Umumnya, tempat suci umat Hindu dikenal dengan sebutan temple, mandir, dan juga kuil. Tetapi di Indonesia tempat suci umat Hindu lebih dikenal dengan sebutan Pura atau Candi. Jika kita telusuri lebih jauh, maka kita akan menemukan corak dan arsitektur yang berbeda antara tempat suci Hindu di luar negeri dengan yang ada di Indonesia. Di Indonesia sendiri terapat perbedaan yang cukup signifikan antara tempat suci Hindu di Jawa dengan di Bali. Jika di Jawa dalam sebuah komplek candi atau puranya hanya terdapat beberapa bangunan suci, maka di pura di Bali kita akan menemukan beberapa bangunan yang biasa disebut sanggah.

Jumlah sanggah dalam sebuah komplek pura cukup bervariasi. Ada yang 2, 3, 8 dan bahkan lebih. Namun menariknya terdapat sebuah bangunan sangah yang tidak pernah absen dalam suatu komplek pura, yaitu Padmasana. Menilik sejarahnya, keberadaan bangunan Padmasana di Bali berawal dari bisama yang disampaikan oleh Danghyang Nirartha yang memerintahkan agar dalam setiap komplek pura harus terdapat bangunan Padmasana.

Kenapa Padmasana harus selalu ada dalam sebuah komplek Pura? Sebuah pertanyaan sederhana yang sepertinya cukup menarik buat dikaji bersama.

Secara etimologi, Padmasana berasal dari kata “padma” yang artinya teratai dan “asana” yang artinya sikap duduk. Jadi Padmasana mengacu kepada sikap duduk teratai yang awalnya digunakan dalam aspek Asana Yoga. Namun dalam hal ini, terjadi distorsi makna dimana istilah Padmasana mengacu kepada tempat duduk atau singgasana dari dan menyerupai bunga teratai.

Sikap duduk Padmasana

Masyarakat Bali umumnya menyebutkan Padmasana sebagai sebuah bangunan yang puncaknya berbentuk kursi yang dibelakangnya berisi lukisan burung Garuda, di tengah-tengah bangunan pada setiap sudut ada patung astadikpalaka (dewa penguasa delapan penjuru mata angin), serta dasar bangunan memakai lukisan badawangnala dililit oleh dua ekor naga. Bangunan Padmasana yang lengkap di kelilingi oleh kolam sebagai simbol laut Ksira Arnawa, Padmasana dikatakan simbol gunung Mandara.

Bangunan Padmasana Modern

Melihat dari konsep umum yang berkembang di masyarakat, sepertinya konsep awal adanya Padmasana adalah mengacu kepada pemutaran gunung Mandara oleh para dewa dan raksasa dalam usahanya mencari Tirtha Amerta yang merupakan tirtha kekekalan. Untuk menyeimbangkan proses pengadukan tersebut, Tuhan muncul menjelma dalam wujudnya sebagai Kurma Avatara dan bertindak sebagai poros gunung Mandara di laut Ksira. Untuk menggerakkannya Naga Basuki dijadikan sebagai tali yang melilit gunung tersebut.

Bhagavata Purana 1.3.16:

surasuranam udadhim

mathnatam mandaracalam

dadhre kamatha-rupena

prstha ekadase vibhuh

Penjelmaan Tuhan yang kesebelas menjelma dalam bentuk kura-kura yang kulit-Nya menjadi poros sandaran untuk gunung Mandaracala, yang sedang dipergunakan sebagai alat pengocok oleh orang yang percaya kepada Tuhan dan yang tidak percaya kepada Tuhan di alam semesta


Pemutaran Gunung Mandara


Sebelum Tirtha Amerta keluar terlebih dahulu keluar racun yang sangat mematikan dan untuk menyelamatkan semua mahluk hidup, Siva sebagai dewa yang paling agung akhirnya menelan racun tersebut sehingga badan beliau berubah menjadi kebiru-biruan. Di satu sisi para ular dan naga juga memakan tetesan-tetesan racun yang ditelan dewa Siva sehingga dikisakan bahwa sejak saat itu ular dan naga menjadi berbisa.

Setelah itu Tuhan menjelma sebagai Dhanvantari sambil membawa kendi berisi Tirta Amertha yang dinanti-nantikan. Dikisahkan bahwa Tirta Amerta tersebut jatuh ke tangan para Raksasa. Untuk mengelabui para raksasa, sekali lagi Tuhan menjelmakan dirinya sebagai gadis cantik yang sangat mempesona bernama Mohini. Para raksasa yang terpesona akan kecantikan-Nya akhirnya menyerahkan Tirta Amerta tersebut dan mulailah Dewi Mohini membagi-bagikannya. Dewi Mohini memberikan Tirta Amerta yang asli kepada para dewa dan membagikan yang palsu kepada para raksasa. Menyadari tipuan ini, seorang Raksasa bernama Rahu menyusup dalam barisan para dewa dengan harapan mendapatkan Tirta Amerta yang asli. Namun ketika Tirta Amerta tersebut baru sampai di kerongkongan Raksasa Rahu, Tuhan dalam wujudnya sebagai Sri Visnu langsung melesatkan Sudarsan Chakra-Nya sehingga memenggal kepada Raksasa Rahu.

Bhagavata Purana 1.3.17:

dhanvantaram dvadasamam

trayodasamam eva ca

apayayat suran anyan

mohinya mohayan striya

Dalam penjelmaan kedua belas, Tuhan muncul sebagai Dhanvantari. Dalam penjelmaan ketiga belas, Beliau mempesona para ateis dengan kecantikan seorang wanita yang memikat dan kemudian memberikan minuman kekalan kepada para dewa untuk diminum

Jika konsep Padmasana yang terdapat dalam setiap komplek Pura berawal dari kisah pemutaran gunung Mandara ini, sudahkah corak dan arsitektur Padmasana kita saat ini sesuai dengan sastra?

Coba kita bandingkan gambar Padmasana modern yang ada saat ini dengan konsep pemutaran Gunung Mandara yang disampaikan dalam cerita diatas. Dikatakan bahwa seekor Naga yang bernama Basuki digunakan sebagai tali yang melilit gunung Mandara, lalu kenapa dalam gambar bangunan Padmasana modern di atas terlihat terdapat dua kepala naga? Bangunan Padmasana yang benar seharusnya hanya dililit oleh seekor naga Basuki dan dikelilingi oleh kolam sebagai simbol lautran Ksira Arnava. Di puncak gunung yang dalam hal ini adalah singgasana adalah tempat stana Tuhan.

Gambar konsep Padmasana yang tepat

Melihat dari konsep ini, Padmasana ditujukan untuk memuja Tuhan dimana digambarkan sebagai Kurma Avatara pada pondasi Padmasana dan Narayana yang bersifat Acintya (tidak terpikirkan) pada puncak Padmasana. Di belakang Padmasana juga senantiasa dihiasi dengan Garuda Visnu Kencana. Jadi apa motif tersembunyi danghyang Nirarta mengeluarkan Bisama agar dalam setiap komplek Pura dibangun Padmasana? Adakah korelasinya dengan pengabungan sekte-sekte di Bali oleh mpu Kuturan dalam Pesamuan Agung yang dilaksanakan di Bataanyar (kini Gianyar) dan menelurkan konsep Tri Murti? Apakah ini sebagai sebuah indikasi bahwa Danghyang Nirarta ingin mengarahkan agar semua umat Hindu di Bali memuja Sri Narayana atau Sri Hari atau Visnu?

Dikutip dari berbagai sumber.

Gambar konsep Padmasana yang tepat di ambil di Ashram Sri-Sri Radha-Madhava, Desa Siangan, Bitera, Gianyar.

Translate »