Jika Anda memiliki kesempatan berlibur ke negeri lain, suasana seperti apa yang paling Anda dambakan? Masyarakat tropis seperti Indonesia mungkin akan mendambakan musim salju yang dingin, musim semi penuh bunga dan juga musim gugur dengan warna daun yang eksotis. Hal yang berkebalikan juga berlaku untuk masyarakat sub tropis. Di saat masyarakat tropis berbondong-bondong ingin menikmati musim salju di daerah sub tropis, masyarakat sub tropis malah sangat ingin pergi ke daerah tropis untuk menikmati hangatnya sang mentari. Hal yang serupa juga berlaku untuk masyarakat dari daerah gurun seperti negara-negara Arab. Jika mereka memilih berwisata ke Indonesia, maka daerah seperti puncak Bogor akan menjadi pilihan utamanya karena memiliki iklim yang cukup dingin. Jadi apakah sejatinya yang dikejar saat kita berwisata? Kita ingin refreshing dengan menikmati suasana baru yang beroposit dengan kondisi rutinitas kita sehari-hari bukan? Sekarang Anda bayangkan apa jadinya jika Anda berwisata ke suatu tempat yang memiliki kondisi yang sama dengan lingkungan Anda. Apakah Anda akan menikmatinya? Tidak bukan?

Sayangnya, tidak semua orang menyadari inti dari pariwisata itu sendiri. Dalam suatu kesempatan, saya pernah bertemu dengan seorang camat sebuah pulau eksotis di sekitar kepulauan Natuna. Untuk menjaga privasi, dalam hal ini tidak perlu saya sebutkan secara detail. Inti dari percakapan saat itu adalah bagaimana pak camat punya cita-cita menjadikan pulaunya menjadi objek wisata yang bertaraf internasional yang dapat bersaing dengan Bali. Dengan semangatnya pak camat mempresentasikan bahwa di pulau tersebut terdapat hamparan pasir putih yang luas dengan pemandangan sangat eksotis. Tempat yang sangat indah untuk menikmati matahari terbit dan tenggelam. Tempat tersebut juga sangat asri sehingga merupakan tempat yang nyaman untuk kegiatan snorkelling, diving, sekedar berjemur atau melakukan berbagai olah raga air lainnya. Dari sisi keindahan alam seperti itu, saya akui pulau tersebut sangat indah, yang memiliki pemandangan alam yang jauh lebih indah dari keindahan pantai-pantai di Bali. Tapi bagaimana kalau dibandingkan dengan pantai-pantai di luar negeri? Saya pernah berkunjung ke beberapa negara di Amerika, Eropa dan juga beberapa negara Asia termasuk di Jepang tempat saya tinggal saat ini. Jujur saja, kalau hanya berbicara keindahan pantai, sangat banyak pantai-pantai di luar sana yang secara alamiah jauh lebih eksotis. Mulai dari pantai dengan teluknya yang sangat nyaman untuk olah raga air, sampai pada pantai dengan batu karang eksotis yang menjulang tinggi seperti yang dapat kita jumpai di Vietnam dan juga China. Jika memang demikian adanya, akan kah wisatawan datang ke suatu pulau hanya sekedar menikmati keindahan alam yang sejatinya dapat dinikmati di tempat lain? Lalu apa yang harus dijadikan nilai tambah?

Kita tidak perlu membandingkan pulau Bali dengan pulau super eksotis yang ada di kepulauan Natuna untuk mencari jawaban di atas. Mari kita cari jawabannya dengan membandingkan antara Bali dengan Lombok. Jika Anda pernah menjelajah Lombok, maka Anda harus mengakui bahwa keindahan pantai Lombok jauh di atas Bali. Seperti pantai Kuta misalnya. Tidak hanya Bali yang memiliki pantai Kuta, di Lombok juga kita dapat menemukan pantai dengan nama Kuta. Bahkan keindahan pantai Kuta di Lombok jauh mengungguli keindahan pantai Kuta di Bali. Tetapi pertanyaannya adalah, kenapa wisatawan yang memilih Lombok tidak sebanyak yang memilih Bali sebagai destinasinya? Masyarakat Lombok memiliki akar budaya yang serupa dengan Bali. Secara agama, masyarakat Lombok dapat dikatakan terbelah menjadi dua kelompok agama dengan populasi terbesar. Di Sisi Barat sangat banyak berdomisili masyarakat Hindu yang memiliki corak budaya serupa dengan Hindu di Bali. Sedangkan di belahan timur didominasi oleh masyarakat dengan pemeluk agama Islam. Jika Anda berkeliling pulau Lombok, maka sepintas Anda akan merasakan suasana seperti di Bali di sisi sebelah barat. Anda akan menemukan banyak pura, gapura rumah-rumah penduduk yang sangat khas serta penjor yang menjulang pada hari-hari tertentu. Sedangkan di sisi timur suasana agak berbeda. Paling sesekali kita akan melihat arak-arakan masyarakat yang berpakaian mirip pakaian Bali dengan membawa alat music seperti alat music Bali tetapi dengan gendang yang besar yang disebut sebagai Gendang Beleq. Pantai Kuta Lombok sendiri terletak di sisi Tenggara Pulau Lombok yang memerlukan waktu tempuh sekitar 1 jam dari Mataram. Sayangnya, secara pribadi saya menilai bahwa sepanjang perjalanan dari Mataram menuju pantai Kuta saya tidak merasakan suasana budaya khas masyarakat Lombok sebagaimana budaya Bali yang dapat kita saksikan hampir sepanjang jalan. Saya merasakan suasananya sama saja dengan wilayah-wilayah lain di Jawa atau Sumatra yang membuat perjalanan menjadi sangat membosankan. Jika saya memosisikan diri saya sebagai wisatawan maka saya tidak akan mau datang khusus jauh-jauh ke Kuta Lombok hanya untuk menikmati keindahan pantai, main layangan dan melakukan olah raga air jika hal yang sama bisa saya lakukan di daerah saya. Saya hanya akan datang bahkan berkali-kali jika terdapat nilai tambah yang bersifat unik yang hanya dapat saya temukan di sana. Keunikan tersebut adalah suasana yang terbangun dari budaya lokal.

Indonesia sejatinya memiliki keunikan budaya yang sangat beraneka ragam. Terdapat lebih dari 200 suku yang menyebar di seluruh wilayah Indonesia.  Masing-masing suku memiliki keunikan budayanya sendiri yang akan menyebabkan wisatawan mancanegara tidak pernah kehabisan daya tarik. Wisatawan harusnya dapat berwisata dari satu ujung Nusantara ke ujung lainnya. Wisatawan sudah pasti akan disuguhi keindahan alam tropis yang serupa yang membentang dari ujung barat ke ujung timur. Tetapi satu hal yang membuatnya berbeda adalah karena keberadaan 200-an suku dengan beraneka ragam budayanya. Budaya tersebut adalah kekayaan bangsa yang tiada taranya yang tidak dapat ditemukan di belahan bumi mana pun. Tetapi sayangnya keunikan budaya tersebut mulai surut. Banyak pihak tidak menyadari kekayaan tersebut sebagai suatu daya tarik utama industri pariwisata. Sehingga ujung-ujungnya muncul wisata Syariah, dengan getolnya ingin menghapuskan budaya lokal dan diganti dengan budaya Arab. Memodifikasi kesenian tradisional menjadi berbau Arab. Termasuk tayangan terakhir yang menimbulkan penolakan keras dari masyarakat Bali mengenai bagaimana tarian Bali ditarikan dengan menggunakan penutup aurat. Pertanyaannya adalah, apakah hal seperti itu yang bisa dijual ke wisatawan? Apakah wisatawan Arab akan lebih tertarik melihat Indonesia yang sama dengan wajah Arab itu sendiri? Sekarang bayangkan, jika anda orang Bali yang sudah sedari lahir hidup dengan budaya Bali. Lalu anda datang berwisata ke Jawa dan menyaksikan masyarakat Jawa juga menggunakan budaya Bali yang sama dengan yang anda gunakan, apakah hal itu merupakan sesuatu yang menarik untuk dijadikan objek wisata? Pertama-tama anda mungkin bangga kalau budaya anda digunakan secara persis sama oleh masyarakat di belahan bumi yang lain. Tetapi tanpa sesuatu hal yang baru, tidakkah berwisata ke tempat seperti itu akan menjadi membosankan? Sama halnya dengan upaya penghapusan wajah-wajah budaya daerah sehingga menjadi budaya Islami hanya akan memiskinkan potensi pariwisata Indonesia. Dan jika itu terjadi, maka jangan harap industry pariwisata akan berkembang.

Selama saya berinteraksi dengan teman-teman dari mancanegara, yang menjadi daya tarik mereka bukan karena saya orang Indonesia, tetapi karena saya orang Bali. Kenapa Bali? Sembilan dari sepuluh orang yang saya ajak berdiskusi mengatakan bahwa Bali itu menarik karena budayanya yang sangat kental. Jadi sekali lagi bukan karena keindahan bentang alamnya. Mereka tetap akan memilih Bali sebagai destinasi wisata meski anda mempromosikan wakatobi, raja ampat, pantai senggigi dan sejenisnya sebagai tempat yang lebih indah dan alami dibandingkan Bali. Tetapi saya yakin hal yang berbeda akan terjadi jika di belahan wilayah Indonesia yang lain mereka juga dapat menemukan keunikan budaya yang membuat mereka merasa sebagai susuatu yang baru yang layak untuk dinikmati. Karena itu, inti dari tulisan ini adalah bagaimana saya mengajak masyarakat Indonesia dari suku manapun untuk tetap mempertahankan corak budaya masing-masing karena itulah yang akan menjadi pembeda dan sekaligus pemberi keunikan bagi daerah anda. Hal ini juga berlaku bagi masyarakat Bali. Bali hanya akan tetap menjadi destinasi pariwisata mancanegara kalau budaya Bali tetap mengakar kuat. Jika budaya tersebut sirna, maka siap-siaplah bahwa itu juga akan menjadi senjakala pulau Bali.

Lalu bagaimana menjaga budaya tersebut? Saya sangat senang menggunakan teori Cooper dalam menjelaskan budaya. Cooper mengatakan bahwa budaya merupakan suatu hal yang dapat digambarkan seperti lapisan kulit bawang. Lapisan terdalam adalah tata nilai yang merupakan keyakinan dasar. Dari keyakinan dasar muncul tata nilai yang selanjutnya membangun lapisan-lapisan berikutnya seperti metode komunikasi, hukum tidak tertulis, sampai kepada lapisan terluar yang tampak nyata seperti pakaian daerah, seni pertunjukan, arsitektur, dan sebagainya. Jadi dari teori ini, sangat jelas bahwa nilai dasar yang berasal dari keyakinan atau agama akan sangat mempengaruhi artifak budaya itu sendiri. Budaya Bali sendiri dibangun dari tata nilai ajaran-ajaran Veda yang tersinkritisme dengan nilai-nilai Buddhism, China dan juga lokal setempat. Keunikan sinkritisme tersebut dan dipadu dengan keluwesan adaptasi dengan budaya modern menyebabkan budaya Bali menjelma seperti sekarang ini.

Pergeseran keyakinan yang menyebabkan pergeseran budaya yang paling kentara dapat kita amati misalnya di tataran masyarakat Jawa. Budaya Jawa sejatinya dibangun dengan tata nilai Hindu dan Buddha. Akibat pergeseran kekuasaan dan perpindahan agama yang terjadi sejak abad ke-15 menyebabkan lambat laun budaya Jawa menjadi bergeser. Jika kita perhatikan, masyarakat Jawa yang masih menganut Hindu dan Buddha cenderung masih memegang budaya mereka secara apa adanya. Tetapi orang Jawa yang sudah pindah agama ke Islam atau Kristen terlihat mulai bergeser seperti misalnya dari tata cara berpakaian. Jika dulu wanita Jawa menggunakan kebaya dengan sanggul, maka sekarang mereka yang masih menggunakan budaya Jawa tetap menggunakan kebaya tetapi dipadukan dengan jilbab. Masalahnya yang lebih parah lagi adalah banyak juga masyarakat Jawa yang menolak budaya mereka sendiri dan secara 180 drajat menggantikannya dengan burka, pakaian tertutup ala Timur Tengah. Mereka juga menolak tata nilai yang menyangkut arsitektur, penanggalan, sopan santun dan sejenisnya. Yang pada akhirnya menghancurkan budaya Jawa itu sendiri dan mengubahnya pada tatanan budaya baru.

Jadi sebagai penutup, singkat kata, kita memiliki kekayaan yang sangat unik yang merupakan modal dasar dalam membangun industri pariwisata, yaitu budaya kita masing-masing. Dengan menjaga budaya masing-masing, Indonesia sudah memiliki lebih dari 200 budaya. Keunikan yang tiada taranya dibandingkan dengan negara lain. Keunikan tersebut hanya dapat dijaga dengan menjaga tata nilai dasar dari budaya tersebut, yaitu tata nilai agama. Pergeseran tata nilai agama, merupakan tonggak awal pergeseran budaya. Oleh karenanya mari kita jaga tata nilai bangsa ini dari diri kita sendiri. Sekarang mungkin sudah hampir terlambat, tetapi saya yakin belum sepenuhnya terlambat jika kita mau menjaganya. Dan ingatlah, tren perang saat ini sampai dengan 30 tahun ke depan bukan perang senjata, tetapi perang ekonomi, perang ideologi, agama dan budaya. Kuasai negeri orang dengan menguasai ideologinya dan itulah yang sedang menggerogoti Indonesia tetapi jarang disadari bahkan oleh para pemimpin kita sendiri.

 

Om Tat Sat.

Translate »