Dapatkan ebook Prabhupada Lilamrta dalam bentuk PDF pada link di akhir artikel ini.

Kepopuleran mendunia dari Sri Srimad A.C. Bhaktivedanta Swami, yang kemudian dikenal sebagai Srila Prabhupada, mencuat setelah tahun 1965 setelah beliau tiba di Amerika. Sebelum meninggalkan India beliau menulis tiga judul buku; dalam dua belas tahun berikutnya beliau menulis lebih dari enam puluh judul buku. Sebelum meninggalkan India beliau menginisiasi seorang murid; dalam dua belas tahun berikut-nya, beliau menginisiasi lebih dari empat ribu murid. Sebelum meninggalkan India siapa pun sulit mempercayai bahwa beliau akan sanggup memenuhi visi tentang sebuah masyarakat para penyembah Krishna yang mendunia; namun dalam dekade berikutnya beliau membentuk dan memelihara International Society for Krishna Consciousness (ISKCON/ Masyarakat Kesadaran Krishna Internasional) dan membuka lebih dari seratus center (pusat pengajaran). Sebelum berlayar menuju Amerika, beliau belum pernah keluar dari India; namun dalam dua belas tahun berikutnya beliau berkeliling dunia berulang-kali mempropagandakan gerakan kesadaran Krishna.

Walaupun kontribusi hidupnya mungkin tampak muncul sebagai sebuah gebrakan pencapaian-pencapaian spiritual revolusioner yang agak terlambat, enam puluh sembilan tahun pertama kehidupannya adalah persiapan untuk pen-capaian-pencapaian tersebut. Walaupun bagi orang-orang Amerika Prabhupada dan ajarannya merupakan sebuah ke-munculan mendadak orang tak dikenal ”Beliau bagaikan jin yang menyembul keluar dari lampu Aladdin” beliau adalah representasi teguh dari sebuah tradisi kultur yang berusia berabad-abad.

Srila Prabhupada lahir dengan nama Abhay Charan De pada tanggal 1 September 1896 di Calcutta, India. Ayahnya ber-nama Gour Mohan De, seorang pedagang kain, dan ibunya bernama Rajani. Sesuai dengan tradisi Benggali, orang tuanya meminta seorang astrolog (ahli perbintangan) untuk menghitung horoskop sang anak, dan mereka dibuat gem-bira oleh hasil ramalan yang mujur. Sang astrolog membuat sebuah ramalan spesifik: ketika anak ini mencapai usia tujuh puluh tahun, ia akan menyeberangi samudera, menjadi seo-rang pengajar agama besar, dan mendirikan 108 kuil.

Rumah Abhay di Harisson Road 151 berada di daerah Calcutta utara. Ayah Abhay, Gour Mohan De, termasuk bangsawan komunitas pedagang suvarna-manik. Gour Mohan memiliki hubungan dengan keluarga Mullik yang kaya, yang selama ratusan tahun telah menjual emas dan garam kepada bangsa Inggris. Pada awalnya keluarga Mullik merupakan anggota keluarga De, sebuah gotra (garis ketu-runan) yang berawal dari resi purba Gautama; namun sela-ma periode Mogul sebelum India dikuasai Inggris, seorang penguasa Muslim telah memberikan gelar Mullik (“tuan”) kepada cabang keluarga De yang kaya dan berpengaruh. Kemudian setelah beberapa generasi, seorang putri dari keluarga De menikah dengan seorang anggota keluarga Mullik, dan kedua keluarga tersebut tetap dekat sejak saat itu.

Tanah di seluruh blok di kedua sisi jalan Harisson Road adalah milik Lokanath Mullik, dan Gour Mohan beserta ke-luarganya tinggal di beberapa kamar dari sebuah bangunan tingkat tiga di atas tanah milik keluarga Mullik. Di seberang tempat tinggal keluarga De terdapat sebuah kuil Radha-Govinda dimana selama 150 tahun belakangan keluarga Mullik mempertahankan pemujaan Arca Radha dan Krishna. Berbagai toko di atas tanah keluarga Mullik menyediakan pemasukan bagi Arca dan bagi pendeta-pendeta yang men-jalankan pemujaan. Setiap pagi sebelum sarapan, anggota keluarga Mullik mengunjungi kuil tersebut untuk melihat Arca Radha-Govinda. Mereka mempersembahkan nasi, kacaur…, dan sayur dalam sebuah tempayan besar lalu mem-bagikan prasadam kepada para tetangga yang datang me-ngunjungi Arca pagi itu. Di antara para pengunjung harian itu terdapatlah Abhay Charan, yang ditemani ibunya, ayah, atau pembantunya.

Gour mohan adalah seorang Vaisnava-murni, dan dia membesarkan putranya untuk menjadi sadar akan Krishna. Karena orang tuanya sendiri juga Vaisnava, Gour Mohan belum pernah menyentuh daging, ikan, telur, teh, atau kopi. Warna kulitnya cerah dan pembawaannya hati-hati. Pada malam hari, sebelum menutup toko kainnya, dia meletakkan semangkuk beras di tengah-tengah lantai untuk memuaskan tikus-tikus, sehingga mereka tidak mengerat kain-kain karena kelaparan. Setelah pulang Gour Mohan membaca Caitanya-caritam ta dan Srimad-Bhagavatam (kitab suci utama para Vaisnava Benggali), mengucapkan nama suci dengan tasbih japa, dan memuja Arca Sri Krishna. Ia bersikap lembut dan menyayangi Abhay serta tidak pernah menghukum Abhay. Bahkan ketika terpaksa marah, pertama-tama ia akan minta maaf: “Engkau adalah anak ayah, jadi sekarang ayah harus memarahimu. Ini adalah tugas ayah. Bahkan ayah Caitanya Mahaprabhu memarahi Dia. Jadi jangan kesal.”

Sebuah kesan senantiasa melekat dalam ingatan Srila Prabhupada tentang pemujaan Sri Krishna yang dilakukan ayahnya. Beliau menceritakan bagaimana ayahnya sering-kali pulang larut malam dari toko kain dan dengan penuh keyakinan melaksanakan pudja kepada Sri Krishna di hadapan altar di rumah. “Kami sedang tidur,” Prabhupada bercerita, “dan ayah melaksanakan arati. Kami mendengar suara ding, ding, ding kami mendengar suara genta sehingga kami terbangun dan melihat beliau bersujud di hadapan Sri Krishna.”

Gour Mohan menginginkan tujuan-tujuan Vaisnava untuk putranya; dia ingin agar Abhay menjadi pelayan Radha dan Krishna, menjadi seorang pengajar Bhagavatam, dan mem-pelajari seni bhakti yakni memainkan gendang mrdangga. Secara teratur dia menerima para sadhu di rumahnya, dan selalu meminta dari mereka, “Mohon berkati putra saya sehingga Srimati Radharani akan memberikan karunia-Nya.” Ketika ibu Abhay mengatakan ingin putranya menjadi pe-ngacara bangsa Inggris jika besar nanti (yang berarti Abhay harus menempuh pendidikan di London), salah seorang paman sang anak menganggap itu ide yang bagus. Namun Gour Mohan tidak mau mendengarkan; jika Abhay pergi ke Inggris, dia mungkin akan dipengaruhi oleh cara ber-pakaian dan perilaku bangsa Eropa. “Dia akan belajar minum minuman keras dan memburu wanita,” tolak ayahnya. “Saya tidak menginginkan uang darinya.”

Sejak awal hidup Abhay, Gour Mohan memperkenalkan rencananya. Dia mengupah seorang pemain mrdangga profesional untuk mengajarkan Abhay ritme standar pengiring kirtana. Rajani bersikap skeptis: “Apa tujuannya mengajari anak sekecil itu memainkan mrdangga? Ini tidak penting.” Namun Gour Mohan pernah bermimpi tentang putranya yang tumbuh dewasa dan menyanyikan bhajan-bhajan, memainkan mrdangga, dan berceramah tentang Srimad-Bhagavatam.

Ibu Abhay, Rajani, berusia tiga puluh tahun ketika Abhay lahir. Seperti suaminya, Rajani berasal dari keluarga Gaudya Vaisnava sejak dahulu. Ia berkulit lebih gelap dari suaminya, sedangkan pembawaannya tenang, cenderung bersemangat. Abhay melihat ibu dan ayahnya hidup bersama dengan damai; tidak terjadi konflik pernikahan yang serius atau ketidakpuasan kompleks yang pernah mengancam ke-luarga. Rajani setia dan bertabiat religius, sebuah model ibu rumah tangga ideal dari sudut pandang tradisional Veda, berdedikasi merawat suami dan anak-anaknya.

Ketika pada tahun 1960-an Srila Prabhupada mulai mem-perkenalkan festival Ratha-yatra besar di kota-kota di Amerika Serikat, dan mulai menyetanakan Arca-Arca Radha-Krishna di kuil-kuil ISKCON, beliau mengatakan telah belajar semua hal ini dari ayahnya. Satu-satunya hal penting dalam kesadaran Krishna yang dipelajari bukan dari ayahnya, kata beliau, adalah pentingnya mencetak dan mendistribusikan literatur rohani. Hal itu dipelajarinya secara khusus dari guru spiritualnya, dimana pertemuan terjadi belakangan pada masa mudanya.

Selama tahun-tahun kuliahnya, ayah Abhay mengatur pernikahan Abhay, dengan memilihkan Radharani Datta, putri seorang keluarga pedagang yang diajak bekerjasama. Selama bertahun-tahun Abhay tinggal bersama keluarga, dan Radharani tinggal bersama keluarganya sendiri; jadi tanggungjawab-tanggungjawab pernikahan berupa meng-hidupi sebuah keluarga tidak langsung diemban Abhay. Pertama Abhay harus merampungkan kuliahnya.

Namun selama tahun keempat kuliahnya, Abhay mulai enggan menerima gelar. Dia telah menjadi simpatisan ge-rakan nasionalis, yang memperjuangkan keberadaan se-kolah-sekolah nasional dan pemerintahan-sendiri.

Kakak kelas Abhay adalah seorang nasionalis yang penuh semangat, bernama Subhas Chandra Bose, yang belakangan menjadi pemimpin Tentara Nasional India, yang dibentuk untuk meruntuhkan pemerintahan Inggris di India. Ketika Subhas Candra Bose mendorong para mahasiswa untuk mendukung gerakan kemerdekaan India, Abhay setuju. Dia menyukai keyakinan Bose dalam spiritualitas, semangatnya dan kemantapan hatinya. Abhay tidak berminat pada ak-tivitas politik, namun idealisme gerakan kemerdekaan me-narik minatnya. Ajakan untuk svaraj, kemerdekaan, walau terselubung, benar-benar memikat semua mahasiswa, dan Abhay ada di antara mereka yang terpikat.

Abhay terutama tertarik kepada Mohandas K. Gandhi. Gandhi senantiasa membawa Bhagavad-gita dan menga-takan dirinya dibimbing oleh Gita di atas semua kitab lain-nya. Gandhi memiliki kebiasaan pribadi yang suci, tidak mabuk-mabukan, tidak makan daging, dan tidak melakukan hubungan seks yang tidak sah. Dia hidup secara sederhana, seperti seorang sadhu, namun terlihat lebih memiliki in-tegritas ketimbang sadhu-sadhu pengemis yang telah ba-nyak dilihat Abhay. Abhay membaca pidato-pidato Ghandi dan mengikuti aktivitasnya. Mungkin Gandhi dapat mem-bawa spiritualitas ke lapangan kegiatan, pikir Abhay.

Gandhi meminta agar para mahasiswa meninggalkan pendidikan mereka. Sekolah-sekolah yang dijalankan oleh bangsa asing, kata Gandhi, menanamkan mentalitas per-budakan; mereka membuat seseorang tidak lebih daripada sebuah boneka di tangan bangsa Inggris. Tetap saja, gelar universitas adalah dasar bagi karir hidup. Abhay memper-timbangkan pilihan-pilihan tersebut secara hati-hati dan pada tahun 1920, setelah menyelesaikan tahun keempat kuliahnya dan melewati ujian, Abhay menolak gelar diplo-manya. Dengan cara demikian, dia mengesahkan protesnya dan memperlihatkan tanggapannya atas ajakan Gandhi.

Setelah peristiwa pembunuhan di Jallianwalla Bagh, di-mana tentara-tentara Inggris menembak mati ratusan warga India tak bersenjata yang berkumpul untuk sebuah perte-muan damai, Gandhi mengajak untuk sepenuhnya meng-hentikan kerjasama dan memboikot segala hal yang ada kaitannya dengan Inggris. Dengan menolak gelarnya, Abhay bergerak membawa dirinya lebih dekat dengan gerakan kemerdekaan Gandhi. Walau ayah Abhay merasa risi, ia tidak marah atas tindakan putranya. Ia lebih memperhatikan masa depan Abhay ketimbang nasib politik India. Karena itu dia menyiapkan pekerjaan yang baik untuk Abhay melalui seorang kawan akrab keluarga, dr. Kartick Chandra Bose. dr. Bose, seorang ahli bedah terkenal dan pengusaha bahan-bahan kimia, memiliki usaha sendiri, Laboratorium Bose, di Calcutta, dan dia dengan senang hati menerima Abhay sebagai manajer departemen dalam firmanya.

Seringkali sepanjang hidupnya, Srila Prabhupada dengan penuh perasaan menceritakan pertemuan pertamanya pada tahun 1922 dengan guru spiritualnya, Bhaktisiddhanta Sarasvati Thakura. Awalnya Abhay tidak ingin menemui beliau, karena telah kehilangan minat oleh yang disebut-sebut sadhu yang sering mengunjungi ayahnya. Namun seorang kawan Abhay bersikeras, menariknya masuk ke ruangan Gaudya Math, dimana mereka kemudian diantar ke balkon, ke hadapan Bhaktisiddhanta Sarasvati.

Tidak lama setelah Abhay dan kawannya bersujud hormat di hadapan sosok suci itu dan bersiap-siap untuk duduk, beliau berkata kepada mereka, “Kalian pemuda-pemuda berpendidikan. Mengapa tidak kalian sebarluaskan ajaran Sri Caitanya ke seluruh dunia?”

Abhay sangat terkejut bahwa sadhu ini serta-merta me-minta mereka menjadi pengajar-pengajar atas nama beliau. Karena terkesan dengan Bhaktisiddhanta Sarasvati, dia ingin menguji beliau dengan pertanyaan-pertanyaan cerdas.

Abhay berpakaian kain khadi putih, yang di India pada waktu itu mempermaklumkan seseorang sebagai pendu-kung gerakan emansipasi politik Gandhi. Karena itu, dalam semangat nasionalisme India, Abhay bertanya, “Siapa yang akan mendengarkan ajaran Caitanya Anda itu? Negara kita masih dijajah. Pertama India harus merdeka. Bagaimana kita bisa menyebarluaskan kultur India jika kita berada di bawah pemerintahan Inggris?”

Srila Bhaktisiddhanta menjawab bahwa kesadaran Krishna tidak perlu menunggu perubahan keadaan politik India, ke-sadaran Krishna juga tidak bergantung pada siapa yang memegang pemerintahan. Kesadaran Krishna sedemikian pentingnya hingga tidak dapat menunggu.

Abhay tersentak akan ketegasan beliau. Seluruh India sedang dalam kekacauan dan tampaknya bangsa India akan mendukung apa yang dikatakan Abhay. Banyak pemimpin terkenal Benggali, banyak orang suci, bahkan Gandhi sendiri sosok yang berpendidikan dan berpikiran spiritual semua mungkin akan mengajukan pertanyaan yang sama, menantang relevansi dari pernyataan sadhu ini.

Namun Srila Bhaktisiddhanta menyatakan bahwa semua pemerintahan bersifat sementara; realitas yang kekal adalah kesadara Krishna, dan diri yang sejati adalah sang roh. Tidak ada sistem politik buatan-manusia yang bisa membantu umat manusia. Ini adalah kesimpulan literatur Veda dan kesimpulan dari garis perguruan guru-guru spiritual. Karya kesejahteraan yang sejati untuk orang banyak, kata beliau, harus melampaui perhatian-perhatian terhadap sesuatu yang bersifat sementara dan harus menyiapkan seseorang untuk kehidupan berikutnya dan hubungan kekalnya dengan Yang Mahakuasa.

Abhay telah menyimpulkan bahwa orang ini pasti bukan sadhu meragukan yang lain lagi, dan dia mendengarkan dengan penuh perhatian argumen-argumen Srila Bhakti-siddhanta dan merasakan dirinya pelan-pelan diyakinkan. Bhaktisiddhanta Sarasvati mengutip ayat-ayat Sanskerta dari Bhagavad-gita, dimana Krishna menyatakan bahwa sese-orang harus meninggalkan segala tugas dharma lainnya dan berserah-diri kepada-Nya, Personalitas Tertinggi Tuhan Yang Maha Esa. Abhay tidak pernah melupakan Krishna dan ajaran-ajaran Krishna di dalam Bhagavad-gita, dan keluarga Abhay senantiasa memuja Sri Caitanya Mahaprabhu, yang misi-Nya sedang diangkat oleh Bhaktisiddhanta Sarasvati. Namun dia kagum mendengar ajaran-ajaran tersebut disaji-kan dengan cara yang sangat ahli.

Abhay merasa dikalahkan dalam argumentasi. Tapi dia senang. Ketika diskusi itu terhenti setelah dua jam, dia dan kawannya berjalan menuruni tangga dan keluar menuju jalan raya. Penjelasan Srila Bhaktisiddhanta tentang gerakan kemerdekaan sebagai gerakan yang bersifat sementara dan tidak lengkap meninggalkan kesan yang mendalam pada diri Abhay. Sekarang dia merasa dirinya lebih sebagai pengikut Bhaktisiddhanta Sarasvati ketimbang seorang nasionalis. Ia juga berpikir akan lebih baik seandainya dia belum menikah. Sosok agung ini memintanya untuk mengajarkan; dia bisa saja segera bergabung. Tapi, menurut Abhay meninggalkan keluarga akan merupakan suatu sikap tidak adil.

“Beliau luar biasa!” ujar Abhay kepada kawannya. “Ajaran Sri Caitanya berada di tangan sosok yang sangat ahli.”

Srila Prabhupada belakangan menceritakan bahwa pada malam itu juga sebenarnya beliau telah menerima Bhakti-siddhanta Sarasvati sebagai guru spiritualnya. “Belum secara resmi,” kata Prabhupada, “tapi di hati saya. Saya berpikir bahwa saya telah bertemu orang suci yang baik sekali.”

Setelah pertemuannya dengan Bhaktisiddhanta Sarasvati, Abhay mulai lebih banyak bergaul dengan para penyembah dari Gaudya Math. Mereka memberinya buku-buku dan menceritakan kepadanya tentang sejarah guru spiritual me-reka. Srila Bhaktisiddhanta Sarasvati adalah putra Bhakti-vinoda Thakura, guru Vaisnava agung lainnya dalam garis perguruan dari Sri Caitanya. Sebelum zaman Bhaktivinoda, ajaran-ajaran Sri Caitanya telah dikaburkan oleh guru-guru dan sekte-sekte yang secara palsu mengklaim diri sebagai pengikut Sri Caitanya namun menyimpang dari ajaran-ajaran murni-Nya dalam berbagai cara yang drastis; reputasi baik Vaisnavaisme telah dipertaruhkan. Namun melalui tulisan-tulisannya yang melimpah dan kedudukan sosialnya sebagai pegawai tinggi pemerintahan, Bhaktivinoda Thakura telah menegakkan kembali kehormatan Vaisnavaisme. Beliau mengajarkan bahwa ajaran-ajaran Sri Caitanya adalah ben-tuk tertinggi teisme dan dimaksudkan bukan untuk sekte tertentu atau agama ataupun negara tertentu melainkan untuk semua orang di dunia. Beliau meramalkan bahwa ajaran-ajaran Sri Caitanya akan mendunia, dan beliau men-dambakan hal tersebut.

Srila Bhaktisiddhanta Sarasvati mengajarkan kesimpulan ajaran-ajaran Sri Caitanya, bahwa Sri Krishna adalah Persona-litas Tertinggi Tuhan Yang Maha Esa dan pengucapan nama suci Krishna harus ditekankan di atas segala praktik kea-gamaan lainnya. Pada zaman-zaman sebelumnya, tersedia metode-metode lain untuk mencapai Tuhan Yang Maha Esa, tetapi pada zaman Kali saat ini hanya pengucapan Hare Krishna yang akan efektif. Atas otorisasi dari kitab-kitab suci seperti Brhan-naradya Purana dan kitab-kitab Upanisad, Bhaktivinoda Thakura dan Bhaktisiddhanta Sarasvati telah secara khusus menekankan pentingnya maha-mantra: Hare Krishna, Hare Krishna, Krishna Krishna, Hare Hare, Hare Rama, Hare Rama, Rama Rama, Hare Hare.

Abhay tahu tentang referensi-referensi kitab suci ini, dia tahu tentang pengucapan mantra tersebut, dan dia tahu kesimpulan-kesimpulan Gita. Tapi sekarang, seperti halnya dia bersemangat untuk membaca tulisan-tulisan para acarya agung, dia mendapatkan keinsafan-keinsafan yang segar tentang cakupan misi Sri Caitanya. Sekarang dia mene-mukan kedalaman makna dari warisan Vaisnavanya sendiri dan itu efektif untuk membawa kesejahteraan tertinggi bagi orang-orang pada zaman yang ditakdirkan akan penuh masalah ini.

Untuk tujuan-tujuan bisnis, Abhay dan istri beserta keluarga-nya pindah ke Allahabad, dan di sanalah, pada tahun 1932, dia menerima inisiasi dan menjadi murid Bhaktisiddhanta Sarasvati. Kisah tiga puluh tahun berikutnya dari kehidupannya di India adalah kisah tentang keinginan tunggal yang terus bertumbuh untuk mengajarkan kesadaran Krishna ke seluruh dunia, seperti yang diperintahkan oleh guru spiritualnya. Akan tetapi, tangungjawab-tanggungjawab keluarga dan kegiatan pengajarannya terasa bertentangan. Istrinya berperilaku religius di rumah, namun tidak menyukai ide untuk bekerja menyebarkan kesadaran Krishna. Bahkan ketika Abhay berusaha mengadakan acara di rumah dan berceramah tentang Bhagavad-gita, istrinya lebih memilih tetap di lantai atas untuk minum teh. Namun, walaupun istrinya keras kepala, Abhay tetap sabar dan berusaha mengajaknya.

Sebagai seorang penjual obat-obatan, Abhay melakukan banyak perjalanan naik kereta api, khususnya di India utara. Dia berpikir bahwa jika ia bisa menjadi kaya, dia akan bisa menggunakan uangnya untuk menyebarluaskan misi Bhaktisiddhanta Sarasvati, dan gagasan ini menyemangat-kannya dalam berbisnis.

Abhay tidak berkesempatan berkeliling bersama guru spiritualnya atau sering bertemu beliau, tetapi manakala hal itu dimungkinkan dia berusaha menjadwalkan sebuah perjalanan bisnis ke Calcutta ketika guru spiritualnya juga berada di sana. Dengan demikian, selama empat tahun berikutnya dia berkesempatan bertemu guru spiritualnya sekitar dua belas kali. Walaupun Srila Bhaktisiddhanta Sarasvati begitu keras dalam berargumen menentang fil-safat-filsafat lain hingga bahkan muridnya sendiri berhati-hati mendekat jika beliau sedang duduk sendirian, dan walaupun kontak Abhay dengan beliau sangat terbatas, tetap saja Srila Bhaktisiddhanta Sarasvati selalu memperlakukan Abhay dengan baik. Srila Prabhupada bercerita, “Kadangkala saudara-saudara seguru saya mengkritik karena saya berbicara agak bebas dengan beliau, dan mereka mengutip pepatah Inggris ini. ‘Orang bodoh berlari di tempat dimana para malaikat takut melangkah.’ Namun saya berpikir, ‘Orang bodoh? Ya, mungkin saja. Tapi itulah saya.’ Guru Maharaja senantiasa sangat menyayangi saya.”

Pada tahun 1935, pada perayaan hari ulang tahun Srila Bhaktisiddhanta Sarasvati yang keenampuluh dua, Abhay mengirimkan sebuah sajak dan essay untuk pertemuan saudara-saudara segurunya di Bombay. Tulisan-tulisan ter-sebut disambut baik dan sebagai hasilnya tulisan itu diter-bitkan dalam majalah Gaudya Math, The Harmonist. Salah seorang saudara segurunya secara informal menyatakan Abhay sebagai kavi, “pujangga terpelajar.” Namun bagi Abhay keagungan tulisan pertamanya yang diterbitkan itu datang ketika sajak karyanya sampai ke tangan Bhakti-siddhanta Sarasvati dan membuat beliau puas. Satu bait secara khusus membuat Srila Bhaktisiddhanta begitu ba-hagia hingga membuat beliau memperlihatkan sajak itu kepada semua tamu:

Yang Mutlak berindera

Telah dibuktikannya,

Bencana impersonal

Telah disingkirkannya.

Entah bagaimana, dalam empat baris sederhana ini Abhay telah menangkap intisari ajaran guru spiritualnya yang me-nentang filsafat impersonalis (tidak mengakui keberadaan wujud pribadi Tuhan), dan Srila Bhaktisiddhanta meng-anggap hal itu sebagai petunjuk tentang seberapa baik Abhay mengetahui isi pikiran gurudeva-nya. Srila Bhakti-siddhanta juga merasa bahwa essay karya Abhay memuaskan, dan beliau memperlihatkannya kepada beberapa penyembah terdekat. “Apa pun yang ditulisnya,” beliau memerintahkan kepada editor The Harmonist, “terbitkan.”

Satu dari pertemuan terpenting Abhay dengan guru spi-ritualnya terjadi di Vrindavan pada tahun 1935. Abhay tidak lagi seorang pendatang baru saat itu, namun seorang murid yang bonafide, melakukan yang terbaik dalam konteks ke-hidupan berumah tangga. Suatu hari saat Srila Bhakti-siddhanta berjalan-jalan di tepi telaga suci Radha-kunda bersama Abhay dan beberapa murid lainnya, beliau mulai berbisik secara rahasia kepada Abhay. Beliau mengatakan bahwa beberapa murid terdepannya telah berselisih, dan hal ini membuat beliau sangat sedih. Para murid telah ber-tengkar memperebutkan siapa yang akan menggunakan berbagai ruangan dan fasilitas di pusat Gaudya Math di Calcutta. Jika mereka berselisih bahkan saat ini, apa yang akan mereka perbuat setelah guru spiritual mereka tiada? Abhay tidak ikut serta dalam masalah ini dan bahkan tidak mengetahui secara terperinci siapa-siapa yang terlibat. Namun sambil mendengarkan guru spiritualnya, dia juga merasa sedih.

Dengan perhatian yang mendalam, Srila Bhaktisiddhanta berkata kepada Abhay, dia hanyalah satu suara di antara miliaran suara, yang tanpa dukungan ataupun uang, dia yakin kepada gurunya dan Sri Krishna. Dia memiliki keyakinan tentang pesan penting yang dibawanya; karena itu, bahkan selama perang, di tengah-tengah ledak-an-ledakan bom dan kematian, dia meluncurkan jilid pertama majalahnya, “karena ada suatu kebutuhan yang besar akan sebuah literatur seperti ini.”

Peristiwa-peristiwa besar nasional terus-menerus ber-langsung sepanjang tahun 1940-an di India. Pada tahun 1947 India memperoleh kemerdekaannya dari Inggris, hal yang telah lama diimpikan. Tetapi, kegembiraan nasional itu se-gera disusul oleh kengerian ketika ratusan ribu orang tewas dalam perang yang mengiringi pecahnya negara menjadi India dan Pakistan. Seperti yang belakangan diceritakan oleh Prabhupada, “Kami telah melihat pada tahun 1947, Hindu-Muslim berperang. Satu kelompok adalah Hindu, kelompok yang lain adalah Muslim. Mereka berperang, dan begitu banyak yang tewas. Dan setelah mati tidak ada lagi perbedaan siapa Hindu atau siapa Muslim orang-orang pemerintah mengumpulkan mayat dalam tumpukan-tum-pukan dan membuangnya entah ke mana.”

Abhay tidak menggantungkan harapan pada janji-janji perdamaian, dia juga tidak menganggap kemerdekaan India sebagai suatu solusi. Kecuali para pemimipin menjadi sadar akan Tuhan, perubahan apa yang bisa terjadi? Dalam ma-jalah Back to Godhead, dalam artikel berjudul “Pembicaraan Gandhi-Jinnah,” dia menulis, “Perang akan terus berlanjut antara Hindu dan Muslim, antara Kristen dan Kristen, antara Budha dan Budha sampai hari kiamat.” Gagasan Abhay: selama orang memiliki kepentingan-kepentingan egois dan keinginan untuk kepuasan indera, mereka akan terus ber-perang. Persatuan sejati hanya dimungkinkan di atas tataran pemahaman spiritual dan pelayanan kepada Tuhan.

Bahkan ketika Abhay tidak mampu mengumpulkan cu-kup uang untuk menerbitkan secara teratur jilid-jilid majalah Back to Godhead, dia terus menulis. Proyeknya yang paling penuh ambisi adalah sebuah ulasan atas Bhagavad-gita, namun dia juga mengajarkan ajaran Sri Caitanya melalui surat. Dia bersurat kepada banyak pemimpin pemerintahan, kenalan-kenalan orang terhormat, dan kepada penulis artikel-artikel yang telah dibacanya atau berita tentang orang yang melakukan aktivitas yang menarik perhatian matanya di surat kabar. Menyajikan dirinya sebagai seorang abdi rendah, dia menjelaskan gagasan-gagasannya tentang cara untuk menerapkan kultur sadar akan Krishna India yang asli sebagai solusi sukses bagi segala macam dilema. Kadang-kala surat-suratnya mengundang jawaban dari petugas-petugas pemerintah dan para sekretaris mereka, namun kebanyakan surat-surat itu diabaikan.

Abhay tidak bisa menghindari pemikiran untuk melibatkan Mohandas Gandhi dalam bhakti. Karena aktivitas-aktivitas moral, pertapaan dan dorongan semangatnya atas nama warga negara, Gandhi memiliki kekuatan yang besar untuk mempengaruhi warga India. Selain itu, Abhay memiliki perasaan khusus terhadap Gandhi, karena pernah menjadi pengikut Gandhi ketika muda. Pada tanggal 7 Desember 1947, Abhay menulis surat panjang kepada Gandhi di New Delhi. Dia sadar bahwa Gandhi sedang berselisih dengan banyak pengikut lamanya, yang telah memegang kepe-mimpinan nasional namun mengabaikan doktrin-doktrinnya tentang persatuan Hindu-Muslim dan pertanahan. Orang-orang Hindu dan Muslim pun mengkritik Gandhi. Pada usia tujuh puluh delapan tahun, Gandhi lemah secara fisik.

Abhay mengetahui bahwa suratnya kemungkinan besar tidak akan pernah sampai ke tangan Gandhi, namun dia mengirimkannya juga. Memperkenalkan diri sebagai “ka-wan tak dikenal,” dia menulis, “Saya beritahu Anda sebagai kawan yang tulus bahwa Anda harus segera pensiun dari aktivitas politik jika tidak ingin meninggal dengan cara yang mengenaskan.” Walau sedikit mengakui kehormatan dan martabat Gandhi, Abhay mengatakan bahwa segalanya akan menjadi ilusi kecuali Gandhi pensiun dari politik dan tekun dalam memahami dan mengajarkan Bhagavad-gita. Terutama saat ini, ketika Gandhi berada di penghujung hidup-nya, Abhay memperingatkan, dia harus berhenti dari aktivitas politik dan mendekatkan diri kepada Kebenaran Mutlak. Setidaknya selama sebulan, Abhay meminta, Gandhi harus pensiun dan bergabung bersamanya dalam mendiskusikan Bhagavad-gita.

Abhay tidak pernah menerima jawaban atas suratnya, dan sebulan kemudian, pada tanggal 30 Januari, Gandhi mene-mui ajalnya. Surat Abhay pada bulan sebelumnya tiba-tiba terbaca seperti sebuah ramalan.

Ketika keterlibatan Abhay semakin aktif dalam menulis dan mengajarkan, bisnis dan urusan keluarganya terbengkalai. Dia merasa bahwa satu ayat khusus yang disabdakan oleh Sri Krishna di dalam Srimad-Bhagavatam cocok untuk diri-nya: “Ketika Aku merasa ingin memberi karunia khusus kepada seseorang, secara bertahap Aku mengambil semua kekayaan materialnya. Kawan-kawan dan kerabatnya kemudian mengabaikan orang yang kelaparan dan paling hina itu” hanya menyisakan Krishna untuknya. Ketika bisnis Abhay di Allahabad tenggelam dalam hutang, dia berusaha membuka sebuah pabrik di Lucknow. Pada awalnya itu tampak menguntungkan, namun lambat-laun pabrik itu pun bangkrut dan harus ditutup.

Sambil terus menghidupi istri dan anak-anaknya di se-buah apartemen di Calcutta, Abhay lebih sering tinggal jauh dari mereka. Dia pindah kembali ke Allahabad, namun semakin mengurangi aktivitasnya menjual produk-produk farmasi. Dia lebih tertarik dalam kegiatan mengajarkan.

Ketika satu rumah sakit langganan di kota Jhansi me-ngundang Abhay untuk memberi ceramah di Gita Mandir, dengan senang hati dia menerimanya. Ceramahnya diterima dengan baik oleh para pendengar di Jhansi, yang keba-nyakan terdiri dari mahasiswa-mahasiswa kedokteran dan para profesional. Namun apresiasi mereka lebih banyak dalam bidang sosial dan budaya. Mereka terbiasa mende-ngarkan ceramah dari berbagai pembicara, yang mereka undang dalam program-program ceramah, dan mereka tidak pernah ingin Abhay berupaya mendirikan pusat pengajaran permanen di Jhansi. Namun Abhay berpandangan luas dan penuh ambisi. Dengan mempercayakan urusan di Allahabad ke tangan putranya, dia berusaha membangun sebuah ge-rakan spiritual di Jhansi.

Abhay telah berusia 56 tahun, dan berpikir bahwa dia harus memulai sekarang dengan sangat serius mewujudkan perintah-perintah guru spiritualnya. Seperti yang dikata-kannya kepada seorang laki-laki di Jhansi, “Seluruh dunia sedang menunggu, Tuan Mitra, untuk sebuah revolusi spi-ritual.” Karena institusi guru spiritualnya, Gaudya Math, telah menjadi tidak efektif akibat pertengkaran-pertengkaran dan perpecahan yang permanen, dia berjuang untuk memulai sebuah gerakan para penyembah dengan aktivitas yang mendunia. Walau dia hanya punya satu atau dua orang yang aktif membantu, dia diperkenankan menggunakan sebuah kuil yang tak terurus dan mulai bekerja menuju apa yang dicita-citakannya sebagai sebuah Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) spiritual. Dia menyiapkan sebuah piagam dan secara resmi mendaftarkan perkumpulannya itu dengan nama Liga Penyembah.

Namun ketika sibuk dalam urusan ini, suatu hari Abhay menerima sebuah telegram yang menyampaikan bahwa bisnisnya di Allahabad telah runtuh. Para pembantu telah mencuri uang, obat, dan semua barang berharga lainnya. Saat membaca berita tersebut, dia terdiam, namun kemudian tersenyum dan mengucapkan ayat Bhagavatam: Krishna memberi karunia dengan cara menghancurkan kesuksesan material seorang penyembah yang tulus. Ketika salah seo-rang kawan Abhay di Jhansi menyarankan agar Abhay kembali ke Allahabad, dia menjawab, “Tidak, ini baik untuk saya. Pertama saya sedih mendengarnya, tapi saya dapat melihat bahwa salah satu ikatan yang besar telah lepas, dan sekarang hidup ini sepenuhnya saya serahkan dan per-sembahkan kepada Sri Sri Radha-Krishna.”

Dalam sebuah kunjungan ke keluarganya di Calcutta, Abhay mengakhiri secara penuh tanggungjawab terhadap keluarga. Dia masih memiliki sebuah bisnis kecil di sana, dan dia telah pergi untuk mengumpulkan dana untuk misi-nya di Jhansi. Tapi, tanpa dapat dihindari, dia kembali teng-gelam dalam tanggungjawab keluarga: beberapa anaknya masih belum menikah, sewa dan tagihan harus dibayar. Bahkan jika dia mengembangkan toko obatnya yang ada di Calcutta, keluarganya akan meminta seluruh pendapatan yang diperolehnya. Kalaupun dia mengabulkan permintaan-permintaan keluarganya dan tinggal di rumah, kesulitan terbesar akan tetap ada: mereka tidak serius dalam bhakti.

Apa gunanya, pikirnya, jika mereka tidak menjadi pe-nyembah? Istri dan keluarganya tidak tertarik dengan kegiatan pengajarannya di Jhansi melainkan ingin agar dia menghabiskan lebih banyak waktu dalam bisnis dan urusan keluarga. Bapak mertuanya mengeluh, “Mengapa engkau selalu bicara tentang Tuhan?” Namun ketika kawan-kawan-nya datang berkunjung, Abhay terus mengajarkan dan berbicara tentang Bhagavad-gita, seperti yang telah dilakukannya di Jhansi. Sama seperti sebelumnya, istri dan keluarganya yang lain minum teh di ruangan lain. Srila Prabhupada belakangan bercerita, “Sejauh mungkin saya ingin mengajaknya bekerja sama menyebarkan kesadaran Krishna, untuk mendapatkan bantuan darinya. Namun dia sangat keras kepala. Jadi akhirnya, setelah tiga puluh tahun, saya bisa mengerti dia tidak mau membantu saya sedikit pun.”

Abhay selalu menasehati istrinya agar jangan minum teh: itu bukan praktik keluarga Vaisnava yang taat aturan. Akhirnya dia berkata, “Kamu harus memilih antara saya dan teh. Tehnya yang pergi atau saya yang pergi.” Istri Abhay menjawab secara bercanda, “Yah, kalau begitu saya mesti melepas suami saya.”

Kemudian, suatu hari istrinya melakukan sebuah kesa-lahan fatal. Ia menjual salinan Srimad-Bhagavatam suami-nya untuk membeli biskuit dan teh. Ketika Abhay pulang dan mencari buku suci tersebut, istrinya menceritakan apa yang terjadi. Abhay kaget, dan kejadian itu mendorongnya untuk meninggalkan keluarga demi kebaikan. Dalam suasana hati penuh ketabahan dan mantap, dia meninggalkan keluarga dan bisnisnya.

Tahun 1950-an terbukti sebagai tahun-tahun yang sangat sulit bagi Abhay. Dia kembali ke Jhansi, namun harus meninggalkan gedung yang telah dipakainya karena istri gubernur bersikeras untuk menggunakan gedung itu sebagai sebuah perkumpulan perempuan dan bukan untuk Liga Penyembah. Tanpa tempat tinggal dan tanpa dukungan nyata, Abhay meninggalkan Jhansi tapi tidak meninggalkan rencananya untuk memulai sebuah perkumpulan para penyembah yang mendunia. Setelah pindah ke sebuah asrama di Delhi dan tinggal selama beberapa waktu dengan saudara-saudara segurunya, Abhay sendiri lagi, seorang petualang, dari minggu ke minggu tinggal di berbagai kuil atau rumah orang-orang kaya dan saleh yang bersedia menerimanya. Dalam hal makanan, pakaian, dan tempat ting-gal, inilah masa-masa tersulit yang pernah dijalaninya. Sejak kecil Abhay selalu punya makanan dan pakaian yang baik, dan tidak pernah ada masalah mengenai tempat tinggal. Abhay anak kesayangan ayahnya, dan dia telah menerima bimbingan dan kasih sayang khusus dari Srila Bhakti-siddhanta Sarasvati. Namun selama tahun 1950-an Abhay sendirian.

Abhay menghabiskan waktunya untuk menulis dan men-dekati donator-donatur, yang juga diajarkannya tentang Bhagavad-gita. Tujuan Abhay bukan untuk mencari tempat tinggal yang permanen melainkan untuk mencetak literatur spiritualnya dan mendirikan sebuah gerakan yang kuat untuk menyebarkan kesadaran Krishna. Dan untuk tujuan ini Abhay perlu uang. Jadi, dia menghubungi orang-orang kaya di kantor dan di rumah mereka, memperlihatkan naskah karyanya dan menjelaskan misinya. Namun, hanya sedikit orang yang menanggapi. Dan ketika mereka menanggapi, sumbangan mereka biasanya hanya lima atau sepuluh rupee. Namun, lambat-laun Abhay mengumpulkan uang yang cukup untuk mencetak kembali Back to Godhead.

Karena kekurangan uang bahkan untuk membeli pakaian sepantasnya, Abhay berurusan ke sana-kemari tanpa me-ngenakan jaket pada saat musim dingin kota Delhi yang tak bersahabat. Abhay secara rutin berjalan kaki ke percetakan untuk memeriksa cetakan akhir majalah Back to Godhead. Ketika tukang cetak menanyakan mengapa dia bersungguh-sungguh untuk mencetak majalahnya di bawah kesulitan seperti itu, Abhay menjawab, “Ini misi saya.” Abhay mengatur untuk membayar tukang cetak secara mencicil.

Setelah mengambil majalah dari percetakan, Abhay ber-jalan keliling kota untuk menjualnya. Dia duduk di sebuah kedai teh, dan ketika ada orang duduk di sebelahnya dia minta agar orang itu membeli majalahnya. Melalui artikel-artikel dan editorialnya, Abhay mengkritik kecenderungan-kecenderungan materialistik dan ateistik peradaban modern. Abhay juga menghubungkan dengan pengalaman pribadinya. Untuk menanggapi sikap menentang (yang sopan maupun tidak) yang dihadapi ketika menjual Back to Godhead, Abhay menulis sebuah artikel, “Tidak Ada Waktu, Penyakit Kronis Orang Kebanyakan.” Tulisannya tidak pernah menyakiti, atau bersifat fanatik, walau dilatari kesulitan pribadi yang besar dan pesan yang disampaikannya sangatlah penting. Abhay menulis sambil berharap para pembacanya siap mendengar filosofinya dan berniat menerima kebenaran, khususnya ketika disajikan secara logis, relevan, dan absah.

Selain menjual Back to Godhead di kedai-kedai teh dan mengantarkan kepada para donatur, Abhay juga mengi-rimkan majalahnya secara gratis lewat pos baik di India maupun ke luar negeri. Selama bertahun-tahun, para pem-baca berbahasa Inggris yang besar jumlahnya di luar India telah menarik perhatian Abhay, dan Abhay ingin menjang-kau mereka. Setelah mengumpulkan alamat perpustakaan-perpustakaan, universitas, dan kantor-kantor pemerintahan dan kantor budaya di luar India, Abhay mengirimkan Back to Godhead sebanyak yang dia mampu. Abhay menyiapkan sebuah selebaran untuk pembaca-pembacanya di Barat, menyatakan bahwa mereka bahkan seharusnya lebih mau menerima ketimbang warga senegaranya.

Di kalangan atas, Abhay mengirimkan Back to Godhead kepada presiden India, Dr. Rajendra Prasad, dilampiri se-pucuk surat yang mengingatkan tentang ancaman takdir yang menunggu sebuah masyarakat yang dipimpin oleh orang yang tak berketuhanan ”Karena itu, tolong selamatkan mereka dari kejatuhan.” Abhay meminta kepada Yang Mulia untuk setidaknya melirik kolom utama majalah Back to Godhead yang dilampirkannya dan mempertimbangkan untuk memberi kesempatan wawancara kepada sang editor. “Saya menangis sendirian dalam kesulitan saat ini,” tulis Abhay. Yang Mulia tidak pernah menjawabnya.

Walau mesti melewati membaranya musim panas New Delhi, ketika suhu naik mencapai 114 fahrenheit (45 derajat celcius), Abhay tetap pergi setiap hari menjual majalah dwi-mingguannya. Suatu kali Abhay mengalami serangan hawa panas dan terhuyung-huyung di jalan, sampai seorang kawan menaikkan dia ke mobil dan mengantarkannya ke dokter. Kali lain Abhay diseruduk seekor sapi dan terbaring beberapa saat terkapar di pinggir jalan. Pada saat-saat seperti ini, Abhay bertanya-tanya mengapa dia meninggalkan rumah dan bisnisnya, dan mengapa, karena sekarang dia telah berserah-diri kepada Krishna, segalanya menjadi demikian sulit. Namun, pada tahun-tahun belakangan, ketika misi kesadaran Krishnanya telah mantap di banyak negara dan memiliki banyak murid, beliau berkata, “Saat itu saya belum mengerti. Tapi sekarang saya menyadari bahwa semua kesulitan itu adalah aset. Itu semua adalah karunia Krishna.”

Sambil terus melanjutkan perjuangannya mencetak dan menjual Back to Godhead di Delhi, Abhay memutuskan untuk tinggal di Vrndavana, delapan puluh mil sebelah selatan New Delhi. Para Gaudiya Vaisnava menerima Vrndavana sebagai tempat yang paling suci di alam semesta, karena di sana Sri Krishna memperlihatkan lila masa kecil-Nya ketika Krishna muncul lima ribu tahun silam. Para pe-ngikut utama Sri Caitanya telah pergi ke Vrindavan lima ratus tahun silam, menulis buku-buku, mendirikan kuil-kuil, dan menggali kembali tempat lila-lila Krishna di hutan-hutan, padang rumput, dan sepanjang tepi sungai. Ide Abhay ada-lah: ia akan menulis essay dalam suasana Vrindavan yang spiritual dan damai lalu naik kereta ke Delhi untuk mendis-tribusikan literaturnya serta mencari donasi dari kawan-kawannya orang-orang terhormat. Abhay menyewa sebuah kamar murah yang sangat sederhana di kuil Vami-gopalaji, yang terletak di tepi Sungai Yamuna, dan di sana Abhay meresapi kualitas kehidupan istimewa di Vrindavan.

Abhay melihat Vrindavan tidak seperti penglihatan orang biasa. Sebagai seorang penyembah-murni Krishna, Abhay merasakan kebahagiaan yang besar hanya dengan berjalan-jalan di sepanjang jalan tanah atau melihat wujud Arca Krishna di dalam ribuan kuil dan rumah, yang tampak dari setiap jalan. Dari balkon kecil kamarnya, Abhay dapat melihat Yamuna mengalir di hadapannya dan meluas menjadi se-buah kelokan lebar yang berkilau diterpa cahaya matahari senja. Pada malam hari, Abhay menikmati hembusan angin sejuk dari Yamuna dan mendengarkan para penyembah mengucapkan doa-doa malam di Kesi-ghata. Abhay juga mendengar dentang lonceng kuil di sepanjang kota, dan kadangkala dia berhenti menulis lalu berjalan-jalan menuju area-area sibuk, di tengah-tengah para penduduk dan para peziarah suci yang datang berkunjung. Abhay mendengar pengucapan Hare Krishna di mana-mana, dan banyak pelintas jalan menyapanya dengan sapaan umum yaitu “Jaya Radhe!” dan “Hare Krishna.”

Seperti halnya Vrindavan adalah tempat tinggal Krishna, demikian pula Abhay adalah pelayan Krishna. Di Vrindavan Abhay merasa seperti berada di rumah. Sewajarnya, dia terus memikirkan tentang pengajaran, ingin agar orang lain mengetahui tentang kedamaian intim dan kebahagiaan di Vrindavan. Krishna, Personalitas Tertinggi Tuhan Yang Maha Esa, mengundang semua jiwa untuk bersama Dia di tempat tinggal-Nya yang kekal; namun bahkan di India, hanya se-dikit orang yang mengerti. Dan di luar India, orang tidak tahu apa pun tentang Vrindavan atau tentang Yamuna atau-pun tentang apa artinya menjadi bebas dari keinginan-keinginan material. Abhay berpikir, mengapa orang-orang di seluruh dunia tidak mengetahui semua ini? Ini adalah tempat kedamaian, namun tak seorang pun tahu sesuatu apa pun tentang hal ini, dan juga orang tidak tertarik. Tapi sebenarnya inilah yang mereka dambakan.

Diarahkan oleh keinginan untuk meyebarluaskan kea-gungan abadi Vrindavan, Abhay bekerja hampir non-stop di Vrindavan memproduksi masing-masing jilid majalah Back to Godhead. Akan tetapi, bolak-balik ke New Delhi menjadi sulit. Abhay naik kereta pagi ke Delhi dan, karena tidak punya tempat tinggal, harus kembali ke Vrindavan malamnya. Itu tidak memberi banyak waktu di kota, dan biayanya mahal. Kadangkala seorang kawan yang saleh memberinya tempat menginap, namun bahkan dengan biaya-biaya pribadi yang sekecil mungkin, Abhay kesulitan mengumpulkan donasi yang cukup untuk menutupi ongkos perjalanan, mencetak, dan mengirimkan majalah. Setelah menerbitkan edisi dwi-mingguan Back to Godhead dua belas kali berturut-turut, Abhay kembali kehabisan uang. Tukang cetak mengatakan bahwa dia tidak bisa mencetak-kan pesanan Abhay hanya berdasarkan rasa persahabatan. Kembali ke Vrindavan, Abhay melanjutkan menulis, namun tanpa rencana untuk menerbitkannya.

Suatu hari, dalam suasana hati pelepasan ikatan dan ke-sendirian, Abhay menyusun sebuah sajak Benggali, yang diberi judul “Vrindavan-bhajana.” Bait pembukaannya se-cara khusus bersifat pribadi dan merupakan pencerminan-diri.

1

Aku duduk sendirian di Vrindavan-dhama.

Dalam suasana hati seperti ini aku memperoleh banyak keinsafan.

Aku punya istri, putra, putri, cucu, segalanya.

Tapi aku tidak punya uang, jadi mereka adalah sebuah keagungan tak berbuah.

Krishna telah memperlihatkan kepadaku wujud nyata dari sifat alam;

Atas kekuatan-Nya, semua hal material itu menjadi tak ada nikmatnya bagiku hari ini.

Yasyaham anugrhsami hari ye tad-dhanam anaih:

“Pelan-pelan Aku mengambil semua kekayaan orang yang akan Aku beri karunia.”

Bagaimana aku akan mampu memahami karunia dari Yang Mahaberkarunia ini?

2

Semua orang telah mengabaikan aku, karena melihat diriku tak punya uang

Istri, kerabat, kawan, saudara, semuanya.

Inilah penderitaan, tapi membuatku tertawa. Aku duduk sendirian dan tertawa.

Dalam maya-samsara ini, siapa yang benar-benar ku-cintai?

Ke mana ayah dan ibu tercintaku telah pergi?

Dan ke mana semua kakakku, yang merupakan ke-rabatku sendiri?

Siapa yang akan mengabariku tentang mereka, katakan, siapa?

Yang tersisa dari kehidupan berkeluarga ini hanyalah daftar nama saja.

Suatu kali Abhay mengalami mimpi aneh, mimpi yang sama yang telah dialami beberapa kali sebelumnya, selama masa-masa sebagai orang yang berumah tangga. Srila Bhakti-siddhanta Sarasvati muncul, seperti yang dikenal Abhay, seorang sannyasi terpelajar berperawakan tinggi, datang secara langsung dari dunia spiritual, rekan pribadi Krishna. Beliau memanggil-manggil Abhay dan memberi tanda bah-wa Abhay harus ikut. Berulangkali beliau memanggil dan melambaikan tangan. Beliau meminta agar Abhay menerima tingkatan sannyasa. Ayo, beliau mengajak, jadilah sannyasi Abhay terbangun dalam keadaan terheran-heran. Abhay menggangap perintah ini sebagai aspek lain dari perintah awal yang telah Srila Bhaktisiddhanta Sarasvati berikan kepadanya pada pertemuan pertama mereka di Calcutta, perintah yang sama yang belakangan telah dipertegas oleh guru spiritualnya itu dalam sebuah surat: menjadi seorang pengajar berbahasa Inggris dan menyebarkan kesadaran Krishna ke dunia Barat. Sannyasa dimaksudkan untuk tujuan tersebut; jika tidak, mengapa guru spiritualnya meminta dia agar menerima tingkatan sannyasa? Dalam sistem sosial standar Veda, seorang laki-laki diharapkan meninggalkan keluarga pada usia lima puluh tahun dan menjadi seorang biksu yang melepaskan ikatan duniawi, seorang sannyasi, dan dengan demikian mendedikasikan masa-masa terakhir kehidupannya untuk berjapa, mendengar, dan mengajarkan tentang keagungan Tuhan. Abhay memperkirakan bahwa guru spiritualnya sedang berkata, “Sekarang ambil tingkatan sannyasa dan engkau akan benar-benar mampu mewujudkan misi ini. Sebelum ini waktunya belum tepat.”

Abhay mempertimbangkan dengan serius. Dengan me-nerima tingkatan sannyasa, seorang Vaisnava mendedi-kasikan badan, pikiran, dan kata-katanya secara total untuk pelayanan kepada Personalitas Tertinggi Tuhan Yang Maha Esa, meninggalkan segala kesibukan lain. Abhay telah me-lakukan semua itu, tapi dia merasa bahwa dengan menerima tingkatan sannyasa dia dapat mempertegas posisinya dan bahkan memperoleh dorongan yang lebih besar untuk tugas besar yang masih terbengkalai. Standar Veda dan contoh yang ditetapkan oleh para acarya terdahulu adalah bahwa jika seseorang ingin memimpin sebuah gerakan pengajaran, diperlukan tingkatan sannyasa. Pada mulanya Abhay enggan, tapi sekarang dia menimbang-nimbang kembali. Abhay mendatangi saudara segurunya, Ke ava Maharaja, di Mathura, yang ternyata menyemangatkan Abhay untuk se-gera mengambil tingkatan sannyasa.

Pada tahun-tahun belakangan Prabhupada bercerita, “Saya sedang duduk sendirian di Vrindavan, menulis. Sau-dara seguru saya menyemangatkan, ‘Bhaktivedanta Prabhu, Anda harus melakukannya. Tanpa menerima tingkat hidup pelepasan ikatan, tak seorang pun dapat menjadi pengajar.’ Guru spiritual sayalah yang bersikeras melalui saudara se-guru ini. Jadi, dengan enggan, saya menerimanya.”

Setelah sebuah acara diksa sannyasa formal di Vrndavana, nama Abhay menjadi Abhay Cara Saravinda Bhakti-vedanta Swami. Akan tetapi, masalah dasar beliau masih tetap seperti sebelumnya. Beliau ingin mengajarkan kesa-daran Krishna, tapi hanya sedikit orang yang mau mende-ngarkan. Hal tersebut tidak berubah setelah beliau menjadi seorang sannyasi.

Bagaimanapun, satu perubahan terjadi: Bhaktivedanta Swami memutuskan untuk menulis buku. Ketika seorang pegawai perpustakaan menyarankan agar menulis buku (buku bersifat permanen, sedangkan majalah dibaca sekali kemudian dibuang), Bhaktivedanta Swami menganggap guru spiritualnya sedang berbicara melalui orang ini. Kemu-dian seorang tentara yang menyukai Back to Godhead menyarankan hal yang sama. Dalam kedua kasus tersebut Bhaktivedanta Swami menganggap saran tersebut sebagai sabda dari guru spiritualnya.

Bhaktivedanta Swami mempertimbangkan untuk menulis Srimad-Bhagavatam, sebab Srimad-Bhagavatam adalah kitab suci Vaisnava yang paling penting dan otoritatif. Walau Bhagavad-gita adalah intisari dari segala pengetahuan Veda, yang disajikan dalam gaya ABC yang ringkas, Srimad-Bhagavatam disajikan secara terperinci. Srila Bhakti-siddhanta Sarasvati dan Bhaktivinoda Thakura telah menulis ulasan Bhagavatam berbahasa Benggali. Kenyataannya, hampir semua acarya Vaisnava agung pada masa lalu telah mengulas Srimad-Bhagavatam, “literatur Veda yang tanpa noda.” Sebuah terjemahan dan ulasan bahasa Inggris atas kitab ini suatu hari akan mampu mengubah hati orang di seluruh dunia. Dan jika Bhaktivedanta Swami mampu men-cetak bahkan beberapa jilid saja, pengajarannya akan ter-angkat; beliau bisa pergi ke luar negeri dengan rasa percaya diri dan muncul di sana tidak dengan tangan hampa.

Bhaktivedanta Swami kembali ke Delhi dengan tujuan baru. Pusat percetakan dan penjualan kertas di India ada di daerah Chadni Chowk di Delhi Lama, dan Bhaktivedanta Swami berpikir bahwa paling baik baginya tinggal di sana untuk secara teratur bernegosiasi mencetak buku. Melalui perantara seorang penghubung lama di percetakan, beliau bertemu seorang pemilik kuil yang memberi sebuah kamar gratis di kuil Radha-Krishna dekat Chadni Chowk. Lingkungan di sana disebut Chippiwada, sebuah perumahan sesak, cam-puran Hindu-Muslim. Sekarang Bhaktivedanta Swami bisa bekerja baik di Vrindavan maupun Delhi. Dengan semangat baru, beliaumengumpulkan beberapa donasi dan kembali menerbitkan Back to Godhead sambil pada saat yang sama memulai terjemahan dan ulasan Srimad-Bhagavatam.

Beliau merenungkan skala proyek yang sedang diupaya-kannya. Bhagavatam terdiri dari delapan belas ribu ayat, dalam dua belas skanda, yang beliau perkirakan sedikitnya akan menjadi enam puluh jilid. Beliau berpikir mungkin mampu menyelesaikan dalam tempo lima atau tujuh tahun: “Jika Krishna menjaga saya tetap sehat secara fisik,” tulisnya, “maka saya akan sanggup menyelesaikan karya ini dalam rangka memenuhi kehendak Srila Bhaktisiddhanta Sarasvati.”

Tindakan Bhaktivedanta Swami menerima tingkatan sannyasa, idenya untuk menulis dan menerbitkan Srimad Bhagavatam, dan keinginannya untuk mengajarkan ke-sadaran Krishna di Barat semua saling bersangkut-paut. Untuk mengajarkan, beliau mesti punya buku, khususnya jika beliau hendak pergi ke Barat. Ada jutaan buku di Barat, namun tidak ada buku seperti yang satu ini, tidak ada yang mengisi kekosongan spiritual dalam kehidupan orang-orang. Namun beliau bukan hanya akan menulis, tapi akan secara langsung membawa buku-buku itu ke Barat, memperkenalkannya, dan mengajarkan orang lewat buku dan secara pribadi bagaimana cara mengembangkan cinta kasih yang murni kepada Tuhan.

Walau dikenal sebagai seorang pengajar berbahasa Inggris, Bhaktivedanta Swami tahu bahwa penyajiannya dalam bahasa asing memiliki banyak kesalahan teknis; dan beliau tidak punya editor untuk memperbaikinya. Namun kesalahan-kesalahan teknis yang demikian tidak akan men-jadi penghalang untuk mencetak Srimad-Bhagavatam. Ini adalah suatu keperluan mendesak. “Ketika terjadi keba-karan di sebuah rumah,” tulisnya, “para penghuni rumah keluar mencari bantuan dari para tetangga yang mungkin asing bagi orang itu namun tanpa bahasa yang pas para korban kebakaran meminta pertolongan, dan para tetangga mengerti kebutuhan korban walau diungkapkan dalam bahasa yang kurang pas. Semangat kerjasama seperti itu diperlukan untuk menyebarluaskan ajaran rohani Srimad-Bhagavatam ini ke seluruh dunia yang berada dalam suasana tercemar saat ini.”

Bhaktivedanta Swami menyajikan Srimad-Bhagavatam tanpa perubahan, dengan penghormatan terbesar kepada Srila Vyasadeva, sang penyusun. Dan itulah jasa terpenting Bhaktivedanta Swami. Tentu beliau menambahkan kein-safannya sendiri, tapi bukan dengan semangat untuk ber-usaha melampaui guru-guru spiritual sebelumnya. Dalam hal yang terpenting, yakni menyajikan pokok permasalahan secara tegas menurut parampara, Bhaktivedanta Swami mengalami kesulitan berupa “teknik-teknik yang salah dan kurang sempurna.” Beliau mengetahui bahwa tanpa tetap setia pada garis perguruan, penjelasan Bhagavatam tidak akan memiliki nilai.

Di kamar kuil Chippiwada, beliau mengetik siang-malam di atas meja dengan lampu redup yang tergantung di tali dari langit-langit. Beliau duduk di lantai dengan beralaskan tikar tipis, mesin ketik ada di hadapannya di atas sebuah kopor. Halaman-halaman ketikan menumpuk, dan ditin-dihnya dengan batu. Makan dan tidur hanya bersifat insidentil. Beliau yakin sepenuhnya bahwa Srimad-Bhagavatam akan menciptakan revolusi dalam peradaban yang salah arah saat ini. Dengan demikian beliau menerjemahkan tiap kata dan menulis tiap penjelasan dengan perhatian dan konsentrasi penuh. Namun ini harus dikerjakan secepat mungkin.

Bhaktivedanta Swami telah pindah dari tempatnya di Vrindavan ke kuil Radha-Dhamodara. Sekarang, bahkan tanpa meninggalkan kamarnya, beliau bisa melihat keluar dan melihat altar serta wujud Arca Vrindavan-candra setinggi empat kaki (1,2 meter), Arca Krishna berbahan marmer hitam yang dipuja ratusan tahun silam oleh Krishnadasa Kaviraja. Tempat ini lebih agung dari kamar di kuil Vamsi-gopalaji, karena sekarang beliau tinggal di kuil Jiva Gosvami, tempat pribadi-pribadi agung seperti Rupa, Sanatana, Raghunatha, dan Jiva Gosvami semua berkumpul, makan prasadam, berjapa, dan mendiskusikan tentang Sri Krishna dan Sri Caitanya. Ini adalah tempat terbaik untuk mengerjakan Srimad-Bhagavatam.

Ketika tinggal di kuil Radha-Damodara, Bhaktivedanta Swami menyiapkan sendiri makanannya. Dan ketika duduk untuk makan prasadam, beliau dapat melihat pusara samadhi Rupa Gosvami lewat terali jendela. Dengan mera-sakan kehadiran Rupa Gosvami, beliau memikirkan misinya sendiri untuk guru spiritualnya. Guru spiritual Bhaktivedanta Swami dan guru-guru spiritual sebelumnya dalam garis perguruan ingin agar gerakan kesadaran Krishna dise-barluaskan ke seluruh dunia, dan sambil Bhaktivedanta Swami mengumpulkan inspirasi setiap hari, duduk di hadapan pusara samadhi Rupa Gosvami, beliau berdoa untuk memperoleh bimbingan dari pendahulu-pendahulunya. Arahan intim yang diterima dari mereka merupakan sebuah bimbingan yang mutlak, dan tidak ada yang mampu meng-guncang atau menghancurkannya, baik pemerintah, penerbit, atau siapa pun lainnya. Rupa Gosvami menginginkan beliau pergi ke Barat; Srila Bhaktisiddhanta Sarasvati menginginkan beliau pergi ke Barat; dan Krishna telah mengatur sehingga beliau dibawa ke kuil Radha-Damodara untuk menerima karunia. Di kuil Radha-Damodara, beliau merasa telah memasuki tempat tinggal kekal yang hanya diketahui oleh para penyembah murni Krishna. Namun, walau diizinkan bergaul secara intim di tempat mereka beraktivitas, beliau merasa bahwa mereka memerintahkan untuk pergi meninggalkan Radha-Damodara dan Vrindavan untuk mengantarkan ajaran para acarya ke bagian-bagian dunia yang terlupakan.

Menulis hanyalah setengah perjuangan; setengahnya lagi adalah menerbitkannya. Namun para penerbit tidak tertarik dengan seri enam puluh jilid Bhagavatam, sedangkan Bhak-tivedanta Swami tidak tertarik pada apa pun yang lain. Karena itu, untuk menerbitkan buku-bukunya, beliau harus meminta donasi dan menerbitkan dengan biaya sendiri.

Seorang perantara di percetakan menyarankan agar Bhaktivedanta Swami pergi ke Gorakhpur dan memper-lihatkan naskahnya kepada Hanuman Prasad Poddar, penerbit terkenal di bidang keagamaan. Bhaktivedanta Swami melakukan perjalanan sejauh lima ratus mil dan memperoleh donasi sebesar empat ribu rupee untuk digu-nakan menerbitkan jilid pertama Srimad-Bhagavatam.

Bhaktivedanta Swami membaca dan memeriksa sendiri cetakan-cetakan, dan bahkan ketika jilid pertama sedang dicetak, beliau masih menulis bab-bab terakhir. Ketika ce-takan telah siap di Percetakan O.K., beliau mengambilnya, membawa ke kamar di Chippiwada, mengoreksi cetakan tersebut, dan kemudian membawa kembali ke percetakan. Pada tahun 1962, beliau berjalan setiap hari pergi-pulang antara kamarnya dan percetakan. Lingkungan sekitar adalah campuran bisnis komersial dan rumah-rumah kontrakan. Anak-anak bermain-main di jalanan yang tentu saja ber-bahaya. Bhaktivedanta Swami, sosok yang tampak santun tapi mantap, berjalan di tengah-tengah suasana ini. Ketika berjalan melewati rumah-rumah kontrakan, penjual ubin, penjual biji-bijian, toko permen, dan percetakan, di atas beliau terdapat kabel-kabel listrik, burung dara, dan je-muran-jemuran di balkon rumah kontrakan. Akhirnya beliau tiba di Percetakan O.K., tepat di seberang sebuah masjid kecil. Beliau datang untuk mengantarkan cetakan yang telah dikoreksi dan untuk mengamati jalannya proses cetak de-ngan penuh kecemasan.

Ketika proses cetak selesai, Bhaktivedanta Swami ber-keliling menjual buku-bukunya, seperti yang telah dilakukan terhadap majalah Back to Godhead. Tidak lama kemudian beliau mendapatkan review yang mengun-tungkan dari Hanuman Prasad Poddar atas karyanya dan dari filsuf Hindu terkemuka Dr. Radhakrishnan. Adyar Library Bulletin yang prestisius memberi sebuah review penuh, yang memberi catatan “studi sang editor yang luas dan mendalam atas pokok bahasan.” Saudara segurunya yang terpelajar juga menuliskan apresiasi mereka. Beliau bahkan mengatur untuk memperlancar sebuah pesanan delapan belas buku dari Kedutaan A.S., untuk di distribusikan di Amerika lewat Library of Congress. Penjualan kepada lembaga-lembaga sedang ramai, namun kemudian penjualan menurun. Sebagai agen tunggal, Bhaktivedanta Swami menghabiskan berjam-jam setiap hari hanya untuk menjual beberapa buku. Juga, beliau sepenuhnya bertanggungjawab mengumpulkan dana untuk jilid berikutnya. Sementara itu beliau melanjutkan menerjemahkan dan menulis penjelasan. Namun pada tahap seperti saat ini, dengan lambatnya penjualan, beliau tidak akan sanggup menyelesaikan karya tersebut pada kehidupan saat ini.

Bhaktivedanta Swami mengirimkan bukunya kepada tokoh-tokoh politik dan menerima review yang meng-untungkan dari Sri Biswanath Das, Gubernur Uttar Pradesh, dan Dr. Zakir Hussain, wakil presiden India. Beliau juga menerima kesempatan wawancara langsung dengan Dr. Hussain, dan beberapa bulan kemudian memperoleh ke-sempatan bertemu dengan perdana menteri, Lal Bahadur Shastri.

Ini adalah kesempatan resmi di wilayah Gedung Par-lemen, dimana sang perdana menteri, dikelilingi oleh asis-ten-asistennya, menerima seorang sadhu tua. Bhaktivedanta Swami, kelihatan terpelajar di balik kacamatanya, melang-kah maju dan memperkenalkan diri dan bukunya, Srimad-Bhagavatam. Ketika beliau menyerahkan buku Jilid Satu, seorang fotografer mengambil foto sang penulis dan per-dana menteri yang tersenyum memandangi buku.

Hari berikutnya, Bhaktivedanta Swami bersurat kepada Perdana Menteri Shastri. Tidak lama kemudian beliau me-nerima balasan, yang ditandatangani langsung oleh sang perdana menteri:

Swamiji yang baik, terimakasih banyak atas surat Anda. Saya sangat berterimakasih atas pemberian Anda berupa buku “Srimad Bhagwatam.” Saya menyadari bahwa Anda sedang melaksanakan suatu pekerjaan yang mulia. Akan merupakan ide yang baik jika perpustakaan-perpustakaan di Lembaga-Lembaga Pemerintah membeli buku ini.

Dengan menggunakan review yang menguntungkan ini sebagai media promosi, Bhaktivedanta Swami mengunjungi donator-donatur yang prospektif saat berusaha mengum-pulkan dana untuk jilid berikutnya. Akhirnya, dengan nas-kah di tangan dan uang untuk mencetak, beliau kembali memasuki dunia percetakan membeli kertas, mengoreksi cetakan, dan menjaga jadwal percetakan agar masing-masing buku selesai tepat waktu. Dengan demikian, atas kegigihannya, beliau yang hampir tidak punya uang berhasil mencetak jilid ketiga karyanya dengan cover yang tebal dan lebar dalam tempo dua tahun lebih sedikit.

Pada tahap ini, dengan meningkatnya penghargaan dari dunia cendekiawan, Bhaktivedanta Swami mungkin segera akan menjadi figur yang diakui di kalangan warga nega-ranya. Namun beliau punya visi yang diarahkan ke Barat. Dan dengan dicetaknya jilid ketiga, beliau akhirnya merasa siap. Usianya telah enam puluh sembilan tahun, dan mesti memulainya segera. Telah lebih dari empat puluh tahun sejak Srila Bhaktisiddhanta Sarasvati pertama kali meminta seorang pemuda berumah-tangga di Calcutta untuk meng-ajarkan kesadaran Krishna di Barat. Pada mulanya Abhay Charan muda menganggap hal itu tidak mungkin. Namun rintangan berupa tanggung jawab keluarga sekarang telah hilang. Dan beliau bebas untuk pergi ke Barat. Walau tak punya uang.

Dengan telah terlewatinya hampir sebagian besar kesu-litan, biaya perjalanan dan hal-hal tertentu seperti izin dari pemerintah tetap sebagai hambatan-hambatan terakhir yang cukup serius. Kemudian, tiba-tiba pada tahun 1965, ham-batan-hambatan terakhir ini mulai menyingkir satu-persatu.

Di Vrindavan, Bhaktivedanta Swami bertemu Tuan Agarwal, seorang pengusaha dari Mathura, dan menyam-paikan kepadanya, yang juga beliau lakukan terhadap hampir semua orang yang ditemui, bahwa beliau ingin pergi ke Barat. Walau Tuan Agarwal mengenal Bhaktivedanta Swami hanya baru beberapa menit, dia bersedia mencarikan sponsor di Amerika dengan cara meminta Gopal putranya, seorang insinyur yang tinggal di Pennsylvania, untuk mengirimkan kembali sebuah blangko sponsorship. Ketika Tuan Agarwal menawarkan untuk membantu dengan cara ini, Bhaktivedanta Swami mendorong agar dia benar-benar melakukannya.

Bhaktivedanta Swami kembali ke Delhi, mencari-cari tempat penjualan buku, memburu kesempatan apa pun yang mungkin muncul. Suatu hari, hal yang mengejutkan terjadi, beliau dihubungi oleh Menteri Urusan Luar Negeri dan diberitahu bahwa sertifikat No Objection (Tidak Ber-keberatan) untuk pergi ke A.S. telah siap. Karena beliau belum pernah mengajukan permohonan untuk mening-galkan negara, beliau mesti bertanya dari bapak menteri apa yang telah terjadi. Mereka memperlihatkan Statutory Declaration Form yang ditandatangani oleh Tuan Gopal Agarwal dari Butler, Pennsylvania; Tuan Agarwal secara mantap menyatakan bahwa dia akan menanggung semua biaya Bhaktivedanta Swami selama berada di A.S.

Sekarang Bhaktivedanta Swami punya sponsor. Namun beliau masih memerlukan paspor, visa, formulir P, dan ongkos perjalanan. Urusan paspor tidak sulit. Sekarang, dengan paspor dan sertifikat sponsorship, Bhaktivedanta Swami pergi ke Bombay, bukan untuk menjual buku atau mengumpulkan dana untuk mencetak buku, namun mencari bantuan untuk pergi ke Amerika. Beliau mendatangi Sumati Morarji, pemimpin perusahaan Scindia Steamship Line, yang telah membantu dengan donasi besar untuk mencetak Jilid Kedua Srimad Bhagavatam. Beliau memperlihatkan ser-tifikat sponsorship kepada sekretaris Nyonya Morarji, Tuan Choksi, yang terkesan lalu pergi menghadap Nyonya Morarji atas nama beliau.

“Swami dari Vrindavan itu datang lagi,” dia memberitahu Nyonya Morarji. “Beliau telah menerbitkan buku atas donasi Anda. Beliau punya sponsor, dan ingin pergi ke Amerika. Beliau ingin Anda membawanya ke Amerika naik Kapal Scindia.” Nyonya Morarji mengatakan tidak, Swamiji terlalu tua untuk pergi ke A.S. dan tidak akan mencapai apa pun di sana. Tuan Choksi menyampaikan kata-kata Nyonya Morarji, namun Bhaktivedanta Swami kurang puas. Nyonya Morarji ingin beliau tetap di India dan menyelesaikan Srimad-Bhagavatam. Mengapa pergi ke Amerika? Nyonya Morarji beralasan. Selesaikan pekerjaan tersebut di sini.

Namun Bhaktivedanta Swami bersikeras. Beliau meminta agar Tuan Choksi meyakinkan Nyonya Morarji dan bahkan mendikte apa yang harus dikatakannya: “Saya lihat orang ini sangat terinspirasi untuk pergi ke Amerika menyampaikan ajaran Sri Krishna kepada orang-orang di sana…” Namun ketika Tuan Choksi menyampaikannya, Nyonya Morarji kembali mengatakan tidak; Swamiji tidak sehat. Selain itu, orang-orang di Amerika tidak kooperatif, dan mungkin mereka tidak akan mendengarkan ajaran beliau.

Kesal dengan ketidakefektifan Tuan Choksi, Bhaktivedanta Swami minta bertemu langsung. Beliau diizinkan, dan Bhaktivedanta Swami yang telah beruban namun berteguh hati mengajukan permintaan yang tulus: “Mohon berikan saya satu tiket.”

Sumati Morarji mempertimbangkan: “Swamiji. Anda begitu tua Anda mengambil risiko. Apakah Anda pikir ini tidak apa-apa?

“Tidak,” beliau meyakinkan, mengangkat tangan seolah-olah meyakinkan anak perempuannya yang merasa ragu. “Tidak apa-apa.”

“Tapi tahukah Anda yang dipikirkan oleh para sekretaris saya? Mereka berkata, ‘Swamiji hanya akan meninggal di sana.’”

Bhaktivedanta Swami memperlihatkan mimik wajah yang seolah berusaha menghentikan rumor bodoh itu. Beliau kembali meminta agar diberikan tiket. “Baiklah,” kata Sumati Morarji. “Dapatkan formulir P Anda, dan saya akan mengatur perjalanan Anda naik kapal kami.” Bhaktivedanta Swami tersenyum cerah dan dengan gembira meninggalkan kantor Nyonya Morarji, melewati para sekretaris yang anti-pati dan terheran-heran.

Dengan menuruti instruksi Nyonya Morarji, para sekre-tarisnya melakukan persiapan akhir. Karena Bhaktivedanta Swami tidak memiliki pakaian hangat, Tuan Choksi me-ngantarkan beliau membeli sebuah jaket wol dan pakaian lainnya yang berbahan wol. Atas permintaan Bhaktivedanta Swami, Tuan Choksi mencetak lima ratus pamflet kecil yang mencantumkan delapan ayat yang ditulis oleh Sri Caitanya dan sebuah promosi Srimad-Bhagavatam.

Nyonya Morarji menjadwalkan sebuah tempat untuk beliau di salah satu kapalnya, Jaladuta, yang akan berangkat dari Calcutta pada tanggal 13 Agustus. Nyonya Morarji me-mastikan agar beliau pergi dengan kapal yang kaptennya memahami kebutuhan seorang vegetarian dan brahmana, dan Nyonya Morarji memberitahu kapten Jaladuta, Arun Pandia, untuk membawa sayur-sayuran dan buah-buahan tambahan untuk Swamiji. Tuan Choksi menghabiskan dua hari menjelang keberangkatan bersama Bhaktivedanta Swami di Bombay mengambil pamflet dari percetakan, membelikan pakaian, dan mengantarkan beliau ke stasiun untuk mencari kereta ke Calcutta.

Beberapa hari sebelum keberangkatan kapal Jaladuta, Bhaktivedanta Swami tiba di Calcutta. Walau hidupnya lama dijalani di kota ini, sekarang beliau tidak tahu harus tinggal di mana. Ini seperti yang telah ditulisnya dalam “Vrindavan Bhajana”: “Aku punya istri, putra, putri, cucu, segalanya, tapi aku tidak punya uang, jadi mereka adalah sebuah ke-agungan tak berbuah.” Walau di kota yang sama ini beliau telah diasuh dengan sangat baik ketika kecil, masa itu telah pergi selamanya. Sekarang beliau tinggal bersama seorang kenalan dan, sehari sebelum keberangkatan, pergi ke Mayapur yang tidak jauh dari sana untuk mengunjungi pusara samadhi Srila Bhaktisiddhanta. Kemudian beliau kembali ke Calcutta. Beliau siap.

Beliau hanya membawa satu kopor pakaian, satu payung, dan persediaan sereal kering. Beliau tidak tahu apa yang akan dimakan di Amerika; mungkin di sana hanya akan ada daging. Jika demikian, beliau siap hanya makan kentang rebus dan sereal yang dibawanya. Barang-barang utamanya, beberapa kopor buku, ditangani secara terpisah oleh Scindia Cargo. Dua ratus set tiga-jilid memikirkan tentang buku itu memberinya rasa percaya diri.

Ketika tiba waktunya untuk berangkat, beliau memerlukan kepercayaan diri itu. Beliau sedang membuat momentum baru untuk kehidupannya, dan beliau sudah tua. Beliau pergi ke sebuah negara tak dikenal dan sangat mungkin tidak bersahabat. Miskin dan tidak dikenal di India adalah satu hal. Bahkan pada zaman Kali saat ini ketika pemim-pin-pemimpin India menolak kultur India dan meniru Barat, ini masihlah India; ini masihlah sisa peradaban Veda. Beliau bisa menemui para jutawan, gubernur, perdana menteri hanya dengan memperlihatkan diri di depan pintu mereka dan menunggu. Di India, seorang sannyasi dihormati; Srimad-Bhagavatam dihormati. Tetapi, di Amerika akan berbeda. Beliau bukan siapa-siapa, orang asing. Dan di sana tidak ada tradisi sadhu, tidak ada kuil, dan tidak ada asrama gratis. Namun ketika memikirkan buku yang dibawanya pengetahuan spiritual dalam bahasa Inggris beliau merasa percaya diri. Apabila beliau bertemu seseorang di Amerika, beliau akan memberinya sebuah selebaran: “‘Srimad-Bhagwatam,’ Pesan Perdamaian dan Kebijaksanaan India.”

Hari itu tanggal 13 Agustus, hanya beberapa hari sebelum hari Janmastami, perayaan tahunan kemunculan Sri Krishna. Selama tahun-tahun belakangan, Bhaktivedanta Swami ada di Vrindavan saat Janma ˜ami. Banyak penduduk Vrndavana tidak akan pernah mau pergi meninggalkan Vrndavana; mereka sudah tua dan merasa damai di Vrindavan. Bhaktivedanta Swami juga mempertimbangkan kemungkinan meninggal dunia jauh dari Vrindavan. Itulah sebabnya mengapa semua sadhu Vaisnava dan para janda bersumpah untuk tidak meninggalkan Vrindavan, bahkan ke Mathura karena meninggal di Vrindavan merupakan kesempurnaan tertinggi kehidupan. Dan tradisi Hindu menyebutkan bahwa seorang sannyasi hendaknya tidak menyeberangi samudera pergi ke negeri para mleccha. Tetapi, di atas semua itu ada keinginan Bhaktisiddhanta Sarasvati, dan keinginan beliau tidak berbeda dengan keinginan Sri Krishna. Dan Sri Caitanya Mahaprabhu telah meramalkan bahwa pengucapan Hare Krishna akan dikenal di setiap desa dan kota di seluruh dunia.

Beliau naik taksi menuju pelabuhan Calcutta, membawa tas, sebuah payung, dan sebuah salinan Caitanya-carita-mrta berbahasa Benggali, yang hendak dibaca selama pelayaran. Entah bagaimana beliau akan mampu memasak makanan di kapal. Atau jika tidak, beliau akan kelaparan apa pun yang Krishna inginkan. Beliau memeriksa barang-barang penting; tiket, paspor, visa, formulir P, alamat sponsor. Akhirnya beliau berangkat.

Seperti yang belakangan diceritakan Prabhupada, “Dengan kesulitan besar saya meninggalkan negara saya! Dengan satu dan lain cara atas karunia Krishna, saya bisa ke luar sehingga bisa menyebarkan gerakan kesadaran Krishna ke seluruh dunia. Jika tidak, tetap di India ini tidak akan mungkin terjadi. Saya ingin memulai sebuah perkumpulan di India, namun saya sama sekali tidak disemangatkan.”

Kapal kargo hitam, tua dan tidak terlalu besar, tertambat di tepi dermaga, sebuah jalan sempit dari dermaga menuju geladak kapal. Para pelaut India memandangi dengan heran sadhu tua berpakaian saffron itu ketika menyampaikan kata-kata terakhir kepada kawannya di taksi dan kemudian berjalan mantap menuju kapal.

Dapatkan buku selengkapnya pada link di bawah ini.

Download PDF File

Translate »