, dan pelecehan SARA…untk sistem kasta atau vangsa sendiri sudah merupakan salah satu warisan budaya, jadi ketika ini dihapus maka akan seperti anda kehilangan salah satu identitas diri anda,,,jadi pahamkan itu dulu,,
Om Swastiastu, mohon maaf sebelumnya bagi kalian yang tersinggung mendengar komentar saya……Saya setuju dengan pendapatnya agung jika sistem kasta atau wangsa itu sampai hilang maka jati diri untuk umat hindu akan hilang….
saya ingin menambahkan, yaitu bagi orang yang berprofesi sebagai pedanda, seorang prajurit atau yang lainnya yang bukan diambil dari golongannya, itu hanya sebuah profesi dan tidak ada sangkut pautnya bagi orang yang sepantasnya mengambil pekerjaan tersebut. memang dia mengambil pekerjaan tersebut tapi bukan berarti dia masuk kegolongan tersebut…..
orang berkasta adalah tetap orang berkasta dan orang biasa akan tetap menjadi orang biasa maupun mereka memiliki profesi yang besar ataupun menjadi boss
jadi bagi orang yang tidak tau tentang kasta ataupun agama, dimohonkan agar belajar lebih banyak lagi, agar tidak memberikan saran yang tidak jelas asal usulnya. trimakasih, dan ampura bagi yang merasa tersinggung…….
berkomentarlah yang baik jangan membuat orang bingung……
Belajar yuk tentang Agama………
Om Santih, Santih, Santih Om
to bli ngarayana ikut nimbrung
@abdiabadi
“Lalu apa golongan bagi seorang ahli agama yang memimpin negara, menjadi panglima di medan perang, mencari nafkah dengan berdagang dan menjadi buruh?”
komentar ….
Pertanyaan yang baik,
pemahaman saya tentang kasta adalah garis keturunan jadi, merupakan warisan leluhur, budaya, sehingga tidak perlu diributkan.
Sedangkan pemahaman saya tentang WARNA adalah PROFESI, PEKERJAAN, JOB, MATA PENCAHARIAN yang disesuaikan dengan BAKAT DAN ATAU KEMAMPUAN SESEORANG. (guna dan karma)
tentu saja seseorang tidak harus memiliki satu WARNA / MATA PENCAHARIAN
Misalnya “Abdiabadi” adalah seorang Polisi (warna Ksatrya) mendapat gaji, pada saat lepas dinas, dia jadi Petani (warna Waisya) dia memperoleh penghasilan darinya, pada malam hari dia memberi seorang guru musik (warna Brahmana) dan memperoleh uang dari siswanya
karena suatu hal semua penghasilannya diatas habis untuk bayar hutang, tidak cukup untuk membiayai kehidupannya maka terpaksa dia juga di waktu luangnya, menerima pesanan untuk pengetikan (warna sudra/buruh) dan mendapat ongkos.
selanjutnya kita tunggu jawaban Bli Ngarayana !
semoga menambah wawasan
@DAYU dan AGUNG
Om Swastiastu
Berbicara mengenai kasta. saya seneng ada Pandangan yang berbeda terutama yang berbicara adalah yang katanya dibali dikatakan berkasta tinggi.
Menurut artikel ini jelas dan dasarnya adalah Veda.
kalo dari koment anda berdasarkan dari apa ya. kalo anda mengatakan diri anda adalah Hindu maka kitab suci yang digunakan adalah veda.
kalo dari penjelasan Ibu Dayu. dasarnya apa ya mohon pencerahannya.karena saya ingin banyak belajar sesuai saran ibu. terima kasih
mudah2an ibu berkenan menyampaikan agar apa yang disampaikan ibu dapat diterima dengan baik bukan hanya sekedar saran “angin”.
Om CCC Om
Wah, di sini menarik sekali diskusinya.
Menurut saya ada beberapa permasalahan jika kita berbicara tentang isu kasta, di Bali khususnya.
Permasalahan pertama, para ‘pengguna’ sistem kasta itu sendiri masih bingung mengenai asal-usul dari sistem ini, apakah ini berdasarkan agama, atau tradisi? Kalau agama, mana buktinya dalam kitab-kitab agama? Kalau tradisi, tradisinya siapa? (‘kasta’ lho ya, bukan ‘catur varna’)
Permasalahan kedua, seiring berjalannya waktu para ‘pengguna’ sistem ini mulai mempertanyakan konsep dari sistem kasta. Kenapa harus ada sistem ini? Apa esensi dari sistem ini?
Dan berdasarkan yang saya amati sih, pertanyaan-pertanyaan ini ternyata tidak terjawab di masyarakat. Kenapa tidak terjawab? Karena terjadi ‘keanehan-keanehan’ yang mereka sendiri tidak bisa ingkari, seperti misalnya orang yang berkasta brahmana tapi kok ternyata malah berkelakuan tidak saleh sama sekali, atau orang yang berkasta sudra malah berkelakuan sangat saleh melebihi si brahmana. Lucu kan?
Sayangnya ‘keanehan-keanehan’ ini tidak bisa dijawab berdasarkan satu sumber. Kenapa tidak bisa? Karena, kembali ke permasalahan pertama, sumbernya sendiri tidak jelas. Jadi kalau misalnya ini dalam bidang akademik, maka kita akan bingung mau mengacu pada teori yang mana. (sekali lagi, yang kita bicarakan “kasta” ya, bukan “catur varna”.)
Di lain sisi, masih banyak ‘penguna’ sistem kasta ini yang bangga dan memiliki fanatisme akan sistem kasta ini di masyarakat. Kenapa? Ya karena mereka diuntungkan dan terbuai dengan adanya sistem ini (yang mau tidak mau kita jadi berbicara mengenai feodalisme).
Jadi, terdapat pergulatan batin di antara para ‘pengguna’ nya di sini: “Sistemnya sih ngga jelas, tapi kalau dihilangkan kok rasanya sayang ya?”
Dua permasalahan dan kebingungan ini tercermin jelas dari pernyataan Jeng Dayu,
“Saya setuju dengan pendapatnya agung jika sistem kasta atau wangsa itu sampai hilang maka jati diri untuk umat hindu akan hilang…”
Dari pernyataan Jeng Dayu tersebut saya jadi miris dan bertanya-tanya, Hindu yang dimaksud itu yang mana, Jeng? Apakah Hindu yang percaya Veda? Kalau Hindu yang seperti itu yang dimaksud maka, seperti yang sudah dibahas di artikel ini, coba deh Jeng Dayu bongkar semua Veda yang Jeng Dayu punya, ada ngga dijelaskan sistem kasta seperti yang terjadi selama ini, di Bali khususnya?
Lalu pertanyaan ke-2, jati diri yang dimaksud itu jati diri yang seperti apa? Jati diri yang menunjukkan bahwa brahmana, ksatriya, vaisya, dan sudra hanyalah status belaka dan tidak usah dicerminkan dalam kehidupan sehari-hari? Kok rasanya dengan mengatakan itu yang dimaksud dengan jati diri, kita sudah melecehkan status brahmana, ksatriya, vaisya, dan sudra itu sendiri ya?
Atau…jati diri yang dimaksud di sini adalah jati diri di mana anda merasa derajatnya lebih tinggi atau lebih rendah dari orang lain hanya karena ada ’embel-embel’ pada nama anda? Kok dangkal sekali ya pemahaman mengenai jati dirinya?
Terus gimana donk?
Ya..seperti yang sudah dijelaskan panjang lebar di artikel ini, kalau menurut anda sistem ‘kasta’ itu adalah ciri khas Hindu dan berasal dari Veda, maka cari kebenarannya. Yang ada di Hindu itu ya sistem catur varna: dalam hidup bermasyarakat, manusia digolong-golongkan menjadi brahmana, ksatriya, vaisya, dan sudra. Yang mana penggolongannya memang berdasarkan dharma orang itu untuk lahir ke muka bumi ini, bukan karena bapak-ibu, kakek-nenek, cicit-buyut, dsb. Buka pikiran anda dan praktikan itu dalam kehidupan nyata, jangan cuma bisa fanatik dengan ’embel-embel’ pada nama anda itu.
Sedangkan kalau menurut anda sistem kasta itu adalah jati diri di mana anda merasa derajatnya lebih tinggi atau lebih rendah dari orang lain hanya karena ada ’embel-embel’ pada nama anda… Ya sudah, berarti anda sudah menjadi korban dari produk ‘pra-sejarah’ feodalisme nya bangsa Eropa dulu.
Pada akhirnya, saya melihat bahwa pembahasan mengenai sistem kasta dalam “Hindu” yang ada di artikel ini sudah seharusnya dipahami dengan pikiran yang terbuka dan dijalani yang benarnya oleh orang-orang yang menjadi bagian dari sistem itu sendiri, baik sengaja maupun tak sengaja. (anda tidak bisa memilih lahir di mana toh?)
=)
Peace….
@Yosua:
Kebetulan beberapa tahun yang lalu saya pernah membuat analisa cultural studies mengenai buku Oka Rusmini yg berjudul “Tarian Bumi”.
Yang saya dapatkan dari buku itu adalah kenyataan bahwa pada praktiknya sistem kasta yang ada di Bali itu seringkali membawa masalah yang sangat pelik (complex), terlebih lagi jika dikaitkan dengan isu ketidakadilan gender (bukan kodrat lho ya).
Kemudian jika kita berbicara mengenai pernikahan antar “status” ini maka kita pasti akan bertanya-tanya, siapa yang ‘dirugikan’ oleh sistem ini? Status yang DIANGGAP lebih tinggi atau yang lebih rendah? Laki-laki atau perempuan?
Ya kedua-duanya.
Kalau status dalam sistem kasta nya ‘tinggi’, gengsi diri dan keluarganya jadi menghalangi dia untuk bisa berbagi kehidupannya dengan orang dari status yang lebih ‘rendah’.
Sedangkan kalau status dalam sistem kasta nya ‘rendah’, rasa rendah dirinya akan membuat dia malu untuk menjadi bagian dari keluarga si orang yang berstatus ‘tinggi’.
Sekarang yang sakit hati jadinya siapa? Ya dua-duanya.
Kalau dalam buku “Tarian Bumi” itu, kita bisa melihat kesengsaraan ini dialami oleh salah satu tokoh utama perempuan, Telaga. Betapalah menderitanya tokoh ini. Di satu sisi, dia dibuang dari keluarganya karena menikahi laki-laki dari kasta yang lebih rendah. Di sisi lain, alih-alih mendapatkan penghormatan dari keluarga suaminya yang berkasta lebih rendah, Telaga malah dicibir dan direndahkan karena latar belakang kastanya.
Apakah cuma Telaga yang menderita di sini? Tentu tidak, suaminya juga menderita, keluarga kedua belah pihak juga menderita. Suaminya pada akhirnya terus merasa bersalah karena “menurunkan” derajat si istri yang berakibat pada kecacatan psikis rumah tangga mereka. Dan pada akhirnya penderitaan akibat kasta ini terus berlanjut sampai di kehidupan anak mereka, Luh Sekar.
Saya sempat berandai-andai, apakah jika kondisinya ditukar mereka akan bisa hidup lebih bahagia? Bagaimana jika si laki-laki berkasta lebih tinggi dari si perempuan? Apakah pernikahan mereka akan lebih bahagia?
Dan saya menemukan bahwa jawabannya adalah tidak. Jika si laki-laki berkasta lebih tinggi, pasti akan ada rasa malu yang dialami oleh laki-laki tersebut (baik disadari maupun tidak, diakui maupun tidak) karena cuma bisa mendapatkan istri dengan kasta yang lebih rendah.
Sedangkan bagi si perempuan, harusnya dengan mendapatkan suami yang berkasta tinggi dia akan bahagia bukan? Belum tentu, karena dengan bersuamikan orang dari kasta lebih tinggi tidak menjamin bahwa ia akan mendapatkan penghargaan yang sama dengan perempuan-perempuan lain yang memang terlahir dalam kasta yang sama dengan suaminya. Malah mungkin dia akan terjebak dalam situasi di mana dia akan selalu dibanding-bandingkan dan disesali ‘kekastaannya’. Salah satu contoh yang kita bisa lihat dalam hal ini yaitu adanya pembedaan panggilan bagi para perempuan yang “diangkat” kastanya ini, mereka biasa disebut dengan panggilan “jero”.
Lebih ironisnya lagi, kedudukannya bahkan menjadi lebih rendah dari anak-anak yang akan ia dapatkan dari suaminya yang berkasta lebih tinggi itu.
Dan apakah permasalahan ini akan berhenti sampai di situ? Tentu tidak. Permasalahan kasta lebih tinggi-lebih rendah akan muncul lagi dalam kehidupan anak-anak dari pasangan ini.
Jadi, dalam konteks pernikahan antar kasta ini pada akhirnya siapa yang menderita? Semua pihak.
Kisah lama yang terus bersambung
basi banget, tapi masih banyak yang suka mendaur ulang
Kasta , Wangsa , Varna
Di Bali memang unik, kadang istilah itu dicampur aduk, jangankan orang luar orang Bali sendiri bingung
btw untuk yg bukan orang Bali silahkan tanya teman anda yg orang Bali dengan pertanyaan ini
” nunasan antuk linggih ” ( anda dari keluarga mana ? )
tanpa ragu dia akan jawab
” tiang Pande atau Tiang Pasek …. Tiang Menak …. Tiang Gusti … Tiang Anak Agung….Tiang Ida Bagus …. dll
mereka ga akan jawab
” tiang sudra, tiang Waisya, Tiang Ksatria ato tiang Brahmana
keberadaan wangsa di Bali adalah menandakan garis keturunan tidak menandakan Varna seesorang, lalu bagaimana dengan kasta ?
kasta adalah istilah asing bagi orang Bali, namun lacur…. orang Bali begitu suka latah mengadopsi istilah kasta dalam kulturnya tanpa peduli sejatinya makna kasta itu sendiri
memang harus diakui adanya penyimpangan dalam praktik wangsa, beberapa oknum wangsa ini berlindung di balik ajaran Agama untuk memperkuat eksistensi mereka, ini murni masalah politik kekuasaan di jaman feodal, dan Agama dijadikan kedok untuk mendukung status mereka.sehingga terbagilah wangsa beserta keturunan di Bali itu kedalam masing2 Varna yang terdapat dalam ajaran Hindu, padahal secara tegas dalam kitab suci Varna adalah jenis pekerjaan ; kualitas ‘guna’ seseorang bukan berasal dari keturunan
menyamakan wangsa dengan kasta adalah salah, kasta secara tegas membagi suatu masyarakat ke dalam klas2 tersendiri, apakah dia masuk kelas Agamawan, bangsawan, pebisnis atau pekerja/ buruh
karena dalam wangsa di Bali pun bervariasi, dari satu keturunan yang sama mereka bisa menggunakan gelar yang berbeda,
” jadi bila anda melihat I Wayan dengan Anak Agung sembahyang di Pura keluarga yang sama, janganlah heran ”
mengapa bisa begitu ? sudah saya bilang diatas wangsa itu dipengaruhi oleh Politik kekuasaan jadi rentan dengan masalah politik kekuasaan, pemegang otoritas wangsa dan gelar atau titel di masa lalu adalah Raja.
Raja ini punya kekuasaan untuk merubah gelar seseorang, sebagai penghargaan atau sebagai hukuman
jadi bisa saja I Gusti A dan I Gusti B bersaudara, tapi karena I Gusti B bersalah pada Raja maka kena hukuman pangkat nya dicabut dan tidak diperbolehkan memakai titel/ gelar I Gusti berikut keturunannya
hal lain mengenai keunikan wangsa di Bali adalah masing2 klan/ keluarga/ wangsa punya Anggota keluarga yang menjadi Pendeta ( Bramana dalam sistem Varna ) dengan gelar yang berbeda : ada Pandita, Empu , Bhagavan, Pedanda … dll
apakah itu ada di sistem Kasta ???
jadi secara jelas bisa kita ambil kesimpulan bahwa keberadaan wangsa di Bali berbeda dengan kasta, dan penggolongan wangsa yang ada dalam sistem Varna adalah suatu “penyimpangan” dari ajaran Sanatana Dharma atau yg dikenal dengan Agama Hindu.
Hindu membagi masyarakat berdasarkan kualitas dan jenis pekerjaan ke dalam sistem Varna bukan berdasarkan keturunan.
menerapkan sistem Varna berdasarkan keturunan adalah menyimpang dari ajaran Dharma. wangsa yang dikait – kaitkan dengan Varna lalu diidentikan dengan Kasta adalah kultur orang Bali.
Apakah pembagian kelas berdasarkan keturunan hanya ada dalam masyarakat Hindu.
bagi yang non Hindu apa anda akan menerima jika ada perilaku menyimpang dari umat agama kalian kemudian agama kalian di cap mengajarkannya, tidak bukan ?
sebelum mengambil kesimpulan dan penilaian atas Agama orang lain tanya dulu kepada penganutnya, belajar isi kitab orang bila ga ngerti tanya pada mereka yang ahli di Agama tersebut., jangan malu2 bertanya apalagi mempelajari agama orang lain atas niat untuk merendahkannya.
klo belajar Hindu jangan nanya ke Kyai , Pastor, atau Bikhu tapi tanyalah pada seorang Sadaka /Pendeta Hindu.
numpang nanya nih :
Raja Abdullah dari Arab Saudi naik tahta menggantikan ayahnya Raja Fahd apakah itu bukan praktek kasta ?? dan Arab Saudi adalah negara Islam
dengan begitu saya yang Hindu pun bisa bilang Islam mengajarkan Kasta
Ratu Elizabeth II menggantikan ayahnya Raja George VI apakah bukan praktek kasta ?? dan Inggris mayoritas Kristen
dengan begitu saya yang Hindu pun bisa bilang Kristen menyetujui praktek kasta
tuk @ Ngarayana
ga usah dihapus bro wangsa yang ada di Bali, ntar kekeliruan itu akan menghilang sendiri , kini sudah mulai tumbuh kesadaran masyarakat Bali bahwa era Feodal telah berlalu, gelar keluarga hanya akan berperan sebagai penanda keluarga / garis keturunan tidak melambangkan status apalagi Varna sesorang
SALUT BOZZ !!!!!!
LIVE IS LOVE ENJOY IT
HYANG WIDHI
@ Dikjung
Anda membuat perbandingan yg sangat jauh yaitu: “Raja Abdullah di Saudi dan ratu elizabeth II menggantikan ayahnya Raja George VI apakah bukan praktek kasta ?? dan Inggris mayoritas Kristen”.
masalah negara dan kerajaan itu adalah masalah politik, ingat Inggris bukan kerajaan Kristen. jika kamu lebih teliti Kerajaan di Inggris skrg sifatnya adalah simbol.
Maka sangat jauh sekali perbandingan yg kamu berikan antara keduanya tersebut. jika kerajaan yg diincar adalah satu kursi, tetapi sistem wangsa/kasta terjadi merata di Bali. oke jika anda wangsanya tinggi memang tdk masalah, tetapi yg wangsanya rendah mereka menjadi rendah diri.
Jika sistwm wangsa adalah salah, maka mustahil zaman kuno dahulu para rsi dan ahli agama Hindu membiarkannya, tetapi justru sistem wangsa sudah ada sejak zaman kerajaan Hindu kuno di Bali, sebelum datangnya bangsa penjajah.
Anda bisa dan boleh saja membela praktek wangsa/varna/kasta bahwa itu dlm Hindu tdk ada, tetapi fakta dimasyarakat yang berbicara.
Lebih aneh lagi ketika anda :”ga usah dihapus bro wangsa yang ada di Bali, ntar kekeliruan itu akan menghilang sendiri”.
kata ntar itu beerapala lama waktunya…?
bukankah sudah ratusan tahun sistem tsb masih mencokol kuat…?!
Bukankah sistem wangsa sudah menjadi bagian “agama”, budaya org Bali..?
bagaimana bakal hilang jika selama ini masih mengggunakan slogan AJEG BALI.
@ Xarel X
Agama Hindu sudah ada sejak ribuan tahun silam. Penyimpangan demi penyimpangan sudah pernah terjadi dan kasta adalah salah satu penyimpangan yang sangat jauh. kalau memang Hindu dengan kitab suci Veda-nya membenarkan kasta, maka coba kutip satu sloka saja yang bisa membenarkan itu.
Begitu juga semua teman-teman Hindu yang merasa berkasta tinggi dan menjunjung sistem kasta, saya menantang kalian untuk membuktikan bahwa sistem kasta ada di Hindu dan perlu dipertahankan.
@all
hhuuuaaahhemmm….. lg2 topik yg sangat debateable.
Memang saudara Ngarayana pintar mencari topik yang memang patut untuk diperdebatkan, yeah i kinda like it.
setelah saya menyimak, apa yg teman2 diatas komentari, sangat berwarna warni sekali, ada yg bilang hapus sistem kasta, back to veda, jadikan sistem varna. hhmmm….. sangat menarik memang.
@Made
” Begitu juga semua teman-teman Hindu yang merasa berkasta tinggi dan menjunjung sistem kasta, saya menantang kalian untuk membuktikan bahwa sistem kasta ada di Hindu dan perlu dipertahankan.”
menantang ??!? yg pastinya bukan duel fisik atau pistol kayak koboi kan ?? ehehhehee
gini aja Made. ini sih baru pendapat saya, pertama kita harus tentukan mind set kita tentang kasta, dan kedudukan sosial seseorang, kalau anda merasa sistem kasta adalah suatu sistem pengelompokan status sosial antara tinggi dan rendah, so pasti anda akan berangasan tentang sistem ini. memang benar seperti yang disampaikan saudara Ngarayana bahwa sistem ini dibuat oleh Dang Hyang Nirartha pada jaman kerajaan di Bali, coba cari tujuan mulia penentuan sistem ini, kalau kita bertanya, apakah Beliau membuat sistem ini agar kaum kasta brahmana harus selalu paling dihormati ?? atau sebailknya kaum sudra tidak harus dihormati ?? sekali lg kita kembali ke mind set kita.
kalau anda berfikir bahwa sistem ini adalah ajang hormat menghormati, yah tentu saja akan terjadi konflik yg tajam, akan keluar kata `menantang` seperti yg anda sampaikan td. coba deh kita rubah mind set kita tentang sistem ini, apakah kita sekarang sudah lebih pintar dengan orang2 dulu ??
di bali sangat kental akan pemyembahan terhadap leluhur yg nantinya diyakini akan menghantarkan kita pada dewa-dewa (guru parantaram devam), yg pada akhirnya dengan restu dewa-dewa akan menghantarkan sembah bakti kita ke hadapah Tuhan, itu mutlak diyakini orang Bali.
nah…ketika dirasa pemujaan terhadap leluhur ini sangat penting, maka harus dibuatkan “tanda” leluhur, dengan tujuan keturunan tidak bingung mencari leluhurnya. Tanda itulah salah satu tujuan dibuatnya Kasta dan dikaitkan dengan adanya sistem ‘Pedharman’ di pura Besakih. tanda Clan ini diharapkan dapat mengingatkan keturunan untuk dapat mengenali leluhurnya untuk dikemudian hari disembah (dihormati).
bayangkan kalau sistem ini dicampur adukkan, maka tidak akan ada sistem Pedharman di pura Besakih.
lalu mana yg lebih tinggi kedudukaannya ?? jawaban saya belum tentu! tinggi rendah nya seseorang, patut dihormatinya seseorang itu tidak terlepas dari tingkah laku dari individu tersebut. bukankah di Veda kita diajarkan untuk menghormati seluruh ciptaanNYA ?
jadi yg merasa berkasta Brahmana bole semena2 bertindak karena merasa paling tinggi dan paling dihormati ??? NO WAY….
lalu yg merasa Sudra harus selalu menerima kata2 kasar dari kasta yg lain?? NO WAY EITHER ….
selayaknya kita sebagai orang Bali sadar dan tidak terlalu membuang waktu membahas ini, karena pada prinsipnya untuk bisa dihormati, kita harus bisa menghormati orang lain.
lalu kenapa kasta tertentu `terkesan` tinggi dan patut dihormati ?? mungkin itu merupakan bentuk penghormatan terhadap leluhur mereka akan jasa2 beliau dalam hal tertentu, sekarang tugas kita untuk menjalankan mandat itu. dimana keturunan kaum kasta Brahmana dianggap berjasa dalam memberikan pencerahan spiritual sehingga mempu menerangi kegelapan pikiran, kaum Ksatriya dihormati keturunannya karena dianggap berjasa dalam memperjuangkan kebebasan dan kesejahteraan rakyat, kaum Vaisya dihormati keturunannya karena berjasa mempertahankan sistem perekonomian suatu daerah, dan keturunan kasta Sudra pun dihormati keturunannya karena jasa pengabdiannya yg sangat tinggi kepada seluruh aspek kasta.
mari belajar bersama….
Salam,-
@ Made
Made kamu kurang teliti membaca tulisanku, aku gak pernah menulis dalam Veda ada kasta. tapi yg kutulis:
“Bukankah sistem wangsa sudah menjadi bagian “agama”, budaya org Bali..?”
tulisan agama saya beri tanda kutip itu berarti bukan agama, melainkan oleh panganutnya seakan-akan berasal dari ajaran agama.
Masalah Kasta itu tugas kalian sebagai generasi Muda Hindu memberikan pencerahan pd ummatnya. paling tdk ada sebuah gerakkan walopun kecil tapi hrs dimulai. misalkan penghilangan gelar Anak Agung, Ida Bagus. nama-nama yg menunjukkan adanya perbedaan orang biasa dan orang terhormat.
@ Xarel X
Apalah arti sebuah nama. Begitu kata orang. Justru saya sarankan supaya generasi muda Hindu semua memakai nama Anak Agung, Gusti, atau Ida Bagus biar semua jadi keren namanya. Kan tidak ada undang-undang yg melarang pemakaian nama sepanjang masih bisa dieja. he he he :))
@ Xarel X
>>>>>>>
Anda membuat perbandingan yg sangat jauh yaitu: “Raja Abdullah di Saudi dan ratu elizabeth II menggantikan ayahnya Raja George VI apakah bukan praktek kasta ?? dan Inggris mayoritas Kristen”.
masalah negara dan kerajaan itu adalah masalah politik, ingat Inggris bukan kerajaan Kristen. jika kamu lebih teliti Kerajaan di Inggris skrg sifatnya adalah simbol.
>>>>>>>
wkwkwkwk ternyata anda ga tau jalan pikir orang, nafsu amat berdebat ya ?
menurut kamu gimana pola pikir non Hindu memandang wangsa di Bali ? , Bali labelnya Hindu
jadi karena adanya praktek wangsa di Bali maka Hindu di cap sebagai penyebabnya ( didiskreditkan ) ini semata2 untuk jualan kecap no 1 mereka
perbandingan yg saya pake itu adalah memakai jalan pikir mereka
bila mau mengkaitkan ajaran Agama dengan perilaku/ adat istiadat/ praktek dari masyarakat penganutnya
tinggi rendahnya wangsa di Bali juga disebabkan faktor sosial politik era kerajaan, jadi bukan karena Hindu
ngerti kan ??
>>>>>>
Lebih aneh lagi ketika anda :”ga usah dihapus bro wangsa yang ada di Bali, ntar kekeliruan itu akan menghilang sendiri”.
kata ntar itu beerapala lama waktunya…?
>>>>>>
anda ga tinggal di Bali ya ? tapi merasa tau bener tentang kehidupan di Bali wkwkwkwk
lihatlah anak muda Bali sekarang mereka ga peduli tentang tinggi rendah suatu wangsa, perkawinan antar wangsa sekarang udah lumrah terjadi, dan sistem yg dipakai pun memadik (meminang) ini merupakan tanda bahwa orang Bali mulai menyadari bahwa semua wangsa adalah sederajat.
jadi ngapain digugat lagi ?? kesalahan itu akan terkoreksi sendiri oleh orang Bali
kita di Bali udah berbenah, ngapain pake acara ribut segala ….
@ All
Di kampung saya di Sulawesi, banyak orang yang bergelar I Gusti dan Anak Agung tapi hidupnya melarat. Bahkan ada yang menjadi pesuruh di rumahnya I Wayan yang sukses menjadi pengusaha.
Kasihan dikau oh gelar bangsawan….
@ Untuk semua
Kesimpulannya: Hindu tidak mengajarkan sistem kasta. Dalam Hindu dikenal sistem Varna: Merah Jingga Kuning Hitam Ungu Hijau Putih dll. Dan dari Varna itu bisa dicampur-campur menjadi 10.000 varna. Hasil pencampuran itu menjadi sulit diberi nama. Apalagi nyampurnya ngawur dan dengan komposisi yang juga ngawur he he he kayak cat aja.
Ini yang benar Bro…..
Bhagavad Gita 4.13
catur-varnyam maya srstam
guna-karma-vibhagasah
tasya kartaram api mam
viddhy akartaram avyayam
“Catur varna adalah ciptaan-Ku, menurut pembagian kualitas dan kerja, tetapi ketahuilah bahwa walaupun Aku penciptanya, Aku tak berbuat dan merubah diri-Ku”