Filsuf mengatakan bahwa hidup ini penuh dengan keterperangkapan. Manusia di dunia terperangkap oleh pekerjaan, rutinitas, kebosanan, penderitaan, kebahagiaan dan seterusnya. Dengan berbagai perangkap itu para filsuf mengatakan bahwa takdir manusia memang menghadapi hal demikian. Namun manusia mempunyai alat ampuh untuk mengatasi itu yakni agama, ilmu pengetahuan, teknologi dan seni . Agama melalui pemukanya mencoba menjelaskan berbagai sebab dan akibat dalam hidup ini (dalam konteks agama) yg intinya beruapaya meringankan beban hidup yg terkena perangkap itu. Kalau kemudian ada pemuka agama yg membuat hidup yg telah terkena berbagai perangkap itu menjadi lebih terbebani dan rumit, berarti mereka gagal menjalankan tugas dan tidak layak disebut seorang pemuka agama.

Dengan ilmu pengetahuan, kehidupan diharapkan menjadi lebih ringan karena ilmu mampu menjelaskan fenomena keberadaan. Tidak jarang kemudian ilmu pengetahuan membuat agamawan terperangah dan mungkin marah (seperti contohnya akibat temuan Charles Darwin & Stephen Hawking). Dengan teknologi pekerjaan fisik manusia menjadi jauh lebih ringan. Dengan seni, kehidupan menjadi lebih bisa dinikmati, mampu melupakan berbagai beban yg ada.
Jelas bahwa ogoh-ogoh juga mempunyai nilai filsafat. Namun di tengah musim ogoh-ogoh sekarang, ada baiknya juga ditinjau hal-hal yang bersifat kritis dari ogoh-ogoh tersebut sehingga kita begitu saja menerima keberadaannya. Tinjauan kritis ini sangat penting untuk melihat fenomena ogoh-ogoh, terutama untuk masa depan. Di tengah tekanan ekonomi yang tinggi, di saat hidup makin sesak dan tuntutan kerja yg demikian ketat, tinjauan kritis itu sangat penting, sekali lagi demi masa depan, demi generasi selanjutnya.

Ogoh-ogoh mungkin mengandung berbagai kontradiksi itu karena di dalamnya secara tersembunyi mengandung berbagai jebakan yang tidak di ketahui masyarakat, dan akhirnya memerangkap kita di masa depan. Melihat fenomena ini haruslah ditinjau dari dua sisi. Eksistensi ogoh-ogoh boleh dikataan tersamar. Ia bukan merupakan perjalanan tradisi Bali (Hindu Bali) jika itu dikaitkan dengan dekade 70’an atau sebelumnya. Setidaknya ia bukan merupakan pandangan umum pada waktu itu. Kata ogoh-ogoh sangat mungkin berasal dari predikat atas penampakan gerak dari sosok gemuk yang berjalan tergopoh-gopoh karena kurang mampu menopang badan yang terlalu berat. Cara berjalan orang seperti itu sering disebut ogoh-ogoh dalam bahasa Bali. Amat mungkin juga kata itu merupakan tiruan keliru dari kata gopoh-gopoh sehingga kemudian dilafalkan menjadi ogoh-ogoh. Apa yg dilihat sekarang pada patung itu mayoritas mempunyai badan gemuk, tidak memakai baju, tampang minor, dan terkesan terolok-olok. Ketika di usung juga gerakannya seperti orang tergopoh-gopoh.

Sebagai sebuah parade, ogoh-ogoh ini sangat jarang bahkan tidak pernah terjadi sebelum pertengahan dekade delapan puluhan, saat itu hari pengerupukan  hanya dirayakan dengan pawai dengan pawai obor-obor secara sektoral dan pemukulan kentongan atau bebunyian ramai-ramai oleh anak-anak sebagai symbol pengusir mahluk halus yang jahat. Sebagian remaja melakukan tindakan meledakkan meriam bambu. Sampai titik ini, tidak jelas mengapa ogoh-ogoh itu muncul dan kemudian menjadi bersifat massal seperti sekarang. Akan tetapi, sekitar pertengahan dekade delapan puluhan itu (kira-kira 1984) ada beberapa peristiwa kecelakaan di saat menjelang hari raya Nyepi. Tercatat beberapa remaja menjadi korban luka bakar akibat terkena ledakan meriam bambu. Karena kurangnya pengawasan dan terlalu gegabah, meriam bambu itu pecah dan minyak tanah yang dipakai mengenai tubuh dan wajahnya. Peristiwa ini muncul di media massa dan menjadi perbincangan banyak orang. Kurang lebih beberapa pejabat Bali pada waktu itu memberikan komentar bahwa untuk menghindari kejadian terbakar seperti itu, sebaiknya permainan meriam bambu itu dihentikan menjelang hari raya Nyepi dan diganti dengan mengarak patung (symbol) Bhutakala yg kemudian dihancurkan sebagai lambang pengganggu keharmonisan alam. Sejak saat inilah mulai secara perlahan lahan kata ogoh-ogoh mulai memasyarakat dan meluas ke berbagai daerah di Bali.

“DITANGKAP” PARIWISATA

Dekade 80’an orde baru masih berkuasa dan segeralah kemudian sektor pariwisata menangkap fenomena ini sebagai sebuah tayangan yg menarik. Maka mereka-mereka yg mengidolakan pariwisata sebagai lahan bisnisnya lalu mengait-ngaitkan ogoh-ogoh dengan kunjungan pariwisata. Kira-kira tahun 1991 ketika dikonsepkan Tahun Kunjungan Wisata Indonesia, pawai ogoh-ogoh ini mulai semakin terasa dan begitu seterusnya hingga sampai saat ini. Kita khawatir, generasi yg lahir pada dekade 80’an , memandang ogoh-ogoh itu memang telah ada di Bali sejak awal abad ke 20 atau bahkan sebelumnya. Padahal itu tidak ada. Ini penting untuk dijelaskan. Festival itu bahkan mungkin menjebak dan meperangkap kita justru mulai dari awal dekade 90’an.

Tetapi secara positif kegiatan ogoh-ogoh tiap tahun memberi nilai nilai seperti bertambah akrabnya anak-anak muda, ada nuansa kreatif di sana atau bolehlah juga memberikan sumbangan kepada pariwisata. Namun harus juga dilihat bahwa kekhawatiran kita bahwa kegiatan ini akan membawa perangkap sosial terlalu banyak di masa depan. Dari sisi aktifitas, pembuatan patung raksasa itu dilakukan sebulan sebelumnya oleh anak anak muda di balai banjar. Positifnya anak-anak muda itu bersatu. Namun sebagian harus dilihat bahwa keegoan anak-anak muda itu sangat kentara. Sebagian dari mereka tidak sadar lingkungan, artinya mengerjakan kegiatan itu di malam hari, sambil ribut-ribut yang mengganggu kenyamanan orang beristirahat. Mereka menghidupkan musik keras-keras seolah tidak sadar bahwa malam hari adalah waktu orang beristirahat agar besoknya pulih bekerja. Cukup banyak dari anak muda tidak sadar akan hal ini.

Ketika pembuatan ogoh-ogoh itu telah bersifat massal, maka kapitalis akan mulai mengintip. Kapitalis biasanya bersekutu dengan politik. Jika saja di masing-masing desa pekraman membuat ogoh-ogoh minimal 1 saja, paling tidak  di Bali ada 1400 ogoh-ogoh. Tetapi kenyataannya desa pekraman itu terdiri dari paling kurang 3 atau 5 banjar pekraman, masing-masing banjar biasanya membuat ogoh-ogoh. Jika satu ogoh-ogoh harganya 1 juta saja (tidak sedikit 1 ogoh-ogoh bisa mencapai 5 juta bahkan lebih), kemungkinan tiap tahun akan laku bahan pembuat ogoh-ogoh sebanyak 6 miliar (belum termasuk kebutuhan tambahan makan minum). Misalkan ada kebijakan pemerintah untuk menghentikan pawai ogoh-ogoh, umpamanya karena terlalu memboroskan uang dan sering terjadi konflik dan gesekan antar pemuda desa pekraman, pasti akan terjadi protes, bukan saja dari anak-anak muda tetapi para ekonom kapitalis itu pastinya tidak mau kehilangan potensi pendapatan miliaran rupiah. Bukan tidak mungkin para pebisnis ini akan mencoba mendekati politisi yg berupaya mendesak agar mengaitkan dg pariwisata bahkan bisa jadi dikaitkan dg tradisi leluhur. Amat mungkin akan dijadikan bahan kebijakan atau jangan jangan peraturan daerah (PERDA) .

Di tengah himpitan ekonomi seperti sekarang, pembuatan ogoh-ogoh yg menelan biaya diatas 500.000 itu terasa cukup mahal. Memberantas Bhutakala, sebenarnya cukup simbolis saja tanpa perlu membuat sosok simbolis besar-besar. Ada cara lain untuk berkarnaval di hari pengerupukan. Mungkin pawai obor lampion hias jauh lebih efisien dan lebih mengandung nilai seni minim konflik dan semarak ketimbang harus membuang biaya besar untuk ogoh-ogoh. Lagi pula orang Bali memiliki seni dan cita rasa yg tinggi. Bukan tidak mungkin pawai obor seumpamanya bisa terlihat begitu meriah dg kemasan seni yg indah. Di sisi yang lain ditinjau dari aspek filosofis, kenyataan tahun-tahun belakangan ini menunjukan pergesaran makna tujuan ogoh-ogoh itu dibuat, seharusnya ogoh-ogoh (symbol bhutakala) tersebut selanjutnya dibakar dan dihancurkan sebagai simbolik mengusir Bhutakala yang menggangggu,  tetapi fakta dilapangan beberapa ogoh-ogoh justru disimpan dibalai banjar , alasannya karena ogoh-ogoh tersebut mahal dan bagus. Bahkan tidak sedikit yg disimpan hingga Nyepi tahun berikutnya. Bukan ini pergesaran filosofi yang “fatal”? symbol a-dharma yg semestinya di lebur (dibakar) malah di simpan. Di samping itu pergesaran yg cukup fundamental yang mulai marak belakangan ini adalah penggunaan sound system dg musik berdentum khas Diskotik sebagai musik pengiring ogoh-ogoh, meski tidak semuanya, tetapi hal ini semakin menjauh dari spirit budaya yang umumnya memakai musik gamelan Bali sebagai pengiringnya. Entah apalagi pergesaran yg akan terjadi karena pola pergesaran budaya tidak akan terjadi cepat tetapi perlahan-lahan. Mari secara jujur kita berpikir demi masa depan, jangan sampai terperangkap

 Gusti Made Jaya Suwarna, Bali Post Rabu Pon, 13 Februari 2013
(Dengan perubahan seperlunya oleh Dewa Sugara Narayana)

OGOH-OGOH, KREATIVITAS SENI, BUKAN SARANA PANGERUPUKAN

Senada dengan hal itu seorang budayawan asal Klungkung, Dewa Soma menegaskan bahwa semarak pawai ogoh-ogoh di Bali harus dipahami sebagai sebuah pengembangan kebudayaan. Dia menegaskan bahwa “ogoh-ogoh bisa digunakan dalam proses pangrupukan namun jauh yg lebih penting adalah bahwa umat harus memahami makna pangerupukan itu sehingga tidak menimbulkan gesekan yg justru menodai jalannya pangerupukan

Dikatakan, jika dilihat dari pelaksanaan perayaan pangerupukan sebenarnya tidak ada relevansinya antara mengarak ogoh-ogoh dengan perayaan pangerupukan mengacu pada sastra Sundarigama & Aji Siwa Mandala dikatakan bahwa sarana yang digunakan ada tiga yaitu ; obor, tri ketukan (tiga hal yg pedas), nasi tawur beserta tirta. Jadi dengan kata lain ogoh-ogoh bukan sarana pangerupukan, itu murni produk baru (pengembangan budaya)

Sementara itu perjalanan sampai saat ini ogoh-ogoh bagi banyak sekali oknum dimanfaatkan sebagai ladang bisnis dg kedok tradisi dan belakangan malah ada kesan perlombaan adu gengsi antar desa pekraman yg juga tidak sedikit terjadi gesekan-gesekan yg tidak perlu diantara mereka. Untuk pembuatan ogoh-ogoh sendiri dipastikan bisa menelan biaya yg cukup besar mulai dari 5 juta rupiah hingga puluhan juta per satu ogoh-ogoh. Maka tidak heran sang “bhutakala” ini masih tersimpan rapi di banyak balai banjar hingga berbulan-bulan tentu saja hal ini bergeser dari tujuan dibuatnya ogoh-ogoh itu sendiri.

NGERUPUK TANPA OGOH-OGOH

Pada kesempatan yg lain perihal “pergeseran” ini juga dirasakan oleh banyak masyarakat bali sendiri salah satunya seperti yg dituturkan oleh Ida Bagus Putu Sudarmaya yg ber alamat di denpasar utara. Bahwa pawai ogoh-ogoh bukan bagian dari ritual perayaan nyepi tapi merupakan kreatifitas budaya (buku panduan ogoh-ogoh hal 20 poin 3 Dinas Kebudayaan kota Denpasar) peryataan tersebut perlu dicermati agar tidak mengaburkan dan menimbulkan salah kaprah antara pawai ogoh-ogoh dan perayaan Nyepi itu sendiri.

Bahwa sampai dengan tahun 1965, di bali sendiri malam pangerupukan hanya dengan membawa api obor minyak tanah atau api prakpak  . pada waktu itu tidak ada ogoh-ogoh apalagi hingga menelan dana yg besar. Pengerupukan  dilakukan saat sandyakala setelah matahari terbenam. Dimulai dari lingkungan rumah lebih dahulu kemudian ramai-ramai bersama keluarga yg dilengkapi dengan memukul bunyi-bunyian dengan keras sambil membawa bawang merah yg digosok gosokan di tiap sudut rumah.Hal ini bertujuan “menghilangkan” gangguan BhutaKala yg mengganggu dan merusak setidaknya hingga Berata Penyepian selesai. Setelah selesai dalam lingkungan rumah barulah keluar ke jalan-jalan bergabung dg teman atau kelompok dari banjar yg lain. Pada kurun waktu itu tidak terjadi gesekan dan keributan apalagi “beban” material yg harus menjadi iuran para krama Bali.

Pada tahun 1966 pelaksanaan pangerupukan dipusatkan di lapangan puputan badung kemudian bergerak di seputaran kota denpasar, pada saat itu salah satu kelompok banjar membawa 9 buah obor yg kemudian dirangkai menjadi satu dengan ikatan bambu yg dibuat bercabang-cabang yg sudah dililitkan jerami. Bahkan diberi kesempatan masuk hingga kantor gubernur Bali. Singkatnya Pergeseran pawai obor menjadi ogoh-ogoh kemudian menyebar ke seluruh kabupaten di bali bahkan luar bali (daerah perantauan) seperti Jakarta, Bogor, Yogyakarta, Surabaya, Lombok. Makna mengerupuk dengan membawa obor/api prakpak danyuh perlahan memudar dan hilang.

Sejak itulah pelaksanaan pengerupukan menjadi ruwet perlu pengamanan ekstra ketat mencegah hal-hal yg tidak diinginkan terjadi, penuh semangat bersaing yg tinggi yg tidak jarang jauh dari semangat Nyepi itu sendiri. Hendaknya lah pawai atau karnaval ogoh-ogoh akan lebih cantik jika di lokalisir dan di salurkan pada ajang semacam Pesta Kesenian Bali (PKB) atau dilakukan setelah rangkaian hari raya Nyepi dengan menggandeng banyak sponsorship untuk membiayai pembuatan per ogoh-ogoh sehingga tidak menjadi “beban” bagi krama bali,  serta tentu  pangerupukan  yg merupakan kegiatan sakral dapat dikembalikan pada hakikat kesakralan dan maknanya semula.

Bali Post kamis 28 Februari 2013
(Dengan perubahan seperlunya oleh Dewa Sugara Narayana)

Translate »